Share

BAB 6: IJAB QABUL

"Saya terima nikah dan kawinnya Aira Muthmainnah binti Ahmad Ruslan dengan mas kawin sepuluh gram emas dibayar tunai."

"Bagaimana saksi? Sah?"

"Sah!"

"Alhamdulillah."

Dengungan hamdallah terdengar memenuhi ruangan masjid Baiturrahim. Tempat dilaksanakannya akad nikah Raihan dan Aira.

Di tengah para keluarga yang hadir, Aira terlihat menitikkan air mata. Ada rasa haru yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Siapa sangka jika dia telah menjadi istri dari anak majikan tempat ibunya bekerja dulu. Menjadi istri dari seorang pengusaha muda sukses, pemilik showroom mobil di Malang.

"Mempelai pria dan wanita dipersilakan untuk berdiri. Kepada mempelai pria agar bisa memasangkan perhiasan emas dalam bentuk kalung dan cincin pada mempelai wanita." Moderator memberikan aba-aba.

Raihan berdiri dan berjalan ke posisi yang telah disediakan. Demikian juga Aira, ia tampak susah mengangkat gaun terusan yang dikenakan. 

"Mempelai wanitanya mohon dibantu, Ibu-ibu."

Seorang ibu membantu Aira dan mengantarkannya menuju Raihan. Aira masih menundukkan pandangannya.

Raihan melirik sedikit wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu.

'Ck! Masih juga suka nunduk. Apa ngga sakit tuh leher. Lihat, kok, ke bawah aja,' umpatnya dalam hati.

Raut wajah dingin Raihan tidak berubah sedikit pun. Bahkan saat tangannya menyentuh leher serta jemari Aira. Ia menyematkan perhiasan tersebut tanpa senyum dan kebahagiaan yang terpancar. Demikian juga Aira, dia sama sekali tidak berani melihat wajah Raihan.

Setelah sesi sungkeman dan foto-foto berakhir. Mereka melanjutkan perjalanan menuju hotel tempat diadakan resepsi. Di sana Raihan dan Aira berganti pakaian terlebih dahulu. Menggunakan pakaian adat Jawa lalu duduk di pelaminan.

Tamu undangan terlihat ramai sekali. Kedua orang tua Aira dan Raihan sedang duduk bersama di satu meja. Ibu Hafsah terlihat sangat bahagia. Ia tak henti menyunggingkan senyum ketika meladeni para tamu.

Di pelaminan, Raihan terlihat gagah dalam balutan busana hitam bludru bercampur warna emas. Demikian pula Aira, hanya saja wajah perempuan itu tidak terlihat akibat cadar yang ia gunakan.

Meskipun duduk berdampingan di atas pelaminan, tapi sama sekali tak saling bersentuhan. Raihan tetap fokus ke depan, begitu juga dengan Aira.

Hingga acara selesai, tak ada sepatah kata pun yang diucapkan. Aira merasa tak enak hati. Namun dia berusaha untuk tetap berpikiran baik. 'Barangkali ia lelah.' Gadis itu membatin.

***

Malam harinya mereka menginap di hotel yang sama, sebelum esoknya kembali ke Malang, tempat Raihan menetap. Semenjak setelah bekerja, Raihan memang tinggal terpisah dengan ibunya. Sang ibu menetap di Surabaya. Raihan sudah pernah mengajak ibunya untuk ikut pindah, tapi wanita itu menolak, alasannya rumah peninggalan sang suami harus dirawat dan ditempati. 

Aira tampak gamang. Ia duduk di tepi tempat tidur. Menebar pandang ke seisi ruangan kamar yang sudah di sulap sedemikian rupa. Di atas ranjang pun, banyak bunga mawar yang sengaja ditaburkan. Semerbak harumnya memenuhi seisi kamar. Sejak ia memasuki kamar tadi, Raihan sama sekali belum berada di sana.

"Ke mana dia?" lirih Aira pelan.

Sementara di luar kamar, Raihan sedang duduk bersama ibunya di dalam kamar yang lain.

"Kamu kenapa? Aira sedang nungguin kamu, lho." Bu Hafsah berujar sembari menepuk bahu putranya.

"Ngga kenapa-kenapa, Bu. Aku cuma mau habisin waktu sama ibu. Besok 'kan sudah harus balik ke Malang." Raihan menatap ibunya dengan tatapan sedih.

"Lha, biasanya 'kan juga begini, ya. Kamu datang sebentar, terus pulang lagi. Ngga pernah sedih."

