Beberapa hari kemudian setelah penangkapan ibu mertuanya dan gagalnya dia mendapatkan pengacara yang mau membelanya, Layla datang ke sebuah kantor firma hukum yang ia dapat alamatnya dari kartu nama yang ditinggalkan oleh mendiang sang suami.
Secara kebetulan, kantor itu juga merupakan gedung Law Firm HRS yang kata beberapa pengacara yang ia temui tak mungkin menang melawan mereka.Erwin memang pernah bilang kalau salah teman dekatnya telah sukses menjadi seorang advokat hebat. Dan dia teringat samar-samar pada sosok teman yang dimaksud oleh Erwin dahulu.Sebuah gedung besar dan tinggi berdiri kokoh di hadapan Layla. Ia merasa malu berada di lingkungan yang bukan seperti tempatnya. Orang-orang yang ia temui di lobi tampak seperti orang pintar, cara berpakaiannya rapi dan berkelas, sampai cara berjalannya pun seperti menampilkan keanggunan seorang lulusan sarjana terkenal. Dibandingkan dengan dirinya yang berpakaian lusuh dan menderita memar, ia merasa malu.Layla menguatkan dirinya dan melangkah masuk. Di lobi, ia pergi ke bagian resepsionis. Ia menyerahkan kartu nama dan bilang kalau ingin bertemu dengan Hansen Harrison.Kebetulan saat itu waktunya pulang kerja. Dan banyak pegawai keluar dari mengentaskan pekerjaannya untuk pulang ke rumah."Apa Anda sudah memiliki janji?""Be-belum. Tapi saya seorang kenalan. Anda... Dapatkah Anda memberitahu Tuan Hansen jika istri dari Erwin Aditama datang berkunjung dan ingin menemuinya sekarang."Wanita di bagian resepsionis itu ragu-ragu sejenak."Tolong, saya mohon. Tolong beritahu kedatangan saya padanya. Jika nanti Tuan Hansen menolak ingin bertemu, saya... Saya akan segera pergi."Maka, wanita bagian resepsionis itu segera melakukan panggilan ke ruangan Hansen."Pak, Ada seorang wanita bernama nyonya Layla Salsabila. Beliau meminta bertemu dengan Anda sekarang."["Siapa?"]Terdengar suara dingin tanpa intonasi dari seberang."Nyonya Layla. Katanya beliau juga istri dari Tuan Erwin Aditama, sahabat dekat Anda."Terjadi keheningan lama. Baik wanita anggun itu dan juga Layla sama-sama menunggu tanggapan Hansen.Sedetik kemudian, jawaban yang ditunggu akhirnya terdengar.["Bawa dia masuk ke ruanganku."]"Ya, Pak, saya mengerti."Panggilan pun terputus.Wanita itu mengajak Layla agar mengikutinya. Mereka berdua masuk ke dalam elevator menuju ke lantai atas, di mana ruangan Hansen berada.Sesampainya di ruangan nan luas, Layla melihat sosok jangkung seorang pria mengenakan setelan tiga potong, dan rambutnya tersisir rapi ke belakang berdiri di dekat jendela. Melihat dua orang masuk ke dalam ruangannya, pria itu berbalik dan wajah tampan tanpa senyum terlihat.Seketika itu Layla merasa gugup. Apalagi dengan tatapan pihak lain yang begitu terang-terangan."Duduk." suruh pria itu pada Layla, kemudian ia beralih ke arah wanita lain yang membawa Layla, "Kamu bisa pergi.""Ya, Pak. Saya permisi,"Hansen menatap seksama pada istri temannya yang sudah lama tidak dia lihat. Bisa dibilang, hubungannya dengan teman-teman sekolahnya tidak terlalu dekat. Hanya mereka saja yang sok akrab dengannya, dan Erwin adalah pemuda yang paling cerewet diantara geng mereka dulu. Yang mana membuat dia mengingat Erwin hingga sekarang.Dia juga pernah bertemu dengan wanita bernama Layla ini dulu. Kalau tak salah, itu sudah berlalu delapan tahun yang lalu. Dia masih ingat dengan pertemuan mereka karena kesan mendalam yang dibawa oleh perempuan cantik ini. Dan sekarang, setelah gadis muda berubah menjadi wanita dewasa, kecantikan yang dibawa lebih menggoda. Memiliki dampak aneh pada jantung."Aku bisa membantumu, Nona Layla."Nona? Dan bukan Nyonya?Bukannya aku sudah bilang padanya kalau aku sudah menikah dengan Erwin?Meski bingung, Layla berusaha memfokuskan diri pada lelaki luar biasa tampan di depannya. Sebuah harapan memenuhi dadanya tatkala Hansen mengatakan kalimatnya."Bisakah ibu saya keluar dari penjara?""Bisa saja. Selama kamu punya uang, kamu bisa melakukan segalanya, Layla." timpal Hansen lagi dengan penuh perhatian, matanya tak pernah lepas dari wajah cantik Layla.Dipenuhi kegembiaraan, panggilannya pada pria itu berubah, "Hans....""