“Tujuan kami ke sini karena kami ingin mengikat kekerabatan kita biar lebih erat,” kata Atmaja.
Saat itu Atmaja dan istrinya bertandang ke rumah Handoyo. Itu memang rutin mereka lakukan untuk menjaga hubungan baik mereka. Atmaja bahkan sudah menganggap Handoyo keluarga dan ingin mengikatnya menjadi sebuah keluarga.
“Saya ingin melamar Amara menjadi istri Abian, saya dengar Amara sudah lulus kuliah,” lanjut Atmaja dan mendapat anggukan dari Maria-istrinya.
Rencana ini sudah Atmaja dan Maria utarakan pada Abian. Awalnya Abian menolak, tapi Atmaja memaksa dan mengancam tidak akan memberikan jabatan pada Abian di perusahaan. Itu adalah hal yang paling ditakuti Abian, putranya itu sangat mencintai pekerjaannya.
“Apa Nak Abi mau dengan Amara?” tanya Herlina. Sebagai seorang ibu dia takut jika perjodohan itu akan membuat putrinya menderita.
“Kalau Abi sudah setuju. Kami tidak meminta jawabannya sekarang, kalian bisa tanyakan pada Amara terlebih dulu.”
“Saya minta waktu satu minggu,” kata Handoyo. Dia perlu meyakinkan putrinya lebih dulu. Amara adalah anak satu-satunya yang mereka nanti setelah tujuh tahun pernikahan.
Tepat satu minggu mereka memberitahukan kesediaan Amara menikah dengan Abian, bukan juga tanpa alasan. Amara adalah gadis polos dan juga sangat penurut, mereka meyakinkan pada Amara bahwa Abian adalah lelaki baik yang akan bisa menjadi imamnya nanti dan Amara juga sudah mengenal Atmaja dan juga Maria sejak kecil. Ketakutannya tentang mertua jahat seketika hilang karena yang akan menjadi mertuanya adalah orang baik.
Pernikahan itu akhirnya dilaksanakan sebulan kemudian. Awalnya rencana pernikahan akan dilaksanakan satu tahun lagi, tapi Atmaja memergoki Abian bersama kekasihnya.
“Jangan bikin malu Papa.”
“Tapi aku mencintai Felicia, Pa.”
“Tidak bisa, kamu sudah bertunangan dan papa akan mempercepat pernikahan kalian. Jangan membantah atau posisimu di perusahaan akan papa alihkan pada Satria.”
Abian tidak akan pernah menerima kalau Satria yang akan menikmati kerja kerasnya, dia yang mati-matian bekerja tidak akan rela jika posisinya akan dialihkan pada adiknya, hubungannya dengan sang adik memang kurang baik.
Pernikahan mereka akhirnya terlaksana meski dalam keterpaksaan. Abian menerima pernikahan itu meski dia punya rencana besar dibenaknya.
***
“Aku menikahimu karena aku tidak ingin menolak permintaan orang tuaku. Jadi, jangan pernah pernah berharap lebih, kamu tidur di sini aku tidur di ruang kerjaku, jangan pernah katakan masalah ini pada orang tua kita.” Abian menatap dingin pada wanita yang baru dinikahinya itu, tidak ada yang menarik dari wanita itu, penampilan yang sederhana dan wajah yang pas-pasan, setidaknya itu yang dilihat Abian.
Amara hanya menunduk, dia sadar diri, Abian adalah lelaki mapan dan juga tampan, dia yakin pasti lelaki seperti dia hanya tertarik pada wanita cantik, sedangkan dirinya apa?
Ruangan yang dimaksud adalah ruang kerja yang bersekat dinding dalam satu ruangan di kamar tidur mereka. Di ruangan kerja ada ranjang berukuran kecil, di sanalah Abian tidur.
“Kenapa kamu menyiapkan bajuku? Kamu masih ingat ‘kan kalau pernikahan kita ini hanya pura-pura?” Abian selalu mengingatkan posisi Amara yang hanya menjadi istri di atas kertas saja.
“Biarkan aku melakukan tugasku sebagai istri, Mas,” jawab Amara. Setidaknya dia sudah menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
“Tapi jangan berharap aku memberimu lebih.”
Amara mengangguk dan kembali melakukan kegiatannya.
“Ini, gunakan untuk keperluanmu.” Abian memberikan kartu debit sebagai nafkah. Untuk masalah itu dia tidak akan melalaikan kewajibannya, dia hanya tidak memberi nafkah batin pada Amara, itu adalah janjinya pada Felicia—kekasihnya.
