"Huwek!"
Helaan nafas berat kembali Ela embuskan, kala sang putri kecilnya kembali memuntahkan makanan yang baru memasuki mulutnya.Ini bukan yang pertama kali. Setelah mengalami demam tinggi semalaman, Meli, sang gadis kecil yang berusia belum genap tiga tahun itu, terus memuntahkan cairan yang baru memasuki tubuhnya.Tak ada yang mampu Ela perbuat, selain merawat sang putri kecil dengan ala kadarnya. Mengingat kondisi ekonomi mereka yang tak mencukupi untuk sekedar memeriksakan sang buah hati ke rumah sakit terdekat."Ma ... Kepala Meli pusing." Rintihan lirih terdengar dari gadis kecil yang tengah berbaring di atas alas kardus berlapiskan karung bekas.Sementara Ela yang tengah berjongkok di sampingnya, hanya mampu mengelus dan sedikit memijat dahi Meli kecil yang terasa panas.Sesekali tangannya mengambil handuk kecil yang telah dibasahi dengan air hangat, untuk mengompres dahi Meli.Tangis yang berusaha mati-matian ia tahan akhirnya pecah. Ketegaran hati tak lagi tersisa, saat melihat gadis kecilnya terus merintih kesakitan."Meli, yang sabar ya, Sayang. Kita tunggu Ayah pulang, nanti kita ke rumah sakit," timpal Ela dengan bibir bergetar halus.Hingga anggukan lemah menjadi salah satu bukti, jika Meli masih memiliki kesadaran, meski matanya terpejam erat dan tak kunjung terbuka.Beberapa menit berlalu, hingga terdengar suara gesekan dipan kayu yang menjadi satu-satunya pelindung di rumah mereka. Pertanda seseorang telah memasuki rumah.Dengan kekuatan yang tersisa. Ela memaksa kakinya yang setengah bengkak untuk beranjak menghampiri."Mas, akhirnya kamu pulang. Apakah hari ini dapat uang? Ayo kita ke rumah sakit! Demam Meli semakin tinggi," ucap Ela dengan kepanikan hebat yang tak lagi bisa ia tutupi. Menghadang Pram, sang suami yang baru menutup kembali dipan kayu lapuk yang menjadi pengganti pintu di gubuk tua mereka.Namun alih-alih prihatin, kilat amarah terlihat muncul dari kedua mata Pram yang masih bergeming. Lelaki itu menatap tajam ke arah Ela yang seketika terdiam membisu.Wajah letih bercampur kepanikan itu seketika berubah dalam sekejap, tatkala mendapati sorot penuh amarah dari suaminya.Bruk!Sebuah kursi kayu nyaris melayang mengenai kepala Ela, dan berakhir membentur tiang bambu yang telah keropos termakan usia.Tubuh ibu muda yang masih berusia dua puluh tiga tahun itu seketika membeku dengan ketakutan hebat. Ia tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika satu detik saja dirinya terlambat untuk menghindar."Aku ini lelah! Suami pulang ke rumah bukannya di siapkan makanan enak, malah sibuk mengurusi anakmu yang tidak berguna itu!" hardiknya dengan suara meninggi. Tangannya tak henti menunjuk kasar ke arah Meli yang tengah berbaring lemah di atas tanah.Mendengar penggalan kalimat itu membuat Ela mengelus dada. "Astaghfirullah, Mas ... Meli itu juga Anakmu. Tidakkah kamu merasa kasihan melihat Meli seperti itu sejak kemarin?" ucap Ela memelas dengan bulir bening yang mulai berjatuhan dari ekor matanya."Halah! Itu cuma demam biasa, jangan berlebihan!" timpal Pram dengan tidak berperasaan. Kakinya menapaki lantai tanah yang becek terkena tetesan air hujan yang masuk melalui celah lubang di sekitar atap gubuk tua mereka.Tubuh kurus berperawakan tinggi itu melangkah kasar, dan sengaja mendorong kasar tubuh Ela yang menghalangi jalan masuknya menuju dapur."Akh!"Pekikan keras keluar dari mulut wanita yang tengah mengenakan daster lusuh itu. Kakinya yang bengkak tak sengaja membentur sisi meja hingga membuat rasa sakit mulai menjalar ke sekujur tubuhnya.Ela adalah buruh cuci