Share

PERTENGKARAN part 6

"Pasti Mbak Laras yang bilang."

"Ya memangnya kenapa kalau aku yang bilang? Faktanya memang begitu!" tukas Mbak Laras.

"Faktanya bukan seperti itu! Kan sudah aku jelasin sama Mbak. Kalau aku itu cuma nolongin tukang pentol, dan kebetulan aku emang lagi beli pentolnya!" tegasku.

"Kenapa sih, kamu selalu saja membuatku pusing! Contoh mbakmu, dia pintar, cantik dan selalu bisa membanggakan kedua orang tuanya, serta keluarga kita! Memang dasar anak pembawa si*l!" tukas Ibu.

Aku tersenyum getir. Anak si*l katanya, apakah sesial itu mempunyai anak seperti aku.

"Assalamualaikum!"

Ayah baru saja pulang dengan wajah yang nampak kesal melihat perdebatan antara kami. Ayah meraup wajahnya dan menaruh helm dengan kasar di atas meja.

"Kalian kenapa selalu ketus sama Ara sih?" tegas Ayah.

"Karena dia selalu membuatku malu, Mas!" hardik Ibu.

"Tapi dia anakmu, dan kelakuan Ara tak pernah membuatmu malu!  Kenapa kamu selalu membencinya, padahal dia itu anak kandungmu, darah dagingmu, Bu!" Ayah memegang kedua pundak Ibu dan berkata dengan intonasi sedikit meninggi.

"Ya, dia anakku. Anak yang tak pernah aku harapkan kehadirannya. Anak pembawa si*l dalam hidupku!" maki Ibu dengan jari telunjuk mengarah ke wajahku.

"Maaf kalau kehadiranku tak pernah membuat kehidupan Ibu bahagia selama ini!"

Kuusap air mata yang sudah menetes. Gegas aku berjalan ke dalam kamar lalu mengambil koperku dan mulai membereskan beberapa baju serta barang-barang, lalu memasukkannya ke dalam koper.

Rasanya susah sekali untuk memenangkan hati Ibu. Sebenci itukah Ibu padaku sampai-sampai kehadiranku di dunia ini tak pernah diharapkan.

Aku selalu merasa sendirian dan kesepian jika di dalam rumah ataupun di dalam keluarga besar ini. Yang jelas kehadiranku memang tak pernah diharapkan di keluarga ini.

"Mau ke mana kamu, Ra?" tanya Ayah yang ternyata mengikutiku ke dalam kamar.

"Kayanya lebih baik aku ngekos saja, Yah."

"Ngekos di mana? Ini sudah malam, Ra. Jangan dengarkan ucapan ibumu. Ayah tau kamu pasti sangat terluka, tapi Ayah mohon jangan pergi dari rumah ini." Ayah memohon dengan lirih.

"Percuma. Sekuat apapun Ara berusaha untuk melembutkan hati Ibu, tetap saja nggak bisa. Ara gagal jadi anak kesayangan Ibu."

Ayah berlutut dan memohon dengan mata yang sudah nampak basah sambil menyatukan kedua tangannya padaku.

Ini yang membuatku selalu dilema jika ingin pergi meninggalkan rumah. Aku mempunyai Ayah yang begitu menyayangiku, namun aku juga mempunyai Ibu yang teramat membenciku.

"Jangan memohon di hadapannya. Ayah nggak pantas melakukan itu!" tegas Mbak Laras yang ikut masuk ke dalam kamarku.

"Diam kamu! Sebagai seorang Kakak pun kamu nggak bisa membantu untuk menyatukan adik serta ibumu!" tukas Ayah.

"Zahra terus yang selalu Ayah bela. Apa-apa Zahra!"

Suara Mbak Laras bergetar dengan mata yang sudah mengembun. Mbak Laras mendekatiku lalu tersenyum kecut.

"Puas kamu selalu buat Ayah dan Ibu bertengkar hanya gara-gara kamu, Ra?" teriaknya.

"Diam Laras! Apa pernah Ayah membeda-bedakan kalian berdua selama ini? Kasih sayang Ayah buat kalian berdua itu sama!" tegas Ayah.

"Kurang apa Ara di mata kalian selama ini? Kamu nggak mau Ara melanjutkan kuliahnya karena merasa disaingi? Lalu Ara dengan lapang dada memilih untuk tak melanjutkan kuliahnya. Ara memilih kerja dengan penghasilannya juga Ara membantu biaya kuliahmu!" Ayah menangkup wajah Mbak Laras dengan mata memerah dan rahang mengeras, namun suaranya parau.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status