Share

Mantan Istri Yang Amnesia Ternyata Orang Kaya
Mantan Istri Yang Amnesia Ternyata Orang Kaya
Penulis: Liya Mardina

Selamat tinggal putri kecilku

"Huwek!"

Helaan nafas berat kembali Ela embuskan, kala sang putri kecilnya kembali memuntahkan makanan yang baru memasuki mulutnya.

Ini bukan yang pertama kali. Setelah mengalami demam tinggi semalaman, Meli, sang gadis kecil yang berusia belum genap tiga tahun itu, terus memuntahkan cairan yang baru memasuki tubuhnya.

Tak ada yang mampu Ela perbuat, selain merawat sang putri kecil dengan ala kadarnya. Mengingat kondisi ekonomi mereka yang tak mencukupi untuk sekedar memeriksakan sang buah hati ke rumah sakit terdekat.

"Ma ... Kepala Meli pusing." Rintihan lirih terdengar dari gadis kecil yang tengah berbaring di atas alas kardus berlapiskan karung bekas.

Sementara Ela yang tengah berjongkok di sampingnya, hanya mampu mengelus dan sedikit memijat dahi Meli kecil yang terasa panas.

Sesekali tangannya mengambil handuk kecil yang telah dibasahi dengan air hangat, untuk mengompres dahi Meli.

Tangis yang berusaha mati-matian ia tahan akhirnya pecah. Ketegaran hati tak lagi tersisa, saat melihat gadis kecilnya terus merintih kesakitan.

"Meli, yang sabar ya, Sayang. Kita tunggu Ayah pulang, nanti kita ke rumah sakit," timpal Ela dengan bibir bergetar halus.

Hingga anggukan lemah menjadi salah satu bukti, jika Meli masih memiliki kesadaran, meski matanya terpejam erat dan tak kunjung terbuka.

Beberapa menit berlalu, hingga terdengar suara gesekan dipan kayu yang menjadi satu-satunya pelindung di rumah mereka. Pertanda seseorang telah memasuki rumah.

Dengan kekuatan yang tersisa. Ela memaksa kakinya yang setengah bengkak untuk beranjak menghampiri.

"Mas, akhirnya kamu pulang. Apakah hari ini dapat uang? Ayo kita ke rumah sakit! Demam Meli semakin tinggi," ucap Ela dengan kepanikan hebat yang tak lagi bisa ia tutupi. Menghadang Pram, sang suami yang baru menutup kembali dipan kayu lapuk yang menjadi pengganti pintu di gubuk tua mereka.

Namun alih-alih prihatin, kilat amarah terlihat muncul dari kedua mata Pram yang masih bergeming. Lelaki itu menatap tajam ke arah Ela yang seketika terdiam membisu.

Wajah letih bercampur kepanikan itu seketika berubah dalam sekejap, tatkala mendapati sorot penuh amarah dari suaminya.

Bruk!

Sebuah kursi kayu nyaris melayang mengenai kepala Ela, dan berakhir membentur tiang bambu yang telah keropos termakan usia.

Tubuh ibu muda yang masih berusia dua puluh tiga tahun itu seketika membeku dengan ketakutan hebat. Ia tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika satu detik saja dirinya terlambat untuk menghindar.

"Aku ini lelah! Suami pulang ke rumah bukannya di siapkan makanan enak, malah sibuk mengurusi anakmu yang tidak berguna itu!" hardiknya dengan suara meninggi. Tangannya tak henti menunjuk kasar ke arah Meli yang tengah berbaring lemah di atas tanah.

Mendengar penggalan kalimat itu membuat Ela mengelus dada. "Astaghfirullah, Mas ... Meli itu juga Anakmu. Tidakkah kamu merasa kasihan melihat Meli seperti itu sejak kemarin?" ucap Ela memelas dengan bulir bening yang mulai berjatuhan dari ekor matanya.

"Halah! Itu cuma demam biasa, jangan berlebihan!" timpal Pram dengan tidak berperasaan. Kakinya menapaki lantai tanah yang becek terkena tetesan air hujan yang masuk melalui celah lubang di sekitar atap gubuk tua mereka.