keliling. Setiap hari, ia harus berjalan bolak-balik menyusuri jalan setapak pedesaan untuk mengantar cucian tetangga yang dipercayakan padanya.Semua itu terpaksa ia lakukan, sebab sang suami yang tak pernah memberikannya nafkah. Ia pun harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, dan menjadi buruh cucilah yang ia pilih."Mama...."Panggilan lemah dari Meli membuat Ela memaksakan diri untuk bangun. Dengan tertatih, ia mencoba menghampiri Meli yang tengah meringis menahan sakit.Namun, teriakan lantang dari Pram seketika membuat Ela berbalik arah. "Ela! Mana makanannya?!" Wanita itu melangkah menuju dapur yang lebih layak disebut dengan kandang bebek.Tangan kurus yang tengah bergetar itu mulai meraih bakul plastik berwarna merah yang teronggok di atas meja kayu. "Ini nasinya, Mas," lirih Ela dengan sorot mata penuh ketakutan.Brak!Namun bakul itu dengan cepat ditampik oleh Pram, hingga nasi yang berada di dalamnya jatuh tercecer dan bercampur dengan tanah becek yang menjadi lantai di rumah itu."Nasi jagung terus! Kamu pikir aku ini bebek? Aku juga butuh lauk, La! Sudah seharian aku berusaha mencari pekerjaan, tapi setelah sampai di rumah malah mendapat sambutan seperti ini? Kamu ini sebenarnya waras tidak?!" hardik Pram dengan nada kian meningkat.Bentakan-bentakan itu hanya mampu membuat wanita dengan tubuh rapuh itu menghela napas berat. Selama membina rumah tangga, ia tak sekali pun berani melawan suaminya.Pram selalu berdalih mencari pekerjaan di luar rumah. Namun sejak menikah hingga saat ini, Ela bahkan tak pernah diberikan nafkah satu perak pun."Aku ini lelah. Apa kamu tidak mengerti?!" hardik Pram dengan meremas kuat rambut gondrongnya frustrasi.'Aku lebih lelah darimu, Mas!' Kalimat itu urung Ela ucapkan dan hanya mampu terjabar dalam hati.Setiap hari, dirinya harus bangun pada jam-jam pergantian hari. Untuk menyelesaikan beberapa baskom besar cucian tetangga yang dipercayakan padanya.Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Ela masih harus mengurusi Pram dan sang buah hati yang masih berusia tiga tahun.Belum lagi jika ada pesanan nasi bungkus yang biasa ia jual seharga lima ribu per bungkusnya. Dengan lauk tahu dan tempe, hanya seribu perak keuntungan yang ia peroleh. Tak ada kesempatan untuk Ela mengucapkan kata lelah. Demi sang buah hati yang masih harus ia hidupi.Ela kembali menghela napas berat. Tangannya mengusap tetesan air hujan yang menetes melalui rambutnya yang setengah basah.Kekuatan dari dalam hati bersusah payah ia kumpulkan sebelum bersuara. "Ayo kita antar Meli ke rumah sakit dulu, Mas. Siapa tahu kita dapat keringanan sebab berasal dari keluarga yang tidak mampu," ucap Ela memelas dengan bulir bening yang tak henti berjatuhan dari pelupuk mata yang mulai sembab."Lagi-lagi Meli terus yang kamu urusi! Biarkan saja Anak itu mati! Biar tidak merepotkan!"Kalimat itu membuat hati Ela terasa nyeri seperti tertusuk ribuan busur. Bagaimana bisa Pram berbicara seperti itu terhadap darah dagingnya sendiri?Pria itu pun lantas beranjak tanpa rasa peduli. Duduk di atas kursi kayu dan mulai sibuk dengan gawai jadul yang baru dibelinya kemarin malam.Ela yang mulai kalut kini tak lagi menghiraukan suaminya. Kakinya melangkah cepat menapaki lantai tanah tanpa alas menuju tempat sang putri tercinta berbaring tanpa suara.Namun betapa terkejutnya Ela, ketika mendapati tubuh sang buah hati tengah mengalami kejang hebat."Meli!" Ela pun sontak berlari cepat. Tangannya meraih kasar sembarang kain untuk dijadikan bantalan di bagian kepala Meli, dan mulai melonggarkan