Pagi itu langit terlihat mendung. Udara terasa lembab dan panas. Langkah pelan seseorang yang tengah memasuki pemakaman umum terlihat. Layla datang ke makam suaminya yaitu Erwin sambil membawa satu tangkai mawar yang dibelinya di toko bunga.
Kedatangannya hari itu tidak direncanakannya sama sekali. Setelah semalaman bergelut dengan pikirannya yang berkecamuk, ia akhirnya mengambil keputusan tapi terlalu takut untuk menerimanya. Alhasil, dia datang ke sini untuk mengadu atas kemalangan yang ia derita pada satu-satunya orang yang ia percayai tapi telah tiada."Apa yang harus aku lakukan, Mas? Andai kamu ada di sini, mengalami musibah yang aku dan ibu alami sekarang, kamu akan melakukan apa untuk mengatasinya?" ia terisak pilu karena dilema yang dirasakan.Bayangan tentang ibu mertuanya yang terbaring dengan wajah pucat kemarin kembali terlintas dalam benaknya. Tanpa sadar, air mata langsung mengalir deras."Aku minta maaf, Mas. Tolong, jangan benci aku jika aku memilih cara kotor ini demi menyelamatkan Ibu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi... Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menolong ibumu. Aku sungguh-sungguh minta maaf. Maafkan aku, maaf."Lama sekali Layla meratap sedih di makam Erwin. Sampai kedua matanya bengkak susah di buka. Sampai kedua kakinya gemetar dan kakinya yang terkilir semakin terasa nyeri. Semalaman tidak bisa tidur, dan pada akhirnya ia jatuh tertidur di makam suaminya sampai siang tiba.Langit tetap mendung. Awan gelap menggelantung dan udara berubah lembab serta gerah.Layla dibangunkan oleh penjaga makam untuk menyuruh wanita itu pulang karena takut akan hujan.Baru saja pria tua itu mengatakan hal itu pada Layla, rintik hujan mulai jatuh perlahan. Layla dan pria itu saling mengadah."Kalau kamu mau, kamu bisa meneduh dulu di tempat, Bapak.""Tidak, tidak perlu, Pak. Saya akan langsung pergi dari sini," balas Layla menolak sopan.Ia trauma mendapat kebaikan dari orang asing yang tak dikenal. Ia takut terjadi sesuatu padanya sebagai imbalan atas kebaikan yang tak pernah dia minta.Hujan jatuh dengan derasnya saat Layla melangkah keluar dari pemakaman. Seluruh tubuhnya basah kuyup sampai jaket yang ia kenakan menempel di badan.Tidak ada yang mau memberinya tumpangan dengan tubuh basah seperti itu. Alhasil, dia hanya bisa berjalan kaki, menempuh perjalanan jauh yang memakan waktu satu jam untuk bisa sampai ke kantor tempat kerja Hansen. Itu sudah sore dan hujan tetap mengalir deras. Sedikit orang Ia dapati melenggang di lobi gedung kantor pengacara HRS.Layla tidak berani masuk, jadinya ia menghubungi nomor Hansen yang ada di kartu nama. Sekretarisnya lah yang menerima panggilan itu.["Tunggu sebentar. Saya akan menyampaikannya pada, Pak Harrison."]Wanita yang kelihatan menyedihkan itu berdiri dengan tubuh gemetaran di pos satpam. Tanpa Layla sadari, sepasang mata melihat ke arahnya dari gedung tertinggi."Bodoh!"Beberapa saat kemudian, seorang wanita datang membawa payung dan menghampiri Layla."Pak Harrison telah menunggu Anda di dalam. Mari ikut dengan saya.""Tapi, saya... Baju saya basah.""Saya akan mengantar Anda ke basement. Pak Harrison sudah menunggu Anda di sana." Beritahu wanita itu lagi pada Layla.Akhirnya dua orang itu berjalan menuju basement.Berlama-lama terkena hujan, terkena angin dingin dengan pakaian basah membuat Layla merasakan demam. Ia merasakan keinginan untuk bersin dan batuk, tapi dia menahannya.Hansen yang telah ia tunggu