... Namun aku tidak melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan diriku." imbuh pria berwajah tampan itu dengan suaranya yang tak bernada."Ya?""Katakan, jika aku dapat membantumu, kamu akan memberiku apa sebagai imbalannya?""I-imbalan?" tanya Layla tak paham.Dia bilang selama dia punya uang, maka apa pun bisa dilakukan. Dia punya uang itu, meski tidak tahu seberapa banyak yang dibutuhkan, dia hanya perlu mendiskusikannya lagi pada Hansen. Tapi kenapa, kenapa pertanyaannya aneh begini?"Kamu tidak berpikir hanya akan memberiku ucapan terimakasih sebagai tanda syukurmu bukan?"Layla melambaikan tangannya di udara, "Tentu saja tidak. Saya akan membayar jasa Anda. Saya---""Aku sudah punya banyak uang," Hansen menyela. Seolah memberitahu bukan materi yang ia inginkan sebagai imbalan."Hah?""Selain uang, apa yang bisa kamu berikan padaku?" tanyanya lagi dengan tangan menopang dagu.Semakin Hansen bicara, semakin Layla tidak mengerti akan maksudnya. Jika tidak mau uang, lalu dia maunya apa?"Tidak ada yang gratis di dunia ini, Nona Layla. Asal kamu tahu.""Maka dari itu saya bersedia membayar bantuan Anda, Hans. Katakan saja berapa kira-kira uang yang perlu saya bayar...."Sebelum dia dapat menyelesaikan kalimatnya, suara Hansen terdengar menyela."Jika ini tentang uang, maka aku menolak.""Terus?""Bagaimana kalau kamu bayar saja dengan tubuhmu?"Awalnya butuh beberapa saat bagi Layla untuk bisa mencerna arti dari kalimat tersebut. Saat ia mulai paham maksudnya, ia pun tersentak kaget. Ia berdiri tiba-tiba dari duduknya dengan kedua mata terbelalak dan emosi campur aduk membanjiri pikirannya. Dia terkejut dengan tawaran tak terduga itu dan tak menyangka akan mendengar kalimat vulgar di tempat terhormat seperti ini."A-apa maksud Anda berkata seperti itu?!""Kamu mengerti dengan jelas maksud perkataanku, Layla. Jujur saja, aku tertarik padamu pada pandangan pertama. Kamu bisa memikirkan tawaranku itu." ucap Hansen dengan tampang seriusnya. Di pupil gelap pria itu ada ketertarikan kuat yang mampu membuat Layla merinding."Saya menyesal telah datang ke sini dan menemui Anda! Andai saya tahu saya akan diperlakukan seperti ini, saya tak sudi bertemu Anda hari ini!" Layla menatap Hansen marah dengan sepasang mata berkaca-kaca.Namun pria yang tampak berkuasa dan licik itu malah membalas tatapan penuh kebenciannya dengan seringai nakal yang sumpah ingin sekali dia menamparnya."Pikirkanlah, Layla. Aku akan memberimu waktu untuk memikirkannya. Ingat, selain aku yang dapat menolongmu, tak ada orang lain yang bisa."Berulang-ulang harga dirinya dilecehkan oleh seorang pria, tak pelak membuat Layla merasa benci pada dirinya sendiri.Setelah menyelesaikan pembicaraan dengan Hansen, Layla pergi dengan langkah marah dari kantornya. Ia belum percaya bahwa bahkan pria terhormat seperti Hansen pun memiliki kepribadian hina semacam itu. Dibalik nama baik yang disandang pria itu, siapa yang dapat menyangka akan ada sosok menyeramkan, hina tersembunyi di dalamnya.Saat Layla memaki habis-habisan pertemuannya dengan teman sang suami, ia berniat ingin mengunjungi ibu mertuanya seperti yang telah dia janjikan. Dia mampir ke sebuah restoran demi membeli makanan kesukaan sang ibu. Dia menerima bungkusan makan itu, berniat ingin membayar sebelum diinterupsi oleh dering ponsel dalam tas kecilnya."Ini kembaliannya. Terima kasih.""Terima kasih kembali," Layla menerima uang kembalian dari pelayan resto.Ia pergi ke sisi restoran untuk mengangkat panggilan yang masuk. Tertera di layar sebuah nomor tak dikenal. Layla mengangkatnya dan mengetahui kalau itu adalah petugas polisi yang pernah bicara padanya.