seluruh pakaiannya.Sayang, pertolongan pertama itu tak membuahkan hasil. Tubuh kecil itu masih bergetar dan bergerak tidak beraturan dengan tangan mengepal kuat."Tahan sebentar, Nak! Mama akan mencari pertolongan!" Namun saat baru membopong tubuh Meli, getaran hebat di tubuh kecil itu mulai terhenti. Tangannya yang tadi kaku kini lunglai, perlahan jatuh. Tubuh anaknya seolah tak memiliki tenaga.Ela pun sontak mendapati firasat buruk yang mulai menyelimuti hati. "Meli, Meli!" Wanita itu mengguncang kuat tubuh sang putri dengan tangis yang mulai pecah.Tak kunjung mendapati sahutan dari bibir kecilnya, Ela memutuskan meletakkan Meli kembali ke tempat semula. Dengan jantung berdebar hebat, ia memberanikan diri untuk memastikan tanda kehidupan di dekat hidungnya.Deg ....Jantung Ela seolah berhenti berdetak, kala tak mendapati embusan napas Meli dari arah sana. Seolah itu belum cukup, Ela kembali mendekatkan telinganya ke arah dada sang buah hati. Degub jantung Meli kini tidak lagi terdengar.Ela terpukul luar biasa. Dengan perasaan hancur, ia menghambur ke arah sang putri dan merengkuhnya erat."Meli ...!" Teriakkan itu menjadi akhir dari perjuangannya menjadi seorang ibu.**Setelah diumumkan melalui toa musala, para pelayat mulai berdatangan.Tangis para tetangga ikut meriuhkan suasana duka. Tapi tidak dengan Pram. Sejak mengetahui sang putri tercinta meninggal dunia, tak ada kesedihan sedikit pun dari raut wajahnya, entah kenapa.Tangan lelaki itu tetap sibuk dengan gawai jadulnya. Duduk santai di atas kursi kayu, di teras rumah dengan menyilangkan kaki tanpa peduli sorot mata tetangga yang tengah menilainya."Lihat Pram. Anaknya meninggal bukannya sedih, malah tertawa begitu, seperti orang gila," bisik salah satu pelayat yang berada di depan Ela pada ibu-ibu yang lain.Nampaknya mereka tak menyadari kehadiran Ela di belakang mereka. Namun Ela sama sekali tak ingin menampik tuduhan yang memang benar itu.Dengan tubuh lemas tak bertenaga, Ela lebih memilih menghampiri jenazah sang putri yang tengah dibacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an.Ia kembali duduk bersila di depan jenazah. Tangis dan doa tak henti ia lantunkan untuk sang buah hati yang sudah terbujur kaku."Turut berduka cita atas meninggalnya anakmu, Gabriela." Suara berat yang terdengar dari arah belakang tubuhnya seketika membuat Ela tersentak.Ela, itu namanya. Tapi siapa Gabriela? Nama itu terdengar tidak asing dalam indra pendengarannya.Dengan mata membulat sempurna, Ela memutar kepala ke arah sumber suara.Nampak seorang pria asing dengan topeng yang menutupi sebagian wajahnya tengah duduk di antara para pelayat yang ikut mendoakan putri kecilnya.'Siapa dia?''Siapa dia?'Mata bengkak Ela melirik sekilas ke arah pria bertopeng yang rupanya tengah duduk di kursi roda. Wajah pria bertopeng dengan setelan jas mewah itu pun nampak lesu, seolah ikut merasa berduka akan kepergian putrinya. 'Apakah dia cacat? Lantas, siapakah dia? Sepertinya bukan salah satu warga desa.' Hati Ela bertanya-tanya.Saat Ela tengah fokus mengenali siapa pria misterius yang juga melayat jenazah Meli, ucapan Pak RT membuat Ela memalingkan muka. "Mbak Ela, ini sudah sangat larut. Mungkin jenazah Meli sebaiknya diinapkan dulu. Baru besok dimakamkan."Ela sontak menggeleng dengan wajah sedihnya. "Pak RT, saya mohon, tolong makamkan Meli sesegera mungkin," pintanya memelas. "Saya tidak ingin Meli menderita lagi ...."Isak tangis pada akhir kalimat membuat seluruh pelayat ikut menitikkan air mata. Mereka sangat mengetahui kondisi keluarga Ela yang sangat kekurangan. Bahkan untuk sekedar makan pun mereka sering tidak mampu."Baiklah, kita makamkan Meli malam ini." Dengan he