kehadirannya kini muncul di depan pintu lift yang tertutup. Penampilan pria itu masih luar biasa memesona jutaan mata. Tubuh jangkungnya hampir menyentuh plafon dan saat Layla berdiri di hadapannya, kontras tinggi mereka begitu mencengangkan. Perbedaan tinggi 15 cm membuat Layla hanya sebatas dada Hansen.Layla dan Hansen ditinggal berdua saja di basement.Karena tak ada tanda-tanda pria itu mau bicara, Layla memulai pembicaraan lebih dulu dengan maksud kedatangannya menemui pria tersebut."S-saya bersedia, Hans. Mengenai tawaran itu...." cicit wanita itu lirih.Hansen mengernyitkan alisnya, "?""Yang Anda tawarkan pada saya saat itu," lanjut Layla merasa malu dengan pandangan Hansen yang tak peduli dan dingin."Tawaran ya?" ujar Hansen tanpa ekspresi.Layla mengangguk. Kedua tangannya terus memeluk dirinya sendiri, menghalau dingin dan gigil yang menyelimuti tubuh basahnya.Hansen menatap penampilannya dengan kerutan tak senang. Meski begitu, dia tetap berdiri tanpa rasa peduli atas pemandangan di depannya."Tapi sayangnya penawaran itu sudah tidak berlaku." katanya mengejutkan Layla.Sepasang mata hitam nan jernih itu terbelalak. Begitu terkejutnya Layla sampai dia tak sadar dengan getar di suaranya sendiri."A-apa maksudnya? S-saya datang seperti yang Anda mau. Dan sekarang Anda bilang... penawaran itu tidak berlaku?""Aku menunggu jawabanmu, Nona Layla. Waktu yang kuberikan hanya satu malam. Tapi ini, sudah lewat dari beberapa puluh jam. Maka aku mengatakan, penawaran itu telah kadaluwarsa.""Tidak! Jangan! Saya minta maaf. Saya tidak segera menghubungi Anda....""Ah, sudahlah. Aku tidak mau mendengarkan alasanmu. Lebih baik kamu pergi saja. Jangan temui aku lagi, Nona Layla. Selamat tinggal."Layla tercengang dengan perubahan mendadak dan penolakan yang mengejutkan tersebut. Ditatapnya punggung Hansen yang kini menunggu lift buka. Dalam kebingungan dan ketakutan itu, Layla tak bisa memikirkan apa pun.Jika Hansen tidak mau menolong, pada siapa dia meminta bantuan untuk menyelamatkan ibu mertuanya?Di dorong oleh rasa putus asa itu, Layla melangkah panjang ke depan, meraih dengan kuat lengan Hansen agar melihat ke arahnya dan dia langsung berjinjit untuk mencium pria itu. Namun karena tinggi badannya, dia hanya bisa mencium dagu Hansen dengan kuat sampai menimbulkan sakit pada gigi dan lidahnya yang tak sengaja tergigit.Tubuh Hansen membeku kaku. Apalagi saat ciuman di dagu ia terima dari wanita yang telah berhasil menarik minatnya.Layla yang salah memberikan ciuman menarik mundur wajahnya karena kesakitan. Rasa anyir darah bisa dirasakannya di dalam mulutnya. Saat Layla ingin meludahkan air liur berdarah itu, ia dikejutkan dengan cengkraman pada pinggangnya oleh Hansen."A--apa?"Dengan ekspresi terkejut, Layla menatap ke arah Hansen. Ia bisa merasakan panas membakar kedua mata pria itu dengan gairah dan keinginan."Kamu... baru saja mencoba menciumku? Untuk apa?" Hansen bertanya serak. Satu tangannya yang melingkari pinggang Layla menguat. Ia mendekap wanita itu agar menempel erat padanya.Dada penuh di balik hoodie basah yang dikenakan oleh Layla menggesek dadanya. Membuat Hansen menginginkan sentuhan lebih dari pada sekedar memeluk."S-saya mencobanya,""Mencoba?""Siapa tahu saja Anda berubah pikiran setelah saya memberi Anda ciuman." cicit Layla dengan napas tertahan.Kedua napas mereka saling terjalin. Layla yang tenggelam dalam pelukan Hansen memiliki ilusi bahwa sedetik kemudian laki-laki ini akan