Share

BAB 4: (POV AIRA) GANTENG, SIH, TAPI NA'UDZUBILLAH!

(POV AIRA)

Ampun! Aku salah orang. Jadi bukan yang berkumis itu laki-laki yang dimaksud? Aku cekikikan, tapi cukup dalam hati. Bisa gawat kalau aku terbahak di depan semua orang. Nanti saja, deh, ketawa sepuas-puasnya di kamar.

"Kamu ini. Makanya duduk bagus dulu di sana. Diem! Jangan gresean. Moso anak Emak, udah bagus gitu tertutup pakaiannya, tapi masih tomboi."

Aku terkekeh mendengar ucapan Mak. Memangnya orang tomboi dilarang berpakaian syar'i? Atau jika sudah berpakaian syar'i tidak boleh memiliki sifat tomboi? Aduh! Gimana-gimana?

Mak mengajakku kembali untuk duduk. Hanya ada beberapa orang di ruang tamu. Aku, Mak dan Abah serta ibu juga pamannya Mas Raihan. Wanita paruh baya di depanku terlihat tersenyum. Parasnya terlihat lembut dalam balutan jilbab berwarna putih. 

Kulihat ia berbisik kepada lelaki berkumis di sampingnya. Kemudian dibalas anggukan oleh lelaki tersebut. Dia bangkit dan berjalan ke arah luar. Tak lama, lelaki itu kembali masuk bersama seseorang.

Ya, Tuhan. Aku terkesima. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Tenang ... tenang. Istighfar kencang-kencang.

"Nak Raihan. Silakan duduk," ucap Abah.

Aku salah tingkah dibuatnya. Sungguh sempurna ciptaan-Mu, ya, Allah. Melihat ketampanan yang dimiliki lelaki itu, aku jadi minder tak percaya diri.

"Nak, bantu Mak dulu di dapur," ajak Mak. Ia seperti tahu kondisi hatiku saat ini. Berdebar-debar tak menentu sejak tadi.

Aku mengangguk dan bangun menyusul Mak yang sudah terlebih dulu berjalan ke belakang.

"Jangan sibuk-sibuk, Aira." Ibunya Mas Raihan berujar. Kubalas dengan sekali anggukan, kemudian berlalu dari hadapan mereka.

***

Di dapur, Mak kembali mengingatkanku. Ya, seperti biasa, sifat paniknya kembali meraja.

"Ingat, Nduk. Jaga sikap, ya. Jangan bikin kacau acara. Ini kesempatan yang gak akan terulang. Langka."

"Nggeh, Mak. Aku janji. InsyaAllah." Aku Meletakkan tangan kanan di ujung pelipis mata, mempraktekkan hormat di depan Mak.

"Ayo buruan. Mak bawa ini, kamu bawa yang ini aja." Mak, mengangkat talam berukuran lebar yang sudah di isi dengan piring-piring berisi beraneka kue basah. Sementara aku hanya mengangkat sebuah talam persegi yang berukuran lebih kecil. Berisi beberapa cangkir yang sudah di isi teh hangat.

Sederhana, tapi memerlukan waktu untuk mempersiapkannya. Mak dan Abah saling bahu membahu mengerjakan semua. Dikerjakan penuh cinta, demi sang putri tercinta.

"Tuh kan, jadi ngerepotin ini," ibu Mas Raihan ikut bangun menyambut talam yang dibawa Mak. Mereka berdua terlihat asik menata beberapa piring di atas meja.

"Wah, ngga muat ini mejanya," ucap Mak dengan raut wajah tak enak.

"Ngga apa-apa, Bik. Selebihnya bisa letak di bawah aja."

Mak dan ibu Mas Raihan akhirnya meletakkan beberapa piring kue yang lebih di atas tikar. Kemudian melanjutkan pembahasan tentang perjodohan kami sambil menikmati jamuan sederhana yang telah dihidangkan.

"Kalau bisa sebelum lebaran mereka sudah sah!" seru Bu Hafsah, ibunya Raihan.

Sebelum lebaran? Wah! Gawat. Debaran di dadaku semakin kencang. Aku membalikkan badan ke arah dinding. Mencoba menetralkan hati yang asik berdebar tanpa henti. Parah!

"Bu, tapi kan ...,"

"Iya. Lebih cepat lebih baik." Bu Hafsah memotong ucapan anaknya cepat.

"Bu, maksudku, apa kita ngga sebaiknya ngobrol dulu di luar. Empat mata." Mas Raihan setengah memaksa. 

"Kok ibu yang diajak bicara empat mata? Tuh, Aira, calon istrimu. Ajak dia ngobrol di luar. Itung-itung untuk lebih mengenal satu sama lain."

Ya ampun. Jantungku seperti sedang naik kuda. Terpacu begitu cepat.

"Aira, sana gih ngobrol di depan sama Raihan."

Lagi dan lagi aku hanya mampu menganggukkan kepala. Bibir terasa kelu tak sanggup berkata-kata. Di belakang Mas Raihan, aku mengayunkan langkah mengikutinya. Di luar, lelaki itu menuju ke sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu. Serba salah. Mau duduk di ujung bangku, kok, ada perasaan tak enak. Akhirnya aku memutuskan untuk berdiri saja.

Di lihat dari sudut mana pun, Mas Raihan terlihat sangat tampan. Tuhan telah menciptakannya dengan rupa yang sempurna.

Kami masih saling diam. Ingin mengajaknya bicara terlebih dahulu, aku tidak mau terlihat ekspresif. Menunggu dia menyapa duluan, seperti menunggu detik-detik beduk Magrib ditabuh waktu bulan puasa. MasyaAllah.

