“Pokoknya Mama kasih waktu satu tahun lagi, kalau dalam waktu satu tahu kamu tidak juga hamil, kamu harus ikhlas kalau Abi harus menikah lagi.” Wanita bersanggul rendah itu menatap wanita muda yang menunduk di hadapannya.
“Mara akan usaha lagi, Ma,” jawab Wanita itu. Dia segera menyeka air matanya yang tadi menggenang dan akhirnya lolos juga.
Entah berapa obat-obatan yang sudah dia telan dan segala macam makanan sehat penambah kesuburan. Dia hanya menjalani apa yang dititahkan keluarga itu tanpa bisa menolak atau mengatakan keadaan yang sebenarnya.
“Besok Mama antar, kita ganti dokter.”
Wanita bernama Amara itu menganguk patuh kemudian dia menoleh saat mendengar langkah kaki mendekat. Lelaki yang sedang dia tunggu akhirnya datang. Amara ingin suaminya ikut menjawab segala macam pertanyaan mertuanya. Bukan dirinya saja yang seharusnya ditekan, tapi Abian yang seharusnya bertanggung jawab atas keadaannya yang tak kunjung hamil.
“Mara mau periksa sama Mas Abi, Ma,” kata Amara setelah lelaki itu mendekat.
Tampak kernyitan di kening lelaki itu. “Periksa apa?” tanyanya. Lelaki itu mengempaskan diri sofa berseberangan dengan sofa yang diduduki Amara.
“Kosongkan jadwalmu, besok kalian harus periksa ke dokter.” Sang ibu menatap ke arah anak lelakinya.
“Aku nggak bisa, Ma. Biar Mara saja yang jalani pengobatan. Lagian aku yakin kalau aku sehat.”Lelaki bercambang itu berkilah. Selalu seperti itu dan selalu saja mendapatkan pemakluman.
Amara tahu kenapa lelaki itu tidak mau ikut periksa juga. Dia paham apa yang dipikirkan suaminya, tapi Amara masih mencoba untuk tetap bertahan seperti janjinya pada kedua orang tuanya. Harapan kedua orang tuanya begitu besar pada pernikahannya.
“Ibu akan beri waktu satu tahun, setelah satu tahun kalau tidak ada perubahan, kamu boleh menikah lagi,” ujar wanita paruh baya itu kemudian dia beranjak meninggalkan anak menantunya di sana.
Ada senyum yang terbit di bibir lelaki itu kemudian dia ikut beranjak dari sana.
“Kamu ikuti saja apa yang diperintahkan Mama, jangan bicara apa pun tentang pernikahan kita,” ujar lelaki itu pada istrinya.
Apa pun yang dikatakan Abian, Amara hanya bisa mengiyakan, tidak ada bantahan meski akhirnya dia sendiri yang disalahkan. Dirinya dianggap tidak subur oleh mertuanya. Entah berapa banyak lagi stok kesabaran yang dia simpan untuk menjalani pernikahannya.
Bukan karena dia lemah, tapi dia begitu menghormati hubungan baik antara orang tua dan mertuanya. Amara tidak mau hubungannya dengan Abian akan mengecewakan para orang tua itu, meski dia tahu ibu mertuanya tidak terlalu suka padanya.
.
Amara mengikuti suaminya ke kamar. Dia tidak pernah melalaikan kewajibannya melayani kebutuhan suaminya meski sering kali pengabaian yang didapat. Dia hanya menyakini, sikap tulusnya akan berbuah manis, itu pasti, entah kapan. Amara masih berusaha berpikir positif.
Abian melepas jas yang dia kenakan kemudian mengulurkan pada Amara. Lelaki itu lantas duduk dan Amara langsung bersimpuh di depan Abian, membuka sepatu dan kalos kaki suaminya kemudian meletakkan di rak sepatu.
Wanita yang selalu mengenakan jilbabnya meski di dalam kamar itu menuju kamar mandi untuk menyiapkan air dalam bak mandi. Biasanya Abian suka berendam setelah pulang dari kantor.
Lelaki itu masuk ke kamar mandi setelah melepas pakaiannya dengan menyisakan celana pendek saja. Amara segera berbalik meninggalkan kamar mandi itu.
Amara membersihkan ruang lain di kamar itu. Menyalakan lampu menutup jendela kemudian membersihkan ranjang agar pemilik merasa nyaman menidurinya. Dia juga mengambilkan baju ganti untuk Abian. Itu adalah rutinitasnya setap hari selama lima tahun menjadi seorang istri.
“Aku akan katakan pada Mama untuk tidak mengajakmu ke dokter.” Suara itu membuat Amara yang sedang membersihkan kamar itu menoleh.
