Namun tetap tak ia dapati sosok apa pun selain dirinya di dalam ruangan itu.
Nampaknya, kebingungan dan kesedihan yang begitu menyiksa batinnya, membuat kepalanya memunculkan halusinasi.***Kediaman Deo Kendrick. Pukul dua dini hari.Tubuh atletis pria yang kini tengah berbaring di atas ranjang dengan bertelanjang dada, nampak mengeliat penuh kegelisahan. Matanya yang terpejam menampilkan kerutan pada kedua alisnya yang menyatu. Nampaknya mimpi buruk kembali ia alami saat ini."Gabriela! Pegangan yang erat!" teriaknya di dalam ingatan yang kembali menghantuinya setiap malam.Mobil mewah berwarna merah yang tengah ia kemudikan mendadak hilang kendali. Tanpa tahu apa sebabnya. Menabrak mobil lain yang sedang berada di dalam antrian lampu merah.Rem mobil tak berfungsi sama sekali. Bahkan kecepatannya tak sedikit pun bisa dikurangi. Deo tak tahu mengapa. Padahal dirinya yakin selalu merawat mobil kesayangannya itu dengan telaten setiap bulan.Saat itu mobil yang dikemudikannya berhasil berhenti saat menabrak mobil lain yang berada di depan mereka. Namun posisi mereka sedikit tidak tepat. Di ujung jurang yang terlihat begitu curam. Bebatuan tajam nampak menyembul keluar dari dinding-dinding tanah di sekitarnya."Kamu tidak apa-apa, Ela?" tanya Deo khawatir dengan deru nafas yang mulai tidak beraturan."Tidak, ayo cepat turun dari sini!" ucap Ela seraya meraih gagang pintu mobil.Namun belum sempat pintu itu terbuka. Sebuah mobil berwarna silver yang tidak diketahui dari mana asalnya, menabrak mobil mereka dari arah belakang dengan keras.Brak!Suara benturan keras dari dua benda itu membuat seluruh pandangan tertuju pada satu titik. Diiringi suara teriakan dari beberapa orang yang ikut menyaksikan tanpa bisa berbuat banyak."Ela ...!" Deo akhirnya terbangun dari tidurnya. Terduduk cepat dengan nafas memburu hebat."Astaga, mimpi ini lagi?" Pria tampan tanpa balutan topeng itu mengusap kasar wajahnya. Keringat sebesar biji jagung terlihat bergantian mengucur dari pelipisnya.Lagi. Malam ini terjadi lagi. Malam yang selalu dihantui oleh bayangan masa lalu yang tidak bisa ia tebus. Di mana saat itu Ela menghilang di bawa seseorang tepat di depan matanya. Dan parahnya, saat itu Deo tak mampu berbuat banyak. Kedua kakinya yang terjepit bodi mobil yang ringsek membuatnya tak bisa berkutik sedikit pun. Beruntungnya dirinya berhasil terpental, sesaat sebelum mobilnya meledak dan hangus terbakar.Pria itu mulai mengulurkan tangan ke arah nakas untuk mengambil air putih yang sebelumnya memang ia siapkan untuk situasi ini. Dan dengan cepat meneguknya habis.Setiap malam dirinya harus terbangun di jam-jam dini hari setelah dihantui oleh mimpi buruknya."Lengket sekali," gumam Deo saat tak sengaja menyentuh bekas luka melepuh di area matanya.Keringat yang tak henti mengucur membuat luka palsu itu terasa tidak nyaman. Dan pada akhirnya Deo pun melepasnya dengan cepat."Ini sudah malam, tidak akan ada orang yang pergi ke kamarku," imbuhnya berbicara dengan diri sendiri.Ya, sebenarnya luka Deo pada wajah dan kaki hanya sebuah siasat, untuk mempermudah dirinya mencari dalang dibalik kecelakaan yang menimpanya tanpa sebab yang jelas.Jika diamati lebih dalam, kecelakaan itu terlihat begitu ganjil. Seperti sebuah rencana yang dirancang oleh seseorang untuk mencelakainya atau Ela yang saat itu hampir melaksanakan pernikahan."Ya Tuhan ... sekarang