Kehidupan pernikahan mereka berjalan lancar meskipun hanya di depan kedua orang tua mereka memperlihatkan kalau mereka bahagia. Tiba setelah lima tahun orang tua mereka menuntut mereka untuk segera memberikan cucu.
“Kalian harus periksa ke dokter, pernikahan kalian sudah lima tahun dan belum juga ada tanda kehamilan,” kata Maria. Usia Abian sudah tidak muda lagi, jelas itu membuat resah orang tuanya, sedangkan Satria tidak juga mau segera menikah.
“Aku sibuk, Ma, biar Amara saja yang periksa.” Abian meninggalkan ibunya yang pasti akan bertanya macam-macam dan dia tidak pandai untuk berkilah. Akhirnya dia membiarkan Amara mengatasi omelan ibunya.
Pikiran Maria saat ini memang kemungkinan besar adalah Amara yang sulit punya anak mengingat riwayat keluarga Amara yang memang sulit mempunyai keturunan. Amara anak satu-satunya dan sejak melahirkan Amara orang tua Amara sudah dinyatakan tidak bisa punya keturunan lagi.
Itulah awal mula Maria mulai tidak menyukai Amara, dia menganggap Amara wanita tidak subur. Maria menghubungi Dara-keponakannya dan meminta Dara mengurus semua pengobatan Amara sampai Amara benar-benar subur. Dia terus saja menyalahkan Amara.
“Kalau saja aku tidak menuruti permintaanmu menikahkan Abi dan Amara, mungkin kita sudah mendapatkan cucu, Pa,” gerutunya pada sang suami.
“Sabar dulu, Ma, mereka baru lima tahun menikah,” kata Atmaja.
“Lima tahun itu sudah cukup lama, kalau setahun lagi mereka tidak segera punya anak, terpaksa aku suruh Abi menikahi pacarnya itu. Lagian Papa, sih, kenapa kekeh menikahkan mereka.”
“Mama tahu kalau aku punya hutang nyawa pada Handoyo, menikahkan mereka itu belum cukup membayar hutang budi pada mereka.”
Selalu seperti itu yang dikatakan Atmaja dan akhirnya Maria hanya menggerutu saja karena kalau suaminya sudah mengungkit masalah itu, dia tidak berani membantah dan memang kenyataannya begitu, tapi kegelisahannya tentang keturunan Abian sangat mengganggunya. Abian adalah anak pertamanya dan Abian lah yang bisa dia harapakan karena Satria lebih asyik dengan dunianya.
***
“Jadi Mas Abi akan menerima kalau Mama suruh Mas Abi nikah lagi?” tanya Amara setelah pembicaraan panas di ruang makan tadi. Maria dan Atmaja akhirnya berdebat karena keduanya berbeda pendapat. Atmaja yang berada di pihak Amara menerima menantunya itu apa adanya dan Maria yang menginginkan kehadiran cucu segera.
“Aku tidak menjanjikan apa-apa dari pernikahan ini, jadi kalau Mama memitaku menikah lagi ….” Lelaki itu menarik sudut bibir kanannya. “Aku akan menikahi Felicia, jadi kamu harus mau dimadu.”
Amara menggeleng. Lima tahun bertahan dan bersabar, tiba-tiba harus menerima pernikahan kedua suaminya, jelas ini tidak adil baginya. Lebih baik dia mundur dari pada harus dijadikan pajangan. Bukankah selama ini dia hanya dijadikan pajangan saja.
“Kenapa?” Abian menyeringai lalu tangannya menjepit dagu Amara. “Apa kamu berubah pikiran?” tanyanya.
Air mata Amara sudah menetes semena-mena, dia tidak bisa lagi bersabar dengan pernikahan itu, tapi apa yang akan dia katakan pada orang tuanya jika dia menyerah. Dia tidak tega melihat orang tuanya kecewa, tapi dia harus apa?
“Aku akan bertahan,” kata Amara dengan bibir bergetar.
“Aku akan tunggu sampai kapan kamu bisa bertahan,” kata Abian kemudian dia membuka pintu kamar. “Jangan terlalu lama bertahan, aku sudah tegaskan kalau aku tidak akan pernah menyentuhmu.”