["Ibu Lastri jatuh di kamar mandi dan sekarang sedang ada di ruang perawatan. Saya menelepon untuk memberitahu kabar ini pada Anda sebagai walinya."]Layla terhuyung-huyung menuju ke sisi jalan untuk mencari taxi. Mendengar penuturan petugas polisi tentang ibu mertuanya, raut cemas terlintas di wajah Layla."Pak, antar saya ke rutan ini." Layla memberitahu sebuah alamat pada sopir taxi.Beberapa saat kemudian, mobil taxi tiba di rumah tahanan salah satu kota Jakarta. Layla bergegas keluar setelah membayar ongkos taksinya.Di dalam, ia langsung menemui petugas dan menyatakan maksud kedatangannya."Ooh, jadi Anda wali Bu Lastri. Saya akan mengantar Anda menemui ibu Anda.""Terima kasih," desah Layla bernapas lega.Bersama polisi wanita, ia diantar ke ruang kesehatan untuk menemui ibu mertuanya. Saat tiba, ia melihat ibu mertuanya yang sudah tua terbaring dengan wajah seputih kertas di atas brankar."Untungnya tidak ada luka yang membahayakan. Anda bisa duduk di sini selagi menunggu ibu Anda sadar." beritahu petugas itu pada Layla sebelum pergi dari sana. Memberikan waktu dua orang itu saling bersua.Melihat ibu mertuanya memiliki perban di telapak tangannya dan memar keunguan di dahi dan pipi, Layla tidak bisa menahan tangisnya. Berhari-hari dia sudah banyak menangis dan kelenjar lakrimalnya seolah tak pernah mengering.Sampai waktu kunjungan habis malam itu, Bu Lastri belum sadar juga. Terpaksa Layla harus pergi dari rutan."Anda bisa datang lebih awal besok. Anda tidak perlu khawatir, rekan kami akan menjaga ibu Anda, dan apabila ada sesuatu yang terjadi, kami akan segera menghubungi Anda."Layla mengangguk mengerti. Ia mengucapkan terima kasihnya pada petugas itu dan berpamitan pulang.Sudah sangat malam sekali saat Layla tiba di rumahnya yang ada di Cikarang. Di luar terlihat gerimis masih belum reda. Layla menghela napas dalam-dalam. Setelah dia selesai membersihkan dirinya, ia berbaring di kamar.Seperti malam-malam sebelumnya, Layla tidak bisa tidur. Apalagi setelah pertemuannya dengan Hansen dan mengingat percakapan mereka tadi yang tidak berjalan lancar."Pikirkanlah, Layla. Aku akan memberimu waktu." ucap Hansen padanya."Aku istri sahabatnya sendiri, kenapa dia harus memberi tawaran gila itu padaku? Tertarik katanya? Kami baru saja bertemu tapi dia bilang tertarik padaku?" Layla bergumam tak mengerti dan kebingungan.Ia menggelengkan kepalanya demi mengenyahkan wajah Hansen dengan tawaran tak masuk akalnya. Namun, saat ia teringat kenyataan lain tengah menamparnya, dia tak bisa tak memikirkan tawaran gila yang Hansen katakan."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku menjual diriku demi kebebasan ibu? Kepadanya?"Pagi itu langit terlihat mendung. Udara terasa lembab dan panas. Langkah pelan seseorang yang tengah memasuki pemakaman umum terlihat. Layla datang ke makam suaminya yaitu Erwin sambil membawa satu tangkai mawar yang dibelinya di toko bunga. Kedatangannya hari itu tidak direncanakannya sama sekali. Setelah semalaman bergelut dengan pikirannya yang berkecamuk, ia akhirnya mengambil keputusan tapi terlalu takut untuk menerimanya. Alhasil, dia datang ke sini untuk mengadu atas kemalangan yang ia derita pada satu-satunya orang yang ia percayai tapi telah tiada. "Apa yang harus aku lakukan, Mas? Andai kamu ada di sini, mengalami musibah yang aku dan ibu alami sekarang, kamu akan melakukan apa untuk mengatasinya?" ia terisak pilu karena dilema yang dirasakan. Bayangan tentang ibu mertuanya yang terbaring dengan wajah pucat kemarin kembali terlintas dalam benaknya. Tanpa sadar, air mata langsung mengalir deras. "Aku minta maaf, Mas. Tolong, jangan benci aku jika aku memilih cara kotor in
