'Aku akhirnya mengingat Deo'
"Ela!" teriak seorang pria dengan wajah penuh darah dari arah kursi kemudi mobil yang telah ringsek. Kakinya yang terjepit body mobil tak mampu membuatnya beranjak untuk mengejar Ela yang tengah diseret oleh seseorang pergi menjauh.Terlihat tubuh pria yang diduga Deo itu, telah lunglai tak bertenaga, dengan darah segar yang mengucur dari beberapa bagian tubuhnya, masih mencoba mengulurkan tangannya ke arah Ela yang semakin diseret menjauh.'Deo, benarkah itu kamu?'Tubuh Ela yang tak sepenuhnya kehilangan kesadaran itu menatap seorang pria bertubuh tambun. Sebagian wajahnya tertutupi oleh masker berwarna hitam. Menyeretnya paksa di tengah-tengah hutan yang dikelilingi pepohonan lebat.Meski masih memiliki sedikit kesadaran, namun Ela tak memiliki sedikit pun tenaga untuk melawan.Tubuh lemah Ela terus diseret paksa hingga menyebabkan banyaknya luka gores, yang disebabkan oleh semak belukar yang diterobos pria itu begitu saja.Setelah di rasa telah membawa Ela cukup jauh dari tempat semula. Tubuh Ela dihempaskan kasar oleh pria itu di belakang sebuah gubuk tua.Terdengar sedikit percakapan yang samar-samar ditangkap oleh indra pendengarannya."Sembunyikan dia!""Baik!"Sebuah sahutan dari suara bariton terdengar tidak asing dari pendengarannya. Hingga membuat Ela mengerinyitkan dahi. 'Kenapa terdengar seperti suara milik ... Mas Pram?'Detik berikutnya. Pria bertubuh tambun itu mulai mengangkat sebuah balok kayu berukuran besar. Menatap Ela dengan tatapan penuh amarah."Dengan menghilangnya ingatanmu, maka semakin mudah aku menjalankan rencanaku! Hahaha ...!" Kedua tangan pria itu pada akhirnya mengayunkan kasar balok kayu, hingga hendak mengenai kepala Ela."Tidak!"Dengan nafas terengah, Ela langsung terduduk saat matanya kembali terbuka. "Hah ... hah ... apakah itu mimpi?"Wanita cantik itu seketika mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling. Mendapati berbagai perabot kamar yang terlihat senada dengan cat dinding di ruangan itu. Bahkan gamis lusuhnya kini telah berganti menjadi sebuah piyama tidur berwarna biru telur asin.Embusan nafas berat terdengar sebelum wanita itu mengusap kasar wajahnya. Bayangan-bayangan akan mimpi itu terus berputar layaknya video pendek yang terus berulang dalam kepalanya."Kenapa aku bisa bermimpi seperti itu, ya Tuhan ...!" Ela mencoba mengatur nafasnya yang menderu tidak beraturan. Degup jantungnya berpacu layaknya genderang perang.Hingga sesaat kemudian. Tubuh kurus wanita itu tersentak saat suara bariton kembali memanggil namanya, "Gabriela? Kamu sudah sadar, Nak?"Matthew terlihat baru memasuki ruangan setelah membuka pintu kamar. Namun, tunggu dulu. Pria bertubuh tambun itu tidak sendirian. Seorang pria muda dengan balutan jas berwarna putih nampak mengekor di belakang tubuhnya. Stetoskop tergantung pada lehernya, memperlihatkan statusnya sebagai seorang dokter dengan begitu jelas."Darren, tolong periksa kondisi Ela. Om khawatir sekali dengan keadaannya," pinta Matthew pada seorang pemuda tampan yang terlihat seumuran dengan Ela."Baik, Om." Pria yang diduga bernama Darren itu sontak mendekat ke arah Ela yang masih terduduk di atas tempat tidurnya.Tatapan waspada Ela layangkan pada pemuda itu tanpa alasan yang jelas. Setelah mengalami mimpi buruk yang sangat membekas dalam ingatan, membuatnya kini merasa takut untuk menghadapi orang asing."Gabriela, bagaimana kabarmu?" sapa pemuda itu sesaat setelah