Share

MENIKAHI GADIS SEBATANG KARA
MENIKAHI GADIS SEBATANG KARA
Author: doubleF

Bab 1. KISAH AIRA

Hujan mengguyur sedari pagi hingga sore belum usai juga, seorang wanita memakai baju SMA berlarian di tepi jalan di tengah hujan, payung yang dia gunakan untuk berlindung rusak akibat angin yang berhembus kencang.

Anak perempuan itu adalah Aira Hanindya.

Aira berlari di tengah hujan sambil menutup kepala dengan tas sekolahnya yang berbahan plastik, dengan harapan kepalanya tidak pusing karena terlalu basah kuyup terkena air hujan.

"Bu, Aira pulang." Aira melepas sepatunya yang basah di depan rumah, sambil sesekali melirik pintu yang tidak kunjung di buka.

Biasanya bu Sulastri selalu menyambut Aira sepulang sekolah, tetapi kali ini berbeda. Pintu rumah masih tetap tertutup rapat sekalipun Aira mengetuk beberapa kali sambil memanggil ibunya.

"Mungkin ibu masih membantu ayah di kebun." Gumam Aira.

Hari sudah hampir gelap, akan tetapi kedua orang tuanya belum juga muncul di hadapan Aira.

Aku harus menyusul ke kebun, perasaanku tidak enak. Batin Aira.

Hujan masih gemericik membasahi desa itu, Aira sampai di kebun tempat ayahnya bekerja.

Betapa terkejutnya wanita itu saat melihat kedua orang tuanya tak sadarkan diri di bawah pohon dengan keadaan setengah terbakar seperti tersengat listrik.

"AYAH ... IBU ... TOLONG , TOLOOOOONG." Tubuh Aira bergetar hebat, suhu panas dingin tidak terkontrol di dalam tubuhnya.

Aira belari mencari pertolongan, di area kebun sangat sulit di temukan orang yang berlalu lalang.

Secercah harapan muncul saat melihat pria paruh baya mengendarai motornya untuk mengangkut rumput pakan ternak.

Aira berteriak memanggil bapak itu dan meminta tolong.

Pria itu melajukan sepeda motor ke arah Aira, hendak bertanya ada masalah apa, sampai wanita itu berteriak sambil menangis di tengah jalan perkebunan.

"Ada apa neng?" Ucap bapak itu.

"Pak tolong orang tua saya di kebun sebelah sana, ayo pak lihat dulu." Aira menunjuk lokasi dimana orang tuanya berada sambil berderai air mata.

Bapak itu menepikan sepeda motor dan muatannya di pinggir jalan, dan berjalan mengikuti Aira yang setengah berlari.

"Ya ampun neng ... Ini mah tersambar petir, sepertinya orang tua neng sudah berpulang, neng yang sabar ya. Bapak mau memanggil warga dulu, neng tunggu disini ya.

Aira menjerit lalu bersujud di kaki orang tuanya yang sudah tiada, "Ayah , Ibu ... Aira gak punya siapa siapa lagi selain kalian, sekarang kalian ninggalin Aira sendirian disini sendirian."

Beberapa menit kemudian, banyak warga yang berdatangan dan membawa tandu dari bambu untuk mengangkut jenazah orang tua Aira.

Jenazah orang tua Aira selesai di mandikan, dan akan segera di kebumikan.

Aira sudah tidak bisa menangis lagi , rasanya seluruh air matanya sudah kering hari ini.

Tidak ada yang merangkul Aira , setiap orang yang datang bertakziah hanya memberi ucapan belasungkawa seadanya.

Begitu juga saudara aira Nita Juanita yang Tak lain adalah sepupu dari ayah Aira. Bu Nita dan suaminya Bagus Wiranto tidak memperdulikan Aira sama sekali.

Justru setelah selesai pemakaman Nita yang biasa di panggil bi Nita oleh Aira malah menagih hutang Alm ayah nya.

"Ra, di hitung dulu itu dapat berapa uangnya, habis itu setor sama bibi. Ayah kamu itu banyak ngutang di warung bibi, dan itu sudah tidak terhitung lagi."

