"Rasanya nikmat seperti yang aku bayangkan, Layla." bisik Hansen tepat di depan wajah wanita itu yang kini memerah dan sepasang mata indah itu bergetar ringan.
"Ya Tuhan... bagaimana bisa seenak ini?" ulang Hansen sambil mencium bibir bengkak memerah itu berulang-ulang. Seolah dia tercandu-candu dan tak ingin berhenti untuk terus mencicipinya.Layla yang mulai merasa sakit pada mulutnya kemudian menutupnya dengan telapak tangan dan ciuman pria itu berhenti di sana.Hansen menatap Layla cemberut."I-Ini sudah cukup kan?"Walau nampaknya dari ekspresi pria itu menyiratkan belum cukup, namun Hansen akhirnya bangun dari menindih Layla. Ia merapikan jasnya yang kusut, menata kembali penampilannya agar rapi seperti sedia kala.Layla ikut bangun, tetapi langsung mengerutkan keningnya saat pandangannya menggelap sejenak. Pusing membelah kepala membuat pelipisnya sakit."Ada apa?""Ya? Ah tidak, bukan apa-apa," balasnya menutupi ketidaknyamanannya pada lelaki itu. Dia tidak mau disangka lemah dan berpura-pura ingin menarik perhatian Hansen."Ayo, aku akan membawamu ke suatu tempat." Hansen mengulurkan tangannya ke depan."Kita akan pergi ke mana?" Layla menerima uluran tangan Hansen setengah ragu."Menemui seseorang yang dapat menikahkan kita." ujarnya dengan senyum seringai yang tampak nakal tapi tetap tampan.Layla dan Hansen pergi dari kantor hukum Law Firm HRS menggunakan mobil. Dalam perjalanan, Layla merasa seluruh tubuhnya nyeri dan dia jatuh tertidur tanpa sadar.Saat Hansen melirik ke arahnya, dia tidak mencoba membangunkannya dan terus mengemudikan mobil menuju ke tempat tinggalnya."Hei, bangun," Hansen membangunkan Layla yang tidak kunjung sadar dan hanya merintih sebagai balasan."Layla?""Um?" Wanita itu menatap Hansen dengan pandangan kabur."Mukamu merah sekali,""Benarkah?" Layla menyentuh pipinya dan dia merasakan panas di sana, "Tapi aku merasa kedinginan."Hansen menyadari ada yang salah dengan Layla. Sontak ia meraba kening wanita itu, dan terkejut dengan panas membara yang menyengat kulit tangannya."Kamu demam.""Aku demam? Sepertinya begitu," setuju Layla tak menyadari tingkah lakunya yang kini mirip anak kecil.Pria itu mengembuskan napas panjang. Sebelum memutuskan keluar dari mobil, Hansen melakukan panggilan memanggil dokter kenalannya agar datang ke rumah."Tidak, aku tidak di kantor. Datang saja langsung ke rumahku." beritahu Hansen pada seseorang yang ia telepon.Ada keheningan lama dari ujung panggilan saat Hansen menyatakan kalau dia sedang di rumah. Seakan, saat mengetahui pria gila kerja itu tidak berada di kantornya di jam segini merupakan pemandangan mustahil."Oke, aku menunggumu." kata Hansen lagi sebelum menyudahi panggilan telepon itu.Setelah panggilan usai, dia keluar dari mobil. Berjalan dengan langkah mantap menuju ke kursi penumpang dan membuka pintunya. Ia meraih Layla yang sudah lemas dengan tubuh panas membara untuk ia gendong, lalu dibawanya ke dalam rumahnya.Untuk pertama kalinya setelah dia berumur tiga puluh tahun, Hansen Harrison akhirnya membawa pulang seorang wanita. Andai orangtuanya mengetahui hal itu, pasti mereka akan sangat terkejut.