Ela sudah kembali pulang ke rumah, tapi kenapa mimpi itu terus datang menghantuiku?!" gumam Deo merasa frustasi. Kedua tangannya meremas kuat rambutnya yang sedikit ikal.Sebenarnya dulu yang ditunjuk dalam perjodohan itu adalah Ela dan Darren. Namun Ela yang menyukai Deo, bersikukuh untuk menukar perjodohan itu. Ela mengancam akan membatalkan perjodohan jika Deo tidak mau menikah dengannya.Dan pada akhirnya, Deo yang telah memiliki pacar saat itu terpaksa harus berpisah dengan sang kekasih untuk menerima perjodohan yang direncanakan oleh keluarga besarnya.Ela yang selalu seenaknya dan tidak mau menghormati keputusan orang lain, membuat Deo membenci Ela atas sikapnya yang keterlaluan.Tok! Tok!"Tuan, apa Anda baik-baik saja?"Suara berat dibarengi dengan ketukan pintu yang beriringan terdengar lantang dari arah luar.Deo yang mulai panik akhirnya menyambar cepat topengnya yang teronggok di atas nakas, dan mulai mengenakannya tanpa luka palsu yang sebelumnya ia lepas."Em ... saya tidak apa-apa, Paman Louise. Jangan khawatir," ucap Deo setengah berteriak, untuk memperjelas kalimatnya yang mungkin tak terdengar oleh paman Louise yang masih berdiri di depan pintu tanpa membukanya."Bolehkah saya masuk, Tuan Deo?" tanya paman Louise yang masih khawatir akan keadaan sang majikan, setelah mendengar teriakkan dari Deo sesaat setelah terbangun dari mimpi buruknya."Masuklah, pintunya tidak dikunci," jawab Deo sopan.Detik berikutnya, pintu kamar mulai terbuka lebar. Nampak raut penuh kecemasan terlihat jelas dari wajah keriput pria paruh baya, yang telah menginjak usia lima puluh tahun.Deo berusaha bersikap wajar. Ia tak ingin paman Louise mampu membaca kepanikannya yang saat ini ia sembunyikan.Paman Louise berjalan cepat mendekat. Matanya tak sengaja melirik sekilas ke arah nakas.Niat awal untuk memastikan minuman sang majikan sudah tersedia. Pria paruh baya itu malah mendapati sebuah benda mirip kulit sintetis berwarna bening teronggok di samping gelas minum yang telah kosong.Hingga detik berikutnya, paman Louise memberanikan diri untuk bertanya seiring rasa penasarannya mulai menjadi. "Tuan, benda apa ini?"Oh, tidak! Deo lupa menyembunyikan luka palsu itu. Sekarang apa yang harus ia lakukan?Kebingungan hebat mulai menyertai peluh yang tak henti mengucur deras dari pelipisnya.Hingga Deo memberanikan diri menyambar cepat luka itu dan menaruhnya dalam nakas. Kemudian bersikap wajar seolah tak mendengar pertanyaan paman Louise sebelumnya."Eh? Paman Louise ada apa datang ke sini?" tanya Deo sekedar berbasa-basi untuk mengalihkan topik pembicaraan. Namun wajah paniknya tak mampu ia sembunyikan meski telah berusaha keras.Paman Louise yang telah bekerja selama puluhan tahun untuk mengabadikan diri di keluarga ini pun mencoba mengerti. Mungkin sang majikan tak ingin hal pribadinya diungkit orang lain. Meski rasa penasaran masih membuatnya beberapa kali melirik ke arah nakas yang hanya berisi satu gelas air yang telah kosong."Saya mendengar teriakkan Anda, Tuan. Saya sungguh sangat khawatir, sebab itu datang untuk memastikan," jawab paman Louise dengan wajah cemas.Namun Deo hanya diam. Kini