"Kamu pikir, tanpaku kamu bisa apa?" Usai mendengar permintaan cerai dari Ela, Pram sempat tertegun. Namun, hal itu tak berlangsung lama, sebab setelahnya pria itu justru tertawa lebar tanpa dosa. "Jika bukan karena aku, kamu sudah menjadi bangkai di sungai!"Bangkai? Perlahan, penggalan-penggalan ingatan masa lalu muncul di benak Ela.Beberapa tahun lalu, ia ditemukan oleh Pram terdampar di pinggiran sungai yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk. Benturan pada kepala yang cukup parah menyebabkan semua ingatannya hilang.Satu hal yang ia ingat hanyalah nama panggilannya saja, Ela, tak ada yang lain. Karena minimnya akses desa ke fasilitas kesehatan, Ela hanya mendapat perawatan seadanya dari Pram. Perlakuan Pram di mata Ela, juga rasa hutang budi itulah yang akhirnya membuat Ela setuju untuk menikah dengan lelaki tersebut.'Kalau aku boleh memilih, aku lebih baik mati saat itu dibanding bertemu denganmu di sini!' Ela menahan balasan penuh rasa muak itu di dalam hati."Kamu pikir,
"Nona, saya Bibi Gwen. Pengasuh Nona sejak kecil." Wanita paruh baya itu perlahan melangkah maju. Begitu pula Ela. Ketakutan yang tidak berdasar membuatnya perlahan melangkah mundur dengan tatapan waspada. "Apakah selama empat tahun ini Anda melupakan saya?" Kini, mata keriput dengan kantung yang menghitam itu mulai berembun. Ela menangkap ada rasa kekecewaan saat wanita itu menangkap bahwa ia tak kunjung mengingat apa pun mengenainya.'Ada apa ini? Apa yang salah dengan mataku?' Mata Ela pun ikut berembun, sama seperti Bibi Gwen."Nona, saya begitu merindukan Anda. Ke mana saja Anda selama empat tahun ini?" ucapnya dengan suara parau. Bulir bening mulai berjatuhan tanpa henti seiring tubuhnya direngkuh wanita paruh baya itu. "A-aku...."Ela kehilangan kata-katanya. Rasa sesak di dada kembali ia rasakan."Selama empat tahun ini, saya kesulitan untuk tidur. Bahkan Mama Anda mengalami depresi berat, dan sekarang sedang dalam masa pemulihan di rumah sakit jiwa."'Bibi Gwen? Mama?' Ses
"Saya sudah menikah."Kalimat itu membuat Matthew dan bibi Gwen seketika menatap Ela dengan mata membulat. Seolah tak percaya dengan kalimat yang baru didengar mereka melalui telinga."Ka-kamu ... bagaimana mungkin?" lirih Matthew dengan tangan memegangi dada. Rasa nyeri seperti tertusuk ribuan jarum terasa menghujam jantungnya."Tuan, tenangkan diri Anda!" Bibi Gwen yang merasa panik akan kondisi kesehatan sang majikan, sontak memegangi tubuh tambun itu, yang mulai terhuyung ke segala arah."Biar aku saja! Cepat ambilkan air putih untuk, Tuan Matthew." Paman Louise yang merupakan pelayan sekaligus pengawal pribadi Deo pun ikut panik dan segera ikut membantu.Dengan cepat bibi Gwen berlari cepat. Tak menghiraukan raut penuh kecemasan terlihat jelas dari wajah Ela.Tanpa sebab yang pasti. Air mata mulai kembali meluncur dari sudut mata Ela yang mulai sembab. Dadanya terasa begitu sesak, hingga membuatnya kesulitan untuk bernafas, saat melihat sosok pria bertubuh tambun yang diperkiraka