Tubuh kurus berperawakan tinggi itu melangkah kasar, dan sengaja mendorong kasar tubuh Ela yang menghalangi jalan masuknya menuju dapur.

"Akh!"

Pekikan keras keluar dari mulut wanita yang tengah mengenakan daster lusuh itu. Kakinya yang bengkak tak sengaja membentur sisi meja hingga membuat rasa sakit mulai menjalar ke sekujur tubuhnya.

Ela adalah buruh cuci keliling. Setiap hari, ia harus berjalan bolak-balik menyusuri jalan setapak pedesaan untuk mengantar cucian tetangga yang dipercayakan padanya.

Semua itu terpaksa ia lakukan, sebab sang suami yang tak pernah memberikannya nafkah. Ia pun harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, dan menjadi buruh cucilah yang ia pilih.

"Mama...."

Panggilan lemah dari Meli membuat Ela memaksakan diri untuk bangun. Dengan tertatih, ia mencoba menghampiri Meli yang tengah meringis menahan sakit.

Namun, teriakan lantang dari Pram seketika membuat Ela berbalik arah. "Ela! Mana makanannya?!" Wanita itu melangkah menuju dapur yang lebih layak disebut dengan kandang bebek.

Tangan kurus yang tengah bergetar itu mulai meraih bakul plastik berwarna merah yang teronggok di atas meja kayu. "Ini nasinya, Mas," lirih Ela dengan sorot mata penuh ketakutan.

Brak!

Namun bakul itu dengan cepat ditampik oleh Pram, hingga nasi yang berada di dalamnya jatuh tercecer dan bercampur dengan tanah becek yang menjadi lantai di rumah itu.

"Nasi jagung terus! Kamu pikir aku ini bebek? Aku juga butuh lauk, La! Sudah seharian aku berusaha mencari pekerjaan, tapi setelah sampai di rumah malah mendapat sambutan seperti ini? Kamu ini sebenarnya waras tidak?!" hardik Pram dengan nada kian meningkat.

Bentakan-bentakan itu hanya mampu membuat wanita dengan tubuh rapuh itu menghela napas berat. Selama membina rumah tangga, ia tak sekali pun berani melawan suaminya.

Pram selalu berdalih mencari pekerjaan di luar rumah. Namun sejak menikah hingga saat ini, Ela bahkan tak pernah diberikan nafkah satu perak pun.

"Aku ini lelah. Apa kamu tidak mengerti?!" hardik Pram dengan meremas kuat rambut gondrongnya frustrasi.

'Aku lebih lelah darimu, Mas!' Kalimat itu urung Ela ucapkan dan hanya mampu terjabar dalam hati.

Setiap hari, dirinya harus bangun pada jam-jam pergantian hari. Untuk menyelesaikan beberapa baskom besar cucian tetangga yang dipercayakan padanya.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Ela masih harus mengurusi Pram dan sang buah hati yang masih berusia tiga tahun.

Belum lagi jika ada pesanan nasi bungkus yang biasa ia jual seharga lima ribu per bungkusnya. Dengan lauk tahu dan tempe, hanya seribu perak keuntungan yang ia peroleh. Tak ada kesempatan untuk Ela mengucapkan kata lelah. Demi sang buah hati yang masih harus ia hidupi.

Ela kembali menghela napas berat. Tangannya mengusap tetesan air hujan yang menetes melalui rambutnya yang setengah basah.

Kekuatan dari dalam hati bersusah payah ia kumpulkan sebelum bersuara. "Ayo kita antar Meli ke rumah sakit dulu, Mas. Siapa tahu kita dapat keringanan sebab berasal dari keluarga yang tidak mampu," ucap Ela memelas dengan bulir bening yang tak henti berjatuhan dari pelupuk mata yang mulai sembab.

"Lagi-lagi Meli terus yang kamu urusi! Biarkan saja Anak itu mati! Biar tidak merepotkan!"

Kalimat itu membuat hati Ela terasa nyeri seperti tertusuk ribuan busur. Bagaimana bisa Pram berbicara seperti itu terhadap darah dagingnya sendiri?