meletakkan ujung stetoskop di bagian dada Ela.Ela dibuat mengerinyitkan dahi, kala mendengar sapaan akrab yang ditujukan padanya."Ah, aku lupa. Apakah kamu tidak mengenaliku sekarang?"Lagi. Ela kembali dihadapkan dengan orang asing yang mengaku kenal akrab dengannya.Namun hal itu mampu membuat gambar-gambar acak mulai kembali muncul dalam kepalanya.Gambar itu terus menunjukkan sesosok pria yang memiliki postur tubuh mirip dengan Deo, namun wajahnya terlihat samar. Tak mampu Ela kenali.Tak kunjung mendapatkan respon dari Ela, pria tampan bernama Darren itu seketika tersenyum kecil, seolah tengah mencoba untuk mengerti kondisi sahabat kecilnya saat ini. "Sudahlah, suatu saat nanti kamu juga akan mengingatku," ucap Darren pada akhirnya."Tolong dimaklumi, Darren. Ela masih belum bisa mengingat siapa pun saat ini," jelas Matthew yang ikut menyahut. Pria bertubuh tambun itu tersenyum sungkan pada Darren yang terlihat tersenyum tipis."Tidak apa-apa, Om, Darren mengerti."Namun Ela masih tidak merespon apa pun. Bayangan-bayangan dalam mimpi itu seolah membuatnya trauma. Terus terngiang-ngiang dalam ingatannya.Setelah mengecek tekanan darah dan denyut jantung. Darren mulai menyimpulkan kondisi Ela menurut pemeriksaannya. "Ela dalam kondisi dehidrasi, kelelahan dan kekurangan asupan gizi, Om. Sebaiknya Anda fokuskan memberinya makanan bergizi dan minuman yang cukup. Itu akan membuat tubuhnya perlahan memulihkan ingatan dengan sendirinya."Darren mulai mengambil sesuatu dari sebuah tas berwarna hitam yang sebelumnya ia bawa."Untuk sementara ini, saya akan menggunakan infus untuk meringankan kondisi dehidrasi yang dialami Ela. Berikutnya, Anda bisa memberinya resep vitamin yang akan saya berikan setelah ini," imbuhnya seraya mengambil peralatan infus dari dalam tas besarnya.Tanpa sebab yang jelas, tubuh Ela mulai meringsut saat melihat jarum infus yang tengah dipegang oleh Darren."Tenanglah, Ela. Aku tahu sejak kecil kamu takut dengan jarum suntik. Sekarang, coba pejamkan matamu, ini hanya akan sakit sedikit saja," ucap Darren lembut. Tatapan teduhnya terasa begitu menenangkan.Namun tidak begitu untuk Ela. Wanita itu sontak tercekat saat Darren mengetahui ketakutannya.'Apakah pria ini benar-benar mengenalku? Itu artinya, nama Gabriela Larasati benar-benar milikku?!'"Tahanlah, ini hanya sakit sedikit saja," ucap Daren sebelum menusukkan jarum.Ela yang kini memejamkan matanya erat tanpa sadar mencengkeram kuat lengan Darren hingga memerah.Kerutan di dahi menunjukkan jika Ela saat ini benar-benar menahan ketakutannya."Sudah."Satu kata itu membuat Ela sontak membuka mata. Dan mendapati tangannya yang telah membuat lengan dokter muda itu memerah hingga mengeluarkan sedikit darah."Ma-maafkan saya. Saya benar-benar tidak sengaja melakukannya, Dok."Ela sedikit membungkukkan tubuhnya dalam sekejap untuk menunjukkan rasa bersalahnya. Sorot penuh penyesalan terlihat jelas kala kedua mata Ela dan Darren bertemu.Namun yang terjadi dengan Darren malah ...."Kamu sedang meminta maaf padaku?" tanyanya kebingungan dengan wajah terperangah.Ela pun sontak terdiam membisu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dokter muda itu? Bukankah wajar jika orang yang melakukan kesalahan akan meminta maaf? Kepala Ela kini kembali dipenuhi tanda tanya.Darren tersenyum le
