Share

KEMARAHAN IBU part 5

"Saya bukan pacarnya, Pak," kataku.

"Lah, terus apa?" tanya si Bapak.

"Calon istri."

Tukang pentol itu berkata dengan santainya membuat Risma dan Nina tersedak pentol karena kaget. Aku? Jangan ditanya lagi, aku mendelik menatap si tukang pentol yang asal ceplos.

"Bercanda, Pak," katanya.

Hah, bercanda? Bercanda model apaan yang wajahnya tanpa ekspresi terkesan datar seperti itu.

"Saya bukan siapa-siapanya, Pak. Lagian saya juga cuma pembeli kaya Bapak."

Ah, akhirnya aku menjelaskan kepada Bapak ini agar ia mengerti dan tak salah paham. Bapak itu malah tertawa.

"Ada-ada saja anak muda zaman sekarang mah tingkahnya."

"Yok, jalan cari makanan ke tempat lain!" ajakku pada Risma dan Nina.

Kami pun pergi meninggalkan tukang pentol bersama dengan gerobaknya. Dapat kulihat dari ujung mataku kalau ia memerhatikan kepergian kami bertiga.

Dert!

Ponselku bergetar, segera aku mengambilnya dari saku celana. Ada notifikasi pesan WA dari Mbak Laras. Cepat jemariku bergulir ke aplikasi berwarna hijau tersebut.

'Ara, kelakuanmu memang memalukan. Jika belum bisa bahagiakan Ibu, setidaknya jangan membuatnya harus menanggung malu lagi karena mu! Ngapain kamu pulang kerja malah pacaran sama tukang pentol? Malu-maluin saja! Ibu akan sangat malu jika mengetahui ini!'

Huh, aku menarik napas panjang dan membuangnya pelan. Ternyata Mbak Laras ada di sekitar taman ini dan melihat aku membantu tukang pentol tadi. Tapi 'kan aku hanya membantu bukan seperti yang Mbak Laras tuduhkan. Kenapa sih selalu main tuduh saja.

'Nggak seperti yang Mbak tuduhkan, aku cuma membantu untuk menjualkan pentol itu selagi abangnya tadi pergi ada urusan. Kebetulan tadi aku beli dan si abangnya memintaku untuk menjaga gerobaknya sebentar. Makanya cari tau dulu sebelum menuduh, Mbak!' balasku tegas.

Aku memilih duduk di ayunan, semangatku untuk jalan-jalan malah melebur karena tuduhan Mbak Laras. Ini akan membuat Ibu bertambah benci padaku.

"Kenapa lagi, Ra?" tanya Risma.

Aku tak menjawab pertanyaanya dan langsung menunjukkan isi chattinganku dengan Mbak Laras.

"Yaelah, sudah biarin saja. Mbakmu mah negatif mulu pikirannya. Lagian 'kan terserah kamu juga mau menjalin dan dekat dengan siapa saja. Toh, tukang pentol pun manusia!" omel Risma.

Risma langsung memberikan ponselku kepada Nina untuk ikut membaca pesan dari Mbak Laras.

"Biarin saja, Ra. Cuekin saja nggak usah digubris, niat kita ke sini 'kan mau happy cari kulineran. Nggak usah membuat moodmu rusak karena hal ini," imbuh Nina.

Aku mengangguk pelan dan sekali lagi menarik napas panjang lalu mengembuskannya.

"Kita cari martabak telur, ya, nanti kalau mau pulang untuk ibuku."

"Oke, nanti kita beliin orang tuamu makanan biar mereka senang. Ayahmu mah pasti senang, tapi nggak tau kalau ibumu. Ibumu 'kan sikapnya agak lain, Ra, maaf ya." Nina berkata.

Ya, aku paham maksud ucapan Nina. Makanan apapun tak akan membuat sikap ibu menghangat padaku.

"Nggak papa, belikan saja. Toh, setidaknya aku sebagai anak sudah mencoba untuk bersikap baik dan berbakti," ujarku pelan.

****

Aku pulang setelah melaksanakan salat Isya di masjid jalan bersama Nina dan Risma. Ayah sepertinya belum pulang karena motornya belum ada di halaman.

"Assalamualaikum," ucapku sambil kaki melangkah masuk ke dalam setelah membuka knop pintu.

Tak ada jawaban dari Ibu maupun Mbak Laras di dalam. Aku menaruh martabak telur dan cakwe yang aku beli tadi di atas meja, lalu masuk ke dalam kamarku untuk menaruh tas. Sekalian aku mengambil handuk lalu pergi mandi.

Selesai mandi dan berpakaian aku kembali ke ruang televisi yang biasa digunakan untuk kumpul keluarga.

Ruang televisi dan ruang tamu jaraknya tak jauh. Martabak dan cakwe yang tadi aku beli ternyata masih berada di atas meja.

Aku mengambilnya dan kubawa ke ruang televisi. Kamar Ibu tertutup rapat sedangkan kamar Mbak Laras ada celah sedikit terbuka.

Kudekatkan diri dan melihat lewat celah, ternyata Ibu sedang berada di dalam kamar Mbak Laras.

Mbak Laras tengah asik merebahkan kepalanya di pangkuan Ibu sambil memainkan ponsel dan mengobrol dengan Ibu, sesekali mereka tertawa karena suatu hal.

Ada sesak di dalam dada, hal yang tak pernah aku dan Ibu lakukan dari dulu. Bahkan, untuk mengelus ataupun mengusap lembut kepalaku saja Ibu tak pernah.

Tok! Tok!

"Mbak, Ibu. Aku pulang bawa martabak sama cakwe nih," ujarku seraya mengetuk pintu kamar Mbak Laras.

Kembali aku duduk dan menyalakan televisi sambil menunggu mereka keluar dari dalam kamar.

"Enak, ya, pulang kerja langsung pacaran sama tukang pentol?" hardik Ibu berkacak pinggang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status