Pria itu pun lantas beranjak tanpa rasa peduli. Duduk di atas kursi kayu dan mulai sibuk dengan gawai jadul yang baru dibelinya kemarin malam.

Ela yang mulai kalut kini tak lagi menghiraukan suaminya. Kakinya melangkah cepat menapaki lantai tanah tanpa alas menuju tempat sang putri tercinta berbaring tanpa suara.

Namun betapa terkejutnya Ela, ketika mendapati tubuh sang buah hati tengah mengalami kejang hebat.

"Meli!" Ela pun sontak berlari cepat. Tangannya meraih kasar sembarang kain untuk dijadikan bantalan di bagian kepala Meli, dan mulai melonggarkan seluruh pakaiannya.

Sayang, pertolongan pertama itu tak membuahkan hasil. Tubuh kecil itu masih bergetar dan bergerak tidak beraturan dengan tangan mengepal kuat.

"Tahan sebentar, Nak! Mama akan mencari pertolongan!" Namun saat baru membopong tubuh Meli, getaran hebat di tubuh kecil itu mulai terhenti. Tangannya yang tadi kaku kini lunglai, perlahan jatuh. Tubuh anaknya seolah tak memiliki tenaga.

Ela pun sontak mendapati firasat buruk yang mulai menyelimuti hati. "Meli, Meli!" Wanita itu mengguncang kuat tubuh sang putri dengan tangis yang mulai pecah.

Tak kunjung mendapati sahutan dari bibir kecilnya, Ela memutuskan meletakkan Meli kembali ke tempat semula. Dengan jantung berdebar hebat, ia memberanikan diri untuk memastikan tanda kehidupan di dekat hidungnya.

Deg ....

Jantung Ela seolah berhenti berdetak, kala tak mendapati embusan napas Meli dari arah sana. Seolah itu belum cukup, Ela kembali mendekatkan telinganya ke arah dada sang buah hati. Degub jantung Meli kini tidak lagi terdengar.

Ela terpukul luar biasa. Dengan perasaan hancur, ia menghambur ke arah sang putri dan merengkuhnya erat.

"Meli ...!" Teriakkan itu menjadi akhir dari perjuangannya menjadi seorang ibu.

**

Setelah diumumkan melalui toa musala, para pelayat mulai berdatangan.

Tangis para tetangga ikut meriuhkan suasana duka. Tapi tidak dengan Pram. Sejak mengetahui sang putri tercinta meninggal dunia, tak ada kesedihan sedikit pun dari raut wajahnya, entah kenapa.

Tangan lelaki itu tetap sibuk dengan gawai jadulnya. Duduk santai di atas kursi kayu, di teras rumah dengan menyilangkan kaki tanpa peduli sorot mata tetangga yang tengah menilainya.

"Lihat Pram. Anaknya meninggal bukannya sedih, malah tertawa begitu, seperti orang gila," bisik salah satu pelayat yang berada di depan Ela pada ibu-ibu yang lain.

Nampaknya mereka tak menyadari kehadiran Ela di belakang mereka. Namun Ela sama sekali tak ingin menampik tuduhan yang memang benar itu.

Dengan tubuh lemas tak bertenaga, Ela lebih memilih menghampiri jenazah sang putri yang tengah dibacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Ia kembali duduk bersila di depan jenazah. Tangis dan doa tak henti ia lantunkan untuk sang buah hati yang sudah terbujur kaku.

"Turut berduka cita atas meninggalnya anakmu, Gabriela." Suara berat yang terdengar dari arah belakang tubuhnya seketika membuat Ela tersentak.

Ela, itu namanya. Tapi siapa Gabriela? Nama itu terdengar tidak asing dalam indra pendengarannya.

Dengan mata membulat sempurna, Ela memutar kepala ke arah sumber suara.

Nampak seorang pria asing dengan topeng yang menutupi sebagian wajahnya tengah duduk di antara para pelayat yang ikut mendoakan putri kecilnya.

'Siapa dia?'

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Evita Maria
kasihan ya, bagus kak alurnya
goodnovel comment avatar
HANA PUSPARINI
sedih bab awalnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status