POV RAIHAN***Setelah menghabiskan waktu satu jam menelepon Aira setelah subuh tadi, pagi ini aku berkemas dengan semangat. Tak sabar ingin menyelesaikan pekerjaan dan segera menjemput Aira di Surabaya. Aku ingin memeluknya dan bersimpuh di kaki wanita itu. Kesalahanku padanya sudah menggunung. Kuhadapi meja makan seorang diri. Biasanya selalu ada Aira menemani. Kali ini aku sarapan tanpa ditemani tatapan penuh cinta istriku. Aku sungguh menyesal telah menyia-nyiakannya beberapa hari ini. Mendiamkan Aira tanpa mempedulikannya sama sekali. Ponsel bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dan segera kubuka. Aku berharap itu adalah Aira. Benar saja, sebuah pesan masuk dari istriku. [Apa Mas masih menyimpan rasa untuk Safia?]Apakah dia masih belum percaya dengan penjelasanku kemarin? Yang dilihat oleh Aira di dekat lampu lalu lintas itu bukanlah sebuah kesengajaan. Lagi pula Safia telah menjadi istri orang. Dia adalah masa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam. Jika pun sekarang aku be
"Aira....!"Aku berteriak nyalang. Bungkusan rujak di dalam kantong lepas di tangan. Mak dan Abah berbalik badan. Tangis keduanya semakin menjadi saat melihatku masih berdiri di belakang mereka.Aku menubruk tubuh Aira dan segera mengangkatnya sambil berlari ke luar rumah. Darah segar masih saja tampak mengalir menyentuh telapak kaki wanita yang sudah sangat pucat ini. Panik dan bingung membuatku tak bisa berpikir jernih. Di belakangku Mak dan Abah masih menangis sambil ikut berlari mengikutiku. "Aira. Bangun, Sayang. Ini Mas datang. Mas bawa rujak pesananmu, Sayang."Aku menunggu Abah dan Mak masuk di bangku belakang. Kemudian aku meletakkan Aira perlahan di atas pangkuan mereka. "Raihan. Cepat, Nak. Aira sudah sangat lemah."Tanganku gemetar saat memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tubuhku pun telah basah oleh keringat dingin. "Bah, ajak Aira bicara. Buat dia selalu sadar."Entah ilmu dari mana itu, yang ada di pikiranku adalah Aira harus sadar. Jangan sampai dia tertidur selama
"Menuruti emosi dan keras kepala hanya akan merugikan, dan penyesalan adalah hadiah yang tepat untuk diterima."***Aku duduk termenung di depan gundukan tanah Merah yang masih basah. Aroma khas dari tanah yang disiram rintik hujan menyapa lembut di indra penciuman. Para pelayat yang lain sudah meninggalkan tanah pekuburan. Hanya aku, Abah, Mak, Ibu serta beberapa tetangga dekat yang masih bertahan.Kami masih khusyu dengan doa masing-masing. Terutama aku, banyak hal yang masih kupertanyakan pada Tuhan, juga banyak hal yang akan kupinta pada-Nya. "Raihan, sudah. Kita pulang. Sebentar lagi hujan lebat," ujar Abah. Sebelah tangannya berada di pundakku. Aku bergeming. Hanya menggeleng saja tanpa menoleh ke arah Abah. "Besok dilanjut lagi, Nak Raihan. Kamu juga harus istirahat. Semalam kamu belum tidur." Kudengar suara Mak ikut menimpali. "Aku masih ingin ngobrol dengan Aira, Mak, Bah. Aku masih mau di sini.""Ya sudah. Kami pergi terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu di rumah mertuamu."Aku
(POV RAIHAN)"Apa ngga ada wanita lain, Bu? Kenapa harus dia?" Aku mengajukan protes pada Ibu. Wajar, ya. Aku merasa dizalimi kali ini. Tanpa menanyakan padaku terlebih dahulu, Ibu mengambil keputusan sendiri. Memaksaku ikut ke rumah salah seorang pembantu kami dulu, Bik Sumi."Dia anak baik. Cocok menjadi istrimu, Nak."Cocok, sih, cocok, tapi bukan dengan dia juga kali, Bu. Anak pembantu, gaya berpakaian kuno, masih terlalu muda, belum tentu juga cantik."Dia cantik, kok," ujar Ibu setengah berbisik. Wanita paruh baya yang duduk di sampingku ini seperti bisa membaca isi hatiku."Cantik dari mana? Wajahnya saja ditutup begitu. Korengan kali, ngga?" umpatku kesal."Hussh! Jangan asal ngomong."Aku dan Ibu masih berbisik-bisik. Sesekali aku melirik ke arah wanita yang duduk di depanku. Posisi kami di halangi dengan sebuah meja kayu bulat. Didampingi oleh kedua orang tuanya, wanita yang kuketahui bernama Aira tersebut lebih sering menunduk. Aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya, a