***Malam itu, bangsal rumah sakit di bagian VIP terlihat lengang. Seseorang datang dengan langkah pelan tanpa suara menyusuri lorong. Tiba di depan pintu kamar rawat, orang itu membuka pintu hingga terbuka dengan sangat hati-hati.Tidak ada siapa pun di bangsal selain seorang bocah laki-laki yang terlihat tertidur dengan damai di atas brankar."Seharusnya kamu langsung mati! Kenapa masih selamat, huh?!"Sebuah tangan terulur mengambil bantal dari bawah kepala bocah lelaki itu. Tepat saat orang tersebut ingin menekankannya ke wajah tertidur si bocah, suara orang berjalan dari luar dan di susul suara pintu terbuka membuat aksinya terhenti."Nyonya tidak perlu khawatir. Dokter telah berhasil melakukan pertolongan pertama pada Theo. Selain itu beruntung sekali Theo tidak banyak menenggak minuman yang terkandung racun itu, jadi keracunannya tidak terlalu berdampak buruk pada tubuhnya." perawat menenangkan Nyonya Kusuma yang datang ke rumah sakit untuk menjenguk putranya."Lega sekali mendengarnya dokter. Terima kasih karena kalian sudah menyelamatkan putra kami." Nyonya Kusuma tampak tulus. Berbeda sekali saat dia memarahi dan menghina Layla pada hari kejadian celaka itu terjadi.Dua perempuan itu masuk ke dalam bangsal dan tampak terkejut melihat seseorang hadir di sana. Tepat berdiri di samping Theo yang masih tertidur.Nyonya Kusuma terheran-heran melihat salah satu pekerja di rumahnya muncul di kamar rawat sang putra."Kenapa kamu bisa ada di sini?""Nyonya, tuan menyuruh saya datang untuk menemani tuan kecil. Tuan Angga khawatir kalau tidak ada yang menemani tuan kecil di sini. Maka dari itu saya datang kemari." jelas orang itu dengan nada tenang."Oh, jadi suamiku yang menyuruhmu. Yah, baguslah. Setidaknya aku punya seseorang yang dapat membantuku jika aku membutuhkan sesuatu." kata Nyonya Kusuma tidak curiga.Orang itu tersenyum kecil. Ia mengambil jarak dari brankar dan bantal yang tadi diambilnya kini berada di tempat semula.Nyonya Kusuma mengambil duduk di sisi ranjang Theo. Kemudian mengintruksikan pada pembantunya itu agar membelikan dia kopi."Di restoran rumah sakit di lantai bawah ada toko roti dan mereka juga menjual berbagai minuman di sana. Rasanya dijamin enak. Anda bisa datang ke sana untuk membeli." suster itu menyarankan dengan senyum ramah. Dan Nyonya Kusuma yang mendengar penuturan suster menyuruh pembantunya itu agar pergi ke sana."Kalau begitu saya akan pergi, Nya." katanya berpamitan dengan senyum sopan."Ya, cepatlah. Jangan lama-lama."Keesokan harinya, di sebuah rumah dua lantai.Hansen kedatangan tamu yang tak lain merupakan sekretarisnya di kantor hukum serta sahabat karibnya yang juga seorang pengacara. Kedua pria itu sedang duduk di ruang tengah selagi Hansen mempelajari kasus percobaan pembunuhan yang dituduhkan pada ibu mertua Layla.Saat Hansen sedang membaca dokumen, dia juga bertanya pada sang sekretarisnya, "Apa kamu sudah melakukan apa yang aku perintahkan?"Jordan yang sedang fokus dengan ponselnya lantas mengalihkan tatapannya kembali ke arah Hansen. Dan melirik ke arah pria berkacamata yang merupakan sekretaris sahabatnya tersebut. Charlie. "Aku sudah menemui Julie yang rencananya akan menjadi pengacara dari pihak penuntut. Aku mengatakan padanya untuk melanjutkan proses sidang," jawab Charlie. "Mereka pastinya sudah mulai melakukan penyelidikan dari tempat kejadian dan mewawancarai saksi mata kan?" Hansen bertanya disela dia sedang mempelajari kasus tersebut Dan kini beralih pada Jordan."Ya, kamu
