Share

BAB 5: (POV RAIHAN) SEMUA KARENA dan DEMI IBU

(POV RAIHAN)

Ibu tersungkur di lantai. Refleks aku berlari ke arahnya dan mengangkat tubuh Ibu. Namun, wanita ini masih memejamkan mata. Di pangkuanku, aku mengusap pipinya yang semakin menua. Pipi yang dulu jarang sekali merasakan make up mahal. Hanya bermodal bedak padat biasa yang ia pakai sebelum mengantarkan kue pesanan orang. Di lain waktu, pipi yang sedikit demi sedikit telah mengendur ini, hanya dibasahi oleh air wudhu saja.

"Bu, bangun, Bu." Aku mengusap air mata yang mengalir di pipi Ibu. Sedih sekali melihat kondisinya seperti ini. Apalagi ia tersungkur tepat di depanku, di rumah orang pula.

"Angkat ke kamarku saja, Mas," Suara Aira membuatku mengangkat wajah. Ingin sekali memarahi gadis itu. Ibu jatuh begini, ya, karena ulahnya. Coba jika dia menahan sedikit mulutnya, pasti Ibu masih baik-baik saja. Ibu pasti kaget. Hanya aku yang tahu bagaimana cara menyampaikan pembatalan acara menyebalkan ini ke Ibu.

"Iya, Nak Raihan. Angkat dulu Bu Hafsah ke dalam. Nanti biar diurus Aira dan Mak." 

Kali ini aku tak bisa menolak. Pak Ahmad berdiri di dekatku dan meminta hal yang sama. Dibantu paman, aku mengangkat Ibu ke kamar wanita yang sudah seringkali membuatku kesal. Bicara dengannya tidak pernah tenang. Melihat kehadirannya membuat hati menolak tak suka. Aku membencinya tanpa alasan yang jelas. Intinya aku membenci perjodohan ini. Aku membenci segala hal apa pun tentang gadis itu.

Dikamar Aira, aku meletakkan Ibu yang masih memejamkan mata di atas tempat tidur. Mataku melirik ke seisi ruangan diam-diam. Sesekali kuelus pucuk kepala yang tak lagi menggunakan penutup kepala. Aira yang menanggalkannya saat Ibu sudah berada si kamar. Sekarang gadis itu sedang mengambil air minum untuk Ibu 

'Rapi. Lumayan.' Aku bergumam dalam hati. Ya, kamar ini memang terbilang sederhana. Namun, cukup rapi dan nyaman. Tidak banyak benda yang berada di sini. Hanya sebuah lemari berukuran sedang, tempat tidur, kaca hias yang ditempel didinding, serta sebuah meja beserta kursi. Di atas meja tersebut ada banyak buku yang bertengger rapi. Juga sebuah Alquran saku yang terletak di atas meja. Di sampingnya ada sebuah buku mini, berukuran beberapa senti. Kuangkat sedikit pantat dan mengarahkan kepala untuk melihat tulisan di depan buku tersebut.

"Alma'tsurat?" Aku membaca perlahan.

Apa itu?

Segera aku beralih kembali pada Ibu begitu mendengar entakan langkah kaki yang semakin dekat. Aku kembali sibuk mengusap kepala Ibu. Sedih rasanya melihat kondisi beliau.

"Aku saja yang mengurusi Ibu. Mas Raihan tunggu di luar saja. InsyaAllah Ibu baik-bajk saja."

Padahal aku sudah tahu seseorang akan masuk ke kamar, tapi aku tetap saja dibuat kaget saat mendengar suara Aira.

"Yakin kamu bisa?" tanyaku ragu.

"InsyaAllah. Mas Raihan berdoa saja."

Aku berdiri di tepi ranjang.

"Aku tinggal, nih! Tapi kamu jangan macam-macam, ya. Jangan ngomong sembarangan lagi di depan Ibu. Awas kalau sesuatu terjadi," ancamku.

Kulihat Aira mengangguk. Kenapa setiap berbicara, dia sama sekali tidak pernah melihatku? Apakah matanya juling sehingga merasa tidak percaya diri? Atau dia membenciku? Hm! Baguslah. Lebih baik dia membenciku dan tidak mau untuk kunikahi.

Kutinggalkan Ibu bersama Aira di kamar. Tak lama, ibunya Aira juga ikut masuk. Kami berpas-pasan di pintu. Wanita paruh baya yang berada di depanku mengangguk takzim masih sama seperti dulu. Aku membalas mengangguk seperti yang ia lakukan. Kemudian segera berlalu meninggalkan kamar tersebut.