(POV AIRA)Kata Mak dan Abah, hari ini kami akan kedatangan tamu istimewa. Seistimewa apa aku juga belum tahu. Pastinya Mak memintaku untuk memakai baju paling bagus yang kupunya. Sebagus apa? Toh, bajuku, ya, begitu-begitu saja. Memiliki model yang sama, bahkan warna pun hampir serupa."Dandan dikit, ya, Nduk!"Aku mengernyitkan dahi. Kenapa harus dandan? Kan percuma, wajahku pun tertutup cadar."Memangnya yang mau datang iku sopo tho, Mak?" tanyaku pelan."Orang penting. Orang yang pernah membantu Mak dan Abah dulu."Lagi-lagi jawaban Mak membuatku harus berpikir keras. Sama sekali aku tidak mempunyai bayangan siapa tamu yang akan datang kali ini. Dan aku melihat Mak serta Abah begitu sibuk. Mak sedang menata beberapa ragam kue ke dalam wadah. Kue-kue yang ia buat sendiri sejak tadi malam. Sementara Abah, beliau sedang menyapu ruang tamu sederhana kami. "Abah, sudah bisa dihidang belum kuenya?" Mak berteriak agak keras. Aku masih membantu wanita paruh baya itu menata potongan-poton
(POV RAIHAN)"Nikahnya kita percepat saja, ya, Pak. Sebelum masuk bulan ramadhan. Biar puasa nanti, Rayhan ada temennya," ujar Ibu ditimpali dengan derai tawa orang tua sang gadis serta Paman Iwan.Ibu apa-apaan, sih?Aku mulai gerah dengan kondisi pertemuan yang sangat tak diharapkan ini. Sengaja aku ambil cuti kerja karena alasan Ibu ingin ditemani jalan-jalan. Ternyata, begini hasilnya."Gimana, Nak Rayhan? Mau ajak Aira ngobrol dulu?" tanya lelaki yang duduk di samping perempuan bercadar itu padaku."Mm ... eh ... gimana, ya? Nanti saja, deh, Pak." Aku menjawab kikuk. Apa perlu harus ngobrol dengan dia? Melihat sekilas saja dia tampak tidak selevel denganku. Lalu, mau diajak ngobrol apa? Tidak imbang pastinya."Ayo bangun! Kenali calon istrimu lebih dekat." Ibu mendorong tubuhku.Ibu, kok, jadi begini, sih? Masa tega menjerumuskan anaknya sendiri?Aku terpaksa angkat pantat dari kursi kayu berwarna cokelat tua yang sejak tadi kududuki, menuju ke arah gadis bernama Aira. Beramah ta
(POV AIRA)Ampun! Aku salah orang. Jadi bukan yang berkumis itu laki-laki yang dimaksud? Aku cekikikan, tapi cukup dalam hati. Bisa gawat kalau aku terbahak di depan semua orang. Nanti saja, deh, ketawa sepuas-puasnya di kamar."Kamu ini. Makanya duduk bagus dulu di sana. Diem! Jangan gresean. Moso anak Emak, udah bagus gitu tertutup pakaiannya, tapi masih tomboi."Aku terkekeh mendengar ucapan Mak. Memangnya orang tomboi dilarang berpakaian syar'i? Atau jika sudah berpakaian syar'i tidak boleh memiliki sifat tomboi? Aduh! Gimana-gimana?Mak mengajakku kembali untuk duduk. Hanya ada beberapa orang di ruang tamu. Aku, Mak dan Abah serta ibu juga pamannya Mas Raihan. Wanita paruh baya di depanku terlihat tersenyum. Parasnya terlihat lembut dalam balutan jilbab berwarna putih. Kulihat ia berbisik kepada lelaki berkumis di sampingnya. Kemudian dibalas anggukan oleh lelaki tersebut. Dia bangkit dan berjalan ke arah luar. Tak lama, lelaki itu kembali masuk bersama seseorang.Ya, Tuhan. Aku
(POV RAIHAN)Ibu tersungkur di lantai. Refleks aku berlari ke arahnya dan mengangkat tubuh Ibu. Namun, wanita ini masih memejamkan mata. Di pangkuanku, aku mengusap pipinya yang semakin menua. Pipi yang dulu jarang sekali merasakan make up mahal. Hanya bermodal bedak padat biasa yang ia pakai sebelum mengantarkan kue pesanan orang. Di lain waktu, pipi yang sedikit demi sedikit telah mengendur ini, hanya dibasahi oleh air wudhu saja."Bu, bangun, Bu." Aku mengusap air mata yang mengalir di pipi Ibu. Sedih sekali melihat kondisinya seperti ini. Apalagi ia tersungkur tepat di depanku, di rumah orang pula."Angkat ke kamarku saja, Mas," Suara Aira membuatku mengangkat wajah. Ingin sekali memarahi gadis itu. Ibu jatuh begini, ya, karena ulahnya. Coba jika dia menahan sedikit mulutnya, pasti Ibu masih baik-baik saja. Ibu pasti kaget. Hanya aku yang tahu bagaimana cara menyampaikan pembatalan acara menyebalkan ini ke Ibu."Iya, Nak Raihan. Angkat dulu Bu Hafsah ke dalam. Nanti biar diurus Ai