Share

Benarkah Deo?

'Siapa pria itu?!'

Ela tak berani menyimpulkan, meski bibir pria tampan tersebut sedikit mirip dengan milik Deo.

Namun Ela kembali terbelalak saat telah berhasil menyusun sedikit teka-teki itu. 'Bu-bukankah pria itu adalah pria yang memanggilku di dalam mimpiku hari ini?!'

Ela kembali dihantui oleh sesosok pria dengan wajah berlumuran darah yang memanggilnya dari arah kursi kemudi.

Bayangan-bayangan itu membuat kepalanya terasa berdenyut nyeri. Ketakutan yang tidak berdasar membuat matanya terasa sedikit memanas. Hingga tanpa sadar mengeluarkan cairan bening dari kedua manik hitamnya.

"Ela? Apa yang terjadi? Apa kepalamu terasa sakit lagi?" Wajah panik Matthew, sang ayah, tak bisa ditutupi, kala melihat tubuh sang putri duduk meringkuk dengan tatapan waspada.

Kedua tangan Ela mengepal kuat, hingga membuat selang infus kini berubah menjadi merah sebab darahnya mulai bercampur dengan cairan.

Ketakutan luar biasa tak lagi mampu Matthew sembunyikan dari wajah keriputnya. Membuat pria berusia lima puluh tahun itu berlarian tak tentu arah, sebab kepanikan luar biasa yang mulai melanda.

"Darren sudah pergi, apa yang harus aku lakukan? Ayo berpikir Matthew!" Kebingungan hebat mulai dirasa saat melihat darah pada selang infus tak kunjung turun. "Ah, Deo! ... tunggu sebentar, Ela, Papa akan memanggil Deo untuk menghilangkan darah dari selang infusmu."

Matthew segera berlari cepat keluar dari dalam kamar tanpa menunggu jawaban.

Namun raut wajah penuh ketakutan itu mendadak berubah penuh penyesalan dalam sekejap. 'Apa-apaan ini? Aku membuat orang lain khawatir karena kebodohanku sendiri?'

Mata lelah itu terpejam erat seraya mengigiti bibir bawahnya. Mendongakkan kepalanya dengan helaan nafas berat.

Detik berikutnya, terlihat pintu kamar terbuka paksa dari arah luar. Nampak Deo yang tengah duduk di atas kursi roda didorong cepat oleh Matthew memasuki ruangan itu.

"Deo, bisakah kamu menghilangkan cairan merah dari selang infus itu?" ucap Matthew khawatir dengan bibir sedikit bergetar. Melayangkan jari telunjuknya ke arah selang infus yang menempel di punggung tangan putrinya.

Meski bukan seorang dokter, namun Deo mengerti tentang sedikit ilmu medis yang ia pelajari dari adiknya, Darren.

"Jangan khawatir, Om Matthew. Ini tidak terlalu serius," ucap Deo menenangkan pria paruh baya itu. Memutar roda kursinya sendiri mendekati Ela yang masih terdiam membisu.

Wajah serius dari Deo membuat Ela tak tahan untuk tidak meliriknya.

Mata tajam, hidung mancung, dan bibir tipis, terlihat begitu manis dari balik topeng saat pria tampan itu tersenyum.

Namun, tunggu dulu! Ela mendapati sesuatu yang sedikit ganjil. Sebuah bekas luka goresan di area pipi kanan itu mengingatkannya akan bayangan wajah pria tampan yang sekilas mampir dalam ingatannya.

Bayang-bayang ingatan atau mimpi itu terus berputar. Memperlihatkan seorang pria yang tengah mengulurkan tangan di kursi kemudi mobil. Tubuhnya yang terjepit dengan darah yang berlumuran di wajahnya membuat pria itu tak bisa melakukan apa pun selain berteriak memanggil namanya.

"Deo." Gumaman lirih dari bibir Ela tak sengaja terdengar oleh sang pemilik nama. Hingga Deo pun menjawab gumaman lirih yang menurutnya lebih mirip dengan sapaan, "Iya?"

Ela tertegun sesaat setelah tersadar dari lamunan. Setelahnya dengan cepat wanita itu memalingkan wajahnya saat kedua mata itu tak sengaja kembali bertemu.

Deo nampak mengerinyitkan alis dengan tatapan penuh tanya. "Apakah sakit? Aku bahkan tidak menyentuh tanganmu sama sekali."

Dengan perasaan panik, Ela mengedarkan pandangan matanya. "Ti-tidak, Anda salah dengar. Saya tidak memanggil nama Anda," ucap Ela berdalih dengan sedikit tergagap.

Sementara Deo hanya diam tak bergeming. Sebelum kembali fokus ke sebuah benda pipih kecil yang terletak di bagian bawah botol infus.

Perlahan darah pada selang infus itu seolah mengalir kembali ke tempat asalnya.

"Sudah, Om Matthew sekarang bisa tenang," ucap Deo kemudian.

"Deo ... Berapa kali saya bilang padamu? Jangan panggil Om. Panggil Papa!" ucap kesal pria paruh baya itu dengan nada sedikit meninggi.

"Om ... Saya dan Ela belum menikah. Saya rasa hal itu sedikit tidak sopan jika benar-benar saya lakukan," jawab Deo dengan sopan. Bibirnya kembali menunjukkan garis lengkung yang begitu Ela tunggu-tunggu.

Entah kenapa, tapi senyuman itu seolah membuat Ela kecanduan. Hingga tak bisa memalingkan sedikit pun pandangan matanya saat Deo mulai tersenyum.

Dan Matthew, pada akhirnya tak bisa melakukan apa pun, selain mencoba mengerti. "Baiklah, Deo. Terserah kamu saja."

Sementara Ela masih terhanyut dalam lamunannya. Sebuah perasaan rindu yang tak berdasar membuat dadanya terasa sesak. Namun seketika terobati sesaat setelah melihat senyuman manis itu.

Debaran jantung yang mulai tidak beraturan kembali terasa. Membuat nafasnya terengah tanpa sebab.

"Ela." Panggilan itu membuat Ela kembali tersadar.

"Ada apa? Kenapa menatap Deo matamu sampai tidak bisa berkedip seperti itu?" ledek Matthew dengan tawa yang tertahan.

Ela pun sontak menundukkan wajah. Pipinya memerah dengan perasaan menahan malu.

'Apa aku benar-benar terlihat tidak berkedip sama sekali, tadi? Akh! Malunya aku ...'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status