“Sepertinya kamu harus periksa ke dokter kandungan, saya hanya bidan dan sudah kasih kamu vitamin dan penyubur kandungan. Sudah setahun, lho, ini,” kata bidan cantik itu.
Amara hanya menunduk, ada yang ingin dia ceritakan, tapi dia tidak mampu untuk bercerita, dia sudah janji untuk tidak mengatakan apa pun tentang pernikahannya.
“Apa mungkin Abi yang mandul. Seharusnya kalian periksa berdua.” Bidan cantik itu menghela napas lalu kembali bertanya dengan wajah terlihat kecewa. “Aku akan hubungi Abi, sesibuk apa, sih, dia sampai urusan penting begini tidak bisa,” lanjutnya masih menggerutu.
“Dara, jangan.” Amara mencegah Dara untuk menghubungi Abian, dia tak mau ada masalah dengan suaminya.
“Amara, ini soal keturunan kalian, kalau hanya kamu yang dituntut untuk memeriksakan diri ini tidak adil dan mereka akan menyalahkanmu.” Dara masih berusaha menjelaskan padanya. Memang banyak orang yang menganggap masalah kesuburan itu tanggung jawab wanita, banyak orang yang menghakimi wanita saat pasangan suami istri tidak segera punya keturunan dan Amara merasakan itu, dia dipaksa untuk menjalani berbagai usaha tanpa mencari tahu masalahnya.
“Satu tahun dalam pernikahan jika tidak memakai alat kontrasepsi dan belum juga ada tanda kehamilan, seharusnya kalian segera periksa, bukan kamu saja karena jika kamu subur dan Abi yang mandul, mana bisa kalian punya anak.”
“Dara, tolong, sekali lagi beri aku vitamin agar Mama percaya kalau aku juga sangat menginginkan anak dari pernikahan ini,” pinta Amara. Ini adalah bentuk pertahanannya pada pernikahan, dia masih punya keyakinan bahwa suatu saat nanti Abian mau menerimanya.
“Tidak untuk kali ini, aku akan menjelaskan pada mereka kalau bukan kamu yang mandul tapi Abi.” Dara beranjak dari duduknya kemudian membuka pintu.
Amara berusaha mencegah Wanita berambut panjang itu. “Dara, tolong jangan begini, aku tidak mau Mama kepikiran soal ini dan belum tentu juga Mas Abi yang mandul,” ujarnya masih berusaha meyakinkan sepupu suaminya itu. Jika Dara mengatakan Abian yang bermasalah, keadaan akan semakin rumit dan Abian akan semakin membencinya.
“Makanya aku harus bicara sama mereka biar mereka juga menyuruh anak kesayangannya untuk periksa.”
Dara sudah menarik handle pintu, dengan cepat Amara menarik tangan bidan cantik itu.
“Jangan.” Amara menggeleng agar Dara tidak mengatakan itu pada mertuanya.
“Kenapa?” Dara sudah mulai terlihat kesal, Amara tahu itu.
“Aku … kami ….” Amara menunduk dia bingung akan menceritakannya, ini adalah rahasia yang dia simpan selama lima tahun.
Dara menatapnya menunggu jawabannya. Amara masih ragu, tapi jika dia tidak mengatakannya, Dara pasti akan mengatakan kalau Abian mandul, dia tidak mau itu terjadi, dia tidak mau menambah masalah lagi dan bagaimana dengan Abian nanti kalau dituduh mandul.
“Kami tidak pernah melakukannya.” Amara mengatakannya sangat lirih tapi masih cukup terdengar.
“Apa maksudmu? Abi tidak mau menyentuhmu?.” Dara sampai membuka mulutnya lebar mendengar pengakuan Amara. “Mustahil!,” lanjutnya. “Oke, aku tahu kalian menikah karena perjodohan, tapi laki-laki satu kamar dengan wanita tidak melakukan apa-apa itu sangat mustahil. Laki-laki bisa melakukan itu tanpa cinta. Apa Abi bengkok?” Dara menatapnya dengan tatapan penuh selidik.
Amara menggeleng, “kami tidur terpisah, Mas Abi tidur di ruang kerjanya.” Akhirnya dia mengatakan rahasia itu, rahasia yang sebenarnya ingin dia simpan rapat-rapat hingga Abian sendiri yang mengatakannya. Entah kapan itu.
“Astagfirullah, kenapa kamu diam saja.”
Amara menunduk, dia berada dalam dilemma, dia masih ingin hubungan keluarganya dan keluarga suaminya tetap baik. Jika masalah ini diketahui orang tuannya, dia takut kalau orang tuanya kecewa dan entah apa yang terjadi apda orang tuanya.
