Kedua wanita itu menoleh ke arah Satria yang berkata begitu pedas pada Amara. Satria sudah membawa koper akan keluar dari rumah.“Satria, apa yang kamu katakan!” bentak Maria, dia sudah berkata baik-baik pada Satria untuk menjaga perasaan Amara.“Benar ‘kan, Ma, kalau Amara sudah menikah, kita tidak akan terbebani lagi, Ma.”“Satria jangan banyak bicara, cepat kamu pergi.” Maria mendorong tubuh anaknya untuk segera pergi, semakin anaknya itu bicara akan semakin menyakiti hati Amara.Amara menghela napasnya, apa mungkin dia telah membuat beban keluarga Atmaja, dan entah apa salahnya pada Satria, lelaki itu selalu berkata ketus padanya. Bahkan sejak lima tahun menjadi adik iparnya hanya sesekali bertanya pada Amara itupun terlalu ketus.“Sudah, jangan dengarkan Satria, dia memang seperti itu kalau bicara. Anak laki-laki ngomongnya pedes, heran Mama.” Maria menggerutu melihat ulah putranya.“Ma, Satria benar, aku hanya menjadi beban di sini, aku tidak apa-apa tinggal di rumah ayah, lagi
Malam itu malam pertama mereka, Abian sudah menahan mendekati Amara selama lima tahun, jelas dia ingin sekali merasakannya, semua laki-laki pasti begitu menginginkan itu setelah menikah.“Sayang, apa kamu sudah siap?” tanya Felicia manja dengan mulai nakal mengoda Abiyan.Sudah pasti Abiyan sangat siap lahir batin, dia sudah menunggu masa itu, apalagi selama lima tahun harus menahannya. Ah, sungguh bodoh dirinya.“Fel, kenapa perutmu agak besar gini?” Abian bertanya pada istrinya itu, dia pernah tanpa sengaja melihat Amara membuka bajunya dan perut Amara itu rata dan indah sampai tiga hari dia tidak bisa melupakan bentuk tubuh indah Amara, tapi kenapa tubuh Felicia beda dengan perut sedikit membesar.Felicia tampak gugup lalu dia memeluk Abian, mungkin dia malu. “Aku banyak makan tadi,” jawabnya lalu dia tidak membiarkan suaminya memperhatikan tubuhnya lagi, dia memberikan apa yang suaminya inginkan dan ingin memberikan pengalaman pertama suaminya hingga suaminya tidak pernah bisa ber
Sebuah mobil berhenti tepat di samping Amara berdiri, kaca mobil dibuka lalu seorang wanita memanggil Amara.“Amara, kamu mau ke mana?” tanya wanita itu.“Dara, aku mau pulang ke rumah ayahku.”“Aku antar.”Amara mendekat, sejak tadi dia menunggu taksi online masih belum ada respon. Dia lalu masuk ke mobil Dara dan segera membatalkan pesanan taksi.“Memangnya kenapa pulang? Apa Abi sudah bawa istrinya ke rumah?” tanya Dara.“Iya.” Amara memasang seat belt setelah duduk sempurnya di kursi depan. “Sebaiknya gitu, sih, kalau kamu tetap di sana, kamu akan sakit hati melihat mereka.” Wanita itu mulai menarik tuas mengatur persneling kemudian dalam gerakan pelan dan tenang, mobil meluncur bebas hambatan di jalan.“Iya, Ra, seharusnya aku pulang setelah dicerai Mas Abi.”Di sinilah, di tempat di mana Amara di besarkan dengan kasih sayang, seandainya waktu bisa berputar dia tidak akan menghabiskan waktunya sia-sia menikah dengan Abiyan, tapi semua yang terjadi adalah takdir.“Kamu sendirian?
