Share

Siapa Darren?

"Tahanlah, ini hanya sakit sedikit saja," ucap Daren sebelum menusukkan jarum.

Ela yang kini memejamkan matanya erat tanpa sadar mencengkeram kuat lengan Darren hingga memerah.

Kerutan di dahi menunjukkan jika Ela saat ini benar-benar menahan ketakutannya.

"Sudah."

Satu kata itu membuat Ela sontak membuka mata. Dan mendapati tangannya yang telah membuat lengan dokter muda itu memerah hingga mengeluarkan sedikit darah.

"Ma-maafkan saya. Saya benar-benar tidak sengaja melakukannya, Dok."

Ela sedikit membungkukkan tubuhnya dalam sekejap untuk menunjukkan rasa bersalahnya. Sorot penuh penyesalan terlihat jelas kala kedua mata Ela dan Darren bertemu.

Namun yang terjadi dengan Darren malah ....

"Kamu sedang meminta maaf padaku?" tanyanya kebingungan dengan wajah terperangah.

Ela pun sontak terdiam membisu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dokter muda itu? Bukankah wajar jika orang yang melakukan kesalahan akan meminta maaf? Kepala Ela kini kembali dipenuhi tanda tanya.

Darren tersenyum lebar untuk sekilas. Kedua tangannya kembali mengambil plaster luka untuk direkatkan di bagian jarum pada punggung tangan Ela, agar tidak membuat jarumnya bergeser saat Ela banyak bergerak.

"Kamu tahu, Ela? Dulunya kamu adalah seorang wanita yang kasar dan tidak memiliki sopan santun sama sekali," ucap Darren dengan helaan nafas panjang. Kepalanya menggeleng pelan, seolah tengah menyayangkan perilaku tersebut.

"Jangankan meminta maaf pada orang lain. Bahkan saat melakukan kesalahan pun kamu tidak ingin mengakuinya," imbuhnya dengan tangan yang masih sibuk dengan peralatan medis.

Ela pun sontak tercengang dengan satu tangan meremas kuat seprei berwarna kelabu yang tengah Ela duduki.

Amarah yang tak bisa dijelaskan dari mana asalnya mendadak menghampiri. Ela pun kebingungan mengartikan perasaannya sendiri saat ini.

'Apakah aku dulu benar-benar bersikap seperti itu?'

Ela tak dapat mengingat apa pun untuk saat ini. Bahkan gambar acak yang sebelumnya muncul perlahan dalam ingatannya kini menghilang dalam sekejap.

"Sudahlah, Darren. Jangan memberatkan Ela dengan ingatan masa lalu yang sama sekali belum dia ingat," timpal Matthew yang ikut menyahut saat melihat sang putri tengah terpojok.

Matthew tak ingin sedikit pun membantah tuduhan yang memang benar adanya. Mengingat salah satu asisten pribadinya saja melakukan resign saat Ela mencoba membuat masalah dengannya di masa lalu.

Dan Matthew mengakui, jika sikap Ela sekarang dan dulu benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat.

"Maafkan saya, Om Matthew. Saya tidak bermaksud apa-apa. Hanya terkejut dengan permintaan maaf dari Ela, dan tak ada maksud lain," terang Darren, sang dokter muda.

Matthew tersenyum kecil untuk sekilas. Menatap lembut pada wajah tampan pemuda yang tengah sibuk menuliskan sesuatu dengan bulpoin merahnya. "Tidak apa-apa. Om berharap kamu bisa memulihkan kondisi Ela secepatnya, agar pernikahannya dengan Deo bisa secepatnya dilangsungkan."

Lagi. Kalimat pernikahan itu kembali diucapkan. Sepenting itukah pernikahan itu bagi keluarga ini?

Ela tak dapat melakukan apa pun selain meremas kuat ujung selimutnya dengan satu tangan. Perasaan dongkol mendadak menghampiri. Membuat mata wanita itu terpejam erat menahan kekesalan dalam hati. Kembalinya dirinya kali ini sepertinya hanya untuk pernikahan itu.

Sementara Darren nampak kehilangan ekspresi untuk sesaat. Tatapan datarnya memperhatikan tulisannya dengan seksama. Namun sadar atau tidak, tangannya tengah meremas kuat bulpoin merah yang berada di genggaman tangannya.

Amarah yang tak berdasar kembali menghampiri pemuda berusia dua puluh tiga tahun itu, tatkala kata pernikahan dan nama Deo disebut di depannya.

"Pemeriksaannya sudah selesai dilakukan, Om. Ini adalah resep vitamin untuk Ela. Saya sudah menuliskan beserta dosisnya yang harus diminum setiap hari." Darren mengulurkan secarik kertas berwarna putih yang memperlihatkan goresan dari tinta merah kepada Matthew yang langsung menerimanya.

"Terima kasih banyak, Darren. Kamu sudah menyempatkan waktu ditengah-tengah kesibukanmu untuk Ela." Matthew tersenyum lebar ke arah Darren, yang seketika membalasnya dengan senyuman sopan dan anggukan kecil untuk sesaat.

"Tidak masalah, Om. Itu memang sudah seharusnya saya lakukan."

Darren mulai menenteng tas koper besar berwarna hitam yang berisi berbagai peralatan medis. "Kalau begitu saya pamit, Om. Om Matthew bisa melepas infusnya saat cairan dalam botol infus sudah habis," pamit Darren kemudian.

"Ya, hati-hati di jalan."

Kini pemuda itu pergi berlalu begitu saja, sesaat setelah mencium punggung tangan Matthew yang merupakan teman dari ayahnya. Tanpa berpamitan pada Ela yang masih menatap punggungnya dari kejauhan.

Perasaan aneh kembali menghampiri Ela saat tak mendapatkan kata pamit dari sosok pemuda yang baru ditemuinya hari ini.

Seperti rasa kecewa dan dongkol yang bercampur menjadi satu. Bahkan detak jantungnya kembali berdegup kencang. Tak beraturan. Namun Ela masih merasa kebingungan mengartikan perasaannya sendiri.

'Sebanarnya apa yang terjadi denganku? Apakah ini salah satu pertanda serangan jantung'

Ela memegangi dadanya yang terasa berdenyut nyeri. Hingga sekelebat bayangan wajah seorang pria terlintas begitu saja dalam ingatannya tanpa sebab.

Mata Ela yang sebelumnya terpejam mendadak terbelalak sempurna. Ketakutan yang tidak berdasar kembali menyelimuti hati saat wajah pria itu mulai sedikit terlihat jelas.

'S-siapa pria yang baru muncul dalam kepalaku?!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status