“Sekarang juga kamu harus katakan pada Om dan tante,” kata Dara penuh penekanan.
“Tidak, Dara.” Amara menggeleng, bukan saatnya, dia masih berharap bisa mengambil hati suaminya suatu saat nanti, dia masih punya banyak stok kesabaran yang banyak untuk lelaki itu.
“Harus!”
Dara berjalan cepat meninggalkan ruangannya.
Amara berlari mengejar langkah panjang Dara yang sudah berjalan setengah berlari lebih dulu. Amara menarik tangan Dara agar wanita itu menghentikan langkahnya.
“Dara, tolong, jangan katakan itu.” Amara mengangkupan tangannya agar Dara tidak mengatakannya.
“Amara, yang dilakukan Abi itu zalim, kamu jangan diam saja, kamu harus menuntut lelaki itu.”
“Tidak, Dara. Aku yakin suatu saat nanti Mas Abi akan menerimaku, tapi bukan sekarang.”
“Nunggu sepuluh tahun lagi?”
Amara baru menyadari kalau mereka sedang bicara di koridor rumah sakit dan ada banyak orang yang sedang menunggu antian di loket. Amara akhirnya mengikuti Dara yang menariknya keluar menuju mobil Dara.
“Dara.” Amara menggeleng sambil menahan air matanya yang hampir saja menetes, dia berusaha meyakinkan agar Dara tidak perlu mangatakannya pada mertuanya tentang hubungan pernikahannya.
Dara menatap Amara dengan tatapan iba, dia lalu mengusap punggung tangan Amara. “Kamu jangan takut, semua akan baik-baik saja. Kamu masih ingin melanjutkan pernikahan ini ‘kan?” tanya Dara lembut.
Amara mengangguk lalu menyeka air matanya. “Iya, aku mencintai Mas Abi.”
“Percaya padaku, setelah aku ceritakan pada Tante, aku yakin hubungan pernikahan kalian akan membaik.”
Amara berusaha mempercayai ucapa Dara, mungkin ini memang saatnya. Amara pun pasrah dan percaya pada Dara.
***
Kedua orang tua Abian dan juga kebetulan kedua orang tua Amara berada di rumah. Saat mendapat kabar dari Dara kalau ada yang akan dia sampaikan mereka berempat menunggu Dara dan Amara datang. Entah apa yang akan disampaikan Dara sampai meminta orang tua Amara juga ikut mendengarkan kabar yang akan disampaikan Dara. Mereka tahu kalau Amara melakukan pemeriksaan rutin, para orang tua itu begitu menginginkan cucu dari pernikahan Amara dan Abiyan.
Dara juga sudah mengabari Abian untuk segera pulang, tapi Abian masih ada rapat dia akan datang satu jam lagi, tapi itu tidak penting karena dia akan mencecar Abian setelah semua dia ungkapkan pada kedua orang tua Amara dan Abian. Dara sudah seperti pahlawan yang sedang menuntut keadilan bagi Amara.
“Bagaimana hasil pemeriksaannya?” tanya Maria pada keponakannya.
“Tante, Om, Pak, Bu, sebelumnya saya akan menceritakan masalah utama kenapa Amara tidak segera hamil.” Dara menoleh pada Amara yang terus saja menunduk.
“Saat wanita tidak segera hamil, bukan karena wanita yang tidak subur, tapi banyak faktor kenapa wanita tidak segera hamil atau bahkan tidak bisa hamil. Amara subur, dia mendapat haid juga lancar tiap bulannya, tapi ….”
“Kamu menuduh anakku tidak subur?” Maria menaikkan intonasi nada bicaranya, ada harga diri yang harus dia jaga, dia tidak mau martabatnya akan turun apalagi kabar itu didengar besannya.
“Bukan, Tante.” Dara membenarkan posisi duduknya, sebenarnya dia tidak nyaman mengatakannya karena dia sendiri belum menikah, itu adalah hal tabu.
“Ma, dengarkan dulu.” Atmaja mengusap lembut lengan istrinya, sebenarnya dia juga khawatir Dara mengatakan Abian tidak subur.
“Abi tidak pernah menyentuh Amara, dari mana Amara bisa hamil.”
Seperti disambar petir keempat orang tua itu langsung lemas mendengar kenyataan yang diungkapkan Dara. Bahkan Handoyo sampai memegang dadanya karena hampir saja terkena serangan jantung.
