"Saya terima nikah dan kawinnya Aira Muthmainnah binti Ahmad Ruslan dengan mas kawin sepuluh gram emas dibayar tunai."
"Bagaimana saksi? Sah?""Sah!""Alhamdulillah."Dengungan hamdallah terdengar memenuhi ruangan masjid Baiturrahim. Tempat dilaksanakannya akad nikah Raihan dan Aira.Di tengah para keluarga yang hadir, Aira terlihat menitikkan air mata. Ada rasa haru yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Siapa sangka jika dia telah menjadi istri dari anak majikan tempat ibunya bekerja dulu. Menjadi istri dari seorang pengusaha muda sukses, pemilik showroom mobil di Malang."Mempelai pria dan wanita dipersilakan untuk berdiri. Kepada mempelai pria agar bisa memasangkan perhiasan emas dalam bentuk kalung dan cincin pada mempelai wanita." Moderator memberikan aba-aba.Raihan berdiri dan berjalan ke posisi yang telah disediakan. Demikian juga Aira, ia tampak susah mengangkat gaun terusan yang dikenakan. "Mempelai wanitanya mohon dibantu, Ibu-ibu."Seorang ibu membantu Aira dan mengantarkannya menuju Raihan. Aira masih menundukkan pandangannya.Raihan melirik sedikit wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu.'Ck! Masih juga suka nunduk. Apa ngga sakit tuh leher. Lihat, kok, ke bawah aja,' umpatnya dalam hati.Raut wajah dingin Raihan tidak berubah sedikit pun. Bahkan saat tangannya menyentuh leher serta jemari Aira. Ia menyematkan perhiasan tersebut tanpa senyum dan kebahagiaan yang terpancar. Demikian juga Aira, dia sama sekali tidak berani melihat wajah Raihan.Setelah sesi sungkeman dan foto-foto berakhir. Mereka melanjutkan perjalanan menuju hotel tempat diadakan resepsi. Di sana Raihan dan Aira berganti pakaian terlebih dahulu. Menggunakan pakaian adat Jawa lalu duduk di pelaminan.Tamu undangan terlihat ramai sekali. Kedua orang tua Aira dan Raihan sedang duduk bersama di satu meja. Ibu Hafsah terlihat sangat bahagia. Ia tak henti menyunggingkan senyum ketika meladeni para tamu.Di pelaminan, Raihan terlihat gagah dalam balutan busana hitam bludru bercampur warna emas. Demikian pula Aira, hanya saja wajah perempuan itu tidak terlihat akibat cadar yang ia gunakan.Meskipun duduk berdampingan di atas pelaminan, tapi sama sekali tak saling bersentuhan. Raihan tetap fokus ke depan, begitu juga dengan Aira.Hingga acara selesai, tak ada sepatah kata pun yang diucapkan. Aira merasa tak enak hati. Namun dia berusaha untuk tetap berpikiran baik. 'Barangkali ia lelah.' Gadis itu membatin.***Malam harinya mereka menginap di hotel yang sama, sebelum esoknya kembali ke Malang, tempat Raihan menetap. Semenjak setelah bekerja, Raihan memang tinggal terpisah dengan ibunya. Sang ibu menetap di Surabaya. Raihan sudah pernah mengajak ibunya untuk ikut pindah, tapi wanita itu menolak, alasannya rumah peninggalan sang suami harus dirawat dan ditempati. Aira tampak gamang. Ia duduk di tepi tempat tidur. Menebar pandang ke seisi ruangan kamar yang sudah di sulap sedemikian rupa. Di atas ranjang pun, banyak bunga mawar yang sengaja ditaburkan. Semerbak harumnya memenuhi seisi kamar. Sejak ia memasuki kamar tadi, Raihan sama sekali belum berada di sana."Ke mana dia?" lirih Aira pelan.Sementara di luar kamar, Raihan sedang duduk bersama ibunya di dalam kamar yang lain."Kamu kenapa? Aira sedang nungguin kamu, lho." Bu Hafsah berujar sembari menepuk bahu putranya."Ngga kenapa-kenapa, Bu. Aku cuma mau habisin waktu sama ibu. Besok 'kan sudah harus balik ke Malang." Raihan menatap ibunya dengan tatapan sedih."Lha, biasanya 'kan juga begini, ya. Kamu datang sebentar, terus pulang lagi. Ngga pernah sedih.""Iya, tapi sekarang aku sedih, Bu. Ibu ikut aku, ya, ke Malang. Rumah kita itu ngga akan terbengkalai. Aku akan gaji orang untuk bersihin rumah tiap hari.""Ndak usah, Rai! Ibu masih kangen rumah kita. Banyak kenangan sama ayahmu di sana. Nanti