Setelah dihubungi Dara untuk segera pulang, Abian berniat segera pulang setelah rapat, dia bergegas menuju mobilnya, entah masalah penting apa yang akan dikatakan Dara, yang jelas Abian menduga ada masalah dengan pemeriksaan pada Amara. Dalam pikirannya hanya satu, Amara bermasalah dengan alat reproduksinya, ini akan memudahkannya menceraikan Amara, dia tahu mamanya yang terus saja menuntut anak. Abian tersenyum penuh kemenangan, lima tahun yang dia jalani dengan Amara akan segera berakhir.
Tiba-tiba tubuhnya dipeluk dari belakang, siapa yang berani kurang ajar pada seorang pimpinan perusahaan. Dia pun mematung berusaha menebak siapa wanita yang telah berani melakukan itu padanya.
“Aku datang, Sayang.” Suara wanita yang begitu dia rindukan terdengar sangat merdu, jantungnya langsung berpacu lebih cepat, dia langsung berbalik arah dan ….
“Kapan datang, kenapa tidak mengabariku?” Abian memeluk Falicia begitu erat, diciuminya bertubi wajah cantik itu. Empat tahun Felicia berada di luar negeri tentu saja membuat kerinduannya membuncah dan wanita itu kini sudah berada di pelukannya. Tidak dia pedulikan tatapan para karyawan karena cinta memang mengalahkan logikanya. Dunia hanya miliknya.
“Aku hanya ingin memberi kejutan padamu, Sayang. Sekarang aku ingin kita bersama tanpa ada gangguan apapun. Aku merindukanmu.” Felicia semakin mengerat pelukan pada Abian.
Mereka berdua akhirnya menghabiskan hari ini berdua tanpa mau digangu siapa pun, bahkan Felicia telah mengambil telepon selular Abian dan menon-aktifkan telepon selular Abian.
“Aku tidak mau ada yang menganggu kita.”
Setelah mereka berdua jalan-jalan, Felicia meminta Abian menemaninya semalaman ini, Felicia sudah memesan kamar hotel, alasannya tidak ingin diganggu siapapun.
“Kita ini belum nikah, nggak baik berada di kamar hotel berdua.” Abian berusaha menolak permintaan Felicia, bagaimanapun juga Abian masih punya moral untuk tidak melakukan hal terlarang sebelum menikah.
“Kita cuma ngobrol aja, kenapa kamu mikir macem-macem, sih,” kata Falicia gemas dengan sikap Abian.
Setelah menimbang dan memikirkan, akhirnya dia memenuhi permintaan Falicia, lagi pula dia bisa membuktikan kalau dia bisa tahan bersama Amara selama lima tahun. Meskipun itu sangat berat, tapi nyatanya dia bisa melewatinya tanpa melanggar janjinya pada kekasihnya.
“Kamu yakin kita di sini?” Abian bertanya ragu tidak akan terjadi apa-apa pada mereka berdua.
“Iya, aku yakin kamu tidak akan melakukan hal buruk padaku. Sudah, jangan mikir jauh-jauh.” Felicia menarik tangan Abian untuk masuk ke kamar nomor 38 itu.
Gadis itu langsung merebahkan diri di ranjang super besar itu, sepertinya dia sangat lelah setelah berputar-putar setengah hari ini dan baru saja melakukan perjalanan jauh, baru malam itu dia kembali ke Indonesia dan langsung mencari Abian setelah sampai.
Abian ikut berbaring di sana, dia juga tak kalah lelah setelah beberapa hari ini banyak sekali pekerjaan dan melakukan perjalanan ke luar kota.
“Bagaimana pendidikan S2-mu?” tanya Abiann. Felicia ke luat negeri memang melanjutkan kuliah S2-nya di luar segeri.
“Baik, makanya aku pulang setelah lulus.” Falicia memiringkan tubuhnya menatap kekasihnya. Masih tetap sama. Tampan.
