Share

Pelayat misterius

'Siapa dia?'

Mata bengkak Ela melirik sekilas ke arah pria bertopeng yang rupanya tengah duduk di kursi roda. Wajah pria bertopeng dengan setelan jas mewah itu pun nampak lesu, seolah ikut merasa berduka akan kepergian putrinya.

'Apakah dia cacat? Lantas, siapakah dia? Sepertinya bukan salah satu warga desa.' Hati Ela bertanya-tanya.

Saat Ela tengah fokus mengenali siapa pria misterius yang juga melayat jenazah Meli, ucapan Pak RT membuat Ela memalingkan muka. "Mbak Ela, ini sudah sangat larut. Mungkin jenazah Meli sebaiknya diinapkan dulu. Baru besok dimakamkan."

Ela sontak menggeleng dengan wajah sedihnya. "Pak RT, saya mohon, tolong makamkan Meli sesegera mungkin," pintanya memelas. "Saya tidak ingin Meli menderita lagi ...."

Isak tangis pada akhir kalimat membuat seluruh pelayat ikut menitikkan air mata. Mereka sangat mengetahui kondisi keluarga Ela yang sangat kekurangan. Bahkan untuk sekedar makan pun mereka sering tidak mampu.

"Baiklah, kita makamkan Meli malam ini." Dengan helaan nafas panjang, bapak ketua RT sekaligus sebagai ustadz di desa itu memimpin acara pemakaman.

Jenazah Meli telah selesai dikafani dan siap untuk diangkut ke musala terdekat untuk disalati. Di saat para tetangga pria bersiap untuk melangsungkan sholat jenazah, Pram dengan tidak pedulinya malah merebahkan diri di alas kardus berlapiskan tikar.

"Ya Allah, Pram ...! Anakmu ini sedang berpulang, tidak adakah sedikit simpati yang ingin kamu tunjukkan?!" tegur bapak ketua RT dengan menghela napas berat. Kepalanya menggeleng pelan seolah menyayangkan perilaku tidak pantas tersebut.

Namun, Pram hanya terdiam tak bergeming. Ia bersikap seolah telinganya tuli.

"Sudah, Pak RT, biarkan saja. Tidak perlu menghiraukan Ayah yang tidak punya hati seperti itu," timpal salah satu tetangga Ela.

Seluruh mata yang berlalu-lalang nampak menatap heran ke arah Pram yang benar-benar seperti tidak memiliki hati.

Setelah sholat jenazah telah selesai ditunaikan, akhirnya jenazah Meli siap untuk dikebumikan. Keranda dengan penutup kain berwarna hijau itu dibopong menyusuri jalan setapak yang cukup jauh dari pemukiman penduduk. Lantunan merdu kalimat tahlil terucap bersamaan dengan langkah kaki yang beriringan.

Ela yang tak kuasa menahan tangis, dituntun beberapa tetangga yang merasa iba padanya. Tubuhnya yang terasa lunglai tak berdaya ia paksa berjalan mengiringi peristirahatan terakhir sang putri kecilnya.

Kini, tubuh tak bernyawa Meli telah tertutup tanah secara sempurna. Gerimis yang turun, serta gelap malam yang semakin intens perlahan membuat seluruh pelayat berhamburan meninggalkan makam. Meninggalkan Ela yang masih betah berlama-lama memandang sang anak.

"Sudah, La. Jangan ditangisi terus, tidak baik. Meli juga tidak akan mau melihatmu seperti ini," ucap salah satu tetangga yang merasa iba, berusaha menenangkan Ela.

Ibu paruh baya itu nampak ikut berjongkok di depan makam dengan mengelus pundak Ela. Namun Ela masih terhanyut dalam kesedihan.

Tangannya tak berhenti menabur bunga dan mengelus gundukan tanah merah di depannya. "Biarkan saya di sini dulu, saya ingin menenangkan diri," ucapnya parau. Suaranya terdengar serak sebab kehabisan tenaga.

Mendengar ucapan Ela, tetangga tersebut mencoba mengerti. "Baiklah, tapi jangan terlalu larut dalam kesedihanmu. Cepatlah pulang, hari sudah semakin larut."

Ela masih tidak berkutik saat pelayat wanita tadi pergi dari makam anaknya. Tidak, ia tidak sendiri. Sebab, masih ada dua pria--pria bertopeng yang duduk di kursi roda, juga pria yang mendorong tuannya itu di sini.

"Pulanglah, Gabriela. Anakmu tak akan suka melihatmu menangis seperti ini di atas makamnya."

Ucapan tersebut kembali menghenyak sanubari Ela. Gabriela? Nama itu disebut lagi.

Sebenarnya siapa Gabriela? Kenapa nama itu begitu membekas dalam hatinya, tetapi tak sanggup muncul dalam ingatan.

Ela tertegun tanpa suara. Saat kepalanya menndongak untuk melihat kembali pria bertopeng tersebut, ia sudah tak mendapati siapa pun di sana. Dua pria itu telah pergi meninggalkan makam di bawah lindungan payung berwarna gelap.

Kini Ela kembali bertanya-tanya di antara kepedihan hatinya. "Sebenarnya, siapa pria itu?

Terlalu larut dalam kesedihan membuat matanya terasa berat. Pandangan matanya mulai menghitam seiring hilangnya kesadaran.

"Gabriela Larasati, Putriku. Pulanglah, Nak!" Samar-samar terdengar suara seorang pria dan wanita yang terlihat melambaikan tangan dari kejauhan.

Namun wajah keduanya tak nampak jelas, sebab cahaya yang menerangi punggung mereka terlalu terang. Selanjutnya, tanpa bisa dicegah, Ela menangis histeris seolah anak yang ditinggal kedua orang tuanya.