kamu pasti paham setelah menjalani hari-hari bersama Aira. Sekarang kamu balik kamar, gih. Kasihan Aira."Dengan terpaksa, Raihan mengikuti perintah sang ibu. Ia bangkit dan berjalan menuju pintu."Ikhlas. Jangan terpaksa hanya karena kasihan sama ibu. Percayalah, Nak, ndak mungkin ibu mau memberikan hal terburuk untukmu. Ibu akan selalu mendoakan rumah tangga kalian."Raihan hanya membalas dengan sebuah senyuman. Tak guna menjawab, pikirnya.Raihan melangkah berat menuju kamar. Kini ia telah memakai baju kaos lengan pendek. Dadanya yang bidang terlihat jelas sekali.Aira kaget begitu mendengar suara kenop pintu terbuka. Wanita itu juga telah mengganti pakaiannya. Ia mengenakan baju terusan panjang, jilbab lebar, kaos kaki serta cadar. Raihan melihat ke arah Aira sekilas. Kemudian ia berlanjut berjalan ke kamar mandi."Mas ...." Panggil Aira sebelum lelaki itu menghilang di balik pintu kamar mandi.Sepi! Raihan sama sekali tidak menggubris Aira.Gadis bercadar itu kembali menunduk. Matanya terasa panas. Hatinya sakit karena diabaikan.Jarum jam bertengger di angka sembilan. Aira merasa sangat lapar. Perutnya keroncongan. Makanan sudah terhidang sejak tadi, akan tetapi ia masih menunggu Raihan. Sudah hampir satu jam elaki itu belum keluar dari kamat mandi.Aira bingung harus bagaimana. Di samping lapar, ia juga merasa sangat lelah. Ingin sekali ia berbaring meluruskan badan. Namun, lagi-lagi gadis itu merasa tidak enak. Ia takut jika nanti saat Raihan keluar dari kamar mandi dan melihatnya sedang tiduran. Aira merasa risih sendiri."Mas. Masih lama?" Aira memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar mandi.Sama sekali tak ada jawaban."Mas. Aku tunggu, ya. Kita makan sama-sama." Aira tak berhenti mencoba.Ia bergeser dari pintu dan duduk di kursi menghadap meja makan. Melihat menu yang terhidang, cacing-cacing di dalam perutnya kembali berontak.Akhirnya pintu kamar mandi terbuka juga. Raihan berdiri di ambang pintu dan melihat Aira yang terkantuk-kantuk di meja makan."Kamu mau makan atau mau tidur?" Pertanyaan Raihan membuat Aira terkejut. Ia mengucek matanya berkali-kali. "Eh, Mas Raihan. Aku lapar plus ngantuk, Mas."Raihan mendekat dan duduk di depan Aira. Aira memberanikan diri melihat ke arah suaminya. 'Masih baju dan celana yang sama. Dia ngga mandi, terus selama satu jam lebih dia ngapain aja?' Batin Aira."Kamu mau makan atau mau lihat aku terus? Memangnya lihat aku begitu bisa bikin kenyang?"Buru-buru Aira membuang pandangannya, menekuri makanan yang ada di meja. Dengan hati-hati ia mengambil satu persatu menu dan memindahkan ke piringnya."Mas mau yang mana?" Tanpa melihat Raihan, wanita itu mengambil piring suaminya. Namun Raihan merebut piringnya kembali, "Aku bisa sendiri," ucapnya ketus.Aira merasa takut melihat kelakuan Raihan. Perlahan ia mengangkat garpu berisi steak daging sapi. Tangannya sedikit gemetar.Raihan melihat Aira tajam. Sendok di tangan diletakkan dan mulutnya berhenti mengunyah."Kamu mau makan dengan wajah tertutup begitu?" sungut lelaki tersebut.Aira terdiam. Ia meletakkan sendok yang hampir masuk ke mulut. Kemudian tangannya mengarah ke tali cadar yang terikat di bagian belakang kepala.Tali terlepas, namun cadar belum terbuka. Ia merasa gugup yang teramat sangat. Apalagi tatapan Raihan tidak berpindah sedikit pun. Ternyata lelaki itu pun juga sudah tak sabar ingin melihat wajah sang istri.