'Siapa pria itu?!'Ela tak berani menyimpulkan, meski bibir pria tampan tersebut sedikit mirip dengan milik Deo.Namun Ela kembali terbelalak saat telah berhasil menyusun sedikit teka-teki itu. 'Bu-bukankah pria itu adalah pria yang memanggilku di dalam mimpiku hari ini?!'Ela kembali dihantui oleh sesosok pria dengan wajah berlumuran darah yang memanggilnya dari arah kursi kemudi.Bayangan-bayangan itu membuat kepalanya terasa berdenyut nyeri. Ketakutan yang tidak berdasar membuat matanya terasa sedikit memanas. Hingga tanpa sadar mengeluarkan cairan bening dari kedua manik hitamnya."Ela? Apa yang terjadi? Apa kepalamu terasa sakit lagi?" Wajah panik Matthew, sang ayah, tak bisa ditutupi, kala melihat tubuh sang putri duduk meringkuk dengan tatapan waspada.Kedua tangan Ela mengepal kuat, hingga membuat selang infus kini berubah menjadi merah sebab darahnya mulai bercampur dengan cairan.Ketakutan luar biasa tak lagi mampu Matthew sembunyikan dari wajah keriputnya. Membuat pria beru
"Tidak apa-apa, itu hal yang cukup wajar untuk pasangan yang telah lama berpisah akhirnya bertemu," ucap Matthew dengan mengusap air mata haru yang mulai menitik dari kantung mata hitamnya.Dengan wajah tertunduk, Ela memberanikan diri melirik sekilas ke arah Deo yang ternyata tengah menatapnya dengan penuh arti.Namun saat tatapan keduanya tak sengaja saling bertemu, Ela secepatnya memalingkan wajah menahan malu.Wajah datar dengan tatapan dingin dari Deo itu tak bisa Ela artikan. Bibirnya berucap seolah tengah menahan rindu yang mendalam, tapi tatapan matanya tidak mengartikan perasaan yang sama. Apa yang sebenarnya terjadi?"Baiklah, Om Matthew. Sekarang Ela sudah baik-baik saja. Saya mohon izin pamit pulang dulu, jika besok ada waktu luang, saya akan kembali untuk menjenguk Ela," pamit Deo dengan tersenyum sopan.Wajah tampan dari balik topeng itu seketika berubah ekspresi dalam sekejap mata, setelah tatapan dinginnya. Ela menyadari hal itu, namun tak ingin terlalu mengurusi urusa
Namun tetap tak ia dapati sosok apa pun selain dirinya di dalam ruangan itu.Nampaknya, kebingungan dan kesedihan yang begitu menyiksa batinnya, membuat kepalanya memunculkan halusinasi.***Kediaman Deo Kendrick. Pukul dua dini hari.Tubuh atletis pria yang kini tengah berbaring di atas ranjang dengan bertelanjang dada, nampak mengeliat penuh kegelisahan. Matanya yang terpejam menampilkan kerutan pada kedua alisnya yang menyatu. Nampaknya mimpi buruk kembali ia alami saat ini."Gabriela! Pegangan yang erat!" teriaknya di dalam ingatan yang kembali menghantuinya setiap malam.Mobil mewah berwarna merah yang tengah ia kemudikan mendadak hilang kendali. Tanpa tahu apa sebabnya. Menabrak mobil lain yang sedang berada di dalam antrian lampu merah.Rem mobil tak berfungsi sama sekali. Bahkan kecepatannya tak sedikit pun bisa dikurangi. Deo tak tahu mengapa. Padahal dirinya yakin selalu merawat mobil kesayangannya itu dengan telaten setiap bulan.Saat itu mobil yang dikemudikannya berhasil
Oh, tidak! Deo lupa menyembunyikan luka palsu itu. Sekarang apa yang harus ia lakukan?Kebingungan hebat mulai menyertai peluh yang tak henti mengucur deras dari pelipisnya.Hingga Deo memberanikan diri menyambar cepat luka itu dan menaruhnya dalam nakas. Kemudian bersikap wajar seolah tak mendengar pertanyaan paman Louise sebelumnya."Eh? Paman Louise ada apa datang ke sini?" tanya Deo sekedar berbasa-basi untuk mengalihkan topik pembicaraan. Namun wajah paniknya tak mampu ia sembunyikan meski telah berusaha keras.Paman Louise yang telah bekerja selama puluhan tahun untuk mengabadikan diri di keluarga ini pun mencoba mengerti. Mungkin sang majikan tak ingin hal pribadinya diungkit orang lain. Meski rasa penasaran masih membuatnya beberapa kali melirik ke arah nakas yang hanya berisi satu gelas air yang telah kosong."Saya mendengar teriakkan Anda, Tuan. Saya sungguh sangat khawatir, sebab itu datang untuk memastikan," jawab paman Louise dengan wajah cemas.Namun Deo hanya diam. Kini
