Share

Siapa kalian?

"Kamu pikir, tanpaku kamu bisa apa?" Usai mendengar permintaan cerai dari Ela, Pram sempat tertegun. Namun, hal itu tak berlangsung lama, sebab setelahnya pria itu justru tertawa lebar tanpa dosa. "Jika bukan karena aku, kamu sudah menjadi bangkai di sungai!"

Bangkai? Perlahan, penggalan-penggalan ingatan masa lalu muncul di benak Ela.

Beberapa tahun lalu, ia ditemukan oleh Pram terdampar di pinggiran sungai yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk. Benturan pada kepala yang cukup parah menyebabkan semua ingatannya hilang.

Satu hal yang ia ingat hanyalah nama panggilannya saja, Ela, tak ada yang lain. Karena minimnya akses desa ke fasilitas kesehatan, Ela hanya mendapat perawatan seadanya dari Pram.

Perlakuan Pram di mata Ela, juga rasa hutang budi itulah yang akhirnya membuat Ela setuju untuk menikah dengan lelaki tersebut.

'Kalau aku boleh memilih, aku lebih baik mati saat itu dibanding bertemu denganmu di sini!' Ela menahan balasan penuh rasa muak itu di dalam hati.

"Kamu pikir, setelah bercerai aku akan meninggalkan tempat ini? Jangan harap! Ini rumahku, jika ingin bercerai, kamu saja yang pergi!"

Ela tertawa kecil, "Kamu menyebut ini rumah? Bahkan disebut kandang bebek saja ini tidak pantas!"

"Apa maksudmu?!" Kilat amarah mulai muncul dari mata Pram yang memicing.

"Apa masih kurang jelas?" Kemudian, Ela mengeja kalimat untuk memperjelas ucapannya dengan tersenyum lebar, "Bebek saja tidak ingin tinggal di tempat ini."

Setelah mengeluarkan unek-uneknya, rasa puas dirasakan Ela. Emosinya yang tertahan dan membuatnya sesak tadi serasa terangkat dari dada.

Pria bertubuh kurus nan tinggi itu mengepalkan kuat kedua tangannya, menatap Ela dengan penuh amarah. Urat-urat halus bahkan menyembul keluar dari bawah kulit lehernya.

Ela tahu, pria itu tengah marah.

Pram beranjak pergi memasuki dapur dengan langkah kasar. Ela mengerutkan dahi, tetapi detik berikutnya ia mulai bersikap waspada.

Nalurinya menyuruh untuk berlari, sebab Pram bisa saja melukainya ... Atau membunuhnya saat ini.

Akhirnya, menuruti naluri tersebut ... Ela berlari sekuat mungkin. Meski kakinya terus berdenyut, ia tak menghentikan langkah cepatnya. Ketakutan membuat Ela tak lagi berpikir ... Ke mana jalan setapak yang ia pijak ini akan membawanya?

Sesekali, matanya terus menatap ke belakang, berjaga-jaga jika Pram mengejarnya. Kerikil kecil tak henti menusuki kaki yang menapaki jalanan tanpa alas. Tak dipedulikannya darah yang terus mengucur dari kedua telapak kaki.

Namun, karena sebuah batu besar, Ela tiba-tiba kehilangan keseimbangannya. Ia terjatuh dan tersungkur di atas rerumputan kering. "Akh!" pekiknya.

Tak lama, sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapannya. Seorang pria paruh baya keluar dari kursi kemudi, menghampirinya dengan wajah panik. "Mari saya bantu, Nona."

Ela menatap uluran tangan dari pria itu dan mengerjapkan matanya saat mengenali siapa pria ini. 'Pria ini lagi?'

Pria itu adalah pria yang bersama si pria bertopeng, yang mendorong kursi roda. Lantas, di manakah pria yang duduk di kursi roda malam itu?

Ela mengedarkan pandangannya menuju kaca jendela mobil yang sedikit terbuka. Dan benar saja, pria itu sedang memperhatikannya dari sana.

Dengan tubuh luluh lantak yang hampir mati rasa. Ela memaksa kakinya beranjak. Ia meraih uluran tangan dari pria paruh baya bermata sipit itu dengan tertatih, menahan sakit.

"Nona, Anda terluka. Mari ikut saya, saya akan mengobati luka Anda."

Ela tetap bergeming. Selain merasakan rasa nyeri yang perlahan menjalar ke sekujur tubuhnya, keraguan dalam hati pun kini mulai ia rasakan.

Seolah mengerti ketakutan Ela, pria paruh baya itu kembali berbicara, "Jangan takut, Nona. Kami bukan orang jahat."

Kalimat itu seketika membuat hati Ela tergerak. Ia tertunduk sejenak dengan tersenyum getir. "Terima kasih, Tuan. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Anda."

Sosok pria asing itu hanya tersenyum tipis sebelum perlahan menuntunnya ke dalam mobil mewah berwarna silver.

Kegelisahan panjang mulai menyelimuti. Terlebih, kala tatapan mata dari pria bertopeng yang duduk di sampingnya tak berpaling sedikit pun dari kakinya.

"Apa itu sakit?"

Kendati berpikir pria bertopeng itu hanya berbasa-basi, Ela menggeleng cepat sembari tersenyum canggung. "Tidak terlalu," ucapnya dengan wajah tertunduk. Kedua tangannya meremas kuat ujung gamis lusuh yang telah berlumuran lumpur.

Oh, tidak, Ela melupakan sesuatu. Tubuhnya jelas-jelas telah mengotori mobil itu. Rasa tak enak hati kini dirasakan oleh wanita malang itu.

"Tu-tuan, maaf jika tubuh saya mengotori mobil Anda. Saya berjanji akan membersihkannya nanti," ucap Ela dengan sedikit tergagap. Kedua manik matanya menatap ragu pada tubuh atletis pria di sampingnya.

