Share

MENIKAH SIRI DENGAN TUAN PENGACARA
MENIKAH SIRI DENGAN TUAN PENGACARA
Penulis: R. Sheehan

Bab 1| Ibu Mertuaku Dipenjara

"Layla! Gawat! Gawat!"

Seorang wanita berusia tiga puluhan dengan rambut di kuncir kuda terlihat berlari dengan raut wajah sembab dan panik menuju ke arah perempuan yang dipanggilnya Layla.

Layla yang baru saja pulang dari mengantar anak majikannya ke sekolah turun dari motor dan memarkirkannya di tempat parkir. Ia berjalan menghampiri Risma yang tampak kusut.

"Ada apa, Ris? Kenapa muka kamu panik begitu?"

"Mertua kamu!" serunya dengan napas tersengal.

"Ada apa dengan ibuku?"

"Theo masuk rumah sakit," Risma memegangi pergelangan tangan Layla dan membawanya masuk ke dalam rumah.

"Masuk rumah sakit?" beonya tak mengerti dengan maksud Risma. Apa hubungannya dengan ibu mertuanya dan Theo yang masuk rumah sakit?

Risma yang menyadari kebingungan di wajah Layla kemudian menjelaskan dalam satu tarikan napas, "Saat kamu pergi antar Stella ke sekolah, kecelakaan terjadi di rumah. Bu Lastri terbukti meracuni Theo."

Layla membeku dengan jantung berdebar kencang. Langkah kakinya terhenti saat mendengar kalimat temannya barusan.

"Ibuku meracuni Theo?"

Risma mengangguk. Sepasang mata gadis itu tampak merah, seperti habis menangis. Tatkala Layla melihat wajah sembab diliputi kesedihan itu, ia tahu bahwa apa yang dikatakan oleh Risma bukanlah candaan.

Hari itu, suasana di rumah majikan Layla terasa tegang. Sejak dia datang, dia merasakan firasat buruk menggelayuti perasaannya.

Dia melihat ibu mertuanya, Bu Lastri yang sudah sepuh, duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kegelisahan. Layla mencoba memahami apa yang terjadi, tetapi segera terkejut saat melihat beberapa polisi pun turut hadir di sana.

Dalam kebingungan, Layla berlari mendekati ibu mertuanya. "Bu, apa yang terjadi?" tanyanya dengan cemas.

Melihat menantunya datang, Bu Lastri kembali menangis sesenggukan. "Mereka menuduh ibu meracuni Theo, Layla. Padahal Ibu tidak pernah melakukan itu. Ibu tidak tahu apa-apa, Layla. Tolong percayalah pada Ibu."

Layla mencoba menenangkan dirinya dan ibu mertuanya dengan memeluknya dan memegang tangan Bu Lastri lembut.

"Ibu mengatakan berkali-kali pada semua orang, tapi mereka tidak percaya pada Ibu, Layla. Tuan sudah memanggil polisi untuk menangkap Ibu. Sekarang, apa yang harus Ibu lakukan, Nak?" Bu Lastri menangis pilu dalam pelukan menantunya.

"Ibu tenang dulu ya. Sudah jangan menangis lagi. Aku akan bicara pada nyonya dan memohon padanya agar dia mau memaafkanmu." katanya berjanji.

Sejujurnya dia juga tak yakin apakah majikannya bersedia memaafkan mereka. Bila itu sudah menyangkut kedua anak majikannya, tuan dan nyonya bisa berubah menjadi orang yang keras hati.

Dua orang polisi yang datang atas panggilan Tuan Angga selaku majikan Layla lantas mendekat.

“Anda harus kami bawa ke kantor sampai hasil penyelidikan selesai dan Anda terbukti tidak bersalah, Bu Lastri.”

Tanpa babibu, dua orang polisi lantas membawa Bu Lastri pergi. Melihat ibu mertuanya di giring layaknya seorang penjahat kriminal, hati Layla seperti diiris belati.

Segera tanpa membuang-buang waktunya, Layla mengitari pandangan ke sekeliling ruangan. Mencari keberadaan majikannya yang belum kelihatan batang hidungnya sejak dia datang ke rumah.

Risma yang notabene seorang pembantu juga di rumah tersebut kemudian memberitahu keberadaan majikan mereka berdua.

"Tuan Angga pergi ke rumah sakit menemani tuan kecil. Sedangkan Nyonya tinggal di sini untuk mengurus penahanan ibumu, La."

Kini, kedua matanya yang jernih dan meneduhkan kabur oleh air mata yang menggenang.

"Lalu di mana Nyonya sekarang, Ris? Aku harus bertemu dan bicara padanya, pasti sudah terjadi kesalahpahaman."