***Apa yang akan terjadi kemudian??Next, ya.Raihan menunggu cadar itu terlepas dari wajah Aira. Sebenarnya ia sudah tak sabar ingin melihat seperti apa wajah itu sejak sebelum mereka menikah. Hanya saja ibunya selalu menghalangi."Mari makan," ujar Aira begitu cadar terlepas.Wanita itu sama sekali tidak berani melihat Raihan. Ia merasa jika sedang diperhatikan. Raihan masih melihat Aira. Kini, wajah wanita itu bisa dilihat dengan jelas. Manis! Namun, tidak membuat hati Raihan tertarik. Tidak memberi respon apa-apa, lelaki itu kembali menyantap makanannya. Hanya dentingan piring yang terdengar. Dari mereka tidak ada yang berbicara satu sama lain.Beberapa menit kemudian, Raihan telah menyelesaikan makan malamnya. Ia bangkit dari kursi dan berdiri di pinggir meja."Kemasi barangmu. Besok kita berangkat ke Malang."Aira menggangguk pelan. Dari Mak ia tahu jika suaminya menetap di Malang selama ini. Raihan melenggang pergi meninggalkan Aira. Sementara gadis itu masih menikmati makanannya.***Raihan belum juga masuk kamar. Aira su
"Orang tuamu 'kan di sini juga. Jangan lebai, ah!" Raihan masih sibuk memberesi barang-barangnya."Engga. Mereka langsung pulang kemarin setelah pesta. Mak minta pulang."Raihan sama sekali tidak ingat jika kedua mertuanya sudah berpamitan kemarin sore. "Hmm! Terserahlah."Aira tersenyum. Hatinya bahagia karena Raihan menyetujui rencananya. Sebenarnya Aira masih berat langkah untuk pergi jauh dari mak dan abahnya. Hanya saja, menjadi istri yang baik dan patuh adalah salah satu cita-citanya selama ini.Setelah sarapan, Aira dan Raihan bersiap-siap untuk mengunjungi mak dan Abah. Sebelumnya mereka terlebih dahulu berpamitan pada Bu Hafsah. Banyak nasehat yang diberikan Bu Hafsah untuk anak dan menantunya. Apalagi Aira masih berumur dua puluh tahun. Masih muda untuk menjadi seorang istri."Jaga Aira baik-baik, Nak. Hanya kamu yang dia miliki di sana. Ditambah dia masih sangat muda. Jadi, kamu harus ekstra sabar menghadapinya."Hafsah berpesan pada putra semata wayangnya. Sesekali wanita
"Mas, kamu pindah ke atas, ya. Aku saja yang tidur di bawah." Aira berusaha membangunkan Raihan yang sudah terlelap. Gadis itu baru saja masuk ke kamarnya. Sejak tadi ia duduk ngobrol dengan kedua orang tuanya di ruang tamu. Malam terakhir ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Aira sebagai malam pelepas rindu. Entah kapan ia bisa menjenguk lagi Mak serta Abahnya itu. Walau jarak Surabaya-Malang tak terlalu jauh, akan tetapi susah memastikan banyak hal ke depan. Karena Aira tahu jika ia tak sebebas lagi seperti sebelum menikah."Mas. Nanti kamu kedinginan di sini. Tidur di ataa aja, ya." Aira kembali membangunkan Raihan. Namun, lelaki itu bergeming. Aira memberanikan diri untuk menyentuh bagian tubuh suaminya yang tertutup selimut.Saat tangannya menyentuh bahu Raihan, Aira terkejut. Tubuh Raihan terasa panas. Tanpa menunggu lama, Aira pun mencoba meyakinkan dengan cara menyentuh pipi serta dahi Raihan."Astaghfirullah. Kamu demam, Mas? Ya Allah. Gimana ini?"Aira panik dan berulang mel
(POV AIRA)Aku menatap lurus ke depan. Pertanyaan yang Raihan lontarkan sungguh membuat hati teriris. Lelaki yang duduk di belakang kemudi itu tak pernah berpikir sebelum berbicara. Ia seolah mengabaikan perasaan lawan bicaranya."Kok ngomong gitu, sih, Mas? Tujuan aku nikah sama kamu, ya, mau bahagia. Itu saja.""Halah! Coba jika yang lamar kemarin bukan aku. Coba kalau kamu dijodohkan dengan orang lain, pengangguran, apa kamu mau?" Dia semakin menjadi-jadi."Tujuan menikah itu untuk memperbaiki diri, pasangan, kehidupan dan meraih keridhaan Tuhan. Aku ngga bisa milih, harus dengan si ini, dengan si itu. Pengusaha sukses atau pengangguran. Toh, semuanya Allah yang gerakkan. Kamu dan ibu datang ke rumahku bukan berjalan dengan sendirinya, tapi ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Lalu, jika yang datang melamar dulu seorang pengangguran, apakah aku menerima atau menolaknya? Aku ngga tau harus jawab gimana. Aku bilang engga, tapi Tuhan bilang iya. Aku bilang iya, tapi Tuhan bilang engga