Dengan sekali pandang saja, Ela sudah tahu ... jika pria bertopeng ini adalah majikan dari pria paruh baya yang menolongnya tadi.

Pria itu sedikit menahan tawa, "Tidak perlu repot-repot."

Ela hanya tersenyum tipis, tak mendengar lebih jauh apa yang pria bertopeng itu ucapkan. Andai saja Ela mendengar, mungkin kerutan di dahilah yang muncul di wajahnya saat ini. Telinganya hanya menangkap penggalan kalimat 'Tidak perlu repot-repot', untuk itu ... Ela tersenyum.

Hingga hampir satu jam berlalu, mobil itu kini mulai meninggalkan kesunyian desa dan membelah keramaian kota. Sampai di suatu perumahan mewah, mobil tersebut berbelok dan memasuki halaman luas sebuah rumah yang layak disebut sebagai istana.

Pandangan Ela terkagum-kagum dengan bangunan itu, hingga membuatnya tak sadar jika pintu di sebelahnya telah terbuka lebar.

"Silakan, Nona." Ucapan sang sopir paruh baya menyentak Ela.

"I-iya."

Telapak kakinya yang masih mengeluarkan darah, ia paksa beranjak menapaki carport rumah itu.

Usai membantu sang majikan turun dan kembali menaiki kursi rodanya, pria itu mempersilahkan Ela untuk mengekor di belakang tubuhnya. "Mari ikuti saya, Nona."

Ela kembali beranjak. Kegelisahan kembali menghampiri, saat beberapa pasang mata dari penjaga yang berada di luar rumah itu nampak memperhatikannya dengan saksama.

Ia menunduk, menyembunyikan rasa malu. Sikap rendah dirinya kembali datang.

Sampai di depan lantai marmer bercorak emas, langkahnya terhenti. Ia menatap lama pada lantai tersebut.

Ela berpikir, jika ia menginjaknya, jelas akan mengotori lantai dengan darah yang tak henti mengucur dari telapak kakinya. Dan itu mungkin akan membuat si pemilik marah.

"Nona, ada apa?"

Pria paruh baya yang semula berjalan di depannya itu kembali menghampiri Ela yang terdiam.

Ia mendongak, lalu tersenyum getir menatap pria tersebut. "Saya menunggu di sini saja, Tuan."

Kedua pria itu terlihat menaikkan kedua alisnya. Sorot matanya menatap Ela dengan penuh tanda tanya. "Kenapa?"

Ela kembali tertunduk lesu. Kedua tangannya tak henti memilin ujung gamis lusuhnya. "Tubuh saya kotor. Saya takut akan mengotori lantai rumah Anda."

Helaan napas panjang terdengar begitu jelas sebelum terdengar sambaran dari si pria bertopeng. "Masuklah! Ini rumahmu, tidak akan ada yang berani memarahimu."

Tatapan matanya begitu teduh dan menenangkan.

Memakai topeng saja masih memperlihatkan ketampanan yang luar biasa, bagaimana jika topeng itu sampai dilepas? Ela tak sanggup membayangkan itu.

Ela tertegun dengan mata membulat. Mungkinkah pendengarannya bermasalah? Bisa-bisanya dia mendengar 'Rumahku' berubah menjadi 'Rumahmu' saat sampai di telinganya.

Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu lantas mengangguk pelan. Kakinya mulai beranjak seraya berjinjit, berusaha meminimalisir kotoran yang akan menempel pada lantai itu.

Langkahnya berusaha mengimbangi kedua pria yang melangkah cepat menuju sebuah ruangan. Hingga di depan sebuah sofa berwarna lembut, pria itu menghentikan langkahnya. "Tunggulah sebentar di sini, Nona. Saya akan memanggil pemilik rumah," ucap sopan pria paruh baya sebelum meninggalkan Ela sendirian di sana.

Pandangan mata wanita itu mulai mengedar, mengagumi setiap inci dari ruangan mewah itu. Matanya terpejam untuk sesaat, menghirup dinginnya udara yang berasal dari AC yang menyala. Segar sekali.

Dalam sekejap, pandangan itu tertuju pada sofa panjang berwarna coklat muda. "Bagus sekali ... kapan aku bisa memiliki sofa seperti ini di ruang tamuku?" gumamnya lirih dengan terkagum-kagum. Tangannya tak mampu ia tahan untuk tidak menyentuhnya, hingga goresan noda tak sengaja ia torehkan di sana.

'Astaga! Aku tidak sengaja mengotorinya. Bagaimana ini?!'

Kebingungan hebat kian ia rasakan dalam hati. Kedua tangannya bersusah payah menghapus noda tersebut dengan gamis lusuhnya.

"Nona! Apa yang sedang Anda lakukan?"

Kalimat lantang yang terdengar seketika membuat tubuh Ela tersentak. Ketakutan hebat mulai kembali ia rasakan.

Seorang wanita paruh baya nampak berjalan cepat, membuat Ela seketika mundur beberapa langkah.

"Ma-maafkan saya, Nyonya. Saya akan membersihkannya nanti."

Ela menunjuk bekas noda yang tak kunjung berhasil ia hilangkan dengan gamis lusuhnya. Tubuhnya sedikit ia bungkukkan untuk menunjukkan rasa bersalahnya.

"No-nona Ela?!" Kedua tangan wanita paruh baya itu membungkam mulut, seolah tak percaya dengan apa yang terlihat di depan matanya. "Benarkah ini Anda?"

'Wanita ini ... mengenalku?'

Ela? Itu memang namanya. Namun, siapakah wanita ini? Apakah ada hubungannya dengan ingatan Ela di masa lalu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status