Layla belum sepenuhnya pulih dari demam, tapi Hansen telah membombardirnya dengan pilihan sulit ketika turun ke bawah untuk menemuinya."Duduk. Kamu belum sarapan kan, makan dulu. Baru nanti kita membahasnya lebih lanjut setelah kamu selesai mengisi perutmu." ujarnya menyuruh Layla yang membeku tak bergerak agar duduk.Patuh, Layla mengambil duduk di hadapan Hansen. Ia tidak punya nafsu makan dan sakit yang dialaminya semakin membuat dia tidak ingin makan apa pun. Akan tetapi setelah Hansen melihatnya dengan alis terangkat karena cuma duduk diam saja, jadinya ia terpaksa mengangkat sendoknya.Setelah beberapa saat makan dalam keadaan hening dan mereka berdua selesai sarapan. Hansen memanggil bibi pembantu agar membereskan meja. Ia mengajak Layla pindah ke ruang tengah.Jordan maupun Charlie sudah pergi setelah Hansen naik ke kamarnya. Sekarang, tersisa bekas minuman dan puntung rokok di asbak tatkala Layla tiba di sana."Seperti yang sudah kamu ketahui, aku meminta sahabatku untuk menj
Tidak sampai setengah jam, sekarang Layla resmi jadi istri sah Hansen meski hanya secara agama saja. Dua pria yang menikahkan mereka telah pergi, menyisakan tiga orang duduk di ruang tengah. Jordan yang bersikeras ingin bicara pada Hansen menunggu dengan ekspresi marah di tempat dia duduk. "Tunggulah aku di kamar. Aku akan menyusul setelah menyelesaikan pembicaraan dengan sahabatku." titah Hansen pada Layla. Sebelum pergi, tak lupa lelaki itu menyematkan ciuman pada sudut mulut istri barunya. Menuruti perkataan Hansen, Layla naik ke lantai atas dengan wajah sangat malu dan panas. Ia dapat merasakan tatapan tajam Jordan yang terus terarah kepadanya. Pria yang ia tahu merupakan sahabat Hansen itu secara terang-terangan memandangnya penuh hinaan dan cemoohan. Meski ia merasa tak nyaman, namun dia hanya bisa menanggungnya. Lagipula, dia tak punya alasan untuk membela diri apabila kebenarannya sudah terpampang nyata ke permukaan. Bahwa demi sesuatu yang ia mau, dia rela menjual tubuhny
Tubuh Hansen yang berotot dan basah membuat Layla menelan ludah gugup. Layla merasa panas naik ke pipinya. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya. Mendapatkan persetujuannya, Hansen kembali menangkap dagu itu, mengangkatnya agar menatap padanya. Tanpa tedeng aling-aling, ia segera melumat bibir yang telah menarik perhatiannya dengan rakus. Refleks, Layla memejamkan mata dan dengan gemetar berusaha menenangkan diri tapi gagal. Apalagi saat tangan besar itu mulai menurunkan bathrobe yang ia gunakan ke samping, ia langsung gugup dan merasa ketakutan. Hansen yang melihat tingkah dan kegugupannya, meraih tangan Layla di atas pahanya lalu memegangnya dengan lembut. Dua telapak tangan berbeda ukuran saling menggenggam satu sama lain. Ia menghentikan ciuman itu sejenak, dengan suara rendah dan serak ia bilang, "Rileks, Layla." Layla menatap Hansen, matanya berkilauan di ruangan temaram kamar mereka. "Aku... aku hanya sedikit takut," ujarnya dengan jujur, suaranya ber
Layla terbangun dengan mata sulit dibuka. Ia terbaring telungkup dengan sisi wajah miring. Dan pada saat itu, dari arah belakangnya terdengar suara serak Hansen yang ternyata bangun juga. Atau, pria itu belum tidur? "Kamu bangun? Bagus, setidaknya aku tidak lagi merasa seperti sedang menyetubuhi mayat yang tak bergerak,""Tu-tunggu.... Enhh," Layla tersentak. Ia baru saja bangun dan kini jadi sadar sepenuhnya saat hentakan keras kembali dia terima. "Aku... aku lelah," mohonnya namun tidak ditanggapi oleh pria yang kini mencengkramnya kuat dalam pelukan. Punggungnya yang telanjang dan berkeringat bersandar pada dada bidang berotot di belakangnya. "Jangan pingsan dulu, Layla. Kamu baru saja bangun, dan sekarang mau pingsan lagi? Aku bilang, aku tidak mau merasa seperti sedang berhubungan intim dengan mayat, jadi jangan tidur dulu," perintahnya terdengar dingin dan menuntut. Namun Layla yang tidak tahu sudah berapa lama mereka saling bersentuhan mulai merasakan panas dan berdenyut di