(POV RAIHAN)Perempuan satu ini memang menyebalkan!Bisa-bisanya dia muntah dalam perjalanan. Sudah udik, kuno, malu-maluin lagi. Duh! Ibu, kenapa pula istri macam ini yang kau sukai? Apa tidak ada wanita cantik nan elegan, gitu?"Hati-hati, kalau muntah di dalam mobilku, kamu harus bersihkan sampai bersih!" seruku padanya sebelum dia terbirit-birit keluar dari mobil. Sambil menutup mulutnya, Aira berlari menepi di pinggir jalanan yang sepi. Dia terlihat pucat, tapi apa peduliku. Beberapa saat aku menunggu perempuan itu di sisi pintu mobil. Tak lama kulihat ia berjalan sempoyongan ke arahku. Entah kenapa refleks saja aku sedikit berlari dan segera menangkap tubuhnya yang limbung.Alamak! Bau muntah pula!Setelah membawanya masuk mobil, aku segera membersihkan baju serta tanganku menggunakan tisu basah yang tersedia. Lengkap sudah, selain udik, kuno serta malu-maluin, ternyata dia juga jorok! Fiks, dia sukses membohongi Ibu. Aku semakin yakin jika perempuan ini memakai cara yang tidak
(POV RAIHAN)Otakku seperti di-refresh saat menginjakkan kaki di rumah. Bertemu Pak Tono serta Mbak Ayu. Dua orang kepercayaanku selama ini. Ya, walaupun Aira ikut denganku, tapi posisi sekarang akulah yang berkuasa.Setelah memperkenalkannya pada Mbak Ayu, aku pun menuju kamar. Ingin melepas lelah dan stres setelah menikah. Tak peduli apa yang ada di benak mereka. Apalagi Mbak Ayu, dia tahunya aku pulang karena ingin menjenguk Ibu, eh, tau-taunya balik ke sini bawa seseorang yang mengaku istri.Aku beristirahat cukup lama. Rasa lapar membuatku beranjak menuju dapur. Sekaligus penasaran juga ingin melihat gadis kurus itu sedang melakukan apa."Mbak, mana Aira?""Pak Raihan, mah, begitu. Suka ngangetin. Bu Aira di kamarnya, Pak. Istirahat.""Kok bisa? Lalu Mbak Ayu yang masakin ini semua?" tanyaku dengan nada suara naik satu oktaf."Iya. Biasanya, kan, juga begitu, Pak."Mana bisa aku terima. Aku segera berjalan menuju kamar si gadis kurus. Beberapa kali aku harus mengetuk pintu, dan b
(POV AIRA)Aku kaget mendengar usulan yang Mas Raihan paparkan. Bisa-bisanya dia mendapatkan itu seperti itu. Apa yang terfikirkan dalam benaknya tentang pernikahan kami?Tidak bisa kubayangkan bagaimana reaksi Ibu, Mak serta Abah jika mengetahui rencana gila Mas Raihan. Dia pikir aku akan diam saja? Ini rumah tanggaku. Dia suamiku. Aku berhak mempertahankan kelangsungan pernikahan kami. Urusan dia tidak peduli, yo wes! Aku masih punya Allah, kok. Mas Raihan bisa apa kalau Sang Pencipta menggagalkan semua rencananya?***"Mas, makan yuk!"Bismillah, sekuat tenaga kuredam rasa sesak yang sempat menyerang. Jujur, aku sedih saat ia menyarankanku untuk menghancurkan pernikahan kami. Malah dia akan mencari orang lain yang bisa membuat hatinya berbunga-bunga. Dia menjadikan jika ini adalah pernikahan mainan, dengan mudah bisa diputuskan seperti layang-layang.Mulai hari ini aku akan memikirkan cara untuk meluluhkan hati Mas Raihan."Mas, ayuuukk!" seruku sambil tersenyum manja. Rasanya malu
(POV AIRA)"Mas, pelan-pelan," tegurku sambil menarik lengan Mas Raihan. Lelaki yang berada di depanku ini tampak semringah. Ia terlihat bersemangat mengitari deretan baju terusan yang digantung berdempetan. Entah bahagia karena menghabiskan bersamaku, atau karena pertemuan dengan Safia sebelum ashar tadi."Ra, kamu mau yang mana bajunya?" tanya Mas Raihan sambil ikut memilihkan baju untukku."Ngga tau, Mas. Kalau sudah banyak begini, aku suka bingung.""Bingung kenapa? Tinggal pilih aja, kok." Mas Raihan menegaskan."Bingung karena di dekat kamu.""Hm! Mulai, deh!" Mas Raihan melirikku lucu."Iya. Mulai belajar untuk mencintai kamu." Kali ini, sih, bukan iseng, ya. Aku serius!"Aduh! Bisa aja bocah!" seru Mas Raihan. Sebelah tangannya menjawit daguku.Dia berjalan ke arah lain. Sementara aku diminta untuk tidak berlama-lama lagi memilih baju. Hari sudah malam. Kami harus segera pulang.***Sesampai di rumah. Aku memilih masuk kamar, mengganti pakaian dan merebahkan badan. Beberapa ka