"Nyonya ada di lantai atas, La. Pergilah sekarang. Jangan buang waktumu di sini." ucap Risma sama sedihnya dengan temannya.

"Terima kasih karena selama aku tidak ada, kamu menemani ibuku." ujar Layla merasa bersyukur.

"Tidak perlu berterima kasih, Layla. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantumu." jawab Risma dengan bibir bergetar pelan.

Sebelum Layla hendak melangkah menemui majikannya, Nyonya Kusuma yang ada di lantai dua muncul. Wanita berusia empat puluhan itu turun ke bawah. Saat wanita itu melihat Layla, raut wajahnya yang dipenuhi amarah terlihat menakutkan.

Nyonya Kusuma, berdiri di depannya dengan sikap sombong dan dipenuhi kebencian.

"Nyonya Kusuma, saya mohon kepada Anda tolong bebaskan ibu saya. Saya yakin ibu saya tidak bersalah. Nyonya, pasti ada kesalahpahaman di sini. Ibu saya tak mungkin melakukan kejahatan semacam itu pada Theo." Layla mendekati Nyonya Kusuma sambil memohon dengan sungguh-sungguh.

Nyonya Kusuma mengangkat alisnya sinis, "Layla, Jangan terlalu berharap aku semudah itu melepaskan ibumu. Ibumu telah melakukan dosa besar dengan meracuni anakku. Dia tidak pantas mendapatkan kebebasan!"

"Nyonya Kusuma, saya percaya ibu saya tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Selama ini, Ibuku selalu menjaga orang lain dengan tulus dan tanpa pamrih. Mana mungkin tega meracuni Theo yang telah dianggapnya seperti cucu sendiri?"

"Kasih sayang? Apakah itu yang terlihat ketika dia menjadi pembantu di rumahku? Dia pemalas dan penuh tipu muslihat! Kamu dan ibumu sama-sama licik dan tidak patut tinggal di sini! Andai bukan karena permintaan suamiku, sudah kutolak permohonanmu untuk membawa ibumu yang tua itu kemari!"

"Layla, jangan harap aku melepaskan ibumu begitu saja!" ucap Nyonya Kusuma penuh emosi.

Air mata mengalir di wajah Layla saat bujukannya malah dibalas hinaan. Pada akhirnya, permohonan maaf serta bujukannya tak mampu meredakan kemarahan sang majikan. Persidangan akan tetap berlangsung dan dia hanya bisa melawan demi membuktikan kalau ibunya tak mungkin melakukan kejahatan tersebut.

***

Layla tidak punya banyak waktu istirahat meski tubuhnya lelah luar biasa sebab beban kerja seharian ini. Setelah ia tidak berhasil menyakinkan sang majikan, ia langsung menanyakan kronologi kejadiannya pada Risma dan suster pembantu yang menjaga Theo saat itu.

"Dari rekaman CCTV memang ibu mertua kamu yang salah ngasih minuman buat Theo, Layla."

"Aku tinggal bentar ke kamar mandi, La. Aku minta tolong ke Bu Lastri buat jagain Theo sebentar. Aku nggak nyangka kalau kejadiannya bakal sampai gini. Aku merasa bersalah ke kamu, La. Andai bukan karena permintaan aku, ibumu yang rabun itu nggak mungkin salah ngasih minuman ke Theo."

Mendengar penuturan dua orang terdekatnya semakin melenyapkan harapan yang Layla miliki.

Karena usianya, ibu mertuanya memang punya masalah penglihatan dan juga pendengaran. Oleh sebab itu, ibu mertuanya itu hanya ditugaskan untuk menjaga kebun dan bersih-bersih halaman saja. Sedangkan dia bertugas sebagai ART sekaligus pengasuh Stella yang usianya kini tiga belas tahun dan sudah bersekolah.

"Jadi selama hal itu terjadi, cuma ada ibu dan Theo saja di dapur?"

Risma mengangguk, begitu pula dengan Lina.

"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sekarang?"

Layla tersungkur ke lantai, menangis terisak saat bayangan tidak dapat menyelamatkan ibu mertuanya dari penjara terngiang-ngiang dalam benaknya.

Risma yang ikut merasa sedih memeluk Layla erat. Bisikan-bisikan bernada lembut, kata-kata penyemangat dan nasehat dia bisikkan demi membuat wanita berparas ayu itu tenang.

"La, kamu yang kuat ya. Aku mungkin nggak bisa bantu kamu apa-apa. Tapi nanti, selama polisi minta kesaksian dari kami, aku janji akan bicara sebenar-benarnya."

"Begitu pula denganku, Layla. Aku janji bakal bantuin kamu." Lina ikut berlutut. Tangis sedih mengalir di pipinya saat rasa bersalah menimpanya.