Gila!Hansen rasa-rasanya mau mengumpat. Namun dia menahan dirinya agar tenang. Ya ampun, sudah berapa kali ketenangannya goyah hanya karena bersama dengan wanita dalam pelukannya ini?Hansen berdeham singkat, lalu melanjutkan bertanya, “Barusan kamu bilang… menikah?”Layla mengangguk. Tatapan tercengang Hansen membuatnya panas dingin untuk alasan dan firasat buruk terjadinya penolakan. Maka dari itu, ia pun buru-buru menjelaskan maksud keinginannya.“Bukan pernikahan seperti yang Anda pikirkan. Maksud saya, saya hanya menginginkan agar Anda menikahi saya secara siri.”Pria itu menaikkan alisnya. Tampak menimbang. Terus menerus ditatap dari atas ke bawah oleh tatapan tajamnya membuat Layla semakin gemetaran. “Hansen…”“Kita pergi ke tempatku dulu,” ajak pria itu seraya menekan tombol lift menuju ke lantai kantornya.Layla yang terus dipeluk tanpa ada niatan untuk dilepaskan berusaha sekeras mungkin membuat dirinya rileks. Sudah lama sekali tidak berada sedekat itu dengan pria menyeb
"Rasanya nikmat seperti yang aku bayangkan, Layla." bisik Hansen tepat di depan wajah wanita itu yang kini memerah dan sepasang mata indah itu bergetar ringan."Ya Tuhan... bagaimana bisa seenak ini?" ulang Hansen sambil mencium bibir bengkak memerah itu berulang-ulang. Seolah dia tercandu-candu dan tak ingin berhenti untuk terus mencicipinya.Layla yang mulai merasa sakit pada mulutnya kemudian menutupnya dengan telapak tangan dan ciuman pria itu berhenti di sana. Hansen menatap Layla cemberut. "I-Ini sudah cukup kan?" Walau nampaknya dari ekspresi pria itu menyiratkan belum cukup, namun Hansen akhirnya bangun dari menindih Layla. Ia merapikan jasnya yang kusut, menata kembali penampilannya agar rapi seperti sedia kala. Layla ikut bangun, tetapi langsung mengerutkan keningnya saat pandangannya menggelap sejenak. Pusing membelah kepala membuat pelipisnya sakit."Ada apa?""Ya? Ah tidak, bukan apa-apa," balasnya menutupi ketidaknyamanannya pada lelaki itu. Dia tidak mau disangka le
Keesokan harinya, di sebuah rumah dua lantai.Hansen kedatangan tamu yang tak lain merupakan sekretarisnya di kantor hukum serta sahabat karibnya yang juga seorang pengacara. Kedua pria itu sedang duduk di ruang tengah selagi Hansen mempelajari kasus percobaan pembunuhan yang dituduhkan pada ibu mertua Layla.Saat Hansen sedang membaca dokumen, dia juga bertanya pada sang sekretarisnya, "Apa kamu sudah melakukan apa yang aku perintahkan?"Jordan yang sedang fokus dengan ponselnya lantas mengalihkan tatapannya kembali ke arah Hansen. Dan melirik ke arah pria berkacamata yang merupakan sekretaris sahabatnya tersebut. Charlie. "Aku sudah menemui Julie yang rencananya akan menjadi pengacara dari pihak penuntut. Aku mengatakan padanya untuk melanjutkan proses sidang," jawab Charlie. "Mereka pastinya sudah mulai melakukan penyelidikan dari tempat kejadian dan mewawancarai saksi mata kan?" Hansen bertanya disela dia sedang mempelajari kasus tersebut Dan kini beralih pada Jordan."Ya, kamu