mencabik-cabik dirinya. Memakannya utuh dari daging ke tulang. Dan itulah yang terjadi pada detik kemudian.Hansen menarik Layla yang berada dalam pelukannya ke dalam lift. Ia mengukung wanita berparas cantik jelita itu di bawah tubuh besar berototnya.Saat hembusan napas panas dirasakan Layla di wajah, wanita itu tidak berani mengangkat kepala. Keberaniannya yang tadi mencuat ke permukaan sekarang menguap sebab penindasan dari Hansen terlalu kuat dia rasakan."Dan sekarang kamu bersikap pengecut seolah sedang melarikan diri, Nona Layla. Kemana perginya keberanian yang kamu tunjukkan itu?" Hansen berbisik di samping telinga dan dengan sengaja menggesek bibir tipisnya ke cuping telinga Layla yang terasa dingin.Di dalam lift terasa begitu dingin sebab pendingin udara yang menyala. Ditambah dengan seluruh pakaiannya basah dan dia telah direndam lama oleh hujan deras, alhasil gemetar tubuhnya karena kedinginan semakin intens.Dalam pelukan kuat Hansen, pria itu dapat merasakan jelas gemetarnya. Namun pria itu menahan diri. Dia tidak mau mengambil inisiatif meski pikirannya berubah kacau hanya karena memeluk wanita ini dalam pelukannya."Sa--saya kedinginan," Aku Layla mencicit lemah."Aku dapat melihat dengan jelas keadaanmu yang menyedihkan sekarang, tak perlu kamu beritahu lagi," balasnya dingin tanpa perasaan."Kalau begitu, bisakah Anda mengizinkan saya pergi ke ruangan Anda sebentar untuk menghangatkan diri?""Seorang wanita meminta pergi ke ruangan pria bujang sepertiku, kamu pasti tahu apa artinya kan?"Butuh beberapa saat bagi Layla memberikan anggukan pada Hansen."Tapi saya punya permintaan,""Permintaan? Di saat kamu sendiri lah yang butuh bantuanku, kamu masih tak tahu malu mengajukan persyaratan? Kamu pikir seberapa berharganya dirimu?!" Hansen berseru jengkel. Dia bahkan tak sadar telah meremas dengan keras pinggang Layla.Meski merasa sakit sebab tekanan kuat di pinggangnya, Layla tidak berhenti bicara tentang persyaratan yang mau dia katakan."Seperti yang sudah Anda bilang, saya sudah diambang putus harapan dan tidak punya hak untuk mengajukan permohonan lagi. Tapi, ini penting."Hansen menyipitkan matanya."Saya mohon....""Katakan,"Meski gugup, Layla mencoba berbicara dengan tenang dalam satu tarikan napas, ucapnya, "Saya tidak mau Anda menyentuh saya tanpa adanya ikatan hubungan yang sah. Oleh karena itu, sebelum Anda menggauli saya, saya ingin Anda menikahi saya lebih dulu."Gila!Hansen rasa-rasanya mau mengumpat. Namun dia menahan dirinya agar tenang. Ya ampun, sudah berapa kali ketenangannya goyah hanya karena bersama dengan wanita dalam pelukannya ini?Hansen berdeham singkat, lalu melanjutkan bertanya, “Barusan kamu bilang… menikah?”Layla mengangguk. Tatapan tercengang Hansen membuatnya panas dingin untuk alasan dan firasat buruk terjadinya penolakan. Maka dari itu, ia pun buru-buru menjelaskan maksud keinginannya.“Bukan pernikahan seperti yang Anda pikirkan. Maksud saya, saya hanya menginginkan agar Anda menikahi saya secara siri.”Pria itu menaikkan alisnya. Tampak menimbang. Terus menerus ditatap dari atas ke bawah oleh tatapan tajamnya membuat Layla semakin gemetaran. “Hansen…”“Kita pergi ke tempatku dulu,” ajak pria itu seraya menekan tombol lift menuju ke lantai kantornya.Layla yang terus dipeluk tanpa ada niatan untuk dilepaskan berusaha sekeras mungkin membuat dirinya rileks. Sudah lama sekali tidak berada sedekat itu dengan pria menyeb
