Share

MENANTU PILIHAN (TAMAT)
MENANTU PILIHAN (TAMAT)
Author: Andri Lestari

BAB 1: (POV RAIHAN) Kenapa Harus Wanita Bercadar Itu?

(POV RAIHAN)

"Apa ngga ada wanita lain, Bu? Kenapa harus dia?" Aku mengajukan protes pada Ibu. Wajar, ya. Aku merasa dizalimi kali ini. Tanpa menanyakan padaku terlebih dahulu, Ibu mengambil keputusan sendiri. Memaksaku ikut ke rumah salah seorang pembantu kami dulu, Bik Sumi.

"Dia anak baik. Cocok menjadi istrimu, Nak."

Cocok, sih, cocok, tapi bukan dengan dia juga kali, Bu. Anak pembantu, gaya berpakaian kuno, masih terlalu muda, belum tentu juga cantik.

"Dia cantik, kok," ujar Ibu setengah berbisik. Wanita paruh baya yang duduk di sampingku ini seperti bisa membaca isi hatiku.

"Cantik dari mana? Wajahnya saja ditutup begitu. Korengan kali, ngga?" umpatku kesal.

"Hussh! Jangan asal ngomong."

Aku dan Ibu masih berbisik-bisik. Sesekali aku melirik ke arah wanita yang duduk di depanku. Posisi kami di halangi dengan sebuah meja kayu bulat. Didampingi oleh kedua orang tuanya, wanita yang kuketahui bernama Aira tersebut lebih sering menunduk. Aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya, ada selembar kain yang digunakan untuk menutupi wajah hingga bawah mata.

"Bu, batalkan saja. Atau aku saja yang batalkan, ya!" seruku tanpa menggubris tatapan heran mereka.

"Kamu jangan macam-macam, Raihan. Kalau kamu menolak, ibu bisa sakit dan kamu nggak akan pernah berjumpa dengan ibu lagi," ancam Ibu. Walau masih berbisik, tapi suaranya terkesan tegas.

Alamak, Bu, Ibu!

Aku pun menurunkan ego. Hanya Ibu yang kumiliki saat ini di dunia. Karena doanya, aku bisa sukses seperti sekarang ini. Karena doa Ibu pula, aku hampir tidak pernah mengalami masa-masa sulit di dalam hidupku. Hanya saat bapak meninggal, aku merasa sangat terpuruk. Namun, Ibu bagaikan malaikat tak bersayap berdiri tegak menguatkanku. Di tengah kesedihan hatinya, Ibu yang pada saat itu masih muda rela bekerja keras untuk menopang hidup kami.

"Masih mau macam-macam, Raihan?" tanya Ibu sembari menyikut pinggangku.

Aku kaget dan lamunanku pun buyar seketika. Mataku bersirobok dengan kedua bola mata milik Aira. Namun, aku tak bisa membaca bagaimana ekspresinya, karena tanpa menunggu hitungan menit, gadis berkerudung hitam itu kembali menjatuhkan pandangannya.

"Bagaimana, Nak Raihan? Jika Nak Raihan ngga keberatan dan ingin melanjutkan ke tahap selanjutnya, kami persilakan Nak Raihan untuk melihat wajah Aira terlebih dahulu." Pak Ahmad, yang tidak lain adalah Abahnya Aira pun buka suara.

"Wah! Bisa begitu? Kalau nanti setelah melihat wajahnya dan saya membatalkan, bagaimana?" tanyaku tanpa pikir panjang.

'Auwww!'

Kakiku terasa sakit. Ini pasti kerjaan Ibu. Siapa lagi orangnya. Toh, yang berada di dekatku sekarang hanya wanita yang sangat kucintai ini. Ia menginjak kakiku keras.

"Kenapa, sih, Bu?" Aku mendekatkan badan ke arahnya. Kami kembali saling berbisik.

"Kamu itu ngga bisa, ya, kalau ngga mempermalukan ibu?" tanya Ibu. Aku bisa membaca gurat kekecewaan dari nada suaranya.

"Tak perlulah itu, Pak Ahmad. Aku tau bagaimana Aira. Aku juga tau wajahnya. Dulu 'kan sering Bik Sumi bawa dia ke rumah. Waktu bantu-bantu saya bikin kue. Si Raihan ini saja yang ngga pernah perhatikan."

Mendengar ucapan Ibu, aku mulai mengingat-ingat kapan melihat gadis itu. Rasa-rasa aku belum pernah berkenalan dengan seorang gadis bernama Aira. Pun aku sejak kuliah serinh meninggalkan Ibu di rumah bersama Bik Sumi. Jadi kapan bertemu dengan anaknya Bik Sumi? Ini Ibu sudah mulai ngaco, nih!

"Kapan, Bu? Kok aku kurang ingat, ya?" tanyaku berusaha meyakinkan.

"Ya ampun. Dulu! Waktu Aira masih SD."

"Ibu! Jangan bercanda," ujarku merasa dipermainkan Ibu.

"Lho, mana ada ibu bercanda. Dulu Aira kecil 'kan suka dibawa Bim Sumi ke rumah. Pernah sekali kamu marahin karena dia pinjam sepeda kamu."

"Oh, jadi dia si Aira yang itu?" tanyaku ketus.

"Iya. Sudah tau, 'kan? Jadi pernikahan bisa disegerakan."

"Belum. Aku masih penjajakan dulu." Aku masih bersikeras agar perjodohan itu dibatalkan.

"Penjajakan apa? Kamu terima beres pokoknya. Semua ibu yang atur. Mulai dari seserahan, pesta dan lain sebagainya. Pokoknya kamu nikah sama Aira. Pokoknya segera. Pokoknya kamu ngga boleh nolak. Pokoknya ...,"

"Pokoknya aku harus dengerin Ibu!" potongku cepat.

"Nah! Itu pinter!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status