Share

Bab 2| Kecantikan Membawa Petaka

Beberapa hari kemudian setelah penangkapan ibu mertuanya dan gagalnya dia mendapatkan pengacara yang mau membelanya, Layla datang ke sebuah kantor firma hukum yang ia dapat alamatnya dari kartu nama yang ditinggalkan oleh mendiang sang suami.

Secara kebetulan, kantor itu juga merupakan gedung Law Firm HRS yang kata beberapa pengacara yang ia temui tak mungkin menang melawan mereka.

Erwin memang pernah bilang kalau salah teman dekatnya telah sukses menjadi seorang advokat hebat. Dan dia teringat samar-samar pada sosok teman yang dimaksud oleh Erwin dahulu.

Sebuah gedung besar dan tinggi berdiri kokoh di hadapan Layla. Ia merasa malu berada di lingkungan yang bukan seperti tempatnya. Orang-orang yang ia temui di lobi tampak seperti orang pintar, cara berpakaiannya rapi dan berkelas, sampai cara berjalannya pun seperti menampilkan keanggunan seorang lulusan sarjana terkenal. Dibandingkan dengan dirinya yang berpakaian lusuh dan menderita memar, ia merasa malu.

Layla menguatkan dirinya dan melangkah masuk. Di lobi, ia pergi ke bagian resepsionis. Ia menyerahkan kartu nama dan bilang kalau ingin bertemu dengan Hansen Harrison.

Kebetulan saat itu waktunya pulang kerja. Dan banyak pegawai keluar dari mengentaskan pekerjaannya untuk pulang ke rumah.

"Apa Anda sudah memiliki janji?"

"Be-belum. Tapi saya seorang kenalan. Anda... Dapatkah Anda memberitahu Tuan Hansen jika istri dari Erwin Aditama datang berkunjung dan ingin menemuinya sekarang."

Wanita di bagian resepsionis itu ragu-ragu sejenak.

"Tolong, saya mohon. Tolong beritahu kedatangan saya padanya. Jika nanti Tuan Hansen menolak ingin bertemu, saya... Saya akan segera pergi."

Maka, wanita bagian resepsionis itu segera melakukan panggilan ke ruangan Hansen.

"Pak, Ada seorang wanita bernama nyonya Layla Salsabila. Beliau meminta bertemu dengan Anda sekarang."

["Siapa?"]

Terdengar suara dingin tanpa intonasi dari seberang.

"Nyonya Layla. Katanya beliau juga istri dari Tuan Erwin Aditama, sahabat dekat Anda."

Terjadi keheningan lama. Baik wanita anggun itu dan juga Layla sama-sama menunggu tanggapan Hansen.

Sedetik kemudian, jawaban yang ditunggu akhirnya terdengar.

["Bawa dia masuk ke ruanganku."]

"Ya, Pak, saya mengerti."

Panggilan pun terputus.

Wanita itu mengajak Layla agar mengikutinya. Mereka berdua masuk ke dalam elevator menuju ke lantai atas, di mana ruangan Hansen berada.

Sesampainya di ruangan nan luas, Layla melihat sosok jangkung seorang pria mengenakan setelan tiga potong, dan rambutnya tersisir rapi ke belakang berdiri di dekat jendela. Melihat dua orang masuk ke dalam ruangannya, pria itu berbalik dan wajah tampan tanpa senyum terlihat.

Seketika itu Layla merasa gugup. Apalagi dengan tatapan pihak lain yang begitu terang-terangan.

"Duduk." suruh pria itu pada Layla, kemudian ia beralih ke arah wanita lain yang membawa Layla, "Kamu bisa pergi."

"Ya, Pak. Saya permisi,"

Hansen menatap seksama pada istri temannya yang sudah lama tidak dia lihat. Bisa dibilang, hubungannya dengan teman-teman sekolahnya tidak terlalu dekat. Hanya mereka saja yang sok akrab dengannya, dan Erwin adalah pemuda yang paling cerewet diantara geng mereka dulu. Yang mana membuat dia mengingat Erwin hingga sekarang.

Dia juga pernah bertemu dengan wanita bernama Layla ini dulu. Kalau tak salah, itu sudah berlalu delapan tahun yang lalu. Dia masih ingat dengan pertemuan mereka karena kesan mendalam yang dibawa oleh perempuan cantik ini. Dan sekarang, setelah gadis muda berubah menjadi wanita dewasa, kecantikan yang dibawa lebih menggoda. Memiliki dampak aneh pada jantung.