Layla keluar dari kamar setelah dia selesai mandi dan mengenakan pakaian yang layak untuk dilihat orang. Ia ingat kalau di rumah, bukan cuma dia saja yang tinggal melainkan ada dua pembantu yang bertugas membersihkan rumah dan memasak. Langkah demi langkah, Layla berjalan perlahan menuruni anak tangga. Padahal sudah lama berlalu tapi dia secara samar masih bisa merasakan gemetar pada kedua kakinya. Di lantai bawah, Layla berpapasan dengan wanita yang usianya lebih tua darinya. "Permisi," "Oh astaga... Anda sudah bangun?" Wanita yang ternyata salah satu pembantu itu bertanya pada Layla. "Ya, maaf saya mengagetkan Anda." ujarnya tak enak hati.Wanita itu tersenyum perhatian, lantas bertanya pada Layla, "Anda pasti lapar kan?""Ahh, iya," Layla bergumam malu."Tuan muda telah memberitahu kami agar melayani nona dengan baik. Apa demam Anda sudah turun? Bagaimana keadaan Anda? Apa ketidaknyamanan di mana pun?" "Saya baik-baik saja, dan untuk demamnya pun sudah turun.""Syukurlah. Tua
Layla tidak membawa ponsel yang ia tinggalkan di rumahnya. Dan sekarang, saat dia tidak punya kegiatan apa pun di rumah besar Hansen, dia ingin sekali mengunjungi ibu mertuanya untuk memastikan keadaannya. Namun karena kendala komunikasi, dia bingung harus memutuskan yang mana dulu. "Apa aku tanya saja pada Eli? Dia pasti tahu cara menghubungi Hansen." gumamnya sambil berpikir keras. Dia tidak berani pergi keluar rumah tanpa meminta izin dulu pada Hansen. Karena menurut Bibi pembantu di rumah tadi, dia tidak diizinkan kemana-mana dan harus tinggal di rumah untuk beristirahat sampai keadaannya sembuh total. "Aku coba saja," putusnya lalu pergi ke luar untuk menemui Bibi pembantu yang ia kenal.Di ruangan khusus untuk para pembantu bersantai, Layla menemukan Eli dan Bibi paruh baya yang ia ketahui namanya sebagai Bi Arum sedang menonton televisi sambil melipat baju. Tampaknya itu baju milik mereka yang habis di angkat dari jemuran. "Bi," Layla memanggil pelan dan kedua wanita beda u
Pada saat Layla datang mengunjungi ibu mertuanya, Bu Lastri langsung dipanggil oleh petugas polisi untuk menemuinya. Melihat sang menantu datang betapa bahagianya Bu Lastri. "Bu.""Layla... Kamu kemana saja, Nak? Kenapa kemarin tidak datang menjenguk Ibu? Ibu sudah cemas dan berpikir tidak-tidak. Ibu takut sesuatu terjadi padamu, Layla," Bu Lastri menggenggam tangan sang menantu dan meremasnya erat. Ia benar-benar khawatir pada Layla. Layla merasa terkejut mendengar serentetan pertanyaan yang diajukan oleh ibu mertuanya. Hatinya merasa sedih namun demikian ia tidak menunjukkan kesedihannya tersebut. "Maafkan aku, Bu. Kemarin aku sedang beberes dari rumah Nyonya Kusuma sampai-sampai kelelahan sekali. Nyonya memecat kita, jadi karena itu aku sekarang kembali tinggal di rumah yang ada di Cikarang." "Ya Tuhan... Lalu bagaimana? Kalau kita dipecat...." Bu Lastri tertunduk lesu, merasa bersalah karena kecerobohan yang telah dirinya perbuat. "Pasti sulit buat kamu Layla dapat kerjaan bar