Share

BAB 3: (POV RAIHAN) MELAMAR GADIS BERCADAR

(POV RAIHAN)

"Nikahnya kita percepat saja, ya, Pak. Sebelum masuk bulan ramadhan. Biar puasa nanti, Rayhan ada temennya," ujar Ibu ditimpali dengan derai tawa orang tua sang gadis serta Paman Iwan.

Ibu apa-apaan, sih?

Aku mulai gerah dengan kondisi pertemuan yang sangat tak diharapkan ini. Sengaja aku ambil cuti kerja karena alasan Ibu ingin ditemani jalan-jalan. Ternyata, begini hasilnya.

"Gimana, Nak Rayhan? Mau ajak Aira ngobrol dulu?" tanya lelaki yang duduk di samping perempuan bercadar itu padaku.

"Mm ... eh ... gimana, ya? Nanti saja, deh, Pak." Aku menjawab kikuk. Apa perlu harus ngobrol dengan dia? Melihat sekilas saja dia tampak tidak selevel denganku. Lalu, mau diajak ngobrol apa? Tidak imbang pastinya.

"Ayo bangun! Kenali calon istrimu lebih dekat." Ibu mendorong tubuhku.

Ibu, kok, jadi begini, sih? Masa tega menjerumuskan anaknya sendiri?

Aku terpaksa angkat pantat dari kursi kayu berwarna cokelat tua yang sejak tadi kududuki, menuju ke arah gadis bernama Aira. Beramah tamah dan mengajaknya untuk keluar rumah sebentar. Tidak ke mana-mana, hanya duduk di sebuah bangku yang tersedia di depan rumah.

Setiba di bangku kayu tersebut, aku mengenyakkan tubuh dan sama sekali tidak memedulikan Aira. Kulirik sekilas, bukannya duduk di ujung bangku yang telah kusediakan. Dia masih berdiri membelakangiku.

"Sampai kapan kamu mau berdiri seperti itu?" tanyaku acuh.

"Ya, sampai kita selesai bicara." Suaranya terdengar halus dan lembut.

Aku mencoba fokus pada apa yang ingin kusampaikan. Semua telah kurencakan dalam hitungan menit beberapa waktu lalu. Saling diamnya kami membuatku dapat berpikir cepat.

"Jadi begini. Ibuku suka sekali sama kamu. Beliau memaksaku untuk menikahi kamu. Kalau boleh tau, kamu pakai ilmu apa untuk mikat hati ibuku?"

Aduh! Kenapa pertanyaanya meleset dari yang telah kurencanakan. Seharusnya itu adalah isi hati yang harus kupendam, bukan ditanyakan. Gawat!

"Ilmu? Ilmu opo tho? Ndak pakai ilmu-ilmuan. Pun aku cuma tamat SMA aja, kok." Dia menoleh ke arahku. Tak lama, Aira kembali ke posisi semula.

Ini anak sedang berpura-pura pastinya. Aktingnya hebat juga. Bagaimana tidak, wajar aku curiga, apa rahasia yang ia miliki sehingga Ibu sangat bersikeras dan sama sekali tidak mau berkompromi untuk hal perjodohan ini.

"Jadi gini, ya. Asal kamu tau aja, aku menolak perjodohan ini! Kamu gimana? Mau lanjut atau berhenti?" tanyaku tegas.

"Aku ... aku, ya, gimana kata Mak sama Abah aja."

"Kok tunggu mereka, yang mau nikah 'kan kamu!" seruku sengit.

"Karena aku yakin setiap orang tua ngga ada yang mau menjerumuskan anaknya ke dalam keburukan. Apalagi menyangkut perihal pernikahan, sebuah hubungan yang didoakan hanya terjadi sekali seumur hidup. Jadi apa Mas Raihan kira jika ibunya Mas Raihan mau menjerumuskan anaknya?"

Pertanyaan Aira menohokku. Namun, tau apa dia tentang pernikahan. Umur pun masih bau kencur. Lagi pula mana mungkin dia yang akan menjadi jodohku. Banyak wanita cantik di luar sana yang sedang mencoba menarik perhatianku. Dengan jabatan yang kupegang sekarang, wanita seperti apa pun yang kuinginkan pasti akan mudah kudapatkan.