“Apa karena Mas Abi tidak mau Mama terus memaksa kita untuk usaha punya anak?” tanya Amara dengan senyum samar di bibirnya.
“Mama tidak akan meragukanku, aku hanya merasa kasihan padamu karena harus menelan obat-obatan tiap hari.” Lelaki itu mengibaskan rambutnya yang basah kemudian mengambil pakaian yang disiapkan Amara.
“Seharusnya kita coba sekali saja, Mas.” Amara langsung menutup mulutnya yang dengan lancang mengatakan itu. Dia terlalu berani menuntut. Bukankah dia sudah sering kali mendapat peringatan bahwa Abian tidak akan menyentuhnya?
Lelaki itu menarik sudut bibirnya kemudian mendekat menepis jarak antara mereka.
Sungguh, saat itu tubuh Amara membatu. Dia tidak bisa bergerak menjauh. Debaran jantungnya menggila dan wajahnya memerah saat hembusan hangat menyambangi wajahnya.
Abian semakin mendekat membuat bulu kuduk Amara meremang.
“Jangan terlalu berharap, aku sudah janji tidak akan menyentuhmu,” ujar lelaki itu tepat di telinga Amara.
Sejenak Amara kesusahan menelan ludah. Debaran di dadanya lebih dari menggila kemudian dalam beberapa detik melemah berganti rasa sesak. Wajahnya masih memerah dan saat dirinya bisa menguasai diri, Amara segera ke luar dari ruangan itu. Ruang rahasia yang digunakan Abian untuk tidur. Tidak ada yang mengetahui ruangan itu kecuali dia dan Abian saja.
Amara memejamkan matanya, air matanya ke luar begitu saja seolah mewakili ungkapan rasa kecewanya. Dia tidak diharapkan oleh suaminya selama lima tahun lamanya.
Apakah dia seburuk itu?
***
“Nanti Mara tidak perlu ke dokter.” Abian menginformasi pada ibunya.
Suara denting sendok berhenti dan semua mata tertuju pada Abian. Ruang makan itu seketika hening setiap kali bahasan tentang anak Abian terlontar.
“Apa maksudmu?” Maria menatap tajam pada putra sulungnya, diletakkannya dengan kasar sendok dan garpu.
“Kami tidak perlu buru-buru,” jawab Abian kemudian melirik Amara yang ikut menatap ke arahnya. Dia memberikan senyuman pada Amara.
“Mama sudah memberi kalian waktu lima tahun.” Wanita itu menatap Amara dengan wajah memerah. “Pasti kamu yang mempengaruhi Abi ‘kan?”
Amara menggeleng. Dia sendiri tidak tahu kenapa dan apa rencana Abian saat ini. Apa mungkin ….
“Kenapa hanya masalah anak saja kalian harus merusak selera makanku!” Lelaki yang usianya lebih muda dari Abian mendengus kemudian mengambil segelas air meminumnya hingga tandas.
“Mama itu ingin segera punya cucu. Kalau kamu segera menikah dan segera beri Mama cucu, Mama tidak akan mendesak Mara dan Abi segera punya anak.”
“Jodoh dan keturunan itu hak mutlak Allah, kenapa Mama bersikap seolah menyalahkan apa yang telah Allah takdirkan, kenapa Mama membuat pernikahan mereka jadi seperti neraka. Memangnya wanita menikah itu hanya untuk disuruh hamil? Memangnya kalau wanita mandul tidak layak dinikahi?” Entah ada masalah apa dengan pemuda itu, dia bahkan terlihat tidak senang sejak obrolan tentang anak dibahas di meja makan.
“Satria. Yang sopan kalau bicara sama Mama,” tegur sang ayah. Lelaki itu mengakhiri makannya, dia beranjak lalu berjalan mendekati menantunya. “Jangan pikirkan apa yang diucapkan Mama, kami tidak menuntut apa pun dari kamu.” Lelaki itu mengusap kepala Amara yang berbungkus jilbab.
Hati Amara menghangat, setidaknya ada orang yang berpihak padanya. Sejak dulu hanya lelaki itu yang bersikap baik padanya dan selalu dipihaknya. Dia adalah Atmaja--ayah mertuanya.
“Tidak bisa begini, Pa. Mama akan carikan Abi istri kedua kalau Mara tidak segera hamil.”