***

Di ruang tamu, tampak Paman serta Pak Ahmad sedang berbincang. Aku tak ingin bergabung dengan mereka. Bisa jadi salah satu atau bahkan keduanya dari mereka sedang membincangkan masalah ucapan Aira tadi. Aku sama sekali tidak ingin membahas hal itu bersama mereka. Cukup dengan Ibu saja.

Akhirnya aku memilih ke arah belakang. Melewati ruang makan dan dapur. Tidak ada barang mewah di sini. Sangat berbeda dengan rumahku. Meja makan sederhana di hiasi dengan tudung saji dari plastik biasa di atasnya. Ah, Ibu, tak habis pikir aku dengan jalan pikirannya. Apa yang Ibu inginkan dari keluarga ini? Keluarga sederhana yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sama seperti Ibu dahulu sepeninggal Ayah.

"Nak Raihan ... Nak Raihan."

Aku mendengar suara seseorang memanggilku. Suara ibunya Aira. Segera aku berjalan ke arah sumber suara.

"Eh, Nak Raihan. Itu ibunya sudah sadar."

Aku melangkah lebar-lebar menuju kamar. Di sana kulihat Ibu dan Aira. Mereka saling berpegangan tangan.

"Ibu. Alhamdulillah." Aku berujar senang dan mendekati wanita mulia yang masih terbaring itu. Bisa kulihat jika gadis itu segera melepaskan genggamannya dari tangan Ibu. Apalagi yang sedang dia lakukan?

Aira bangun saat aku sudah berada di dekat Ibu. Perlahan, aku duduk di pinggir tempat tidur. Meraba dahi, pipi serta leher Ibu.

"Ibu ngga kenapa-kenapa," ujar Ibu lemah.

"Ngga kenapa-kenapa gimana? Tadi Ibu sempat ngga sadarkan diri. Kita ke rumah sakit, ya."

"Ngga perlu, Nak. Ibu sudah sehat, kok. Ibu hanya ingin bicara serius denganmu. Kali ini saja Ibu harap kamu mendengarkan Ibu. Bukan uang hasil keringatmu yang Ibu harapkan, Nak. Tapi kebahagiaanmu ke depan. Menikahlah dengan Aira. Ibu mohon. Dia bisa membawamu dekat dengan Tuhan. Anak-anakmu dilahirkan oleh seorang ibu yang shalehah. Apa kamu ngga menginginkan itu?"

"Mau, Bu. Tapi apa ngga ada perempuan lain? Banyak, kok, di luar sana wanita shalehah. Cantik-cantik dan modis." Aku tetap bersikeras. Tak kuhiraukan keberadaan Aira di tengah-tengah kami.

"Astaghfirullah, Raihan. Kamu itu, kok, ngeyel, tho? Susah bener dikasih tau."

Ibu kembali memperlihatkan raut wajah tak senang. Aku takut jika Ibu berulang pingsan. Kuraup wajah dan menggaruk kepala yang tak gatal. Kemudian aku melempar pandang pada Aira. Wanita itu masih berdiri di tempatnya. Dia menundukkan pandangan. Sama sekali tidak berani menatapku.

"Baiklah, Bu. Aku akan menikahinya sesuai permintaan Ibu. Tapi Ibu janji harus semangat, ya. Jangan sakit-sakit." Akhirnya sebuah keputusan yang sangat berat kuberikan. Demi Ibu aku akan melakukan apa yang ia minta. Termasuk menikah dengan seorang gadis yang sama sekali belum kukenal dengan baik.

***

Sebuah keputusan telah didiskusikan. Pernikahan akan berlangsung minggu depan. Terlalu cepat memang, tapi aku harus bagaimana?

Kami pun meninggalkan rumah calon istriku itu. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam jiwa. Namun, di sampingku, Ibu tampak tersenyum bahagia.

"Kamu insyaAllah akan bahagia, Nak. Aira itu gadis yang baik," ucap Ibu sembari menggenggam tanganku. Aku membalas dengan senyuman.

'Di tempat lain juga masih banyak perempuan baik, Bu.' Lagi-lagi aku hanya bisa menjawab di dalam hati.

Ah! Satu minggu lagi adalah hari sial dalam hidupku.

***

Next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status