“Satria, kamu kenapa?” Amara langsung menghampiri lelaki berkemeja biru navi itu. Wajah yang tadi cerah berubah suram, tangannya mengepal dan rahangnya mengeras.“Pergi ke rumah mama batal,” ujar lelaki itu.Amara menarik tangan suaminya membawa presensi lelaki itu untuk duduk di sofa dekat jendela. Dia tahu kalau Satria tidak sedang baik-baik saja, lelaki itu masih belum bisa mengendalikan emosinya. Yang Amara tahu emosi seseorang akan berkurang saat duduk, kalau belum juga reda maka berbaring, itu kenapa dia mengajak Satria duduk. Satria menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Embusan napas berat ke luar dari mulutnya lalu tangan besarnya meraup wajah kasar.“Kamu masih ingat beberapa kali kita gagal ke rumah Mama?” Lelaki itu menarik sudut bibirnya. “Mama memang tidak mau kita ke sana. Semua yang terjadi pada kita, musibah kecil yang kita lalui saat akan ke rumah mama hingga kita mengurungkan niat ke sana itu ulah mama. Mama yang merencanakan semuanya agar kita tidak ke sana.”
Setahun sudah berlalu, anak-anaknya jarang datang, lebih lagi satria, sudah setahun anak bungsunya itu tidak berkunjung. Buah-buahan di keranjang yang selalu dikirim Satria melalui kurir sebagai obat rindu. Maria merindukan anak-anaknya, dia telah menuai apa yang telah dilakukan pada anak-anaknya.Abian selalu saja sibuk, tiap kali dia menelepon agar anaknya itu datang, selalu saja beralasan sibuk. Ya, Maria yang meminta Abian untuk memperbaiki kualitas hidup agar kehidupannya lebih baik. Abian memang semakin sukses, dia juga sudah merambah usaha di berbagai bidang termasuk bidang otomotif dan usahanya yang baru beberapa bulan dirintis sudah sangat besar mengalahkan usaha Satria.Maria mempehatikan semua kegiatan kedua anaknya. Abian lebih kompetitif dan semakin gila kerja hingga setahun lebih pernikahan belum juga dikaruniai anak. Sedang Satria tidak terlalu bersemangat dengan usahanya, Satria bahkan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Perkebunan
“Pa, kenapa Satria masuk, sebegitu bencinya kah anak kita padaku?”Maria menatap sedih jejak putranya yang sesaat tadi justru meninggalkan mereka tanpa menyalami bahkan mempersilahkan masuk pun tidak. Hati ibu mana yang tidak terluka melihat perlakuan anaknya seperti itu. Ego sudah diturunkan, sesal sudah dirasa. Namun, apa yang di dapat? Apa anak itu ingin membalas perbuatannya. Sungguh, jika itu benar Maria akan bersimpuh di hadapan putranya itu untuk meminta maaf.Kesalahannya memang terlalu fatal, bukan hanya pada Satria saja tetapi juga pada Amara—wanita yang seharusnya dia jaga karena dia sudah berjanji di depan pusara dua orang yang paling berjasa di hidupnya itu, dua orang yang telah mengorbankan diri agar suaminya tetap hidup sampai sekarang, dia berjanji akan menjadi orang yang selalu melindungi Amara. Namun, apa yang dia lakukan pada anak itu, dia malah menjauhkan anak itu dari keluarganya.Maria mulai menggali hatinya, bagaimana dia bisa berlaku kejam hanya karena ingin m
Merasa tidak mendapat perlindungan dari keluarga, Felicia akhirnya memutuskan meninggalkan tempat tinggal orang tuanya. Apa yang bisa dia harapkan dari orang tuanya, sedang selama ini dia tidak pernah mendapatkan ketenangan di sana. Felicia memang pernah melakukan hubungan bebas, itu karena dia lepas dari pengawasan orang tua, orang tua tidak memberi contoh yang baik. Felicia sadar, dengan kebebasan yang dia jalani selama ini ternyata tidak membuatnya tenang, dia harusnya mengambil pelajaran setelah kejadian demi kejadian menyakitkan yang dia alami.“Tuhan itu maha pengampun, perbaiki kehidupanmu. Jika kamu manusia beragama, maka kembalikan kehidupanmu pada jalur yang benar.” Nasehat itu yang akhirnya membuat Felicia tinggal di sebuah kota kecil jauh dari kebisingan. Seorang wanita pekerja kebun memberinya tempat tinggal setelah dia sampai dan kebingungan akan tinggal di sana.Wanita paruh baya memakai jilbab panjang itu menyambutnya sangat baik, tapi rumah kecil itu hanya mempunyai s
