Kediaman Pram Sebastian. Pukul sembilan pagi.Brak! Brak!Beberapa perabot dapur melayang tak tentu arah. Menjadi pelampiasan amarah yang begitu menyesakkan dada.Pria berperawakan kurus nan tinggi itu berteriak dan memekik dengan lantang. Sesekali kedua tangannya meremas kuat rambut gondrongnya frustasi."Ke mana Jalang itu pergi beberapa hari ini?! Bahkan dia tak meninggalkan uang sedikit pun untukku. Dasar Jalang tidak berguna!" hardik Pram dengan suara teriakkan lantang. Tak peduli seberapa keras suaranya yang akan didengar oleh tetangga di samping rumah. Ia tak pernah peduli.Sesaat kemudian, Pram mulai kembali beranjak membuka tudung saji yang terbuat dari anyaman bambu. Sebelum melemparkannya dan memijakkan kaki di atasnya dengan kuat."Cih! Bahkan tak ada sedikit pun makanan yang tersaji!"Pram lantas diam tak bergeming. Menatap kekacauan yang diakibatkan oleh kekesalannya sendiri."Aku lapar sekali ... sejak kemarin belum makan apa pun. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" r
'Sayangnya, aku adalah wanita yang paling dibeci oleh Deo menurut bibi Gwen. Masih bisakah aku mendapatkan perlakuan istimewa seperti itu setelah menikah nanti?'Ela kembali tertunduk. Bimbangnya hati kembali menghampiri. Membuat kepalanya mendadak berdenyut nyeri."Setelah pulang dari perusahaan besok, Papa akan membawamu pergi menemui Mama. Semoga dengan kehadiran kamu di sana, membuatnya berangsur pulih seperti sedia kala," imbuh Matthew dengan tersenyum tipis.Ingatan akan sang istri yang mengalami gangguan jiwa, sesaat setelah Ela menghilang begitu menyiksa batinnya.Tak ada yang bisa ia perbuat, selain mengantarkan sang istri untuk mendapatkan perawatan seraya melakukan pencarian terhadap sang putri yang tak memiliki jejak sama sekali.Bahkan penjelasan Deo sebagai saksi tak membuat pencarian itu kunjung membuahkan hasil.Nampaknya seorang pria bertubuh tambun yang membawa Ela kala itu bukanlah orang biasa. Namun hingga saat ini, tujuan pria itu masih menjadi misteri. Apa yang s
"Bi, apakah ini tidak terlalu berlebihan?" Ela masih tidak terlalu yakin akan penampilannya sendiri."Tenanglah, Nona Ela. Meski tidak pernah berdandan sebelumnya, saya pastikan Anda akan terlihat berbeda dengan sentuhan saya," ucap bibi Gwen dengan begitu percaya diri.Wanita paruh baya keturunan Korea itu terlihat begitu telaten dalam memoles setiap sudut wajah Ela yang tak pernah tersentuh make up sedikit pun sebelumnya.Hingga beberapa saat kemudian. Bibi Gwen menaruh alat tempurnya seraya menghela nafas panjang. "Huh ... selesai," ucapnya lega.Sementara Ela masih diam tak bergeming. Wajahnya terasa kaku seperti ada lem yang menempel di seluruh wajahnya.Entah berapa lapis bedak yang digunakan bibi Gwen untuk memoles wajahnya."Lihatlah ke cermin, Nona. Anda sekarang terlihat lebih segar," ucap bibi Gwen dengan penuh percaya diri.Mendengar kalimat itu, sontak membuat Ela menoleh ke arah cermin rias di sisi sampingnya.Dahi Ela berkerut, dengan kedua alis menyatu. Menatap pantula
Wanita cantik dengan rambut bergelombang di ujungnya membuat tampilan itu menjadi lebih menarik.Bibi Gwen seketika menggelengkan kepalanya cepat. Menepis segala kekaguman yang memenuhi otaknya. Ia tak ingin terlalu lama mengulur waktu, yang pada akhirnya akan membuat Matthew lebih kesal lagi."Anda tidak sempat sarapan, Nona. Ini Bibi bawakan bekal untuk Anda. Jangan lupa dimakan jika ada waktu senggang," ucap bibi Gwen seraya mengulurkan kotak bekal berwarna merah jambu.'Seperti anak kecil yang ingin pergi ke sekolah saja' Begitu pikir Ela. Ada rasa hangat yang menyeruak masuk begitu saja ke dalam hatinya. Seperti perhatian kecil yang selalu ia impikan sejak lama.Namun tak ingin membuat sang ayah terlalu lama menunggu. Ela akhirnya menerima kotak bekal itu, sebelum mencium punggung tangan bibi Gwen seraya berpamitan pergi, "Ela pergi dulu, ya, Bi. Assalamualaikum.""Wa-waalaikumsallam," jawab bibi Gwen terbata saat Ela telah melangkah jauh dari tempatnya semula.Tubuhnya mendadak
