Share

MENYOBEK FOTO KELUARGA part 7

"Jangan berlebihan, Mas. Hanya sesekali Ara membantu membiaya kuliah Laras!"

"Itu juga namanya membantu Rasti! Kenapa hatimu sekeras ini pada darah dagingmu sendiri? Nggak habis pikir aku, buang rasa benci itu di dalam hatimu!" bentak Ayah.

"Ayah ... Ara mohon izinin Ara untuk ngekos saja. Insya Allah aku bakalan baik-baik saja, Yah. Aku bakalan setiap hari mengabari Ayah," ujarku memohon.

Ayah mengembuskan napas beratnya dan memandangku sendu. Diusapnya pelan pucuk kepala ini.

"Ara mohon," lirihku lagi.

"Janji bakalan ngasih kabar Ayah setiap hari?" ucapnya.

"Iya, aku janji."

Aku menautkan jari kelingkingku pada jari kelingking Ayah dan membuat janji padanya--akan selalu memberikan kabarku padanya setiap hari agar Ayah tak cemas.

"Ayah izinkan, semoga keputusan ini bisa membuatmu merasa bahagia, Nak."

"Terima kasih Ayah. Mungkin malam ini aku akan menginap di salah satu rumah temanku."

"Selalu saja menyusahkan orang lain!" ketus Mbak Laras.

"Memang seperti itu kelakuannya. Membawa orang lain dalam kesusahan!" timpal Ibu.

Meskipun perkataan mereka selalu menghunus jantungku. Tapi kali ini aku mencoba untuk tak menanggapinya. Kuanggap perkataan mereka seperti embusan angin yang sekadar lewat saja.

Merasa ucapannya tak ditanggapi olehku dan Ayah, Ibu dan Mbak Laras pun pergi meninggalkan kamarku dengan rasa kesal sekaligus mungkin bertambah benci padaku.

"Kamu mau bermalam di rumah dua sahabatmu itu, Nak?" tanya Ayah lagi.

"Iya, Yah."

Aku mencoba untuk menghubungi Risma dan Nina melalui panggilan video call secara bersamaan. Tak butuh waktu lama, mereka segera mengangkat teleponnya.

'Assalamualaikum,' ucapku memberi salam.

'Waalaikumsalam. Kenapa, Ra? Kenapa kelihatan sedih kaya gitu, ada masalah lagi di rumah?' tanya mereka.

Ayah langsung mengambil alih teleponnya dan berbicara pada mereka dengan penuh kehati-hatian.

'Eh, Om. Assalamualaikum, Om.'

'Waalaikumsalam, Risma, Nina. Bagaimana kabar kalian?'

'Alhamdulillah baik, Om. Zahranya kenapa ya, Om?' tanya Risma to the point.

Ayah langsung meminta izin kepada mereka untuk memperbolehkan aku menginap di salah satu rumahnya untuk semalam saja. Ayah juga yang menceritakan soal persoalan yang terjadi saat ini.

'Aiissh, jahat banget si Tante sih, Om!' ceplos Nina.

'Heh, ngomongnya!' ujar Risma.

'Oiya, maaf, ya, Om. Emosi soalnya.'

Ayah mengangguk mengerti melihat respon dari teman-temanku itu. Lalu Risma dan Nina pun berkata akan segera menjemputku di sini.

Ayah sangat mengucapkan terima kasih karena Risma dan Nina sudah menjadi sahabat baik bagi putrinya saat ini.

Telepon pun terputus karena mereka berdua bersiap-siap untuk menjemputku.

Lagi-lagi Ayah mengembuskan napas beratnya. Ia mendongakkan wajahnya agar air matanya tak luruh di depanku.

"Jaga diri baik-baik jika ngekos. Selalu kabari Ayah dalam hal apapun itu agar ayahmu ini tenang dan tak cemas pikirannya!" tegas Ayah.

"Iya Ayah."

"Ayah tunggu di teras ya. Kamu bersiap-siaplah."

Ayah bangkit dari duduknya dan gegas berjalan keluar dari kamarku. Kulihat punggung Ayah yang menjauh, sepertinya ia menyeka air matanya sekarang.

Kutatap diriku dalam bayangan cermin. Tersenyum getir mentertawakan diriku sendiri yang sangat dibenci Ibu. Terselip rasa kecewa atas segala perlakuannya padaku. Tapi biarpun begitu ia tetaplah ibuku, ibu yang melahirkan aku.

Huh, kutarik napas dalam-dalam lalu menyeka air mata yang menetes. Tersenyum untuk menyemangati diri sendiri.

"Love your self, Ra," gumamku.

Buru-buru aku merapikan diri karena sebentar lagi Risma dan Nina akan sampai. Aku juga membereskan barang-barang untuk kubawa nanti ke kosan.

Setelah selesai membereskan semua barang-barangku, bertepatan dengan itu Risma dan Nina pun telah sampai.

Mereka langsung masuk ke dalam bersama dengan Ayah. Ayah dan mereka berdua membantuku untuk membawa barang-barang dan dimasukkan ke dalam bagasi mobil.

"Yok, otw kita," ujar Risma.

"Om titip Zahra, ya, ke kalian. Tolong kalau ada apa-apa cepat kabari, Om."

"Iya, Om, tenang saja. Zahra aman dalam pengawasan kami berdua," ucap Nina.

"Iya, Om, tenang saja," sahut Risma.

Ibu dan Mbak Laras keluar dari dalam kamar Mbak Laras. Mereka menatap sinis kepada kami, lalu mendekat dengan wajah penuh kebencian.

"Maklumin saja, si Zahra orangnya memang suka bikin susah orang lain!" ujar Mbak Laras.

"Alhamdulillah selama kami bertiga bersahabat, nggak ada yang merasa dibebani dan terbebani satu sama lain. Begitulah gunanya sahabat, selalu ada di setiap suka dan dukanya, Mbak!" sahut Risma.

"Alaaah, belum sadar saja kalian kalau si Zahra memang menyusahkan dan bikin sial!' timpal Ibu.

"Mending kalian berdua masuk ke dalam kamar sekarang! Sebelum kesabaranku benar-benar habis!" tegas Ayah dengan sorot mata tajamnya.

Mbak Laras berjalan ke arah pigura foto yang di pajang di atas dinding ruang tamu. Lalu mengambil foto bersama kami saat momen Idul Fitri tahun lalu yang dipasang oleh Ayah.

Ia mulai melepas foto itu dari bingkainya dan mulai menyobek foto wajahku dengan wajah penuh kekesalan.

"Mbakmu kesambet setan, Ra!" ujar Risma.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status