Sontak hal itu membuat bibi Gwen tertunduk lesu. Seolah ikut merasakan duka mendalam yang kini tengah melanda hati majikan kesayangannya."Nona, tidak perlu terlalu disesali. Cukup doakan Putri Anda setiap hari. Putri Anda juga pasti ingin Anda menjalani hidup normal seperti biasa," ucap bibi Gwen menenangkan majikannya.Ela pun mulai memejamkan matanya erat. Berusaha mati-matian meredam kesedihan yang mendalam. Deru nafas yang memburu berusaha ia atur agar kembali normal. Hingga air mata yang tadinya berjatuhan tak lagi terlihat."Terima kasih atas sarannya, Bi. Saya benar-benar beruntung memiliki orang seperti Anda dalam kehidupan saya saat ini." Ela menatap lekat manik hitam dengan kantung mata yang sedikit kendur. Tersenyum lembut. Menampakkan kesopanan yang tidak pernah terlihat di mata bibi Gwen selama ini.Sontak hal itu begitu menyejukkan kalbu. Bibi Gwen yang sejatinya adalah pengasuh kecil Ela, sangat mengetahui bagaimana perangai gadis itu semasa kecilnya. Selain tidak memi
"Lalu, untuk apa Anda bersikap sepanik itu, Bi?" tanya Ela di tengah kebingungannya."Nona, jika Anda terus bersikap seperti itu, akan membuat saya dipecat dari pekerjaan saya saat ini. Karena sebenarnya tanggung jawab mendidik Nona diserahkan kepada saya sejak Anda masih bayi, sebab kesibukan Tuan dan Nyonya yang tak bisa meninggalkan perusahaan mereka sama sekali," jelas bibi Gwen.Kini Ela mulai mengerti. Meski tak mengingat sedikit pun perihal sikapnya yang keterlaluan, namun nuraninya tetap merasa bersalah."Maafkan saya yang selalu membuat masalah untuk Anda, Bi. Sebisa mungkin, saya tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu lagi," ucap Ela menenangkan kalbu. Bibi Gwen sontak tertegun melihat sikap itu. Permintaan maaf ya begitu tulus dari dalam hati dan raut penuh penyesalan, sebelumnya tak pernah ia lihat dari majikannya yang kini berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya."Ela!" Satu teriakkan lantang dari suara bariton sontak membuat Ela dan bibi Gwen terkesiap.
Kini ruang tamu itu mendadak sunyi. Suasana mencekam terasa begitu menusuk hingga membuat tubuh rapuh wanita itu mengigil tak terkendali."Bagaimana perasaanmu saat ini? Apakah kepalamu sudah tidak terasa sakit lagi?" ucap Deo yang memulai obrolan mereka. Namun merasa enggan untuk menatap lawan bicaranya. sesekali pria itu menyeruput segelas jus jeruk yang dihidangkan oleh Ela di depannya.Sedangkan Ela yang masih berdiri di samping tubuh pria itu sontak mematung dengan wajah menegang. Meremas kuat ujung nampan dengan kedua tangannya."Sa-saya sudah baik-baik saja, Tuan," jawabnya singkat dengan wajah tertunduk. Merasa rendah diri pada Deo yang memancarkan aura luar biasa.Deo pun lantas menatap wajah Ela saat mendengar panggilan itu. Apakah masih berat untuk Ela memanggil namanya? Padahal sebelum kecelakaan itu terjadi, Ela tak merasa sungkan sedikit pun memanggilnya 'sayang' di depan kedua orang tuanya."Duduklah! Untuk apa terus berdiri di sana?""I-iya, Tuan." Mulai terlihat salah
Kediaman Pram Sebastian. Pukul sembilan pagi.Brak! Brak!Beberapa perabot dapur melayang tak tentu arah. Menjadi pelampiasan amarah yang begitu menyesakkan dada.Pria berperawakan kurus nan tinggi itu berteriak dan memekik dengan lantang. Sesekali kedua tangannya meremas kuat rambut gondrongnya frustasi."Ke mana Jalang itu pergi beberapa hari ini?! Bahkan dia tak meninggalkan uang sedikit pun untukku. Dasar Jalang tidak berguna!" hardik Pram dengan suara teriakkan lantang. Tak peduli seberapa keras suaranya yang akan didengar oleh tetangga di samping rumah. Ia tak pernah peduli.Sesaat kemudian, Pram mulai kembali beranjak membuka tudung saji yang terbuat dari anyaman bambu. Sebelum melemparkannya dan memijakkan kaki di atasnya dengan kuat."Cih! Bahkan tak ada sedikit pun makanan yang tersaji!"Pram lantas diam tak bergeming. Menatap kekacauan yang diakibatkan oleh kekesalannya sendiri."Aku lapar sekali ... sejak kemarin belum makan apa pun. Apa yang harus aku lakukan sekarang?" r