***

Dalam keadaan linglung, Layla pergi ke kantor polisi. Seorang diri dia duduk di kursi dan menunggu salah satu petugas muncul. Tak lama, seorang pria datang dan duduk di hadapannya.

"Pak, bagaimana keadaan ibu saya?"

"Kamu siapanya Bu Lastri?" tanya petugas itu pada Layla.

"Saya menantunya, Pak,"

"Saya lihat dari catatan riwayat hidup, Bu Lastri sebatang kara ya, Mbak?"

Layla mengangguk mengiyakan.

"Suami saya yang sekaligus putra satu-satunya meninggal lima tahun lalu, Pak. Setelah itu, beliau saya yang urus." Aku Layla jujur.

Pak polisi menatap lama perempuan cantik yang kini tampak sedih dan pucat dengan tatapan kompleks. Kenapa masih ada sosok wanita yang masih baik yang mau merawat ibu mertuanya padahal suaminya sudah meninggal dunia?

Tak mau ikut campur masalah yang bukan urusannya, petugas polisi itu lantas kembali bicara.

"Tim kami masih menyelidiki kasus ibumu, Mbak. Meski dari rekaman CCTV di rumah memang benar kalau Bu Lastri yang memberikan botol minum itu kepada korban, kami masih harus melakukan penyidikan lanjutan."

"Rekaman CCTV?" gumam Layla tak berdaya. Ia sudah mendengar berita ini dari dua temannya tadi.

"Sejauh ini, rekaman tersebut merupakan bukti terkuat selain barang bukti yang telah kami ambil dari tempat kejadian."

Setetes air mata kembali jatuh di pipi Layla. Ia berusaha menahan isaknya dan dengan menyakitkan bertanya kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada ibu mertuanya.

"Andai... Andaikan ibu saya diputuskan bersalah, berapa lama kira-kira hukumannya, Pak?"

"Hukumannya bergantung seberapa besar kejahatan dan dampak dari kejahatan yang telah dilakukan oleh ibu Anda. Dalam kasus ibu mertua Anda, kemungkinan Bu Lastri akan dihukum penjara minimal lima tahun dan maksimal dua puluh tahun."

"Ya Tuhan...." Layla kehilangan kata-kata. Dunianya terasa runtuh tatkala membayangkan ibu mertua yang disayanginya menghabiskan masa tuanya di balik jeruji besi.

Merasa iba, polisi lantas memberikan saran, "Anda perlu mencari seorang pengacara selama kasus sidang nantinya. Jika mbak kebingungan menemukan seorang pengacara, tim hukum kami bisa membawa salah satu pengacara untuk menemani mbak dalam menangani kasus ini. Mbak juga diperkenankan membawa pengacaranya sendiri."

Layla berjalan dengan pandangan kosong dan banyak pikiran menyusuri lorong. Saat di pertigaan lorong itu, dia berpapasan dengan beberapa orang pria. Namun karena Layla tidak melihat ke arah sekitarnya, dia berjalan begitu saja tanpa ada niatan mengawasi kiri dan kanannya.

Pada saat itu, salah satu dari pria yang mengenakan setelan formal, ada pria paling jangkung di antara mereka dengan wajah tampan terpahat sempurna melirik ke arah Layla dengan raut penasaran.

Salah temannya yang menyadari kediamannya pun menginterupsi pandangan pria yang tampak berwibawa tersebut.

"Ada apa? Kenapa kamu berhenti berjalan?”

“Ah, tidak. Sepertinya aku melihat seorang kenalan.” balasnya seraya menarik pandangannya kembali ke depan.

“Malang sekali perempuan itu,” Tiba-tiba seorang polisi yang ada diantara mereka berbicara.

Hansen yang tertarik lantas menanggapi.

“Ada masalah apa dengan wanita tadi?”

“Ibu mertuanya di tahan di sini. Kalau tidak salah atas kasus percobaan pembunuhan.”

“Pembunuhan?”

“Begitulah yang saya dengar dari komandan. Karena bukan saya yang menangani kasusnya, jadi saya tidak banyak informasi yang tahu.”

“Hans, kenapa? Sepertinya kamu sangat tertarik dengan wanita yang lewat tadi.” Robin kembali bertanya karena merasa aneh dengan sahabatnya.

“Bukan apa-apa. Kita lanjutkan saja pekerjaan kita di sini.” ujar Hansen memotong pembicaraan. Namun dalam batinnya, ia begitu yakin mengenal wanita yang tadi itu.

Itu seperti gadis yang ia temui di acara reuni sekolahnya beberapa tahun silam. Alasan mengapa dia mengingatnya tak lain adalah dia memiliki ingatan tajam dan seseorang yang cantik jelita seperti wanita itu yang merupakan tipenya, sangat berkesan untuk dirinya ingat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status