Share

Bab 3| Layla dan Keputusasaanya

Pagi itu langit terlihat mendung. Udara terasa lembab dan panas. Langkah pelan seseorang yang tengah memasuki pemakaman umum terlihat. Layla datang ke makam suaminya yaitu Erwin sambil membawa satu tangkai mawar yang dibelinya di toko bunga.

Kedatangannya hari itu tidak direncanakannya sama sekali. Setelah semalaman bergelut dengan pikirannya yang berkecamuk, ia akhirnya mengambil keputusan tapi terlalu takut untuk menerimanya. Alhasil, dia datang ke sini untuk mengadu atas kemalangan yang ia derita pada satu-satunya orang yang ia percayai tapi telah tiada.

"Apa yang harus aku lakukan, Mas? Andai kamu ada di sini, mengalami musibah yang aku dan ibu alami sekarang, kamu akan melakukan apa untuk mengatasinya?" ia terisak pilu karena dilema yang dirasakan.

Bayangan tentang ibu mertuanya yang terbaring dengan wajah pucat kemarin kembali terlintas dalam benaknya. Tanpa sadar, air mata langsung mengalir deras.

"Aku minta maaf, Mas. Tolong, jangan benci aku jika aku memilih cara kotor ini demi menyelamatkan Ibu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi... Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menolong ibumu. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Maafkan aku, maaf."

Lama sekali Layla meratap sedih di makam Erwin. Sampai kedua matanya bengkak susah di buka. Sampai kedua kakinya gemetar dan kakinya yang terkilir semakin terasa nyeri. Semalaman tidak bisa tidur, dan pada akhirnya ia jatuh tertidur di makam suaminya sampai siang tiba.

Langit tetap mendung. Awan gelap menggelantung dan udara berubah lembab serta gerah.

Layla dibangunkan oleh penjaga makam untuk menyuruh wanita itu pulang karena takut akan hujan.

Baru saja pria tua itu mengatakan hal itu pada Layla, rintik hujan mulai jatuh perlahan. Layla dan pria itu saling mengadah.

"Kalau kamu mau, kamu bisa meneduh dulu di tempat, Bapak."

"Tidak, tidak perlu, Pak. Saya akan langsung pergi dari sini," balas Layla menolak sopan.

Ia trauma mendapat kebaikan dari orang asing yang tak dikenal. Ia takut terjadi sesuatu padanya sebagai imbalan atas kebaikan yang tak pernah dia minta.

Hujan jatuh dengan derasnya saat Layla melangkah keluar dari pemakaman. Seluruh tubuhnya basah kuyup sampai jaket yang ia kenakan menempel di badan.

Tidak ada yang mau memberinya tumpangan dengan tubuh basah seperti itu. Alhasil, dia hanya bisa berjalan kaki, menempuh perjalanan jauh yang memakan waktu satu jam untuk bisa sampai ke kantor tempat kerja Hansen. Itu sudah sore dan hujan tetap mengalir deras. Sedikit orang Ia dapati melenggang di lobi gedung kantor pengacara HRS.

Layla tidak berani masuk, jadinya ia menghubungi nomor Hansen yang ada di kartu nama. Sekretarisnya lah yang menerima panggilan itu.

["Tunggu sebentar. Saya akan menyampaikannya pada, Pak Harrison."]

Wanita yang kelihatan menyedihkan itu berdiri dengan tubuh gemetaran di pos satpam. Tanpa Layla sadari, sepasang mata melihat ke arahnya dari gedung tertinggi.

"Bodoh!"

Beberapa saat kemudian, seorang wanita datang membawa payung dan menghampiri Layla.

"Pak Harrison telah menunggu Anda di dalam. Mari ikut dengan saya."

"Tapi, saya... Baju saya basah."

"Saya akan mengantar Anda ke basement. Pak Harrison sudah menunggu Anda di sana." Beritahu wanita itu lagi pada Layla.

Akhirnya dua orang itu berjalan menuju basement.

Berlama-lama terkena hujan, terkena angin dingin dengan pakaian basah membuat Layla merasakan demam. Ia merasakan keinginan untuk bersin dan batuk, tapi dia menahannya.

Hansen yang telah ia tunggu kehadirannya kini muncul di depan pintu lift yang tertutup. Penampilan pria itu masih luar biasa memesona jutaan mata. Tubuh jangkungnya hampir menyentuh plafon dan saat Layla berdiri di hadapannya, kontras tinggi mereka begitu mencengangkan. Perbedaan tinggi 15 cm membuat Layla hanya sebatas dada Hansen.

Layla dan Hansen ditinggal berdua saja di basement.

Karena tak ada tanda-tanda pria itu mau bicara, Layla memulai pembicaraan lebih dulu dengan maksud kedatangannya menemui pria tersebut.

"S-saya bersedia, Hans. Mengenai tawaran itu...." cicit wanita itu lirih.

Hansen mengernyitkan alisnya, "?"

"Yang Anda tawarkan pada saya saat itu," lanjut Layla merasa malu dengan pandangan Hansen yang tak peduli dan dingin.

"Tawaran ya?" ujar Hansen tanpa ekspresi.

Layla mengangguk. Kedua tangannya terus memeluk dirinya sendiri, menghalau dingin dan gigil yang menyelimuti tubuh basahnya.

Hansen menatap penampilannya dengan kerutan tak senang. Meski begitu, dia tetap berdiri tanpa rasa peduli atas pemandangan di depannya.

"Tapi sayangnya penawaran itu sudah tidak berlaku." katanya mengejutkan Layla.

Sepasang mata hitam nan jernih itu terbelalak. Begitu terkejutnya Layla sampai dia tak sadar dengan getar di suaranya sendiri.

