Share

PENTOL INTEL? part 2

"Maksudnya cowok kalian itu pilot sama marshaller?"

Mereka menganggukkan kepala seraya mencicipi kue ulang tahun. Lalu mereka menunjukkan sebuah foto padaku.

"Aku baru tau lho," imbuhku masih dengan melihat-lihat foto yang ada di galeri mereka.

"Lah, kamu saja nggak pernah nanya apa pekerjaan cowok kita berdua," jawab Risma.

"Ya, aku kira mereka pengusaha doang."

"Selain punya usaha, ya, itu, jadi supir sama tukang parkir hahaha." 

Mereka tertawa sambil mencolekkan krim kue ke pipiku. Konyol. Aku mengembalikkan ponsel mereka dan menatap satu per satu wajah mereka.

"Makasih ya, selalu ada buatku. Aku nggak tau deh, kalau nggak punya sahabat kaya kalian hidupku bakal segersang apa."

"Kita yang makasih banget sama Allah punya sahabat kaya kamu, Ra. Btw, mau dikenalin juga nggak sama supir?" ujar Risma.

"Supir pesawat?"

"Terserah kamu maunya supir apa hahah."

"Aku mau menaklukkan hati ibuku dulu. Mungkin tanpa sadar aku telah membuat hatinya terluka hingga Ibu bisa sebenci itu padaku." Aku berucap seraya ikut mencicipi kuenya.

"Semangaat! Jangan sedih-sedih lagi pokoknya. Kamu tuh punya kita berdua dan ayahmu. Terus kamu jadi mau buka usaha toko kue sendiri?" imbuh Nina.

"Insya Allah jadi. Aku masih khursus kelas membuat kue-kue gitu sih. Doain saja biar kesampaian buat punya usaha sendiri dan bisa buka lapangan kerja untuk orang-orang."

"Kamu nggak mau lanjutin kuliah lagi?" tanya Risma.

"Tau sendiri 'kan sikap ibuku sama Mbak Laras gimana? Sudahlah nggak papa, sekarang aku hanya ingin fokus untuk mempunyai toko kue, intinya sih mau punya usaha di bidang kuliner," kataku semringah.

"Apapun yang kamu cita-citakan semoga terwujud ya, Ra. Kami selalu doakan kamu."

"Terima kasih, Bestie. Sarangbeooo." Aku menyatukan jari telunjuk dan ibu jariku, membentuk love.

"Sarangtawoon," sahut mereka terkekeh.

Kubuka kado pemberian Ayah, ternyata Ayah membelikan aku sebuah mukena yang cantik berwarna putih tulang. Dan Ayah membelikan aku kotak musik yang di atasnya ada empat boneka kecil, mungkin itu Ayah, Ibu, Mbak Laras dan aku.

"Ayahmu romantis sekali, beliau sangat sayang padamu, Ra," kata Nina yang diangguki oleh Risma.

"Ya, dia adalah Ayah terbaik untukku."

"Eh, ada lagi sesuatu nih di dalam mukenanya." Risma memberikannya padaku.

Beberapa lembar foto sewaktu Ibu melahirkan aku di rumah sakit. Di dalam foto itu hanya Ayah saja yang tersenyum. Sedangkan Ibu seolah menyesal telah melahirkan ku.

Aku anak kandung, tetapi kenapa rasanya seperti orang lain buat Ibu.

"Nggak usah sedih lagi. Emang nggak capek sedih mulu, banyak yang sayang sama kamu termasuk kita berdua. Sudah, pokoknya besok kita jalan-jalan dan kulineran ya biar kamu happy lagi," ajak Risma dan Nina.

Aku mengangguk setuju dengan ajakan mereka berdua.

****

Selepas pulang kerja aku langsung menunggu dua temanku itu di bangku taman yang sudah dijanjikan.

Sambil menunggu mereka datang aku mengedarkan pandangan ke setiap tukang dagang makanan.

Ada satu gerobak yang dipenuhi oleh pembeli wanita dari remaja, dewasa bahkan ibu-ibu. Aku penasaran dan segera menghampiri. Oh, jualan pentol ikan.

Si Abang sangat sibuk sekali sampai keteteran melayani para pembeli. Ingin rasanya aku membantu si Abang, tapi takut dikatain caper.

"Ara!" Ada orang yang meneriakiku.

"Ngapain?" ternyata itu Risma dan Nina.

Mereka pun mendekat dan terlihat ikut kepo juga dengan dagangan si Abang pentol.

"Beli yuuk," ajak Nina.

"Ngantri banget tapi," kataku.

"Ngantri lah, yang jualan masih muda. Ganteng gitu, gimana nggak rame."

"Lah, masa? Kok bisa tau?" tanyaku keheranan.

"Lihat noh, topinya dibuka--gerah kali si Abang dikeroy*k pembeli ciwik-ciwik," tunjuk Risma.

Aku segera menoleh ke belakang dan memang penjualnya lumayan masih muda. Umurnya mungkin sekitar dua delapan atau tiga puluhan lah. Pantas saja rame, mungkin memang karena rasa pentolnya yang enak dan tak kupungkiri. Wajah si Abang lumayan juga buat dibawa kondangan mah. Eh.

Sambil menunggu antrian buat beli pentol kami bertiga mengobrol sebentar. Selang beberapa menit Risma pergi ke sebrang untuk membeli minuman--sedangkan Nina membeli cakwe.

Nungguin tukang pentol sepi rasanya kaya nungguin Seok Jin datang ke Indonesia buat ngelamar, dan itu tidak akan mungkin dan terjadi.

Akhirnya, tersisa dua orang lagi dan aku langsung berdiri ikut antrian di belakang. Risma dan Nina pun sudah kembali dan duduk di samping tukang pentol.

"Mau tiga porsi ya, Bang. Pedas biasa dua, pedas banget satu," ucapku.

"Oke," jawabnya singkat.

Ia segera melayani tetapi matanya seperti sedang mengintai sesuatu.

"Nih, Mbak."

"Berapa?"

"Tiga ribu saja."

"Hah? Tiga ribu buat tiga porsi? Jualan apa sedekah, Bang? Mana porsinya banyak." Sungguh ini sangat membuatku keenakan.

"Sssst! Ssst!"

Risma dan Nina bersuara tak jelas sambil menatapku tajam dan isyarat matanya seolah menyuruhku untuk melihat ke samping.

"Tolong jagain gerobak saya dulu ya, Mbak. Dimakan saja pentolnya nggak usah bayar nggak papa. Saya ada urusan!"

 Ia langsung mengambil sesuatu dan segera berlari meninggalkan gerobaknya bersama denganku di sini.

"Wooyy intel!" ucap kami serempak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status