“Sepertinya kamu harus periksa ke dokter kandungan, saya hanya bidan dan sudah kasih kamu vitamin dan penyubur kandungan. Sudah setahun, lho, ini,” kata bidan cantik itu.Amara hanya menunduk, ada yang ingin dia ceritakan, tapi dia tidak mampu untuk bercerita, dia sudah janji untuk tidak mengatakan apa pun tentang pernikahannya.“Apa mungkin Abi yang mandul. Seharusnya kalian periksa berdua.” Bidan cantik itu menghela napas lalu kembali bertanya dengan wajah terlihat kecewa. “Aku akan hubungi Abi, sesibuk apa, sih, dia sampai urusan penting begini tidak bisa,” lanjutnya masih menggerutu.“Dara, jangan.” Amara mencegah Dara untuk menghubungi Abian, dia tak mau ada masalah dengan suaminya.“Amara, ini soal keturunan kalian, kalau hanya kamu yang dituntut untuk memeriksakan diri ini tidak adil dan mereka akan menyalahkanmu.” Dara masih berusaha menjelaskan padanya. Memang banyak orang yang menganggap masalah kesuburan itu tanggung jawab wanita, banyak orang yang menghakimi wanita saat pa
“Selamat malam, ini dengan Amara?” Suara asing pada panggilan nomor asing terdengar. Amara mengernyit.“Iya, saya Amara.”“Saya mau mengabarkan kalau Pak Handoyo beserta seorang wanita mengalami kecelakaan, sekarang berada di rumah sakit Pelita, kondisinya sangat kritis.”Suara di sebearng sana membuat telinga Amara langsung berdenging. Amara langsung menjatuhkan telepon selularnya, tubuhnya langsung lemas seketika, wajahnya pucat.“Ada apa, Mara?” tanya Maria saat melihat wajah pucat Amara.Bibik sigap mengambilkan air minum untuk diberikan pada Amara.“Diminum, Non,” kata Bibik lalu membantu Amara minum. Wajah Amara semakin pucat dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.“Ayah kecelakaan,” kata Amara dengan suara bergetar, air matanya mengalir. Tidak mungkin ayahnya kecelakaan, meski saat pulang terlihat tidak baik-baik saja, tapi dia yakin ayahnya tidak mungkin kecelakaan.“Kecelakaan? Di mana?” Maria tak kalah kaget, dia tadi sempat melarang Handoyo pulang karena setelah mendeng
Setelah dihubungi Dara untuk segera pulang, Abian berniat segera pulang setelah rapat, dia bergegas menuju mobilnya, entah masalah penting apa yang akan dikatakan Dara, yang jelas Abian menduga ada masalah dengan pemeriksaan pada Amara. Dalam pikirannya hanya satu, Amara bermasalah dengan alat reproduksinya, ini akan memudahkannya menceraikan Amara, dia tahu mamanya yang terus saja menuntut anak. Abian tersenyum penuh kemenangan, lima tahun yang dia jalani dengan Amara akan segera berakhir.Tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari belakang, siapa yang berani kurang ajar pada seorang pimpinan perusahaan. Dia pun mematung berusaha menebak siapa wanita yang telah berani melakukan itu padanya.“Aku datang, Sayang.” Suara wanita yang begitu dia rindukan terdengar sangat merdu, jantungnya langsung berpacu lebih cepat, dia langsung berbalik arah dan ….“Kapan datang, kenapa tidak mengabariku?” Abian memeluk Falicia begitu erat, diciuminya bertubi wajah cantik itu. Empat tahun Felicia berada di luar n
Amara duduk bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, air matanya terus saja menetes hingga jilbab yang dia kenakan basah. Para pelayat sudah kembali ke rumah masing-masing. Wanita malang itu begitu hancur, dia seperti tidak bisa melanjutkan hidupnya. Seandainya … jika boleh dia meminta waktu berputar kembali, dia akan ikut ketika ayahnya memintanya pulang, tapi dia bersikeras tetap bertahan dengan suami yang sebenarnya dia sendiri tidak yakin suaminya akan mau menerimanya.Kenapa dia bisa secinta itu pada Abian? Dia benci perasaan ini, dia benci menjadi lemah.Abian masih di sana menatap istrinya, istri yang tak dia anggap dengan perasaan yang, entah.Hampir dua jam Amara menangis di pusara kedua orang tuanya, akhirnya Abian mendekati Amara dan mengajaknya pulang.“Relakan mereka agar mereka tenang di sana.” Ucapan paling lembut yang selama lima tahun didengar Amara itu membuat Amara menoleh. Wajah tampan yang selalu dia rindui, wajah yang selalu dia khayalkan bersikap lembut pad