"Rasanya nikmat seperti yang aku bayangkan, Layla." bisik Hansen tepat di depan wajah wanita itu yang kini memerah dan sepasang mata indah itu bergetar ringan."Ya Tuhan... bagaimana bisa seenak ini?" ulang Hansen sambil mencium bibir bengkak memerah itu berulang-ulang. Seolah dia tercandu-candu dan tak ingin berhenti untuk terus mencicipinya.Layla yang mulai merasa sakit pada mulutnya kemudian menutupnya dengan telapak tangan dan ciuman pria itu berhenti di sana. Hansen menatap Layla cemberut. "I-Ini sudah cukup kan?" Walau nampaknya dari ekspresi pria itu menyiratkan belum cukup, namun Hansen akhirnya bangun dari menindih Layla. Ia merapikan jasnya yang kusut, menata kembali penampilannya agar rapi seperti sedia kala. Layla ikut bangun, tetapi langsung mengerutkan keningnya saat pandangannya menggelap sejenak. Pusing membelah kepala membuat pelipisnya sakit."Ada apa?""Ya? Ah tidak, bukan apa-apa," balasnya menutupi ketidaknyamanannya pada lelaki itu. Dia tidak mau disangka le
Keesokan harinya, di sebuah rumah dua lantai.Hansen kedatangan tamu yang tak lain merupakan sekretarisnya di kantor hukum serta sahabat karibnya yang juga seorang pengacara. Kedua pria itu sedang duduk di ruang tengah selagi Hansen mempelajari kasus percobaan pembunuhan yang dituduhkan pada ibu mertua Layla.Saat Hansen sedang membaca dokumen, dia juga bertanya pada sang sekretarisnya, "Apa kamu sudah melakukan apa yang aku perintahkan?"Jordan yang sedang fokus dengan ponselnya lantas mengalihkan tatapannya kembali ke arah Hansen. Dan melirik ke arah pria berkacamata yang merupakan sekretaris sahabatnya tersebut. Charlie. "Aku sudah menemui Julie yang rencananya akan menjadi pengacara dari pihak penuntut. Aku mengatakan padanya untuk melanjutkan proses sidang," jawab Charlie. "Mereka pastinya sudah mulai melakukan penyelidikan dari tempat kejadian dan mewawancarai saksi mata kan?" Hansen bertanya disela dia sedang mempelajari kasus tersebut Dan kini beralih pada Jordan."Ya, kamu
Layla belum sepenuhnya pulih dari demam, tapi Hansen telah membombardirnya dengan pilihan sulit ketika turun ke bawah untuk menemuinya."Duduk. Kamu belum sarapan kan, makan dulu. Baru nanti kita membahasnya lebih lanjut setelah kamu selesai mengisi perutmu." ujarnya menyuruh Layla yang membeku tak bergerak agar duduk.Patuh, Layla mengambil duduk di hadapan Hansen. Ia tidak punya nafsu makan dan sakit yang dialaminya semakin membuat dia tidak ingin makan apa pun. Akan tetapi setelah Hansen melihatnya dengan alis terangkat karena cuma duduk diam saja, jadinya ia terpaksa mengangkat sendoknya.Setelah beberapa saat makan dalam keadaan hening dan mereka berdua selesai sarapan. Hansen memanggil bibi pembantu agar membereskan meja. Ia mengajak Layla pindah ke ruang tengah.Jordan maupun Charlie sudah pergi setelah Hansen naik ke kamarnya. Sekarang, tersisa bekas minuman dan puntung rokok di asbak tatkala Layla tiba di sana."Seperti yang sudah kamu ketahui, aku meminta sahabatku untuk menj
Tidak sampai setengah jam, sekarang Layla resmi jadi istri sah Hansen meski hanya secara agama saja. Dua pria yang menikahkan mereka telah pergi, menyisakan tiga orang duduk di ruang tengah. Jordan yang bersikeras ingin bicara pada Hansen menunggu dengan ekspresi marah di tempat dia duduk. "Tunggulah aku di kamar. Aku akan menyusul setelah menyelesaikan pembicaraan dengan sahabatku." titah Hansen pada Layla. Sebelum pergi, tak lupa lelaki itu menyematkan ciuman pada sudut mulut istri barunya. Menuruti perkataan Hansen, Layla naik ke lantai atas dengan wajah sangat malu dan panas. Ia dapat merasakan tatapan tajam Jordan yang terus terarah kepadanya. Pria yang ia tahu merupakan sahabat Hansen itu secara terang-terangan memandangnya penuh hinaan dan cemoohan. Meski ia merasa tak nyaman, namun dia hanya bisa menanggungnya. Lagipula, dia tak punya alasan untuk membela diri apabila kebenarannya sudah terpampang nyata ke permukaan. Bahwa demi sesuatu yang ia mau, dia rela menjual tubuhny