"Iya, tapi sekarang aku sedih, Bu. Ibu ikut aku, ya, ke Malang. Rumah kita itu ngga akan terbengkalai. Aku akan gaji orang untuk bersihin rumah tiap hari."

"Ndak usah, Rai! Ibu masih kangen rumah kita. Banyak kenangan sama ayahmu di sana. Nanti kamu pasti paham setelah menjalani hari-hari bersama Aira. Sekarang kamu balik kamar, gih. Kasihan Aira."

Dengan terpaksa, Raihan mengikuti perintah sang ibu. Ia bangkit dan berjalan menuju pintu.

"Ikhlas. Jangan terpaksa hanya karena kasihan sama ibu. Percayalah, Nak, ndak mungkin ibu mau memberikan hal terburuk untukmu. Ibu akan selalu mendoakan rumah tangga kalian."

Raihan hanya membalas dengan sebuah senyuman. Tak guna menjawab, pikirnya.

Raihan melangkah berat menuju kamar. Kini ia telah memakai baju kaos lengan pendek. Dadanya yang bidang terlihat jelas sekali.

Aira kaget begitu mendengar suara kenop pintu terbuka. Wanita itu juga telah mengganti pakaiannya. Ia mengenakan baju terusan panjang, jilbab lebar, kaos kaki serta cadar. Raihan melihat ke arah Aira sekilas. Kemudian ia berlanjut berjalan ke kamar mandi.

"Mas ...." Panggil Aira sebelum lelaki itu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Sepi! Raihan sama sekali tidak menggubris Aira.

Gadis bercadar itu kembali menunduk. Matanya terasa panas. Hatinya sakit karena diabaikan.

Jarum jam bertengger di angka sembilan. Aira merasa sangat lapar. Perutnya keroncongan. Makanan sudah terhidang sejak tadi, akan tetapi ia masih menunggu Raihan. Sudah hampir satu jam elaki itu belum keluar dari kamat mandi.

Aira bingung harus bagaimana. Di samping lapar, ia juga merasa sangat lelah. Ingin sekali ia berbaring meluruskan badan. Namun, lagi-lagi gadis itu merasa tidak enak. Ia takut jika nanti saat Raihan keluar dari kamar mandi dan melihatnya sedang tiduran. Aira merasa risih sendiri.

"Mas. Masih lama?" Aira memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar mandi.

Sama sekali tak ada jawaban.

"Mas. Aku tunggu, ya. Kita makan sama-sama." Aira tak berhenti mencoba.

Ia bergeser dari pintu dan duduk di kursi menghadap meja makan. Melihat menu yang terhidang, cacing-cacing di dalam perutnya kembali berontak.

Akhirnya pintu kamar mandi terbuka juga. Raihan berdiri di ambang pintu dan melihat Aira yang terkantuk-kantuk di meja makan.

"Kamu mau makan atau mau tidur?" Pertanyaan Raihan membuat Aira terkejut. Ia mengucek matanya berkali-kali. 

"Eh, Mas Raihan. Aku lapar plus ngantuk, Mas."

Raihan mendekat dan duduk di depan Aira. Aira memberanikan diri melihat ke arah suaminya. 'Masih baju dan celana yang sama. Dia ngga mandi, terus selama satu jam lebih dia ngapain aja?' Batin Aira.

"Kamu mau makan atau mau lihat aku terus? Memangnya lihat aku begitu bisa bikin kenyang?"

Buru-buru Aira membuang pandangannya,  menekuri makanan yang ada di meja. Dengan hati-hati ia mengambil satu persatu menu dan memindahkan ke piringnya.

"Mas mau yang mana?" Tanpa melihat Raihan, wanita itu mengambil piring suaminya. Namun Raihan merebut piringnya kembali, "Aku bisa sendiri," ucapnya ketus.

Aira merasa takut melihat kelakuan Raihan. Perlahan ia mengangkat garpu berisi steak daging sapi. Tangannya sedikit gemetar.

Raihan melihat Aira tajam. Sendok di tangan diletakkan dan mulutnya berhenti mengunyah.

"Kamu mau makan dengan wajah tertutup begitu?" sungut lelaki tersebut.

Aira terdiam. Ia meletakkan sendok yang hampir masuk ke mulut. Kemudian tangannya mengarah ke tali cadar yang terikat di bagian belakang kepala.

Tali terlepas, namun cadar belum terbuka. Ia merasa gugup yang teramat sangat. Apalagi tatapan Raihan tidak berpindah sedikit pun. Ternyata lelaki itu pun juga sudah tak sabar ingin melihat wajah sang istri.

***

Apa yang akan terjadi kemudian??

Next, ya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status