Share

Bab 6| Rencana Pembebasan

Keesokan harinya, di sebuah rumah dua lantai.

Hansen kedatangan tamu yang tak lain merupakan sekretarisnya di kantor hukum serta sahabat karibnya yang juga seorang pengacara.

Kedua pria itu sedang duduk di ruang tengah selagi Hansen mempelajari kasus percobaan pembunuhan yang dituduhkan pada ibu mertua Layla.

Saat Hansen sedang membaca dokumen, dia juga bertanya pada sang sekretarisnya, "Apa kamu sudah melakukan apa yang aku perintahkan?"

Jordan yang sedang fokus dengan ponselnya lantas mengalihkan tatapannya kembali ke arah Hansen. Dan melirik ke arah pria berkacamata yang merupakan sekretaris sahabatnya tersebut. Charlie.

"Aku sudah menemui Julie yang rencananya akan menjadi pengacara dari pihak penuntut. Aku mengatakan padanya untuk melanjutkan proses sidang," jawab Charlie.

"Mereka pastinya sudah mulai melakukan penyelidikan dari tempat kejadian dan mewawancarai saksi mata kan?" Hansen bertanya disela dia sedang mempelajari kasus tersebut Dan kini beralih pada Jordan.

"Ya, kamu benar,"

"Bagaimana dengan bukti?"

"Ada di tangan polisi,"

"Saksi mata?"

"Mereka sudah diperiksa dan tidak ada yang janggal." jawab Jordan singkat.

Hansen meletakkan dokumen itu di atas meja. "Rekamannya?"

"Kamu harus datang ke sana untuk bisa melihatnya sendiri."

"Kenapa kamu tidak membawanya? Aku kan sudah memintanya padamu?" Hansen terlihat kesal.

"Kamu kan tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Pak Polisi tua itu. Saat dia mendengar soal kedatanganku tadi malam, dia langsung kembali ke kantor dan mencercaku dengan banyak pertanyaan yang menyebalkan sekali." Jordan ikutan jengkel saat dia mengingat kejadian tadi malam di mana Hansen memerintahkannya untuk pergi ke kantor polisi.

Dia diminta oleh sahabatnya ini untuk membantu wanita asing yang belum pernah dia temui. Saat ditanya siapa, Hansen cuma menjawab satu nama saja. Benar-benar menjengkelkan.

Untuk ke depannya, dia lah yang akan menjadi pendamping ibu mertua Layla dalam memperjuangkan kasus fitnah itu.

Hansen tidak bisa secara terbuka membantu Layla sebab identitasnya yang merupakan seorang pengacara dari kantor hukum Law Firm HRS di mana majikan Layla meminta bantuan mereka.

"Huh," Hansen mendengus, lalu melenggang naik ke lantai atas untuk mengecek apakah Layla sudah bangun atau belum.

Melihat kepergiannya serta suara dengusannya membuat Jordan ingin menendang sahabat dinginnya yang tak punya hati.

"Ck, dia pasti kesambet malaikat, itulah mengapa tiba-tiba dia jadi orang yang punya hati nurani hingga mau menolong seseorang tanpa dibayar." Jordan berkomentar sarkas.

Charlie mendengar omelannya, dan kemudian menanggapi tuduhan tak benarnya, "Bukannya tidak dibayar. Lebih tepatnya, dia meminta tubuh manusia itu sendiri sebagai bayaran."

"Serius?" Jordan kaget setengah mati hingga kopi yang diminumnya muncrat ke dagu. Ia pun mengelapnya dan dengan tatapan horor menatap Charlie.

"Perempuan yang diminta olehnya adalah manusia yang aku maksud." imbuh Charlie lagi sebelum menghentikan pembicaraan mereka.

"Astagaaa... Dia pasti sudah gila!"

Hansen yang tidak mengetahui bahwa dia kini menjadi pembicaraan orang terdekatnya terus berjalan menaiki tangga menuju ke kamar pribadinya.

Tadi malam dokter sudah memeriksa kesehatan Layla. Dokter menyatakan tidak ada luka serius selain Layla mengalami tekanan mental dan banyak pikiran yang mengakibatkannya stres. Ditambah dengan dia kehujanan dan adanya memar tanpa penanganan yang benar, tak pelak membuat wanita itu langsung tumbang kemarin.

Ketika Hansen tiba di kamarnya, ternyata Layla belum bangun. Wanita itu tidur dengan damai dan suhu badannya yang panas pun mulai mereda.

"Kamu sedang memimpikan apa Layla sampai wajah cantikmu ini menunjukkan ekspresi langka seperti itu?" Hansen mengusap lembut kening dan pipinya dan merasa penasaran dengan mimpi Layla.

Dalam tidurnya, wanita itu menunjukkan raut wajah seperti sedang tertawa. Berbanding terbalik dengan keadaan kacaunya kemarin ketika datang memohon agar dia membantunya.