“Tujuan kami ke sini karena kami ingin mengikat kekerabatan kita biar lebih erat,” kata Atmaja.Saat itu Atmaja dan istrinya bertandang ke rumah Handoyo. Itu memang rutin mereka lakukan untuk menjaga hubungan baik mereka. Atmaja bahkan sudah menganggap Handoyo keluarga dan ingin mengikatnya menjadi sebuah keluarga.“Saya ingin melamar Amara menjadi istri Abian, saya dengar Amara sudah lulus kuliah,” lanjut Atmaja dan mendapat anggukan dari Maria-istrinya.Rencana ini sudah Atmaja dan Maria utarakan pada Abian. Awalnya Abian menolak, tapi Atmaja memaksa dan mengancam tidak akan memberikan jabatan pada Abian di perusahaan. Itu adalah hal yang paling ditakuti Abian, putranya itu sangat mencintai pekerjaannya.“Apa Nak Abi mau dengan Amara?” tanya Herlina. Sebagai seorang ibu dia takut jika perjodohan itu akan membuat putrinya menderita.“Kalau Abi sudah setuju. Kami tidak meminta jawabannya sekarang, kalian bisa tanyakan pada Amara terlebih dulu.”“Saya minta waktu satu minggu,” kata Han
“Sepertinya kamu harus periksa ke dokter kandungan, saya hanya bidan dan sudah kasih kamu vitamin dan penyubur kandungan. Sudah setahun, lho, ini,” kata bidan cantik itu.Amara hanya menunduk, ada yang ingin dia ceritakan, tapi dia tidak mampu untuk bercerita, dia sudah janji untuk tidak mengatakan apa pun tentang pernikahannya.“Apa mungkin Abi yang mandul. Seharusnya kalian periksa berdua.” Bidan cantik itu menghela napas lalu kembali bertanya dengan wajah terlihat kecewa. “Aku akan hubungi Abi, sesibuk apa, sih, dia sampai urusan penting begini tidak bisa,” lanjutnya masih menggerutu.“Dara, jangan.” Amara mencegah Dara untuk menghubungi Abian, dia tak mau ada masalah dengan suaminya.“Amara, ini soal keturunan kalian, kalau hanya kamu yang dituntut untuk memeriksakan diri ini tidak adil dan mereka akan menyalahkanmu.” Dara masih berusaha menjelaskan padanya. Memang banyak orang yang menganggap masalah kesuburan itu tanggung jawab wanita, banyak orang yang menghakimi wanita saat pa
“Selamat malam, ini dengan Amara?” Suara asing pada panggilan nomor asing terdengar. Amara mengernyit.“Iya, saya Amara.”“Saya mau mengabarkan kalau Pak Handoyo beserta seorang wanita mengalami kecelakaan, sekarang berada di rumah sakit Pelita, kondisinya sangat kritis.”Suara di sebearng sana membuat telinga Amara langsung berdenging. Amara langsung menjatuhkan telepon selularnya, tubuhnya langsung lemas seketika, wajahnya pucat.“Ada apa, Mara?” tanya Maria saat melihat wajah pucat Amara.Bibik sigap mengambilkan air minum untuk diberikan pada Amara.“Diminum, Non,” kata Bibik lalu membantu Amara minum. Wajah Amara semakin pucat dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.“Ayah kecelakaan,” kata Amara dengan suara bergetar, air matanya mengalir. Tidak mungkin ayahnya kecelakaan, meski saat pulang terlihat tidak baik-baik saja, tapi dia yakin ayahnya tidak mungkin kecelakaan.“Kecelakaan? Di mana?” Maria tak kalah kaget, dia tadi sempat melarang Handoyo pulang karena setelah mendeng
Setelah dihubungi Dara untuk segera pulang, Abian berniat segera pulang setelah rapat, dia bergegas menuju mobilnya, entah masalah penting apa yang akan dikatakan Dara, yang jelas Abian menduga ada masalah dengan pemeriksaan pada Amara. Dalam pikirannya hanya satu, Amara bermasalah dengan alat reproduksinya, ini akan memudahkannya menceraikan Amara, dia tahu mamanya yang terus saja menuntut anak. Abian tersenyum penuh kemenangan, lima tahun yang dia jalani dengan Amara akan segera berakhir.Tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari belakang, siapa yang berani kurang ajar pada seorang pimpinan perusahaan. Dia pun mematung berusaha menebak siapa wanita yang telah berani melakukan itu padanya.“Aku datang, Sayang.” Suara wanita yang begitu dia rindukan terdengar sangat merdu, jantungnya langsung berpacu lebih cepat, dia langsung berbalik arah dan ….“Kapan datang, kenapa tidak mengabariku?” Abian memeluk Falicia begitu erat, diciuminya bertubi wajah cantik itu. Empat tahun Felicia berada di luar n