“Apa kamu tidak pernah menyentuh istrimu?” tanya Felicia, dia tidak percaya begitu saja apa yang dikatakan Abian meskipun Abian sudah berjanji tidak akan menyentuh Amara.
“Apa kamu tidak percaya padaku?” Abian bertanya balik, lima tahun dia berusaha bertahan meskipun hampir saja dia tidak kuat. Amara terlalu baik. Berada dalam satu kamar dan melakukan hal-hal kecil bersama, tidak bisa dipungkiri ada sedikit rasa di hatinya, apa lagi soal jiwa lelakinya, tidak perlu dibicarakan lagi. Amara itu sudah halal baginya. Hidup bersama tapi tidak menyentuh itu bagai hukuman.
“Percaya, kamu ‘kan cintanya sama aku, lagian gadis dekil itu mana menarik bagimu.”
Abian hanya tersenyum getir, wanita yang katanya dekil itu ternyata sangat cantik kalau dilihat lama-lama, itu kenapa Abian tidak pernah berani memandang Amara lama-lama, dia bisa jatuh hati, itu tidak boleh terjadi.
Mereka berdua saling bercerita apa yang mereka lakukan setelah tidak bertemu empat tahun. Berpisah selama itu pasti ada banyak hal yang berubah dalam kehidupan mereka.
“Fel, apa yang kamu lakukan?”
Felicia yang tadinya hanya rebahan saja di samping Abian, tiba-tiba tangannya melingkar di pinggang Abian, dia mulai menggoda kekasihnya itu. Dia sudah memakai pakaian seksi, tapi Abian tidak juga tergoda.
“Sayang, apa yang diinginkan pasangan saat berada di kamar berdua seperti ini.” Felicia semakin berani.
Abian yang sejak tadi berusaha menahan diri untuk tidak menyentuh Falicia akhirnya goyah. Godaan itu sangat berat. Laki-laki dan perempuan dalam satu kamar, apalagi yang diinginkan selain itu.
Abian menuruti nalurinya, dia menikmati setiap sentuhan Falicia, itu sangat nyaman, tapi tiba-tiba dia tersadar dan segera menjauhkan tubuhnya dari Felicia.
“Tidak Fel, aku tidak akan menyentuhmu sebelum kita menikah.”
“Abi, aku mencintaimu, aku tidak mau kamu menyentuh orang lain sebelum aku.” Felicia masih terus merayu Abian.
Ini tidak benar, sekuat tenaga Abian berusaha menahan godaan itu.
“Fel, aku sangat mencintaimu, aku tidak menyentuhmu sekarang ini sebagai bukti bahwa aku mencintaimu, aku janji setelah ini aku akan perjuangkan cinta kita dan kita akan melakukannya jika saatnya tiba.”
Abiyan mencium kening Falicia lalu dia keluar dari kamar hotel itu, dia tidak bisa menjamin dirinya akan tahan dengan godaan terbesar itu. Amara yang diam saja dia hampir membuatnya kalah, apalagi kini Felicia begitu berani menggodanya. Dia tidak mau berdosa hanya mengikuti hawa nafsunya.
***
Satria langsung menuju hotel yang disebutkan anak buahnya, dia sebenarnya tadi akan menuju kamar hotel itu, tapi ibunya menyuruhnya pulang dan ternyata mendapati kabar bahwa orang tua Amara kecelakaan.
Melihat apa yang menimpa Amara membuat kemarahannya memuncak, apalagi karena ulah Abian mengakibatkan dua nyawa melayang dan kini Abian malah bersenang-senang dengan wanita di kamar hotel. Breng-sek, apalagi sebutan untuk lelaki seperti Abiyan.
Tidak sulit bagi Satria masuk ke hotel itu, dia punya akses ke sana untuk menemui Abian karena dia punya saham di hotel itu. Lelaki jangkung itu segera menuju kamar nomor 38 seperti yang disebutkan anak buahnya.