"Memang ngga ada orang tua yang mau jerumuskan anaknya. Namun, kamu jangan buta, Aira. Sang anak pun berhak untuk menentukan masa depannya sendiri. Memilih pasangan seperti apa yang diinginkan untuk menjadi pasangan hidupnya." Aku masih bersikeras. Dan lihatlah! Dia masih sanggup berdiri dengan posisi tidak melihat ke arahku. Dia sama sekali tidak sopan. Dikira aku kotoran hewan apa, harus dihindari.

"Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya, tidak berhak apa pun atas diri kita. Semua sudah di atur Allah dan sudah pas porsinya. Langkah, rezeki, pertemuan, maut, semua itu adalah hal ghaib. Ngga ada seorang pun dari makhluk yang mengetahuinya. Semua telah ditetapkan Allah. Lalu tugas kita sebagai makhluk yang taat apa? Cukup berikhtiar, doa dibarengi usaha. Ngga cukup doa saja, pun ngga cukup usaha saja. Semua harus tawazun (seimbang)."

Eleh! Ini cewek banyak sekali omongnya. Itu pakai kata-kata istilah pula. Dikira aku paham?

"Serah, deh! Pokoknya aku menentang perjodohan ini. Apa aku seburik itu dikira Ibu ngga laku?"

"Terserah Mas Raihan aja, deh. Aku, sih, kalau lanjut, ya, lanjut. Kalau ngga, juga ngga jadi masalah. Aku masih muda. Jalanku masih panjang. Ngga tuh ngebet nikah. Biasanya yang ngebet dinikahin itu karena ngga laku-laku," ucapnya sambil melihat ke arahku menggunakan ujung mata. Kerlingannya cukup kuat juga.

Tunggu! Dia mau cari masalah? Bukannya aku tidak laku, tapi Ibu selalu menolak para wanita yang kuperkenalkan padanya. Belum juga berlanjut, masih tahap melihat fotonya saja, Ibu sudah menolak ditambah dengan ancaman segala.

"Kalau kamu belum memutuskan hubungan dengan para wanita itu, penyakit Ibu akan kumat."

Kalimat pamungkas yang setiap saat Ibu lontarkan dan berhasil membuatku tak berkutik sama sekali.

"Oke, ya, Mas. Kurasa kita sudah selesai ngobrolnya. Ada baiknya Mas langsung undur diri pada orang tuaku. Tak baik memberi harapan palsu." Setelah melempar kalimat terakhir, Aira berlalu kemudian. Aku menatap punggungnya lekat. Bertanya-tanya tak mengerti tentang keistimewaan gadis itu. Apa yang ia simpan di dalam dirinya sehingga Ibu begitu yakin untuk menjodohkanku dengannya.

Tubuhnya dibaluti baju panjang hingga menutupi mata kaki. Mengenakan jilbab panjang serta kain penutup wajah berwarna senada. Kakinya juga tak terlihat karena dibungkus dengan kaos kaki berwarna cokelat susu. Very very old style!

Aku pun bangkit dari bangku panjang dan berjalan mengikutinya ke arah rumah. Berniat membatalkan rencana Ibu dan segera pulang ke kota.

"Maaf, semuanya. Perjodohan ini dibatalkan saja. Pada Ibu Ratna, saya mewakili orang tua saya mengucapkan terima kasih atas niat baik Ibu yang bersikeras ingin menjodohkan kami. Jodoh itu adalah hak mutlak dari Allah. Segala sesuatu yang menurut kita baik, mungkin belum tentu baik menurut Allah. Begitu juga sebaliknya, yang menurut kita buruk, belum tentu buruk menurut-Nya."

Kudengar suara Aira dari dalam rumah. Wah! Dia mendahuluiku membatalkan perjodohan tak penting ini. Bagus! Jadi aku tidak perlu susah-susah lagi untuk menjelaskan.

"Kenapa, Nak Aira? Apa yang terjadi?" Aku mendengar suara Ibu begitu tiba di ambang pintu ruang tamu. 

"Mungkin Mas Raihan bisa menjelaskan, Bu."

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Melihat raut wajah sedih Ibu membuatku merasa bersalah. Mata itu berkaca-kaca menatapku. Mata yang tak pernah lelah memperhatikan tumbuh kembangku. Mata yang selalu menatapku penuh cinta. Mata yang tanpa sengaja selalu kulihat terjaga di saat semua orang masih meringkuk di bawah selimut tebalnya. Namun, kedua mata itu sedang menangis sembari mendoakan kesuksesanku di sepertiga malam.

BRUUGGH!!

BRAAAKK!!

"Ibu!"

Seisi ruangan mendadak panik saat melihat tubuh Ibu tersungkur mencium lantai.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status