'Aku akhirnya mengingat Deo'"Ela!" teriak seorang pria dengan wajah penuh darah dari arah kursi kemudi mobil yang telah ringsek. Kakinya yang terjepit body mobil tak mampu membuatnya beranjak untuk mengejar Ela yang tengah diseret oleh seseorang pergi menjauh.Terlihat tubuh pria yang diduga Deo itu, telah lunglai tak bertenaga, dengan darah segar yang mengucur dari beberapa bagian tubuhnya, masih mencoba mengulurkan tangannya ke arah Ela yang semakin diseret menjauh.'Deo, benarkah itu kamu?'Tubuh Ela yang tak sepenuhnya kehilangan kesadaran itu menatap seorang pria bertubuh tambun. Sebagian wajahnya tertutupi oleh masker berwarna hitam. Menyeretnya paksa di tengah-tengah hutan yang dikelilingi pepohonan lebat.Meski masih memiliki sedikit kesadaran, namun Ela tak memiliki sedikit pun tenaga untuk melawan.Tubuh lemah Ela terus diseret paksa hingga menyebabkan banyaknya luka gores, yang disebabkan oleh semak belukar yang diterobos pria itu begitu saja.Setelah di rasa telah membawa
"Tahanlah, ini hanya sakit sedikit saja," ucap Daren sebelum menusukkan jarum.Ela yang kini memejamkan matanya erat tanpa sadar mencengkeram kuat lengan Darren hingga memerah.Kerutan di dahi menunjukkan jika Ela saat ini benar-benar menahan ketakutannya."Sudah."Satu kata itu membuat Ela sontak membuka mata. Dan mendapati tangannya yang telah membuat lengan dokter muda itu memerah hingga mengeluarkan sedikit darah."Ma-maafkan saya. Saya benar-benar tidak sengaja melakukannya, Dok."Ela sedikit membungkukkan tubuhnya dalam sekejap untuk menunjukkan rasa bersalahnya. Sorot penuh penyesalan terlihat jelas kala kedua mata Ela dan Darren bertemu.Namun yang terjadi dengan Darren malah ...."Kamu sedang meminta maaf padaku?" tanyanya kebingungan dengan wajah terperangah.Ela pun sontak terdiam membisu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dokter muda itu? Bukankah wajar jika orang yang melakukan kesalahan akan meminta maaf? Kepala Ela kini kembali dipenuhi tanda tanya.Darren tersenyum le
'Siapa pria itu?!'Ela tak berani menyimpulkan, meski bibir pria tampan tersebut sedikit mirip dengan milik Deo.Namun Ela kembali terbelalak saat telah berhasil menyusun sedikit teka-teki itu. 'Bu-bukankah pria itu adalah pria yang memanggilku di dalam mimpiku hari ini?!'Ela kembali dihantui oleh sesosok pria dengan wajah berlumuran darah yang memanggilnya dari arah kursi kemudi.Bayangan-bayangan itu membuat kepalanya terasa berdenyut nyeri. Ketakutan yang tidak berdasar membuat matanya terasa sedikit memanas. Hingga tanpa sadar mengeluarkan cairan bening dari kedua manik hitamnya."Ela? Apa yang terjadi? Apa kepalamu terasa sakit lagi?" Wajah panik Matthew, sang ayah, tak bisa ditutupi, kala melihat tubuh sang putri duduk meringkuk dengan tatapan waspada.Kedua tangan Ela mengepal kuat, hingga membuat selang infus kini berubah menjadi merah sebab darahnya mulai bercampur dengan cairan.Ketakutan luar biasa tak lagi mampu Matthew sembunyikan dari wajah keriputnya. Membuat pria beru
"Tidak apa-apa, itu hal yang cukup wajar untuk pasangan yang telah lama berpisah akhirnya bertemu," ucap Matthew dengan mengusap air mata haru yang mulai menitik dari kantung mata hitamnya.Dengan wajah tertunduk, Ela memberanikan diri melirik sekilas ke arah Deo yang ternyata tengah menatapnya dengan penuh arti.Namun saat tatapan keduanya tak sengaja saling bertemu, Ela secepatnya memalingkan wajah menahan malu.Wajah datar dengan tatapan dingin dari Deo itu tak bisa Ela artikan. Bibirnya berucap seolah tengah menahan rindu yang mendalam, tapi tatapan matanya tidak mengartikan perasaan yang sama. Apa yang sebenarnya terjadi?"Baiklah, Om Matthew. Sekarang Ela sudah baik-baik saja. Saya mohon izin pamit pulang dulu, jika besok ada waktu luang, saya akan kembali untuk menjenguk Ela," pamit Deo dengan tersenyum sopan.Wajah tampan dari balik topeng itu seketika berubah ekspresi dalam sekejap mata, setelah tatapan dinginnya. Ela menyadari hal itu, namun tak ingin terlalu mengurusi urusa