Amara duduk bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, air matanya terus saja menetes hingga jilbab yang dia kenakan basah. Para pelayat sudah kembali ke rumah masing-masing. Wanita malang itu begitu hancur, dia seperti tidak bisa melanjutkan hidupnya. Seandainya … jika boleh dia meminta waktu berputar kembali, dia akan ikut ketika ayahnya memintanya pulang, tapi dia bersikeras tetap bertahan dengan suami yang sebenarnya dia sendiri tidak yakin suaminya akan mau menerimanya.Kenapa dia bisa secinta itu pada Abian? Dia benci perasaan ini, dia benci menjadi lemah.Abian masih di sana menatap istrinya, istri yang tak dia anggap dengan perasaan yang, entah.Hampir dua jam Amara menangis di pusara kedua orang tuanya, akhirnya Abian mendekati Amara dan mengajaknya pulang.“Relakan mereka agar mereka tenang di sana.” Ucapan paling lembut yang selama lima tahun didengar Amara itu membuat Amara menoleh. Wajah tampan yang selalu dia rindui, wajah yang selalu dia khayalkan bersikap lembut pad
“Mas, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang wanita lain, lebih baik kita berpisah agar tidak ada yang tersakiti.”“Apa maksudmu? Bukankah kamu mencintaiku?” Abian jelas tidak terima kalau Amara menolaknya, seharusnya bukan Amara yang menolak, tapi dirinya.Amara tersenyum sinis. “Cinta? Aku tidak pernah mencintaimu, Mas.”Ketiga orang itu menatap Amara tidak percaya, selama ini apa yang ditunjukkan Amara? Setiap hari Amara menunggu kedatangan Abian dan selalu patuh padanya . Mana mungkin Amara tidak cinta.“Apa maksudmu?” Jelas ini melukai harga diri Abiyan. Dia memang ingin berpisah dengan Amara, tapi tidak begini.“Aku tidak pernah mencintaimu, aku melakukan ini karena aku tidak mau menyakiti hati orang tuaku.” Kali ini Amara terisak. Memang cintanya telah mati, tapi selama lima tahun dia selalu memendam cintanya untuk Abian.“Oke, kalau begitu maumu” Abian menatap Amara lekat. “Amara Salsabila aku talak kamu, mulai sekarang kamu bukan istriku lagi.”Tubuh kedua orang tua itu lan
“Apa yang kalian lakukan?”“Satria menfitahku, Pa.” Abian masih mengepalkan tangannya, apalagi melihat adiknya tersenyum sinis padanya.Atmaja menatap Satria. Apa yang terjadi pada kedua putranya itu, memang mereka berdua jarang akur, tapi tidak pernah sampai berkelahi seperti ini.“Ini kenyataan, Pa. Anak kesayangan Papa ini menyewa kamar hotel bersama wanita.”“Astagfirullah.”Plak!Maria langsung menampar putra sulungnya mendengar ucapan Satria, dia sudah terpukul dengan masalah pernikahan Abian masih ditambah kenyataan tentang kelakuan buruk Abian,“Ini tidak benar, Ma, dia menfitnahku.”“Lali-laki dan perempuan dalam kamar hotel apa yang mereka lakukan?” Satria masih mengatakan apa yang dia lihat, dia sangat jijik mengingat kelakuan kakaknya. Kakak yang selama ini dia lihat sebagai lelaki baik-baik, tapi ternyata berani berzina.“Kami tidak melakukan apa-apa, kami hanya ….”“Sudah diam, sekarang juga bawa wanita itu ke sini, Papa tidak mau kalian melakukan hal kotor lagi.”“Tapi,
Kedua wanita itu menoleh ke arah Satria yang berkata begitu pedas pada Amara. Satria sudah membawa koper akan keluar dari rumah.“Satria, apa yang kamu katakan!” bentak Maria, dia sudah berkata baik-baik pada Satria untuk menjaga perasaan Amara.“Benar ‘kan, Ma, kalau Amara sudah menikah, kita tidak akan terbebani lagi, Ma.”“Satria jangan banyak bicara, cepat kamu pergi.” Maria mendorong tubuh anaknya untuk segera pergi, semakin anaknya itu bicara akan semakin menyakiti hati Amara.Amara menghela napasnya, apa mungkin dia telah membuat beban keluarga Atmaja, dan entah apa salahnya pada Satria, lelaki itu selalu berkata ketus padanya. Bahkan sejak lima tahun menjadi adik iparnya hanya sesekali bertanya pada Amara itupun terlalu ketus.“Sudah, jangan dengarkan Satria, dia memang seperti itu kalau bicara. Anak laki-laki ngomongnya pedes, heran Mama.” Maria menggerutu melihat ulah putranya.“Ma, Satria benar, aku hanya menjadi beban di sini, aku tidak apa-apa tinggal di rumah ayah, lagi