“Selamat malam, ini dengan Amara?” Suara asing pada panggilan nomor asing terdengar. Amara mengernyit.“Iya, saya Amara.”“Saya mau mengabarkan kalau Pak Handoyo beserta seorang wanita mengalami kecelakaan, sekarang berada di rumah sakit Pelita, kondisinya sangat kritis.”Suara di sebearng sana membuat telinga Amara langsung berdenging. Amara langsung menjatuhkan telepon selularnya, tubuhnya langsung lemas seketika, wajahnya pucat.“Ada apa, Mara?” tanya Maria saat melihat wajah pucat Amara.Bibik sigap mengambilkan air minum untuk diberikan pada Amara.“Diminum, Non,” kata Bibik lalu membantu Amara minum. Wajah Amara semakin pucat dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.“Ayah kecelakaan,” kata Amara dengan suara bergetar, air matanya mengalir. Tidak mungkin ayahnya kecelakaan, meski saat pulang terlihat tidak baik-baik saja, tapi dia yakin ayahnya tidak mungkin kecelakaan.“Kecelakaan? Di mana?” Maria tak kalah kaget, dia tadi sempat melarang Handoyo pulang karena setelah mendeng
Setelah dihubungi Dara untuk segera pulang, Abian berniat segera pulang setelah rapat, dia bergegas menuju mobilnya, entah masalah penting apa yang akan dikatakan Dara, yang jelas Abian menduga ada masalah dengan pemeriksaan pada Amara. Dalam pikirannya hanya satu, Amara bermasalah dengan alat reproduksinya, ini akan memudahkannya menceraikan Amara, dia tahu mamanya yang terus saja menuntut anak. Abian tersenyum penuh kemenangan, lima tahun yang dia jalani dengan Amara akan segera berakhir.Tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari belakang, siapa yang berani kurang ajar pada seorang pimpinan perusahaan. Dia pun mematung berusaha menebak siapa wanita yang telah berani melakukan itu padanya.“Aku datang, Sayang.” Suara wanita yang begitu dia rindukan terdengar sangat merdu, jantungnya langsung berpacu lebih cepat, dia langsung berbalik arah dan ….“Kapan datang, kenapa tidak mengabariku?” Abian memeluk Falicia begitu erat, diciuminya bertubi wajah cantik itu. Empat tahun Felicia berada di luar n
Amara duduk bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, air matanya terus saja menetes hingga jilbab yang dia kenakan basah. Para pelayat sudah kembali ke rumah masing-masing. Wanita malang itu begitu hancur, dia seperti tidak bisa melanjutkan hidupnya. Seandainya … jika boleh dia meminta waktu berputar kembali, dia akan ikut ketika ayahnya memintanya pulang, tapi dia bersikeras tetap bertahan dengan suami yang sebenarnya dia sendiri tidak yakin suaminya akan mau menerimanya.Kenapa dia bisa secinta itu pada Abian? Dia benci perasaan ini, dia benci menjadi lemah.Abian masih di sana menatap istrinya, istri yang tak dia anggap dengan perasaan yang, entah.Hampir dua jam Amara menangis di pusara kedua orang tuanya, akhirnya Abian mendekati Amara dan mengajaknya pulang.“Relakan mereka agar mereka tenang di sana.” Ucapan paling lembut yang selama lima tahun didengar Amara itu membuat Amara menoleh. Wajah tampan yang selalu dia rindui, wajah yang selalu dia khayalkan bersikap lembut pad
“Mas, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang wanita lain, lebih baik kita berpisah agar tidak ada yang tersakiti.”“Apa maksudmu? Bukankah kamu mencintaiku?” Abian jelas tidak terima kalau Amara menolaknya, seharusnya bukan Amara yang menolak, tapi dirinya.Amara tersenyum sinis. “Cinta? Aku tidak pernah mencintaimu, Mas.”Ketiga orang itu menatap Amara tidak percaya, selama ini apa yang ditunjukkan Amara? Setiap hari Amara menunggu kedatangan Abian dan selalu patuh padanya . Mana mungkin Amara tidak cinta.“Apa maksudmu?” Jelas ini melukai harga diri Abiyan. Dia memang ingin berpisah dengan Amara, tapi tidak begini.“Aku tidak pernah mencintaimu, aku melakukan ini karena aku tidak mau menyakiti hati orang tuaku.” Kali ini Amara terisak. Memang cintanya telah mati, tapi selama lima tahun dia selalu memendam cintanya untuk Abian.“Oke, kalau begitu maumu” Abian menatap Amara lekat. “Amara Salsabila aku talak kamu, mulai sekarang kamu bukan istriku lagi.”Tubuh kedua orang tua itu lan