Saat akan menuju kamar nomor 38, Satria berpapasang dengan Abian yang saat itu memang akan keluar dari kamar hotel. Satria langsung menarik tubuh Abian keluar dia tidak mau membuat keributan di dalam.
“Kamu kenapa, sih.” Abian berusaha melepaskan cekalan tangan adiknya.
Satu pukulan mendarat tepat di rahang sebelah kiri Abian hingga membuat sudut bibir Abiyan berdarah.
“Apa-apaan ini.” Abiyan yang tidak siap itu terhuyung.
“Ini hadiah untuk lelaki br*ngsek seprtimu. Pezina!”
Berkali-kali Abian mendapat pukulan dari adiknya, sesaat dia memang kalah, lalu dia membalas pukulan adiknya, tubuhnya lebih besar dari adiknya, kini mereka saling membalas pukulan.
“Siapa yang berzina, jangan ngawur kamu.”
“Laki-laki dan perempuan dalam kamar hotel apalagi yang dilakukan kalau bukan berzina. Pantas saja tidak pernah menyentuh istrimu, ternyata kamu sudah kenyang diluar.”Satria tersenyum sinis, dia menatap jijik pada kakaknya itu. Tidak pernah terbersit dalam benaknya kalau Abian berani melakukan hal terlarang, tapi kenyataan itu tidak terbantahkan, kakaknya baru saja keluar dari kamar hotel bersama wanita.
“Dari mana kamu tahu kalau aku tidak pernah menyentuh Amara?”
“Semua orang rumah tahu dan kini orang tua Amara meninggal karena tahu kamu telah zalim pada Amara.”
“Apa maksudmu?”
“Orang tua Amara kecelakaan setelah mendengar kalau kamu tidak pernah menyentuh Amara.”
Amara duduk bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, air matanya terus saja menetes hingga jilbab yang dia kenakan basah. Para pelayat sudah kembali ke rumah masing-masing. Wanita malang itu begitu hancur, dia seperti tidak bisa melanjutkan hidupnya. Seandainya … jika boleh dia meminta waktu berputar kembali, dia akan ikut ketika ayahnya memintanya pulang, tapi dia bersikeras tetap bertahan dengan suami yang sebenarnya dia sendiri tidak yakin suaminya akan mau menerimanya.Kenapa dia bisa secinta itu pada Abian? Dia benci perasaan ini, dia benci menjadi lemah.Abian masih di sana menatap istrinya, istri yang tak dia anggap dengan perasaan yang, entah.Hampir dua jam Amara menangis di pusara kedua orang tuanya, akhirnya Abian mendekati Amara dan mengajaknya pulang.“Relakan mereka agar mereka tenang di sana.” Ucapan paling lembut yang selama lima tahun didengar Amara itu membuat Amara menoleh. Wajah tampan yang selalu dia rindui, wajah yang selalu dia khayalkan bersikap lembut pad
“Mas, aku tidak bisa hidup dalam bayang-bayang wanita lain, lebih baik kita berpisah agar tidak ada yang tersakiti.”“Apa maksudmu? Bukankah kamu mencintaiku?” Abian jelas tidak terima kalau Amara menolaknya, seharusnya bukan Amara yang menolak, tapi dirinya.Amara tersenyum sinis. “Cinta? Aku tidak pernah mencintaimu, Mas.”Ketiga orang itu menatap Amara tidak percaya, selama ini apa yang ditunjukkan Amara? Setiap hari Amara menunggu kedatangan Abian dan selalu patuh padanya . Mana mungkin Amara tidak cinta.“Apa maksudmu?” Jelas ini melukai harga diri Abiyan. Dia memang ingin berpisah dengan Amara, tapi tidak begini.“Aku tidak pernah mencintaimu, aku melakukan ini karena aku tidak mau menyakiti hati orang tuaku.” Kali ini Amara terisak. Memang cintanya telah mati, tapi selama lima tahun dia selalu memendam cintanya untuk Abian.“Oke, kalau begitu maumu” Abian menatap Amara lekat. “Amara Salsabila aku talak kamu, mulai sekarang kamu bukan istriku lagi.”Tubuh kedua orang tua itu lan