Lalu aku harus bagaimana? Berdiri saja saja seperti bodyguard sedang menjaga bosnya?

"Sampai kapan mau berdiri di situ?" 

Ah, akhirnya dia bicara juga. Rasanya itu seperti buru-buru berlari ke toilet saat hajat memanggil untuk segera dituntaskan.

Lega!

Aku tidak fokus. Kalimat yang Mas Raihan lontarkan tidak habis ditangkap telinga. Timbul tenggelam seperti gejolak yang kurasa saat ini. Namun, di depannya dan para tamu yang lain, aku tidak bisa menjadi tupai yang bisa lompat ke sana ke mari. Mendadak menjadi burung merak yang elegan. 

"Ya, sampai kita selesai bicara." Aku menjawab tanpa melihat ke arahnya. 

"Jadi begini. Ibuku suka sekali sama kamu. Beliau memaksaku untuk menikahi kamu. Kalau boleh tau, kamu pakai ilmu apa untuk mikat hati ibuku?"

Waduh! Maksud dia apa? Ilmu bagaimana? Ilmu kerja di pabrik roti? Ada-ada saja. Dia pikir ilmu pemikat itu hanya berasal dari pelet, guna-guna dan sejenisnya? Katrok!

"Ilmu? Ilmu opo tho? Ndak pakai ilmu-ilmuan. Pun aku cuma tamat SMA aja, kok."

"Jadi gini, ya. Asal kamu tau aja, aku menolak perjodohan ini! Kamu gimana? Mau lanjut atau berhenti?" tanyaku tegas.

"Aku ... aku, ya, gimana kata Mak sama Abah aja." Aku menjawab sedikit terbata. Kok pertanyaannya begitu, sih? Dia keberatan dijodohkan denganku?

"Kok tunggu mereka, yang mau nikah 'kan kamu!" seru Mas Raihan.

"Karena aku yakin setiap orang tua ngga ada yang mau menjerumuskan anaknya ke dalam keburukan. Apalagi menyangkut perihal pernikahan, sebuah hubungan yang didoakan hanya terjadi sekali seumur hidup. Jadi apa Mas Raihan kira jika ibunya Mas Raihan mau menjerumuskan anaknya?"

"Memang ngga ada orang tua yang mau jerumuskan anaknya. Namun, kamu jangan buta, Aira. Sang anak pun berhak untuk menentukan masa depannya sendiri. Memilih pasangan seperti apa yang diinginkan untuk menjadi pasangan hidupnya." Aku masih bersikeras. Dan lihatlah! Dia masih sanggup berdiri dengan posisi tidak melihat ke arahku. Dia sama sekali tidak sopan. Dikira aku kotoran hewan apa, harus dihindari.

"Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya, tidak berhak apa pun atas diri kita. Semua sudah di atur Allah dan sudah pas porsinya. Langkah, rezeki, pertemuan, maut, semua itu adalah hal ghaib. Ngga ada seorang pun dari makhluk yang mengetahuinya. Semua telah ditetapkan Allah. Lalu tugas kita sebagai makhluk yang taat apa? Cukup berikhtiar, doa dibarengi usaha. Ngga cukup doa saja, pun ngga cukup usaha saja. Semua harus tawazun (seimbang)." Napasku memburu. Rasanya ubun-ubunku terbakar mendengar setiap ucapan daei mulutnya.

"Serah, deh! Pokoknya aku menentang perjodohan ini. Apa aku seburik itu dikira Ibu ngga laku?" Bukannya mengalah, dia malah asik mengeluarkan pendapat.

"Terserah Mas Raihan aja, deh. Aku, sih, kalau lanjut, ya, lanjut. Kalau ngga, juga ngga jadi masalah. Aku masih muda. Jalanku masih panjang. Ngga tuh ngebet nikah. Biasanya yang ngebet dinikahin itu karena ngga laku-laku," jawabku kesal. Sok kegantengan sekali lelaki itu. Huft!

"Oke, ya, Mas. Kurasa kita sudah selesai ngobrolnya. Ada baiknya Mas langsung undur diri pada orang tuaku. Tak baik memberi harapan palsu," lanjutku. Kemudian meninggalkannya seorang diri.

Dengan napas terengah menahan kesal. Aku berdiri di tengah-tengah hampir mendekati meja. Ingin mengeluarkan uneg-uneg yang sedang kurasa.

"Maaf, semuanya. Perjodohan ini dibatalkan saja. Pada Ibu Ratna, saya mewakili orang tua saya mengucapkan terima kasih atas niat baik Ibu yang bersikeras ingin menjodohkan kami. Jodoh itu adalah hak mutlak dari Allah. Segala sesuatu yang menurut kita baik, mungkin belum tentu baik menurut Allah. Begitu juga sebaliknya, yang menurut kita buruk, belum tentu buruk menurut-Nya."

Bagaimana pun juga, aku merasa malu atas penolakan Mas Raihan. Lelaki di dunia ini banyak. Tidak menikah dengan dia, bukan berarti jodohku tidak akan datang lagi.

"Kenapa, Nak Aira? Apa yang terjadi?" Ibu Hafsah tampak kaget.

"Mungkin Mas Raihan bisa menjelaskan, Bu."

Aku melirik ke atas lelaki tampan bermulut menjengkelkan itu. Ia tampak tersenyum kecut sembari menggaruk kepala. Garuk, tuh! 

BRUGHH!

Tiba-tiba aku sangat terkejut melihat Bu Hafsah jatuh tiba-tiba.

***

Next

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status