Pak Bagus sebagai suami hanya bisa pasrah melihat kelakuan istrinya , jika sekali saja pak Bagus membela Aira, istrinya itu akan marah besar.

"Aira lemas bi, bibi saja yang hitung." Jawab Aira dengan wajah sembabnya.

"Ah ... Lama banget, bibi ambil aja nih semuanya. Asal kamu tau Ra, ini belum ada setengahnya dari total hutang Alm ayah kamu. Nanti kalau kamu sudah bekerja harus ingat masih ada hutang orang tua kamu sama bibi, sudah ya bibi pulang, bibi laper.

Aira memandang sendu sekeliling rumahnya, sehari sebelumnya rumah ini masih di isi dengan canda tawa. Tapi sekarang semuanya berbanding terbalik.

Setelah lulus SMA Aira melamar pekerjaan di toko yang ada di sekitar desa tempatnya tinggal. Tapi nihil ... tidak ada yang membutuhkan tenaganya.

Selama ini Aira mencukupi kebutuhan sandang pangan dengan menjual sisa sisa peninggalan orang tuanya, seperti televisi, radio tape, mas kawin orang tuanya,dan beberapa baju yang masih layak jual.

Orang yang membeli pun sebenarnya tidak butuh barang yang Aira jual, mereka hanya iba.

Bi Nita sebagai saudaranya dan mempunyai usaha warung pun tidak pernah mau membantu Aira, dengan alasan hutang ayahnya yang belum lunas.

Beberapa pemuda di desa itu bersedia menolong Aira, karena tidak tega melihat nasibnya. Tetapi banyak dari orang tua mereka menentang jika ada lelaki yang mendekati Aira, mereka selalu mendoktrin anak lelakinya ... Jika orang tua Aira mewarisi banyak hutang, dan siapapun yang menikahi Aira nanti harus bersedia menanggung semua hutang Almarhum orang tuanya.

Begitupun teman perempuan sebaya Aira, tidak ada yang mendekatinya, khawatir Aira akan menyusahkan dan selalu minta bantuan kepada mereka.

Aira mengingat dahulu pernah belajar membuat kue dengan Ibunya , dengan sisa uang yang ada, Aira membelanjakan uang seadanya itu dengan bahan yang dia perlukan.

Aira berhasil membuat beberapa kue tradisional yang di modifikasi olehnya. Seperti donat gula putih, Aira menambahkan lelehan coklat di dalamnya, sehingga pembeli mendapatkan sensasi yang berbeda. Tidak seperti donat yang di jual di kampung pada umunya.

Aira memasarkan donat tersebut ke warung warung, menitipkan sekitar 20 pcs donat di setiap warung. Aira mengantar donat di pagi hari dan mengambil sisa di sore hari.

Seminggu pertama donat jualan Aira tidak pernah tersisa, para warga apalagi anak anak sangat menyukai rasanya. Terlebih lagi Aira membanderol harga murah pada donatnya.

Aira mendapat kecaman dari warga yang berprofesi sama dengannya, orang itu menilai Aira sudah mematikan rezeki mereka.

Sebagian saingannya menggunakan cara kotor untuk menyingkirkan Aira, agar wanita itu tidak menjadi penghalang lagi bagi mereka.

Mereka menyebar informasi palsu, bahwa donat Aira memakai bahan terlarang dan alasan Aira menjual donat dengan harga murah karena pembuatan donat dari bahan yang sudah tidak layak konsumsi.

Padahal kenyataannya Aira menjual dengan harga murah dengan alasan agar kue donatnya cepat habis terjual.

Informasi yang beredar di kampung sangatlah cepat, hampir seluruh warga percaya fitnah tersebut. Mereka menggunjing Aira tanpa ampun.

Aira harus memutar otaknya kembali untuk bertahan hidup. Tak pernah terpikir oleh Aira untuk pindah dari desa tersebut, apalagi menjual rumah peninggalan dari orang tuanya, karena di tempat itulah dia dan kedua orang tuanya pernah mengukir cerita manis bersama yang tidak bisa di tukar dengan apapun.

Aira mendapatkan sedikit inspirasi untuk menyambung hidupnya,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status