“Apa yang kalian lakukan?”“Satria menfitahku, Pa.” Abian masih mengepalkan tangannya, apalagi melihat adiknya tersenyum sinis padanya.Atmaja menatap Satria. Apa yang terjadi pada kedua putranya itu, memang mereka berdua jarang akur, tapi tidak pernah sampai berkelahi seperti ini.“Ini kenyataan, Pa. Anak kesayangan Papa ini menyewa kamar hotel bersama wanita.”“Astagfirullah.”Plak!Maria langsung menampar putra sulungnya mendengar ucapan Satria, dia sudah terpukul dengan masalah pernikahan Abian masih ditambah kenyataan tentang kelakuan buruk Abian,“Ini tidak benar, Ma, dia menfitnahku.”“Lali-laki dan perempuan dalam kamar hotel apa yang mereka lakukan?” Satria masih mengatakan apa yang dia lihat, dia sangat jijik mengingat kelakuan kakaknya. Kakak yang selama ini dia lihat sebagai lelaki baik-baik, tapi ternyata berani berzina.“Kami tidak melakukan apa-apa, kami hanya ….”“Sudah diam, sekarang juga bawa wanita itu ke sini, Papa tidak mau kalian melakukan hal kotor lagi.”“Tapi,
Kedua wanita itu menoleh ke arah Satria yang berkata begitu pedas pada Amara. Satria sudah membawa koper akan keluar dari rumah.“Satria, apa yang kamu katakan!” bentak Maria, dia sudah berkata baik-baik pada Satria untuk menjaga perasaan Amara.“Benar ‘kan, Ma, kalau Amara sudah menikah, kita tidak akan terbebani lagi, Ma.”“Satria jangan banyak bicara, cepat kamu pergi.” Maria mendorong tubuh anaknya untuk segera pergi, semakin anaknya itu bicara akan semakin menyakiti hati Amara.Amara menghela napasnya, apa mungkin dia telah membuat beban keluarga Atmaja, dan entah apa salahnya pada Satria, lelaki itu selalu berkata ketus padanya. Bahkan sejak lima tahun menjadi adik iparnya hanya sesekali bertanya pada Amara itupun terlalu ketus.“Sudah, jangan dengarkan Satria, dia memang seperti itu kalau bicara. Anak laki-laki ngomongnya pedes, heran Mama.” Maria menggerutu melihat ulah putranya.“Ma, Satria benar, aku hanya menjadi beban di sini, aku tidak apa-apa tinggal di rumah ayah, lagi
Malam itu malam pertama mereka, Abian sudah menahan mendekati Amara selama lima tahun, jelas dia ingin sekali merasakannya, semua laki-laki pasti begitu menginginkan itu setelah menikah.“Sayang, apa kamu sudah siap?” tanya Felicia manja dengan mulai nakal mengoda Abiyan.Sudah pasti Abiyan sangat siap lahir batin, dia sudah menunggu masa itu, apalagi selama lima tahun harus menahannya. Ah, sungguh bodoh dirinya.“Fel, kenapa perutmu agak besar gini?” Abian bertanya pada istrinya itu, dia pernah tanpa sengaja melihat Amara membuka bajunya dan perut Amara itu rata dan indah sampai tiga hari dia tidak bisa melupakan bentuk tubuh indah Amara, tapi kenapa tubuh Felicia beda dengan perut sedikit membesar.Felicia tampak gugup lalu dia memeluk Abian, mungkin dia malu. “Aku banyak makan tadi,” jawabnya lalu dia tidak membiarkan suaminya memperhatikan tubuhnya lagi, dia memberikan apa yang suaminya inginkan dan ingin memberikan pengalaman pertama suaminya hingga suaminya tidak pernah bisa ber