"Aku bisa membantumu, Nona Layla."

Nona? Dan bukan Nyonya?

Bukannya aku sudah bilang padanya kalau aku sudah menikah dengan Erwin?

Meski bingung, Layla berusaha memfokuskan diri pada lelaki luar biasa tampan di depannya. Sebuah harapan memenuhi dadanya tatkala Hansen mengatakan kalimatnya.

"Bisakah ibu saya keluar dari penjara?"

"Bisa saja. Selama kamu punya uang, kamu bisa melakukan segalanya, Layla." timpal Hansen lagi dengan penuh perhatian, matanya tak pernah lepas dari wajah cantik Layla.

Dipenuhi kegembiaraan, panggilannya pada pria itu berubah, "Hans...."

"... Namun aku tidak melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan diriku." imbuh pria berwajah tampan itu dengan suaranya yang tak bernada.

"Ya?"

"Katakan, jika aku dapat membantumu, kamu akan memberiku apa sebagai imbalannya?"

"I-imbalan?" tanya Layla tak paham.

Dia bilang selama dia punya uang, maka apa pun bisa dilakukan. Dia punya uang itu, meski tidak tahu seberapa banyak yang dibutuhkan, dia hanya perlu mendiskusikannya lagi pada Hansen. Tapi kenapa, kenapa pertanyaannya aneh begini?

"Kamu tidak berpikir hanya akan memberiku ucapan terimakasih sebagai tanda syukurmu bukan?"

Layla melambaikan tangannya di udara, "Tentu saja tidak. Saya akan membayar jasa Anda. Saya---"

"Aku sudah punya banyak uang," Hansen menyela. Seolah memberitahu bukan materi yang ia inginkan sebagai imbalan.

"Hah?"

"Selain uang, apa yang bisa kamu berikan padaku?" tanyanya lagi dengan tangan menopang dagu.

Semakin Hansen bicara, semakin Layla tidak mengerti akan maksudnya. Jika tidak mau uang, lalu dia maunya apa?

"Tidak ada yang gratis di dunia ini, Nona Layla. Asal kamu tahu."

"Maka dari itu saya bersedia membayar bantuan Anda, Hans. Katakan saja berapa kira-kira uang yang perlu saya bayar...."

Sebelum dia dapat menyelesaikan kalimatnya, suara Hansen terdengar menyela.

"Jika ini tentang uang, maka aku menolak."

"Terus?"

"Bagaimana kalau kamu bayar saja dengan tubuhmu?"

Awalnya butuh beberapa saat bagi Layla untuk bisa mencerna arti dari kalimat tersebut. Saat ia mulai paham maksudnya, ia pun tersentak kaget. Ia berdiri tiba-tiba dari duduknya dengan kedua mata terbelalak dan emosi campur aduk membanjiri pikirannya. Dia terkejut dengan tawaran tak terduga itu dan tak menyangka akan mendengar kalimat vulgar di tempat terhormat seperti ini.

"A-apa maksud Anda berkata seperti itu?!"

"Kamu mengerti dengan jelas maksud perkataanku, Layla. Jujur saja, aku tertarik padamu pada pandangan pertama. Kamu bisa memikirkan tawaranku itu." ucap Hansen dengan tampang seriusnya. Di pupil gelap pria itu ada ketertarikan kuat yang mampu membuat Layla merinding.

"Saya menyesal telah datang ke sini dan menemui Anda! Andai saya tahu saya akan diperlakukan seperti ini, saya tak sudi bertemu Anda hari ini!" Layla menatap Hansen marah dengan sepasang mata berkaca-kaca.

Namun pria yang tampak berkuasa dan licik itu malah membalas tatapan penuh kebenciannya dengan seringai nakal yang sumpah ingin sekali dia menamparnya.

"Pikirkanlah, Layla. Aku akan memberimu waktu untuk memikirkannya. Ingat, selain aku yang dapat menolongmu, tak ada orang lain yang bisa."

Berulang-ulang harga dirinya dilecehkan oleh seorang pria, tak pelak membuat Layla merasa benci pada dirinya sendiri.