"A-apa maksudnya? S-saya datang seperti yang Anda mau. Dan sekarang Anda bilang... penawaran itu tidak berlaku?"

"Aku menunggu jawabanmu, Nona Layla. Waktu yang kuberikan hanya satu malam. Tapi ini, sudah lewat dari beberapa puluh jam. Maka aku mengatakan, penawaran itu telah kadaluwarsa."

"Tidak! Jangan! Saya minta maaf. Saya tidak segera menghubungi Anda...."

"Ah, sudahlah. Aku tidak mau mendengarkan alasanmu. Lebih baik kamu pergi saja. Jangan temui aku lagi, Nona Layla. Selamat tinggal."

Layla tercengang dengan perubahan mendadak dan penolakan yang mengejutkan tersebut. Ditatapnya punggung Hansen yang kini menunggu lift buka. Dalam kebingungan dan ketakutan itu, Layla tak bisa memikirkan apa pun.

Jika Hansen tidak mau menolong, pada siapa dia meminta bantuan untuk menyelamatkan ibu mertuanya?

Di dorong oleh rasa putus asa itu, Layla melangkah panjang ke depan, meraih dengan kuat lengan Hansen agar melihat ke arahnya dan dia langsung berjinjit untuk mencium pria itu. Namun karena tinggi badannya, dia hanya bisa mencium dagu Hansen dengan kuat sampai menimbulkan sakit pada gigi dan lidahnya yang tak sengaja tergigit.

Tubuh Hansen membeku kaku. Apalagi saat ciuman di dagu ia terima dari wanita yang telah berhasil menarik minatnya.

Layla yang salah memberikan ciuman menarik mundur wajahnya karena kesakitan. Rasa anyir darah bisa dirasakannya di dalam mulutnya. Saat Layla ingin meludahkan air liur berdarah itu, ia dikejutkan dengan cengkraman pada pinggangnya oleh Hansen.

"A--apa?"

Dengan ekspresi terkejut, Layla menatap ke arah Hansen. Ia bisa merasakan panas membakar kedua mata pria itu dengan gairah dan keinginan.

"Kamu... baru saja mencoba menciumku? Untuk apa?" Hansen bertanya serak. Satu tangannya yang melingkari pinggang Layla menguat. Ia mendekap wanita itu agar menempel erat padanya.

Dada penuh di balik hoodie basah yang dikenakan oleh Layla menggesek dadanya. Membuat Hansen menginginkan sentuhan lebih dari pada sekedar memeluk.

"S-saya mencobanya,"

"Mencoba?"

"Siapa tahu saja Anda berubah pikiran setelah saya memberi Anda ciuman." cicit Layla dengan napas tertahan.

Kedua napas mereka saling terjalin. Layla yang tenggelam dalam pelukan Hansen memiliki ilusi bahwa sedetik kemudian laki-laki ini akan mencabik-cabik dirinya. Memakannya utuh dari daging ke tulang. Dan itulah yang terjadi pada detik kemudian.

Hansen menarik Layla yang berada dalam pelukannya ke dalam lift. Ia mengukung wanita berparas cantik jelita itu di bawah tubuh besar berototnya.

Saat hembusan napas panas dirasakan Layla di wajah, wanita itu tidak berani mengangkat kepala. Keberaniannya yang tadi mencuat ke permukaan sekarang menguap sebab penindasan dari Hansen terlalu kuat dia rasakan.

"Dan sekarang kamu bersikap pengecut seolah sedang melarikan diri, Nona Layla. Kemana perginya keberanian yang kamu tunjukkan itu?" Hansen berbisik di samping telinga dan dengan sengaja menggesek bibir tipisnya ke cuping telinga Layla yang terasa dingin.

Di dalam lift terasa begitu dingin sebab pendingin udara yang menyala. Ditambah dengan seluruh pakaiannya basah dan dia telah direndam lama oleh hujan deras, alhasil gemetar tubuhnya karena kedinginan semakin intens.

Dalam pelukan kuat Hansen, pria itu dapat merasakan jelas gemetarnya. Namun pria itu menahan diri. Dia tidak mau mengambil inisiatif meski pikirannya berubah kacau hanya karena memeluk wanita ini dalam pelukannya.

"Sa--saya kedinginan," Aku Layla mencicit lemah.

"Aku dapat melihat dengan jelas keadaanmu yang menyedihkan sekarang, tak perlu kamu beritahu lagi," balasnya dingin tanpa perasaan.

"Kalau begitu, bisakah Anda mengizinkan saya pergi ke ruangan Anda sebentar untuk menghangatkan diri?"

"Seorang wanita meminta pergi ke ruangan pria bujang sepertiku, kamu pasti tahu apa artinya kan?"

Butuh beberapa saat bagi Layla memberikan anggukan pada Hansen.

"Tapi saya punya permintaan,"

"Permintaan? Di saat kamu sendiri lah yang butuh bantuanku, kamu masih tak tahu malu mengajukan persyaratan? Kamu pikir seberapa berharganya dirimu?!" Hansen berseru jengkel. Dia bahkan tak sadar telah meremas dengan keras pinggang Layla.

Meski merasa sakit sebab tekanan kuat di pinggangnya, Layla tidak berhenti bicara tentang persyaratan yang mau dia katakan.

"Seperti yang sudah Anda bilang, saya sudah diambang putus harapan dan tidak punya hak untuk mengajukan permohonan lagi. Tapi, ini penting."

Hansen menyipitkan matanya.

"Saya mohon...."

"Katakan,"

Meski gugup, Layla mencoba berbicara dengan tenang dalam satu tarikan napas, ucapnya, "Saya tidak mau Anda menyentuh saya tanpa adanya ikatan hubungan yang sah. Oleh karena itu, sebelum Anda menggauli saya, saya ingin Anda menikahi saya lebih dulu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status