“Apa yang kalian lakukan?”“Satria menfitahku, Pa.” Abian masih mengepalkan tangannya, apalagi melihat adiknya tersenyum sinis padanya.Atmaja menatap Satria. Apa yang terjadi pada kedua putranya itu, memang mereka berdua jarang akur, tapi tidak pernah sampai berkelahi seperti ini.“Ini kenyataan, Pa. Anak kesayangan Papa ini menyewa kamar hotel bersama wanita.”“Astagfirullah.”Plak!Maria langsung menampar putra sulungnya mendengar ucapan Satria, dia sudah terpukul dengan masalah pernikahan Abian masih ditambah kenyataan tentang kelakuan buruk Abian,“Ini tidak benar, Ma, dia menfitnahku.”“Lali-laki dan perempuan dalam kamar hotel apa yang mereka lakukan?” Satria masih mengatakan apa yang dia lihat, dia sangat jijik mengingat kelakuan kakaknya. Kakak yang selama ini dia lihat sebagai lelaki baik-baik, tapi ternyata berani berzina.“Kami tidak melakukan apa-apa, kami hanya ….”“Sudah diam, sekarang juga bawa wanita itu ke sini, Papa tidak mau kalian melakukan hal kotor lagi.”“Tapi,
Kedua wanita itu menoleh ke arah Satria yang berkata begitu pedas pada Amara. Satria sudah membawa koper akan keluar dari rumah.“Satria, apa yang kamu katakan!” bentak Maria, dia sudah berkata baik-baik pada Satria untuk menjaga perasaan Amara.“Benar ‘kan, Ma, kalau Amara sudah menikah, kita tidak akan terbebani lagi, Ma.”“Satria jangan banyak bicara, cepat kamu pergi.” Maria mendorong tubuh anaknya untuk segera pergi, semakin anaknya itu bicara akan semakin menyakiti hati Amara.Amara menghela napasnya, apa mungkin dia telah membuat beban keluarga Atmaja, dan entah apa salahnya pada Satria, lelaki itu selalu berkata ketus padanya. Bahkan sejak lima tahun menjadi adik iparnya hanya sesekali bertanya pada Amara itupun terlalu ketus.“Sudah, jangan dengarkan Satria, dia memang seperti itu kalau bicara. Anak laki-laki ngomongnya pedes, heran Mama.” Maria menggerutu melihat ulah putranya.“Ma, Satria benar, aku hanya menjadi beban di sini, aku tidak apa-apa tinggal di rumah ayah, lagi
Malam itu malam pertama mereka, Abian sudah menahan mendekati Amara selama lima tahun, jelas dia ingin sekali merasakannya, semua laki-laki pasti begitu menginginkan itu setelah menikah.“Sayang, apa kamu sudah siap?” tanya Felicia manja dengan mulai nakal mengoda Abiyan.Sudah pasti Abiyan sangat siap lahir batin, dia sudah menunggu masa itu, apalagi selama lima tahun harus menahannya. Ah, sungguh bodoh dirinya.“Fel, kenapa perutmu agak besar gini?” Abian bertanya pada istrinya itu, dia pernah tanpa sengaja melihat Amara membuka bajunya dan perut Amara itu rata dan indah sampai tiga hari dia tidak bisa melupakan bentuk tubuh indah Amara, tapi kenapa tubuh Felicia beda dengan perut sedikit membesar.Felicia tampak gugup lalu dia memeluk Abian, mungkin dia malu. “Aku banyak makan tadi,” jawabnya lalu dia tidak membiarkan suaminya memperhatikan tubuhnya lagi, dia memberikan apa yang suaminya inginkan dan ingin memberikan pengalaman pertama suaminya hingga suaminya tidak pernah bisa ber
Sebuah mobil berhenti tepat di samping Amara berdiri, kaca mobil dibuka lalu seorang wanita memanggil Amara.“Amara, kamu mau ke mana?” tanya wanita itu.“Dara, aku mau pulang ke rumah ayahku.”“Aku antar.”Amara mendekat, sejak tadi dia menunggu taksi online masih belum ada respon. Dia lalu masuk ke mobil Dara dan segera membatalkan pesanan taksi.“Memangnya kenapa pulang? Apa Abi sudah bawa istrinya ke rumah?” tanya Dara.“Iya.” Amara memasang seat belt setelah duduk sempurnya di kursi depan. “Sebaiknya gitu, sih, kalau kamu tetap di sana, kamu akan sakit hati melihat mereka.” Wanita itu mulai menarik tuas mengatur persneling kemudian dalam gerakan pelan dan tenang, mobil meluncur bebas hambatan di jalan.“Iya, Ra, seharusnya aku pulang setelah dicerai Mas Abi.”Di sinilah, di tempat di mana Amara di besarkan dengan kasih sayang, seandainya waktu bisa berputar dia tidak akan menghabiskan waktunya sia-sia menikah dengan Abiyan, tapi semua yang terjadi adalah takdir.“Kamu sendirian?