Kini Ela yang telah masuk ke dalam ruangan pribadi miliknya nampak tertegun. Manik hitamnya menelusuri setiap inci dari ruangan itu.Desain elegan dan corak dindingnya seolah sengaja dibuat serasi. Bahkan nama lengkapnya tertulis di atas meja tempatnya akan memulai tugas barunya."Aku tidak pernah mengira hidupku akan berubah drastis hanya dalam satu malam," gumam Ela memegangi papan namanya.Hingga suara ketukan pintu membuat hatinya terhenyak kaget. Sontak hal itu membuat tatapan Ela tertuju pada daun pintu yang mulai bergerak.Tok! Tok! Tok!Detik berikutnya, pintu mulai terbuka perlahan tanpa menunggu Ela mempersilakan seseorang dari balik pintu itu untuk masuk.Lancang sekali, bahkan seorang karyawan perusahaan bisa bersikap selancang itu. Perlukah Ela memberinya sedikit pelajaran?"Bu Gabriela, saya membutuhkan tanda tangan untuk berkas-berkas saya," ucap salah seorang wanita yang tiba-tiba masuk tanpa sedikit pun kalimat permisi. Menghampiri Ela yang masih berdiri di depan meja
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Sela dengan bibir bergetar halus.Pertanyaan itu sontak membuat Ela menatapnya setelah menaruh kembali telepon kabel di meja kerjanya."Apa kamu tuli? Tidakkah kamu mendengar maksudku dengan begitu jelas, Nona Sela?" cibir Ela yang hanya asal menebak nama panggilan itu.'Di-dia bahkan tahu namaku? Padahal aku belum bekerja di sini saat dia hilang dulu'Bulu kuduk yang berada di tengkuknya mendadak meremang. Tak tahu mengapa, hawa dingin dan suasana mencekam mulai menyelimuti dirinya saat Ela menyebut nama itu.Detik berikutnya, sebuah ketukan pintu kembali terdengar dari luar ruangan.Tok! Tok! Tok!"Masuk!" sahut Ela tanpa sedikit pun menatap ke arah daun pintu. Nampaknya dirinya sudah mengetahui siapa yang akan datang.Tak lama, daun pintu mulai terbuka. Masuklah dua orang pria bertubuh besar dengan balutan seragam hitam khas security.Sebenarnya beberapa menit yang lalu Ela sempat diam-diam menekan tombol darurat untuk meminta bantuan. Sebab it
"Baiklah, sebab suasana hati saya yang hari ini sedang baik, saya akan memberi kalian bertiga kesempatan ke dua. Dengan catatan, turun jabatan menjadi Office Boy. Jika dalam waktu satu tahun kinerja dan tata krama kalian bagus, maka saya akan mengembalikan jabatan kalian seperti semula," jelas Ela kemudian dengan ketegasan tanpa sedikit pun keraguan.Sontak hal itu membuat ketiganya terperangah dengan mata membulat sempurna. "O-office Boy?""Terserah, jika tidak mau kalian bisa segera angkat kaki dari perusahaan ini," ucap Ela acuh tak acuh dan hendak melangkah pergi. Namun langkah itu tertahan oleh tangan yang tiba-tiba memeluk kakinya."Tunggu, Bu Gabriela! Saya bersedia!" ucap salah satu dari security yang diikuti oleh security lainnya. "Saya juga bersedia."Namun tidak begitu dengan Sela. Wajah wanita itu seketika terasa panas. Gejolak amarah mendadak memenuhi hatinya. Hingga membuat kedua tangannya kembali mengepal kuat."Tidak bisa! Jangan mentang-mentang kamu Anak dari pemilik
Krukk ....Ela tertegun sejenak. Sesekali matanya melirik ke arah Deo. Barang kali pria itu mendengar bunyi perutnya yang keroncongan."Ayo makan, aku lapar," ucap Deo berinisiatif.Ela tahu, sebenarnya pria itu mendengar suara perutnya yang berontak beberapa saat yang lalu.'Ah, malunya aku ....'Ela mengigit bibir bawahnya menahan malu dan rasa lapar yang mulai bergejolak dalam perut, sebab tak sempat memakan apa pun di rumah. Untungnya, bibi Gwen sempat memberinya bekal untuk dibawa."Ayo!" ucap Deo mengulangi ajakannya, saat tak kunjung mendapati persetujuan dari Ela.Sontak hati Ela terhenyak kaget. Dan segera mendorong gagang kursi roda keluar dari dalam ruangan, dan berbelok ke arah kiri.Namun langkah Ela seketika terhenti sesaat setelah beberapa langkah keluar melewati pintu ruangannya.'Tunggu dulu! Aku tidak tahu Tuan Deo akan mengajakku makan di mana. Kenapa tanganku spontan mendorong kursinya keluar?'Ela merasa kebingungan dengan tangannya yang kembali tak dapat dikendal