Share

KURANG WARAS part 3

"I--intel?" tanyaku masih dengan menatap dirinya yang semakin lama semakin jauh.

"Iya kayanya, itu bawa HT (Handie Talkie) sambil lari-larian macam jagoan sedang menangkap musuhnya di film action," sahut Risma sambil mengunyah pentol.

"Terus kita disuruh jagain gerobaknya gitu sampai dia kembali ke sini?" tanya Nina.

"Hu'uh, dia suruh kita jagain gerobaknya," sahutku sambil menambahkan saus di pentolku karena kurang pedas.

Ya, mau tak mau kami harus menuruti amanat si Abang pentol ini untuk menjaga gerobak dagangannya.

Siapa sangka tiba-tiba saja banyak para lelaki berdatangan untuk membeli pentol ikan si Abang ini. Ebuseeh, mana aku tidak tahu harga yang sebenarnya berapa. Tidak tercantum juga harganya di gerobak.

"Neng, beli dong."

"Mbak, beli dong."

"Ya ampun, yang datang tiga-tiganya cantik semua. Kok bisa sih cantik-cantik dagang pentol?"

"Saya borong semua pentolnya!"

"Hallo, Dek. Nomor teleponnya berapa?"

Huaaaa, kenapa jadi begini dah. Ya, ampun ... si Abang pentol pokoknya harus tanggungjawab nanti.

"Kamu saja yang layanin, aku nggak ngerti soal perpentolan," kata Risma dan Nina.

Haiissh, bisa-bisanya di saat seperti ini mereka tidak mau membantuku. Padahal tadi sudah diamanatkan agar ikut menjaga gerobak pentol ikan ini.

"Sabaaar, Maseee. Ngantri! Ngantri!" tegasku mencoba untuk mengatur mereka.

"Neng, boleh saya beli rasa cintanya?"

"Maaf, saya nggak punya rasa cinta!" ketusku.

"Cepetan! Mau beli apa mau ngajak duel nih, Bang. Heh, capek banget ngeladenin buaya darat!" keluhku.

Sementara Risma dan Nina hanya terkekeh seraya merekam aktifitasku saat ini. Dih, nyebelin banget masa.

"Antri yang benar kenapa!" tegasku.

"Plislah, jangan marah-marah. Saya nggak kuat, soalnya nambah imutnya ahihihi."

Dih, mit amit.

"Mau beli berapa? Pedas atau nggak?"

"Beli lima puluh ribu, pedas manis kaya yang ngelayanin," rayu lelaki dengan kupis tipis serta rambut model cepmek.

Astaghfirullah, untung tidak gumoh. Sabar, Ra, sabaar, pokoknya mah.

"Next, beli berapa? Pedas nggak?"

"Seratus ribu. Sedang saja, tapi cintaku padamu luar biasa." Rayu laki-laki berkepala pelontos.

Ebuseeh, malah dia nyanyi. Mending merdu, suaranya kaya orang sembelit. Aku masih mencoba bersabar terus melayani banyaknya pembeli berjenis laki-laki.

Tinggal antrian yang terakhir yang membuat batas kesabaranku habis. Daritadi dia diam saja, cuma senyum-senyum tidak jelas. Beli, tidak. Nyengir iya.

"Mau beli berapa, Bang? Pedas nggak?" tanyaku lagi dengan intonasi sedikit tinggi.

Allah ... taubatan nasuha dah.

Masih diam, bilang iya juga tidak. Bilang tidak juga, ya, tidak. Ini orang sariawan atau gimana dah. Malah senyum-senyum tebar pesona mulu.

"Sudahlah bikinin saja sepuluh ribu," kata Risma.

"Dari tadi diam saja lho, apa bisu ya?" tanyaku bingung.

"Coba tanya pakai bahasa isyarat," saran Nina.

"Aku nggak ngerti, Nin," keluhku.

Eh, eh, lelaki ini ternyata merespon ucapanku. Tapi responnya sungguh membuatku tercengang.

"I love you." Lelaki itu berucap sambil jemarinya membentuk simbol hati.

"Mbak, itu orang kurang waras, hei!" teriak tukang pentol yang kedatangannya seperti jelangkung.

Astaghfirullah, rejeki dapat cinta dari orang kurang waras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status