'Sayangnya, aku adalah wanita yang paling dibeci oleh Deo menurut bibi Gwen. Masih bisakah aku mendapatkan perlakuan istimewa seperti itu setelah menikah nanti?'Ela kembali tertunduk. Bimbangnya hati kembali menghampiri. Membuat kepalanya mendadak berdenyut nyeri."Setelah pulang dari perusahaan besok, Papa akan membawamu pergi menemui Mama. Semoga dengan kehadiran kamu di sana, membuatnya berangsur pulih seperti sedia kala," imbuh Matthew dengan tersenyum tipis.Ingatan akan sang istri yang mengalami gangguan jiwa, sesaat setelah Ela menghilang begitu menyiksa batinnya.Tak ada yang bisa ia perbuat, selain mengantarkan sang istri untuk mendapatkan perawatan seraya melakukan pencarian terhadap sang putri yang tak memiliki jejak sama sekali.Bahkan penjelasan Deo sebagai saksi tak membuat pencarian itu kunjung membuahkan hasil.Nampaknya seorang pria bertubuh tambun yang membawa Ela kala itu bukanlah orang biasa. Namun hingga saat ini, tujuan pria itu masih menjadi misteri. Apa yang s
"Bi, apakah ini tidak terlalu berlebihan?" Ela masih tidak terlalu yakin akan penampilannya sendiri."Tenanglah, Nona Ela. Meski tidak pernah berdandan sebelumnya, saya pastikan Anda akan terlihat berbeda dengan sentuhan saya," ucap bibi Gwen dengan begitu percaya diri.Wanita paruh baya keturunan Korea itu terlihat begitu telaten dalam memoles setiap sudut wajah Ela yang tak pernah tersentuh make up sedikit pun sebelumnya.Hingga beberapa saat kemudian. Bibi Gwen menaruh alat tempurnya seraya menghela nafas panjang. "Huh ... selesai," ucapnya lega.Sementara Ela masih diam tak bergeming. Wajahnya terasa kaku seperti ada lem yang menempel di seluruh wajahnya.Entah berapa lapis bedak yang digunakan bibi Gwen untuk memoles wajahnya."Lihatlah ke cermin, Nona. Anda sekarang terlihat lebih segar," ucap bibi Gwen dengan penuh percaya diri.Mendengar kalimat itu, sontak membuat Ela menoleh ke arah cermin rias di sisi sampingnya.Dahi Ela berkerut, dengan kedua alis menyatu. Menatap pantula
Wanita cantik dengan rambut bergelombang di ujungnya membuat tampilan itu menjadi lebih menarik.Bibi Gwen seketika menggelengkan kepalanya cepat. Menepis segala kekaguman yang memenuhi otaknya. Ia tak ingin terlalu lama mengulur waktu, yang pada akhirnya akan membuat Matthew lebih kesal lagi."Anda tidak sempat sarapan, Nona. Ini Bibi bawakan bekal untuk Anda. Jangan lupa dimakan jika ada waktu senggang," ucap bibi Gwen seraya mengulurkan kotak bekal berwarna merah jambu.'Seperti anak kecil yang ingin pergi ke sekolah saja' Begitu pikir Ela. Ada rasa hangat yang menyeruak masuk begitu saja ke dalam hatinya. Seperti perhatian kecil yang selalu ia impikan sejak lama.Namun tak ingin membuat sang ayah terlalu lama menunggu. Ela akhirnya menerima kotak bekal itu, sebelum mencium punggung tangan bibi Gwen seraya berpamitan pergi, "Ela pergi dulu, ya, Bi. Assalamualaikum.""Wa-waalaikumsallam," jawab bibi Gwen terbata saat Ela telah melangkah jauh dari tempatnya semula.Tubuhnya mendadak