“Ma, selamat, ya.” “Seharusnya kamu yang bersama Abi,” kata Maria sedih. Setiap kali mengingat pernikahan Abian dan Amara, dia semakin merasa bersalah. Maria memang senang punya cucu, tapi hatinya tidak bisa dibohongi bahwa sebenarnya yang dia inginkan adalah Amara yang menjadi ibu dari cucunya.Sangat jelas perbedaan keduanya, Amara begitu lembut dan juga sangat sopan, tidak pernah sekalipun Amara membantahnya, tapi Falicia tidak begitu bahkan para asisten rumah tangga di sana mengeluhkan ulah Felicia. Bisa dibilang mereka bagai bumi dan langit.“Tidak, Ma, Mas Abi itu memang jodohnya sama Felicia, ini yang Mas Abi inginkan.”“Kamu tidak apa-apa ‘kan?” Maria sebenarnya sangat khawatir dengan keadaan Amara.“Tante tenang saja, Amara sangat amat baik, dia tidak kurang apa pun dan besok Amara akan interview kerja.”“Masyaallah, selamat, ya, Nak,” ucap Maria tulus.Amara salah tingkah, dasar Dara malah bicara berlebihan.“Dara, jangan berlebihan gini,” bisik Amara.“Biar saja, mereka ha
Amara sudah bersiap sejak pagi, ini adalah hari pertamanya bekerja, sejak lulus kuliah dia belum pernah bekerja karena langsung menikah. Amara mematut dirinya dicermin, seragam itu terlalu sempit, selama ini Amara selalu memakai pakaian sedikit longgar, lebih seringnya pakai gamis karena dia sendiri sangat jarang keluar rumah dan pakaiannya hanya beberapa biji saja, dia memang tidak terlalu suka belanja pakaian.Amara membongkar pakaian lamanya untuk mencari rok sebagai pasangan baju seragamnya. Setelah membongkar pakaian lamanya akhirnya dia menemukan rok plisket warna hitam. Seingatnya belum pernah dipakai.Waktu itu Amara diajak keluar oleh Abian sebelum menikah, mama Abian yang merencanakan semuanya.“Aku tidak tahu akan mengajakmu ke mana. Berbelanjalah sesukamu aku tunggu di sini.” Abian mengajak Amara di sebuah pusat perbelanjaan, dia mengira kalau Amara sama dengan gadis lain yang suka berbelanja pakaian.Saat itu Amara bingung, dia tidak pernah berbelanja sendiri, bisanya dia
Setelah melalui masa kritis pasien, akhirnya dokter dan bidan itu terduduk lemas di ruangan istirahat. Dua nyawa terselamatkan. Allah masih memberi mereka kesempatan bisa memberikan kenikmatan berjuang melawan masa kritis. “Ini punyamu?” tanya Frans sambil menunjukkan bolpoin warna ungu. Di kliniknya, siapa lagi yang punya barang-barang warna ungu selain gadis itu.Dara tersentak saat melihat bolpoinnya dibawa Frans, dari mana dia dapatkan itu, apa tertingal di ruangan Frans tadi? Ah, kenapa dia ceroboh begini.“I-itu ….”“Lain kali kalau masuk ke ruangan orang izin dulu atau kalau diam-diam jangan meninggalkan jejak.”“Maaf, Dok.”Frans tersenyum melihat wajah memerah Dara, dia tahu kalau saat ini gadis itu sangat ketakutan. Bisa saja dia mempermasalahkan ini, tapi dia masih ingin tahu apa yang sedang dicari Dara di ruangannya.Lelaki berdarah campuran itu meletakkan bolpoin Dara tepat di dekat Dara, dia lalu meninggalkan dara yang masih bergetar karena ketakutan. Tubuhnya langsung
Felicia mengusap tempat tidur di sampingnya mencari keberadaan suaminya, semalam dia terlalu lelah sampai tidak tahu suaminya pulang jam berapa. Seharian dia banyak menghadiri acara bersama teman-temannya dan melakukan pertemuan dengan beberapa orang, dia mendapatkan tawaran menjadi bintang iklan. Felicia sangat senang, setelah menikah dengan Abiyan karirnya semakin melejit, nama Abiyan semakin melambungkan namanya. Cinta sejati yang dia tawarkan sebagai brand dirinya. Bahkan berita tentang penantian selama lima tahun menjadi trending topic.“Ternyata dengan menjual kisah sedihku membuat karirku semakin baik, aku akan mempertahankanya meskipun harus berpura-pura menjadi wanita paling sabar.” Felicia merasa sangat beruntung dengan apa yang dia dapat, meskipun dia hamil bukan anak Abiyan, setidaknya dia bisa megelabuhi suaminya. Tempat tidur di sebalahnya masih rapi, tidak ada tanda-tanda Abiyan menidurinya, Felicia lalu melihat ruang kerja Abiyan, di sana sama saja, tidak terlihat hab
Manusia itu memang selalu kurang, apa yang sudah halal tidak lagi menarik dan apa yang tidak halal terlihat begitu menarik. Setan telah melemparkan jeratan dan menghiasai apa-apa yang tidak halal menjadi menarik agar manusia terjerumus dalam dosa. Dan disinilah Abiyan merasa menyesal telah menceraikan Amara karena sejak saat dia menceraikan Amara, wanita itu semakin terlihat menarik di matanya.“Aku tidak nyangka kamu suka bekasku,” kata Abian tepat ditelinga Satria agar tidak terdengar Amara.‘Cih, dasar lelaki tak berperasaan menyamakan Amara dengan barang.’ Satria ingin sekali menyumpal mulut kakaknya dengan kaos kaki, bukankah itu pelecehan.“Sejak kapan aku suka bekasmu, kamu sentuh saja tidak.”“Dia itu mantan istriku.”“Sejak kapan kamu menganggapnya istri?” sinis Satria. Dia lalu memberi tanda pada Amara agar segera naik ke mobilnya, dia tidak mau berurusan dengan Abiyan.Abian mendekati Amara, rasanya tidak rela melihat mantan istrinya bersama Satria. Dia tidak tahu kenapa Am