Setelah menyelesaikan pembicaraan dengan Hansen, Layla pergi dengan langkah marah dari kantornya. Ia belum percaya bahwa bahkan pria terhormat seperti Hansen pun memiliki kepribadian hina semacam itu. Dibalik nama baik yang disandang pria itu, siapa yang dapat menyangka akan ada sosok menyeramkan, hina tersembunyi di dalamnya.

Saat Layla memaki habis-habisan pertemuannya dengan teman sang suami, ia berniat ingin mengunjungi ibu mertuanya seperti yang telah dia janjikan. Dia mampir ke sebuah restoran demi membeli makanan kesukaan sang ibu. Dia menerima bungkusan makan itu, berniat ingin membayar sebelum diinterupsi oleh dering ponsel dalam tas kecilnya.

"Ini kembaliannya. Terima kasih."

"Terima kasih kembali," Layla menerima uang kembalian dari pelayan resto.

Ia pergi ke sisi restoran untuk mengangkat panggilan yang masuk. Tertera di layar sebuah nomor tak dikenal. Layla mengangkatnya dan mengetahui kalau itu adalah petugas polisi yang pernah bicara padanya.

["Ibu Lastri jatuh di kamar mandi dan sekarang sedang ada di ruang perawatan. Saya menelepon untuk memberitahu kabar ini pada Anda sebagai walinya."]

Layla terhuyung-huyung menuju ke sisi jalan untuk mencari taxi. Mendengar penuturan petugas polisi tentang ibu mertuanya, raut cemas terlintas di wajah Layla.

"Pak, antar saya ke rutan ini." Layla memberitahu sebuah alamat pada sopir taxi.

Beberapa saat kemudian, mobil taxi tiba di rumah tahanan salah satu kota Jakarta. Layla bergegas keluar setelah membayar ongkos taksinya.

Di dalam, ia langsung menemui petugas dan menyatakan maksud kedatangannya.

"Ooh, jadi Anda wali Bu Lastri. Saya akan mengantar Anda menemui ibu Anda."

"Terima kasih," desah Layla bernapas lega.

Bersama polisi wanita, ia diantar ke ruang kesehatan untuk menemui ibu mertuanya. Saat tiba, ia melihat ibu mertuanya yang sudah tua terbaring dengan wajah seputih kertas di atas brankar.

"Untungnya tidak ada luka yang membahayakan. Anda bisa duduk di sini selagi menunggu ibu Anda sadar." beritahu petugas itu pada Layla sebelum pergi dari sana. Memberikan waktu dua orang itu saling bersua.

Melihat ibu mertuanya memiliki perban di telapak tangannya dan memar keunguan di dahi dan pipi, Layla tidak bisa menahan tangisnya. Berhari-hari dia sudah banyak menangis dan kelenjar lakrimalnya seolah tak pernah mengering.

Sampai waktu kunjungan habis malam itu, Bu Lastri belum sadar juga. Terpaksa Layla harus pergi dari rutan.

"Anda bisa datang lebih awal besok. Anda tidak perlu khawatir, rekan kami akan menjaga ibu Anda, dan apabila ada sesuatu yang terjadi, kami akan segera menghubungi Anda."

Layla mengangguk mengerti. Ia mengucapkan terima kasihnya pada petugas itu dan berpamitan pulang.

Sudah sangat malam sekali saat Layla tiba di rumahnya yang ada di Cikarang. Di luar terlihat gerimis masih belum reda. Layla menghela napas dalam-dalam. Setelah dia selesai membersihkan dirinya, ia berbaring di kamar.

Seperti malam-malam sebelumnya, Layla tidak bisa tidur. Apalagi setelah pertemuannya dengan Hansen dan mengingat percakapan mereka tadi yang tidak berjalan lancar.

"Pikirkanlah, Layla. Aku akan memberimu waktu." ucap Hansen padanya.

"Aku istri sahabatnya sendiri, kenapa dia harus memberi tawaran gila itu padaku? Tertarik katanya? Kami baru saja bertemu tapi dia bilang tertarik padaku?" Layla bergumam tak mengerti dan kebingungan.

Ia menggelengkan kepalanya demi mengenyahkan wajah Hansen dengan tawaran tak masuk akalnya. Namun, saat ia teringat kenyataan lain tengah menamparnya, dia tak bisa tak memikirkan tawaran gila yang Hansen katakan.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku menjual diriku demi kebebasan ibu? Kepadanya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status