Tangis yang begitu histeris itu akhirnya membuat Ela terbangun karena rasa sesak yang menghimpit, "Hah ... hah." Napas Ela memburu, ia masih memikirkan apa yang baru saja ia alami tadi? "Apakah itu mimpi?"

Wanita dengan balutan gamis lusuh itu kembali mendudukkan diri. Bayangan kedua orang yang melambai itu terus berputar dalam ingatannya. 'Mungkinkah itu orang tuaku?' tanya Ela dalam hati.

Namun, hingga pagi menjelang ... Ela yang masih bersedih itu tak kunjung mendapatkan jawaban pasti. Ingatannya soal masa lalu benar-benar kabur.

Sudah puas menangis, Ela menatap lagi gundukan tanah di mana Meli terbaring. Beberapa penggal ingatan saat putri kecilnya meregang nyawa terus berulang dalam kepalanya.

"Meli, jika Mama bisa mengulang waktu... Mama tidak akan pernah menikah dengan Ayahmu." Ela benar-benar menyesal. Andai ia mendapatkan sedikit keberanian, mungkin nyawa Meli masih bisa diselamatkan.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Meli yang berpulang, mungkin saja jadi petunjuk atas jawaban yang selama ini ia minta.

Ela meyakini, anaknya kini sudah tak sakit lagi. Justru Meli akan lebih menderita jika putri kecilnya itu masih hidup dan memiliki ayah seperti Pram.

"Meli, Mama pulang ya, Nak. Kamu sekarang sudah tidak sakit lagi," pamitnya lirih dengan bersusah payah bangkit dari sana.

Kakinya yang tanpa alas ia paksa menyusuri jalanan desa yang becek dan berlumpur. Sembari menenteng sandal jepit hasil pinjaman salah satu tetangga, Ela terus berjalan hingga sampai di rumah reotnya.

Setibanya di sana, betapa terkejutnya Ela mendapati rumahnya yang nyaris roboh ini dipenuhi sampah. Bekas robekan amplop yang diberikan para tetangga saat melayat berhamburan di seluruh penjuru rumah.

Ela menduga ada pencuri di rumahnya. Tubuhnya yang lemas semakin tak bertenaga membayangkan uang duka yang ia rencanakan akan dibuat modal berdagang itu raib tak bersisa.

Wanita itu tak menaruh curiga pada Pram, sampai kemudian terdengar suara sang suami yang begitu lantang.

"Yes! Menang lagi!"

Dihampirinya sumber suara itu. Terlihat, Pram yang masih sibuk dengan gawai di tangannya sejak semalam putrinya dimakamkan.

"Astaghfirullah, Mas ..., Apa kamu tidak malu dengan tetangga? Kenapa kelakuanmu semakin hari semakin parah?!" Ela memberanikan diri merebut paksa gawai jadul dari tangan suaminya. Namun, tunggu dulu. Ini bukan ponsel semalam. Ela menatap ponsel android keluaran terbaru dengan penuh kebingungan. "Ini milikmu?" tanya Ela memastikan. Tangannya mengulurkan ponsel bagus itu di depan wajah Pram.

"Iya, bagus kan?" jawabannya singkat dengan penuh percaya diri.

"Dapat uang dari mana?"

"Dari hasil jual beras dan amplop para pelayat," jawabnya santai dengan kedua alis terangkat.

Rahang Ela seketika mengeras. Ternyata, selain tidak punya hati dan etika, Pram juga merupakan pria yang tidak tahu malu.

"Kamu belikan semua uang itu untuk HP ini?"

"Tidak. Sisanya aku mainkan untuk judi slot," jawabnya santai, tak terpengaruh tekanan Ela. Pram melipat kakinya dengan sedikit menelengkan kepala.

Hal itu membuat Ela semakin muak. Ia yang berdiri tegak menatap Pram dengan wajah dingin.

Detik berikutnya, ia dengan sengaja merebut ponsel tersebut dan menjatuhkannya ke lantai rumah mereka yang beralaskan tanah becek.

Pandangan Pram seketika terbelalak sempurna. Ia tak pernah percaya dengan sikap Ela yang tiba-tiba berubah.

Dengan kaki berlumuran lumpur, Ela menapakkan kakinya di atas ponsel pintar itu. Wanita itu kemudian menginjaknya kuat-kuat untuk melampiaskan amarah yang begitu membara dalam hati.

Pram seketika bangkit dan mendorong kuat tubuh kurus milik istrinya hingga Ela jatuh tersungkur dengan gamis putih yang belepotan tanah.

"Apa yang sedang kamu lakukan?! Dasar Jalang!" hardiknya. Kedua tangannya memungut ponsel yang layarnya telah remuk. "Lihat ini! Kamu merusaknya!" lanjutnya dengan nada kian meningkat.

Ela kehilangan ekspresinya saat ini. Wajahnya berubah datar dan tatapannya menghunus tajam ke arah Pram. "Aku hanya merusak HPmu, sementara kamu membunuh anakku. Apakah itu setimpal? Sepertinya tidak!"

"Membunuh Anakmu? Cih! Sepertinya kamu sendiri yang telah membunuh Meli." Pram menyeringai kecil.

"Aku?" Ela mencibir. "Aku seharian penuh hampir tak pernah duduk sekedar mengistirahatkan diri untuk banting tulang mencari uang. Sedangkan kamu?" Ia menuding sang suami dengan jari telunjuknya.

Pram diam bergeming. Tak ada alasan baginya untuk menjawab.

Ela sejatinya adalah seorang wanita yang penurut. Tak pernah sekalipun membantah, atau menaikkan nada suaranya.

Namun kali ini, wanita penyabar itu telah kehabisan stok kesabarannya. Hingga kemudian satu kalimat terucap mantap dari bibirnya, "Mari bercerai, Mas!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status