“Mas, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang wanita lain, lebih baik kita berpisah agar tidak ada yang tersakiti.”“Apa maksudmu? Bukankah kamu mencintaiku?” Abian jelas tidak terima kalau Amara menolaknya, seharusnya bukan Amara yang menolak, tapi dirinya.Amara tersenyum sinis. “Cinta? Aku tidak pernah mencintaimu, Mas.”Ketiga orang itu menatap Amara tidak percaya, selama ini apa yang ditunjukkan Amara? Setiap hari Amara menunggu kedatangan Abian dan selalu patuh padanya . Mana mungkin Amara tidak cinta.“Apa maksudmu?” Jelas ini melukai harga diri Abiyan. Dia memang ingin berpisah dengan Amara, tapi tidak begini.“Aku tidak pernah mencintaimu, aku melakukan ini karena aku tidak mau menyakiti hati orang tuaku.” Kali ini Amara terisak. Memang cintanya telah mati, tapi selama lima tahun dia selalu memendam cintanya untuk Abian.“Oke, kalau begitu maumu” Abian menatap Amara lekat. “Amara Salsabila aku talak kamu, mulai sekarang kamu bukan istriku lagi.”Tubuh kedua orang tua itu lan
“Apa yang kalian lakukan?”“Satria menfitahku, Pa.” Abian masih mengepalkan tangannya, apalagi melihat adiknya tersenyum sinis padanya.Atmaja menatap Satria. Apa yang terjadi pada kedua putranya itu, memang mereka berdua jarang akur, tapi tidak pernah sampai berkelahi seperti ini.“Ini kenyataan, Pa. Anak kesayangan Papa ini menyewa kamar hotel bersama wanita.”“Astagfirullah.”Plak!Maria langsung menampar putra sulungnya mendengar ucapan Satria, dia sudah terpukul dengan masalah pernikahan Abian masih ditambah kenyataan tentang kelakuan buruk Abian,“Ini tidak benar, Ma, dia menfitnahku.”“Lali-laki dan perempuan dalam kamar hotel apa yang mereka lakukan?” Satria masih mengatakan apa yang dia lihat, dia sangat jijik mengingat kelakuan kakaknya. Kakak yang selama ini dia lihat sebagai lelaki baik-baik, tapi ternyata berani berzina.“Kami tidak melakukan apa-apa, kami hanya ….”“Sudah diam, sekarang juga bawa wanita itu ke sini, Papa tidak mau kalian melakukan hal kotor lagi.”“Tapi,
Kedua wanita itu menoleh ke arah Satria yang berkata begitu pedas pada Amara. Satria sudah membawa koper akan keluar dari rumah.“Satria, apa yang kamu katakan!” bentak Maria, dia sudah berkata baik-baik pada Satria untuk menjaga perasaan Amara.“Benar ‘kan, Ma, kalau Amara sudah menikah, kita tidak akan terbebani lagi, Ma.”“Satria jangan banyak bicara, cepat kamu pergi.” Maria mendorong tubuh anaknya untuk segera pergi, semakin anaknya itu bicara akan semakin menyakiti hati Amara.Amara menghela napasnya, apa mungkin dia telah membuat beban keluarga Atmaja, dan entah apa salahnya pada Satria, lelaki itu selalu berkata ketus padanya. Bahkan sejak lima tahun menjadi adik iparnya hanya sesekali bertanya pada Amara itupun terlalu ketus.“Sudah, jangan dengarkan Satria, dia memang seperti itu kalau bicara. Anak laki-laki ngomongnya pedes, heran Mama.” Maria menggerutu melihat ulah putranya.“Ma, Satria benar, aku hanya menjadi beban di sini, aku tidak apa-apa tinggal di rumah ayah, lagi
Malam itu malam pertama mereka, Abian sudah menahan mendekati Amara selama lima tahun, jelas dia ingin sekali merasakannya, semua laki-laki pasti begitu menginginkan itu setelah menikah.“Sayang, apa kamu sudah siap?” tanya Felicia manja dengan mulai nakal mengoda Abiyan.Sudah pasti Abiyan sangat siap lahir batin, dia sudah menunggu masa itu, apalagi selama lima tahun harus menahannya. Ah, sungguh bodoh dirinya.“Fel, kenapa perutmu agak besar gini?” Abian bertanya pada istrinya itu, dia pernah tanpa sengaja melihat Amara membuka bajunya dan perut Amara itu rata dan indah sampai tiga hari dia tidak bisa melupakan bentuk tubuh indah Amara, tapi kenapa tubuh Felicia beda dengan perut sedikit membesar.Felicia tampak gugup lalu dia memeluk Abian, mungkin dia malu. “Aku banyak makan tadi,” jawabnya lalu dia tidak membiarkan suaminya memperhatikan tubuhnya lagi, dia memberikan apa yang suaminya inginkan dan ingin memberikan pengalaman pertama suaminya hingga suaminya tidak pernah bisa ber