Layla bermimpi tentang saat-saat dimana hidupnya paling bahagia. Ada Erwin, sang suami yang begitu menyayanginya dan juga ibu mertuanya yang sangat perhatian memperlakukan dirinya.

"Bu, coba lihatlah. Perut istriku bergerak-gerak aneh." Erwin yang merasa takjub memanggil Bu Lastri yang ada di dapur.

Layla tersenyum hanya saat menyaksikan ayah dari anaknya tampak girang melihat perutnya yang bergerak sebab tendangan bayi dari dalam.

"Erwin, bukannya ibu menyuruhmu untuk memijat kaki istrimu? Kenapa kamu malah bermain-main dengan perutnya?" Bu Lastri muncul dengan memegang centong di tangan.

Walau umurnya sudah lima puluhan, tapi ibu mertua Layla tampak awet muda. Bu Lastri terkenal energik dan suka mengerjakan pekerjaan rumah yang memungkinkan dia tidak rewel terhadap menantu satu-satunya yang ia miliki. Dia sangat menyayangi Layla dan menganggapnya seperti anaknya sendiri.

"Bu, kakiku sudah dipijat kok. Mas Erwin sudah melakukan tugasnya dengan baik dalam menjaga kami." ucap Layla sambil tersenyum.

Erwin tertawa lebar saat istrinya membelanya. "Kan, Bu? Aku tidak berbohong padamu. Aku telah menjaga istri dan anakku dengan baik. Jadi jangan mengomeliku terus menerus."

Bu Lastri hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku keduanya yang memang tak suka bila dia menegur.

Layla terbangun dari tidur panjangnya dengan sudut matanya mengalir tangis. Saat pandangannya mengabur, dia tidak dapat melihat dengan jelas sekelilingnya dan tidak menyadari kehadiran Hansen yang sedang duduk di sampingnya.

Dia baru menyadari seseorang tengah bersamanya saat sebuah tangan mengusap lelehan air mata dari kedua pipinya.

"Aneh, padahal tadi kamu terlihat senang waktu tidur. Tapi sekarang, begitu kamu bangun, kamu jadi cengeng sekali lagi."

Layla langsung terjaga mendengar suara beratnya. Ia memalingkan muka ke samping dan wajah dekat Hansen lah yang ia temui. Layla langsung kaget, merasa jantungnya hampir mau copot karena tiba-tiba melihat Hansen sangat dekat.

"Aku di mana?"

"Rumahku. Kamu pingsan tadi malam dan aku sudah memanggil dokter untuk memeriksamu,"

"Pingsan?" gumam Layla.

"Kamu tidak ingat?"

Wanita itu menggeleng. Dia hanya merasa seluruh tubuhnya sakit dan panas. Jika dia sakit seperti yang dikatakan oleh Hansen, apa itu artinya pria ini lah yang menjaganya?

Menyadari kemungkinan itu, Layla menatap Hansen kembali, kemudian berterima kasih karena telah merawatnya.

"Terima kasih,"

"Tidak perlu berterima kasih. Itulah yang seharusnya aku lakukan terhadap calon istriku,"

Layla tertegun, tapi tidak menampik ucapannya karena memang benar adanya.

"Kalau kamu sudah merasa mendingan, aku akan segera menikahimu. Jadi, beristirahatlah dengan baik di sini." Hansen berdiri.

Sebelum lelaki itu berbalik dan berjalan, Layla memegang tangannya.

"Tunggu, Hans. Lalu, ibuku, bagaimana dengan ibuku?"

"Ibumu?"

"Kamu sudah berjanji akan membantu ibuku." Layla mengingatkan.

"Aku sudah membawakan seorang pengacara yang akan membantu mengeluarkan ibumu dari penjara. Kami masih mempelajari kasusnya sebelum sidang di mulai." ujarnya menjelaskan dan tidak menutupi apa pun.

"Bukan kamu yang akan mendampingi ibuku?" tanya Layla cemas.

Hansen mengulurkan tangannya ke depan, menjepit dagu wanita cantik itu agar menghadap ke arahnya. Raut gelisahnya sungguh menyedihkan, apalagi dengan kedua mata memerah yang siap menangis.

"Aku... Tugasku adalah menemani dirimu. Meskipun bukan aku pengacaranya, tapi kamu tidak perlu khawatir. Jordan juga seorang pengacara profesional yang tak kalah dariku, Layla."

Menghadapi mata tajam dan serius itu, Layla menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

Hansen mengelus dagu serta membuka paksa bibirnya yang pucat dengan ibu jarinya, kemudian memajukan wajahnya dan mencium bibir itu lembut. Ciuman itu hanya sebentar, tidak lama dan seintens kemarin namun Layla merasakan tubuhnya masih gemetar keras.

"Kalau kamu membutuhkan sesuatu, kamu bisa menelepon. Aku ada di bawah dan pelayan juga. Mereka akan datang untuk membantu menyiapkan semua keperluanmu." ucapnya terakhir kali sebelum kemudian melangkah keluar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status