Sebuah mobil berhenti tepat di samping Amara berdiri, kaca mobil dibuka lalu seorang wanita memanggil Amara.“Amara, kamu mau ke mana?” tanya wanita itu.“Dara, aku mau pulang ke rumah ayahku.”“Aku antar.”Amara mendekat, sejak tadi dia menunggu taksi online masih belum ada respon. Dia lalu masuk ke mobil Dara dan segera membatalkan pesanan taksi.“Memangnya kenapa pulang? Apa Abi sudah bawa istrinya ke rumah?” tanya Dara.“Iya.” Amara memasang seat belt setelah duduk sempurnya di kursi depan. “Sebaiknya gitu, sih, kalau kamu tetap di sana, kamu akan sakit hati melihat mereka.” Wanita itu mulai menarik tuas mengatur persneling kemudian dalam gerakan pelan dan tenang, mobil meluncur bebas hambatan di jalan.“Iya, Ra, seharusnya aku pulang setelah dicerai Mas Abi.”Di sinilah, di tempat di mana Amara di besarkan dengan kasih sayang, seandainya waktu bisa berputar dia tidak akan menghabiskan waktunya sia-sia menikah dengan Abiyan, tapi semua yang terjadi adalah takdir.“Kamu sendirian?
“Ma, selamat, ya.” “Seharusnya kamu yang bersama Abi,” kata Maria sedih. Setiap kali mengingat pernikahan Abian dan Amara, dia semakin merasa bersalah. Maria memang senang punya cucu, tapi hatinya tidak bisa dibohongi bahwa sebenarnya yang dia inginkan adalah Amara yang menjadi ibu dari cucunya.Sangat jelas perbedaan keduanya, Amara begitu lembut dan juga sangat sopan, tidak pernah sekalipun Amara membantahnya, tapi Falicia tidak begitu bahkan para asisten rumah tangga di sana mengeluhkan ulah Felicia. Bisa dibilang mereka bagai bumi dan langit.“Tidak, Ma, Mas Abi itu memang jodohnya sama Felicia, ini yang Mas Abi inginkan.”“Kamu tidak apa-apa ‘kan?” Maria sebenarnya sangat khawatir dengan keadaan Amara.“Tante tenang saja, Amara sangat amat baik, dia tidak kurang apa pun dan besok Amara akan interview kerja.”“Masyaallah, selamat, ya, Nak,” ucap Maria tulus.Amara salah tingkah, dasar Dara malah bicara berlebihan.“Dara, jangan berlebihan gini,” bisik Amara.“Biar saja, mereka ha
Amara sudah bersiap sejak pagi, ini adalah hari pertamanya bekerja, sejak lulus kuliah dia belum pernah bekerja karena langsung menikah. Amara mematut dirinya dicermin, seragam itu terlalu sempit, selama ini Amara selalu memakai pakaian sedikit longgar, lebih seringnya pakai gamis karena dia sendiri sangat jarang keluar rumah dan pakaiannya hanya beberapa biji saja, dia memang tidak terlalu suka belanja pakaian.Amara membongkar pakaian lamanya untuk mencari rok sebagai pasangan baju seragamnya. Setelah membongkar pakaian lamanya akhirnya dia menemukan rok plisket warna hitam. Seingatnya belum pernah dipakai.Waktu itu Amara diajak keluar oleh Abian sebelum menikah, mama Abian yang merencanakan semuanya.“Aku tidak tahu akan mengajakmu ke mana. Berbelanjalah sesukamu aku tunggu di sini.” Abian mengajak Amara di sebuah pusat perbelanjaan, dia mengira kalau Amara sama dengan gadis lain yang suka berbelanja pakaian.Saat itu Amara bingung, dia tidak pernah berbelanja sendiri, bisanya dia