“Pokoknya Mama kasih waktu satu tahun lagi, kalau dalam waktu satu tahu kamu tidak juga hamil, kamu harus ikhlas kalau Abi harus menikah lagi.” Wanita bersanggul rendah itu menatap wanita muda yang menunduk di hadapannya.“Mara akan usaha lagi, Ma,” jawab Wanita itu. Dia segera menyeka air matanya yang tadi menggenang dan akhirnya lolos juga.Entah berapa obat-obatan yang sudah dia telan dan segala macam makanan sehat penambah kesuburan. Dia hanya menjalani apa yang dititahkan keluarga itu tanpa bisa menolak atau mengatakan keadaan yang sebenarnya.“Besok Mama antar, kita ganti dokter.”Wanita bernama Amara itu menganguk patuh kemudian dia menoleh saat mendengar langkah kaki mendekat. Lelaki yang sedang dia tunggu akhirnya datang. Amara ingin suaminya ikut menjawab segala macam pertanyaan mertuanya. Bukan dirinya saja yang seharusnya ditekan, tapi Abian yang seharusnya bertanggung jawab atas keadaannya yang tak kunjung hamil.“Mara mau periksa sama Mas Abi, Ma,” kata Amara setelah lel
“Tujuan kami ke sini karena kami ingin mengikat kekerabatan kita biar lebih erat,” kata Atmaja.Saat itu Atmaja dan istrinya bertandang ke rumah Handoyo. Itu memang rutin mereka lakukan untuk menjaga hubungan baik mereka. Atmaja bahkan sudah menganggap Handoyo keluarga dan ingin mengikatnya menjadi sebuah keluarga.“Saya ingin melamar Amara menjadi istri Abian, saya dengar Amara sudah lulus kuliah,” lanjut Atmaja dan mendapat anggukan dari Maria-istrinya.Rencana ini sudah Atmaja dan Maria utarakan pada Abian. Awalnya Abian menolak, tapi Atmaja memaksa dan mengancam tidak akan memberikan jabatan pada Abian di perusahaan. Itu adalah hal yang paling ditakuti Abian, putranya itu sangat mencintai pekerjaannya.“Apa Nak Abi mau dengan Amara?” tanya Herlina. Sebagai seorang ibu dia takut jika perjodohan itu akan membuat putrinya menderita.“Kalau Abi sudah setuju. Kami tidak meminta jawabannya sekarang, kalian bisa tanyakan pada Amara terlebih dulu.”“Saya minta waktu satu minggu,” kata Han
“Sepertinya kamu harus periksa ke dokter kandungan, saya hanya bidan dan sudah kasih kamu vitamin dan penyubur kandungan. Sudah setahun, lho, ini,” kata bidan cantik itu.Amara hanya menunduk, ada yang ingin dia ceritakan, tapi dia tidak mampu untuk bercerita, dia sudah janji untuk tidak mengatakan apa pun tentang pernikahannya.“Apa mungkin Abi yang mandul. Seharusnya kalian periksa berdua.” Bidan cantik itu menghela napas lalu kembali bertanya dengan wajah terlihat kecewa. “Aku akan hubungi Abi, sesibuk apa, sih, dia sampai urusan penting begini tidak bisa,” lanjutnya masih menggerutu.“Dara, jangan.” Amara mencegah Dara untuk menghubungi Abian, dia tak mau ada masalah dengan suaminya.“Amara, ini soal keturunan kalian, kalau hanya kamu yang dituntut untuk memeriksakan diri ini tidak adil dan mereka akan menyalahkanmu.” Dara masih berusaha menjelaskan padanya. Memang banyak orang yang menganggap masalah kesuburan itu tanggung jawab wanita, banyak orang yang menghakimi wanita saat pa
“Selamat malam, ini dengan Amara?” Suara asing pada panggilan nomor asing terdengar. Amara mengernyit.“Iya, saya Amara.”“Saya mau mengabarkan kalau Pak Handoyo beserta seorang wanita mengalami kecelakaan, sekarang berada di rumah sakit Pelita, kondisinya sangat kritis.”Suara di sebearng sana membuat telinga Amara langsung berdenging. Amara langsung menjatuhkan telepon selularnya, tubuhnya langsung lemas seketika, wajahnya pucat.“Ada apa, Mara?” tanya Maria saat melihat wajah pucat Amara.Bibik sigap mengambilkan air minum untuk diberikan pada Amara.“Diminum, Non,” kata Bibik lalu membantu Amara minum. Wajah Amara semakin pucat dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.“Ayah kecelakaan,” kata Amara dengan suara bergetar, air matanya mengalir. Tidak mungkin ayahnya kecelakaan, meski saat pulang terlihat tidak baik-baik saja, tapi dia yakin ayahnya tidak mungkin kecelakaan.“Kecelakaan? Di mana?” Maria tak kalah kaget, dia tadi sempat melarang Handoyo pulang karena setelah mendeng