Share

Tidak Menghalangi Kebahagiaan Abian

 

 

Amara duduk bersimpuh di depan makam kedua orang tuanya, air matanya terus saja menetes hingga jilbab yang dia kenakan basah. Para pelayat sudah kembali ke rumah masing-masing. Wanita malang itu begitu hancur, dia seperti tidak bisa melanjutkan hidupnya. Seandainya … jika boleh dia meminta waktu berputar kembali, dia akan ikut ketika ayahnya memintanya pulang, tapi dia bersikeras tetap bertahan dengan suami yang sebenarnya dia sendiri tidak yakin suaminya akan mau menerimanya.

 

Kenapa dia bisa secinta itu pada Abian? Dia benci perasaan ini, dia benci menjadi lemah.

 

Abian masih di sana menatap istrinya, istri yang tak dia anggap dengan perasaan yang, entah.

 

Hampir dua jam Amara menangis di pusara kedua orang tuanya, akhirnya Abian mendekati Amara dan mengajaknya pulang.

 

“Relakan mereka agar mereka tenang di sana.” 

 

Ucapan paling lembut yang selama lima tahun didengar Amara itu membuat Amara menoleh. Wajah tampan yang selalu dia rindui, wajah yang selalu dia khayalkan bersikap lembut padanya. Apakah sekarang Amara senang? Tidak, rasa itu tiba-tiba hilang, tidak ada lagi rasa dalam hatinya setelah kepergian orang tuanya.

 

Amara mengusap air matanya lalu dia berjalan tanpa mau menerima uluran tangan suaminya. Mati rasa. Itu yang dia rasakan saat ini pada Lelaki bernama Abian Putra Atmaja. Lelaki yang sebulan lagi genap lima tahun menjadi suaminya, lelaki yang sudah menorehkan luka teramat dalam. Kesabarannya tiba-tiba saja menguap bersama jasad orang tuanya yang telah terkubur di sana.

 

“Ra, maaf,” kata Abian. Lelaki itu masih bertahan menemani Amara, dipeluknya tubuh Amara untuk pertama kalinya.

 

Mungkin jika Abian melakukan itu sebelum ayah dan ibunya meninggal, Amara adalah wanita paling bahagia di dunia ini, tapi pelukan yang selalu dia dambakan kini hambar, dia tidak merasakan apa pun dari pelukan itu. Amara hanya diam menyesali apa yang telah dia putuskan. Keputusan yang mengakibatkan orang tuanya meninggal.

 

Dan akhirnya malam ini untuk pertama kalinya Abian menemani Amara dalam satu ranjang. Dia selalu menawarkan bantuan, tapi Amara menolak.

 

“Ra, makan ya?”

 

Amara menggeleng, dia menelungkupkan kepalanya di bantal.

 

“Ra, kamu harus makan nanti kamu sakit.”

 

“Apa pedulimu, Mas. Bukankah kamu senang jika aku sakit lalu meninggal dan kamu tidak perlu lagi mencari alasan untuk menceraikanku.” Amara berkata sinis, ini adalah ucapan yang sebenarnya selalu ada dibenaknya.

 

“Ra, kamu jangan begini, aku tidak akan meninggalkan kamu dalam keadaan seperti ini.”

 

Amara menarik ujung bibirnya mendengar ucapan itu, itu pasti pernyataan omong kosong yang hanya menunjukkan simpatik saja, lelaki itu pasti tidak tulus.

 

*** 

 

“Ma, aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.”

 

“Apa maksudmu?”

 

“Benar kata ayah, buat apa aku bertahan dengan lelaki yang tidak mencintaiku.” Amara menunduk, air matanya menetes kembali. Sakit, bukan karena dia sudah tidak sanggup bersabar lagi, tapi cintanya sudah hilang. 

 

Kemarin dia masih sangat berharap dan akan menunggu hingga Abiyan mau menerimanya, tapi tidak untuk sekarang, cintanya untuk Abian telah hilang bersamaan dengan penyesalan. Sungguh, hati itu begitu cepat berubah.

 

“Amara, kamu jangan begini, kami akan meminta Abi untuk menerimamu.” Maria begitu malu pada memantunya, dia sudah berpikir buruk pada Amara, tapi ternyata putranya yang bersalah. Seharusnya dia mempertanyakan tentang anak pada Abian, bukan pada Amara.

 

“Tidak perlu, Ma. Mas Abi berhak bahagia, aku tidak akan menghalangi kebahagiaannya, biar aku pergi dari sini.”

 

“Tidak bisa, kamu tidak boleh pergi dari sini apa pun yang terjadi, kamu akan tetap menjadi putri kami. Jangan biarkan kami mengingkari janji pada ayahmu, Nak.” Atmaja yang sedari tadi hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka akhirnya angkat bicara, dia sudah berjanji pada Handoyo akan menjaga Amara di akhir hidup sahabatnya itu. 