Sontak hal itu membuat bibi Gwen tertunduk lesu. Seolah ikut merasakan duka mendalam yang kini tengah melanda hati majikan kesayangannya."Nona, tidak perlu terlalu disesali. Cukup doakan Putri Anda setiap hari. Putri Anda juga pasti ingin Anda menjalani hidup normal seperti biasa," ucap bibi Gwen menenangkan majikannya.Ela pun mulai memejamkan matanya erat. Berusaha mati-matian meredam kesedihan yang mendalam. Deru nafas yang memburu berusaha ia atur agar kembali normal. Hingga air mata yang tadinya berjatuhan tak lagi terlihat."Terima kasih atas sarannya, Bi. Saya benar-benar beruntung memiliki orang seperti Anda dalam kehidupan saya saat ini." Ela menatap lekat manik hitam dengan kantung mata yang sedikit kendur. Tersenyum lembut. Menampakkan kesopanan yang tidak pernah terlihat di mata bibi Gwen selama ini.Sontak hal itu begitu menyejukkan kalbu. Bibi Gwen yang sejatinya adalah pengasuh kecil Ela, sangat mengetahui bagaimana perangai gadis itu semasa kecilnya. Selain tidak memi
"Lalu, untuk apa Anda bersikap sepanik itu, Bi?" tanya Ela di tengah kebingungannya."Nona, jika Anda terus bersikap seperti itu, akan membuat saya dipecat dari pekerjaan saya saat ini. Karena sebenarnya tanggung jawab mendidik Nona diserahkan kepada saya sejak Anda masih bayi, sebab kesibukan Tuan dan Nyonya yang tak bisa meninggalkan perusahaan mereka sama sekali," jelas bibi Gwen.Kini Ela mulai mengerti. Meski tak mengingat sedikit pun perihal sikapnya yang keterlaluan, namun nuraninya tetap merasa bersalah."Maafkan saya yang selalu membuat masalah untuk Anda, Bi. Sebisa mungkin, saya tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu lagi," ucap Ela menenangkan kalbu. Bibi Gwen sontak tertegun melihat sikap itu. Permintaan maaf ya begitu tulus dari dalam hati dan raut penuh penyesalan, sebelumnya tak pernah ia lihat dari majikannya yang kini berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya."Ela!" Satu teriakkan lantang dari suara bariton sontak membuat Ela dan bibi Gwen terkesiap.
Kini ruang tamu itu mendadak sunyi. Suasana mencekam terasa begitu menusuk hingga membuat tubuh rapuh wanita itu mengigil tak terkendali."Bagaimana perasaanmu saat ini? Apakah kepalamu sudah tidak terasa sakit lagi?" ucap Deo yang memulai obrolan mereka. Namun merasa enggan untuk menatap lawan bicaranya. sesekali pria itu menyeruput segelas jus jeruk yang dihidangkan oleh Ela di depannya.Sedangkan Ela yang masih berdiri di samping tubuh pria itu sontak mematung dengan wajah menegang. Meremas kuat ujung nampan dengan kedua tangannya."Sa-saya sudah baik-baik saja, Tuan," jawabnya singkat dengan wajah tertunduk. Merasa rendah diri pada Deo yang memancarkan aura luar biasa.Deo pun lantas menatap wajah Ela saat mendengar panggilan itu. Apakah masih berat untuk Ela memanggil namanya? Padahal sebelum kecelakaan itu terjadi, Ela tak merasa sungkan sedikit pun memanggilnya 'sayang' di depan kedua orang tuanya."Duduklah! Untuk apa terus berdiri di sana?""I-iya, Tuan." Mulai terlihat salah