Tubuh Hansen yang berotot dan basah membuat Layla menelan ludah gugup. Layla merasa panas naik ke pipinya. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya. Mendapatkan persetujuannya, Hansen kembali menangkap dagu itu, mengangkatnya agar menatap padanya. Tanpa tedeng aling-aling, ia segera melumat bibir yang telah menarik perhatiannya dengan rakus. Refleks, Layla memejamkan mata dan dengan gemetar berusaha menenangkan diri tapi gagal. Apalagi saat tangan besar itu mulai menurunkan bathrobe yang ia gunakan ke samping, ia langsung gugup dan merasa ketakutan. Hansen yang melihat tingkah dan kegugupannya, meraih tangan Layla di atas pahanya lalu memegangnya dengan lembut. Dua telapak tangan berbeda ukuran saling menggenggam satu sama lain. Ia menghentikan ciuman itu sejenak, dengan suara rendah dan serak ia bilang, "Rileks, Layla." Layla menatap Hansen, matanya berkilauan di ruangan temaram kamar mereka. "Aku... aku hanya sedikit takut," ujarnya dengan jujur, suaranya ber
Layla terbangun dengan mata sulit dibuka. Ia terbaring telungkup dengan sisi wajah miring. Dan pada saat itu, dari arah belakangnya terdengar suara serak Hansen yang ternyata bangun juga. Atau, pria itu belum tidur? "Kamu bangun? Bagus, setidaknya aku tidak lagi merasa seperti sedang menyetubuhi mayat yang tak bergerak,""Tu-tunggu.... Enhh," Layla tersentak. Ia baru saja bangun dan kini jadi sadar sepenuhnya saat hentakan keras kembali dia terima. "Aku... aku lelah," mohonnya namun tidak ditanggapi oleh pria yang kini mencengkramnya kuat dalam pelukan. Punggungnya yang telanjang dan berkeringat bersandar pada dada bidang berotot di belakangnya. "Jangan pingsan dulu, Layla. Kamu baru saja bangun, dan sekarang mau pingsan lagi? Aku bilang, aku tidak mau merasa seperti sedang berhubungan intim dengan mayat, jadi jangan tidur dulu," perintahnya terdengar dingin dan menuntut. Namun Layla yang tidak tahu sudah berapa lama mereka saling bersentuhan mulai merasakan panas dan berdenyut di
Layla keluar dari kamar setelah dia selesai mandi dan mengenakan pakaian yang layak untuk dilihat orang. Ia ingat kalau di rumah, bukan cuma dia saja yang tinggal melainkan ada dua pembantu yang bertugas membersihkan rumah dan memasak. Langkah demi langkah, Layla berjalan perlahan menuruni anak tangga. Padahal sudah lama berlalu tapi dia secara samar masih bisa merasakan gemetar pada kedua kakinya. Di lantai bawah, Layla berpapasan dengan wanita yang usianya lebih tua darinya. "Permisi," "Oh astaga... Anda sudah bangun?" Wanita yang ternyata salah satu pembantu itu bertanya pada Layla. "Ya, maaf saya mengagetkan Anda." ujarnya tak enak hati.Wanita itu tersenyum perhatian, lantas bertanya pada Layla, "Anda pasti lapar kan?""Ahh, iya," Layla bergumam malu."Tuan muda telah memberitahu kami agar melayani nona dengan baik. Apa demam Anda sudah turun? Bagaimana keadaan Anda? Apa ketidaknyamanan di mana pun?" "Saya baik-baik saja, dan untuk demamnya pun sudah turun.""Syukurlah. Tua