 

“Ma, panggil Abi, kita perlu memicarakan masalah ini.”

 

Maria bergegas ke lantai atas memanggil putra sulungnya. Samar-samar dia mendengar Abian melakukan panggilan telepon. Panggilan ‘Sayang’ yang Abian ucapkan pada seseorang dari panggilan telepon membuat Maria marah. Maria langsung menarik telepon selular Abian dan melemparnya ke lantai hingga retak. Seperti itulah hatinya saat ini. 

 

“Apa yang kamu lakukan!” Wajah Maria merah dan dadanya bergemuruh, panas. Anaknya itu telah berlaku zalim pada memantunya, dia merasa telah gagal mendidik Abian.

 

“Ma, kenapa melempar hape-ku?” Abian sangat kesal dengan mamanya yang tiba-tiba datang mengabil telepon selularnya.

 

“Itu tidak cukup, seharusnya apa yang mama lakukan lebih dari ini.” Maria lalu menginjak telepon selular itu, dia menumpahkan kekesalannya pada benda tak berdosa itu.

 

“Ma.”

 

“Cepat turun temui papamu.” 

 

Maria memegang dadanya yang terasa nyeri, bagaimana mungkin disaat Amara hancur, Abian malah menelepon wanita lain. Sungguh anak itu tidak punya perasaan. 

 

Setelah Abian keluar dari kamarnya, Maria memeriksa kamar itu. Dia menuju ruang kerja Abian yang menyatu dengan kamar itu, dadanya semakin sesak melihat kenyataan yang ada. Di ruang yang seharusnya dijadikan tempat bekerja terdapat ranjang kecil. Ah, kenapa dia tidak menyadari sejak lama, bahkan Maria tidak pernah memeriksa kamar anaknya. Sungguh, jika waktu bisa diulang, dia akan menutup ruang kerja itu agar Abian satu ruangan dengan Amara.

 

“Ya, Allah, kenapa bisa begini. Abian, kamu telah zalim sama istrimu.”

 

Maria mengusap air matanya, bagaimana Amara bisa menjalani pernikahan itu. Amara tidak pernah kemana-mana, tapi dia bisa menutupi kesedihannya. Selama ini Amara tidak pernah keluar dari rumah, saat ke rumah orang tuanya selalu Maria yang mengantar, sedang Abian juga tidak pernah mengajak Amara. Kenapa dia sampai tidak menyadarinya.

 

Tatapan Amara kosong, tak ada lagi tangis tak ada lagi harap. Dia sudah memutuskan untuk berpisah. Tempatnya bukan disini, bukan di rumah ini dan bukan juga di hati suaminya. 

 

“Apa kalian masih mau meneruskan pernikahan ini?” Atmaja menatap keduanya lalu menghela napas panjang.

 

“Pa, jangan begini, Abi harus memperbaiki pernikahan mereka, Abi harus memberikan hak pada Amara,” sahut Maria sembari berjalan menuruni anak tangga.

 

“Amara berhak bahagia, kita tidak bisa mencegahnya, biarkan mereka mengambil keputusan.” Tegas, Atmaja ingin keputusan mereka tidak memberatkan salah satunya, dia tidak ingin memaksakan pernikahan yang tidak sehat itu.

 

Kedua orang tua itu akhirnya diam menunggu keputusan mereka berdua.

 

“Aku tidak ingin bertahan, Mas Abi berhak bahagia bersama wanita yang dicintai,” kata Amara dengan masih menatap kosong.

 

Abian salah tingkah, dia duduk dengan gelisah. 

 

“Nak, tapi kami sudah berjanji pada orang tuamu,” kata Atmaja.

 

“Aku tidak mau menghalagi kebahagiaan mas Abi, Pa.”

 

“Ya Allah, Amara, kenapa kamu seperti ini, tolong beri kesempatan pada Abi.” Wanita paruh baya itu berkata penuh harap.

 

“Ma, biarkan Amara menganbil keputusan. Dan kamu Abi, apa yang kamu inginkan dari pernikahan ini, kamu ingin bertahan atau berpisah?” Kini Atmaja beralih pada Abiyan yang sedari tadi hanya diam saja.

 

“Aku akan mencoba,” jawab Abiyan.

 

Amara menoleh lalu menatap lelaki di sampingnya dan tersenyum.

 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei anjing koq harus menumbalkan nyawa ortu mu baru kau sadar, anjing!!! 5 th g disentuh suami dan yetap bertahan dg alasan cinta. kau sdh tidak waras dan sakit jiwa, anjing!!! makan tu cinta mu itu, anjing!!!
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
nanti kamu akan menyesal sampai mati Abi karena kamu sudah membuang BERLIAN demi batu kubur perempuan yang sudah nggak perawan itu DAJJAL
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status