Layla belum sepenuhnya pulih dari demam, tapi Hansen telah membombardirnya dengan pilihan sulit ketika turun ke bawah untuk menemuinya."Duduk. Kamu belum sarapan kan, makan dulu. Baru nanti kita membahasnya lebih lanjut setelah kamu selesai mengisi perutmu." ujarnya menyuruh Layla yang membeku tak bergerak agar duduk.Patuh, Layla mengambil duduk di hadapan Hansen. Ia tidak punya nafsu makan dan sakit yang dialaminya semakin membuat dia tidak ingin makan apa pun. Akan tetapi setelah Hansen melihatnya dengan alis terangkat karena cuma duduk diam saja, jadinya ia terpaksa mengangkat sendoknya.Setelah beberapa saat makan dalam keadaan hening dan mereka berdua selesai sarapan. Hansen memanggil bibi pembantu agar membereskan meja. Ia mengajak Layla pindah ke ruang tengah.Jordan maupun Charlie sudah pergi setelah Hansen naik ke kamarnya. Sekarang, tersisa bekas minuman dan puntung rokok di asbak tatkala Layla tiba di sana."Seperti yang sudah kamu ketahui, aku meminta sahabatku untuk menj
Tidak sampai setengah jam, sekarang Layla resmi jadi istri sah Hansen meski hanya secara agama saja. Dua pria yang menikahkan mereka telah pergi, menyisakan tiga orang duduk di ruang tengah. Jordan yang bersikeras ingin bicara pada Hansen menunggu dengan ekspresi marah di tempat dia duduk. "Tunggulah aku di kamar. Aku akan menyusul setelah menyelesaikan pembicaraan dengan sahabatku." titah Hansen pada Layla. Sebelum pergi, tak lupa lelaki itu menyematkan ciuman pada sudut mulut istri barunya. Menuruti perkataan Hansen, Layla naik ke lantai atas dengan wajah sangat malu dan panas. Ia dapat merasakan tatapan tajam Jordan yang terus terarah kepadanya. Pria yang ia tahu merupakan sahabat Hansen itu secara terang-terangan memandangnya penuh hinaan dan cemoohan. Meski ia merasa tak nyaman, namun dia hanya bisa menanggungnya. Lagipula, dia tak punya alasan untuk membela diri apabila kebenarannya sudah terpampang nyata ke permukaan. Bahwa demi sesuatu yang ia mau, dia rela menjual tubuhny
Tubuh Hansen yang berotot dan basah membuat Layla menelan ludah gugup. Layla merasa panas naik ke pipinya. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya. Mendapatkan persetujuannya, Hansen kembali menangkap dagu itu, mengangkatnya agar menatap padanya. Tanpa tedeng aling-aling, ia segera melumat bibir yang telah menarik perhatiannya dengan rakus. Refleks, Layla memejamkan mata dan dengan gemetar berusaha menenangkan diri tapi gagal. Apalagi saat tangan besar itu mulai menurunkan bathrobe yang ia gunakan ke samping, ia langsung gugup dan merasa ketakutan. Hansen yang melihat tingkah dan kegugupannya, meraih tangan Layla di atas pahanya lalu memegangnya dengan lembut. Dua telapak tangan berbeda ukuran saling menggenggam satu sama lain. Ia menghentikan ciuman itu sejenak, dengan suara rendah dan serak ia bilang, "Rileks, Layla." Layla menatap Hansen, matanya berkilauan di ruangan temaram kamar mereka. "Aku... aku hanya sedikit takut," ujarnya dengan jujur, suaranya ber
Layla terbangun dengan mata sulit dibuka. Ia terbaring telungkup dengan sisi wajah miring. Dan pada saat itu, dari arah belakangnya terdengar suara serak Hansen yang ternyata bangun juga. Atau, pria itu belum tidur? "Kamu bangun? Bagus, setidaknya aku tidak lagi merasa seperti sedang menyetubuhi mayat yang tak bergerak,""Tu-tunggu.... Enhh," Layla tersentak. Ia baru saja bangun dan kini jadi sadar sepenuhnya saat hentakan keras kembali dia terima. "Aku... aku lelah," mohonnya namun tidak ditanggapi oleh pria yang kini mencengkramnya kuat dalam pelukan. Punggungnya yang telanjang dan berkeringat bersandar pada dada bidang berotot di belakangnya. "Jangan pingsan dulu, Layla. Kamu baru saja bangun, dan sekarang mau pingsan lagi? Aku bilang, aku tidak mau merasa seperti sedang berhubungan intim dengan mayat, jadi jangan tidur dulu," perintahnya terdengar dingin dan menuntut. Namun Layla yang tidak tahu sudah berapa lama mereka saling bersentuhan mulai merasakan panas dan berdenyut di