Share

2. KESAL

Seorang pria berumur tiga puluhan baru saja keluar dari gedung FIB. Dengan berbalut kemeja berwarna biru dongker yang nampak sangat berkelas–laki-laki itu melangkah dengan tergesa-gesa. Dia menuruni jalan dan segera menuju parkiran mobil, yang tidak jauh dari sana.

“Sial! Aldi juga gak angkat telepon sama sekali,” gerutunya.

Karena panggilannya tak kunjung diangkat dan dia juga terlihat seperti sedang terburu-buru, maka ia putuskan untuk menyimpan ponselnya ke dalam saku celana.

Kemudian dia pun membuka pintu mobil yang kini sudah ada di hadapannya. Namun, saat pria itu hendak meraih handle pintu mobilnya. Dia tiba-tiba dikejutkan oleh sesuatu.

Prang!

Pria itu pun mengerejap dan membuka matanya lebar. Sebuah botol kaca bekas minuman vitamin C, berhasil membuat kaca depan mobilnya retak. Mobil yang nampak sporty dan terlihat mahal itu, harus cacat karena ulah seseorang!

“Hey! Siapa yang melemparkan botol kaca ke sini?!” teriaknya.

Beberapa pasang mata kini tertuju ke arahnya. Namun, dia tidak peduli dengan hal itu. Yang dia ingin tahu adalah sosok orang kurang ajar, yang melempar botol kaca sampai mengenai mobilnya.

“Cepet turun! Kalau cowok, sini adu jotos sekalian!” teriaknya lagi.

Dan, tak menunggu sampai lima menit, tiba-tiba pria itu melihat seorang gadis berlari menghampirinya. Terlihat wajah bingung dan bersalah pada gadis itu.

“A-anu, Pak … ma-maaf,” ucap gadis itu dengan pandangan yang ia arahkan ke bawah.

“Ck! Kamu yang lempar botol ini, hah?” tanyanya, tentu saja dengan nada membentak. Pria itu mengacungkan barang bukti yang merusak mobilnya. Kemudian perempuan itu hanya mengangguk. "Siapa namamu?”

“I-irene, Pak,” jawabnya lagi, dengan masih menundukkan kepalanya.

“Angkat kepalamu! Kalau sedang bicara, tatap lawan bicaramu!”

Dengan perasaan yang campur aduk, Irene pun perlahan menaikan kepalanya.

Kemudian, dia melihat seorang laki-laki berdiri di hadapannya dengan wajah yang merah padam. Irene pun mencoba untuk mencuri pandang ke belakang lelaki itu. Dia mencoba melihat hasil dari perbuatannya itu. Seketika dia memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya.

“Kamu sengaja lempar ini ke mobil saya, hah?” sentaknya lagi dengan tatapan menyalang.

“Ah, ngg-nggak, Pak. Serius! Saya bener-bener nggak sengaja. Niatnya, saya lempar ke tempat sampah, tapi malah … offside,” paparnya. Suaranya pun melemah saat mengucapkan kata yang Irene ucapkan di bagian terakhir.

“Kamu mahasiswa atau anak kecil, sih? Sampah kok dilempar? Buang yang bener! Apa waktu kamu kecil nggak diajari sama ibumu, hah?”

Mendapati dirinya dimarahi seperti itu, Irene hanya diam. Dia kembali menundukkan kepalanya. Namun, saat dia hendak menurunkan pandangannya, dia melihat papan nama yang tersemat pada kemeja laki-laki itu–Juna Atmadjadarma.

“Huh! Mana KTPmu. Saya minta!” perintah Juna. Dia menjulurkan tangannya.

“Hah?” Irene mengangkat kepalanya. “KTP saya? Buat apa, Pak?” tanyanya.

“KTP kamu saya sita, sampai kamu bisa ganti rugi terhadap mobil saya ini!” tegas Juna.

Bukannya Juna tidak bisa membeli kaca mobil baru, tetapi dia ingin memberikan pelajaran pada gadis tersebut. Baginya, gadis yang bernama Irene ini minus satu akhlaknya.

“Eh, jangan, Pak. Saya bisa bayar, kok.” Dengan percaya dirinya, Irene berkata demikian.

“Serius? Kamu bisa kasih saya lima belas juta sekarang?”

Mata Irene sontak membelalak. “Li-lima belas juta?”

Nyali Irene mendadak menciut. Uang tabungannya saja hanya tersisa lima juta. Itu pun belum termasuk potongan untuk bayar uang kosan bulan ini. Ah, sial!

Irene kira harganya hanya beberapa ratus ribu saja. Namun, saat dia mencoba memastikan merk dan jenis mobil yang baru saja dirusaknya. Sepertinya angka lima belas juta itu memang wajar. Walau Irene tak tahu tentang otomotif, tapi dengan penglihatan orang awam dia bisa tahu, kalau mobil yang baru saja menjadi korbannya itu mobil mahal.

“Iya, lima belas juta. Ada?” Juna mempertegas kembali pertanyaannya.

Tak bisa menjawab, Irene malah menoleh ke arah belakang–meminta bantuan dari dua temannya. Namun, Irene melihat Gita dan Zee yang menggelengkan kepalanya.

“Bisa dicicil nggak, Pak?” tanya Irene pada akhirnya.

“Terus saya harus pakai mobil dengan kaca depan yang retak begini, sampai cicilan kamu lunas? Sudah mana sini KTP-nya. Kalau kamu kasih KTP-mu, saya izinkan kamu mencicil.” Juna pun memberikan penawaran pada Irene.

Jujur, Irene sedikit takut.

Pertama, dia tidak mengenal siapa pria yang sedang memarahinya ini. Irene tahu kalau pria itu adalah seorang dosen—terlihat dari papan nama yang dikenakannya. Namun, dia tidak yakin tentang jurusan di mana pria itu mengajar.

Kedua, dia juga khawatir kalau identitas miliknya ini disalahgunakan. Zaman sekarang KTP itu sangat penting dan tidak boleh diberikan pada sembarang orang!

Tak kunjung mendapatkan jawaban dari Irene, Juna pun menghela napas dan berkacak pinggang.

“Oke, kalau kamu nggak mau. Berarti, saya akan laporkan perbuatan kamu ini ke pihak berwajib. Kamu bisa dipidana karena merusak properti orang lain.”

Mendapat ancaman demikian membuat Irene menatap wajah Juna. “Ja-jangan, Pak. Sa-saya bilang, kan, nggak sengaja. Tolong dong, Pak, minta kebijaksanaannya,” mohon Irene dengan mata membulat.

“Saya, kan, sudah kasih kamu pilihan. Sita KTP, dan saya akan kembalikan kalau hutangmu sudah lunas.”

Irene lagi-lagi terdiam.

Pilihan yang tidak bagus sama sekali. Namun, jika mengharuskan dirinya memilih maka tentu saja dia akan memilih pilihan pertama. Dengan tidak ikhlas, Irene mengeluarkan identitas miliknya dari dompet.

“I-ini, Pak.” Kartu berwarna biru langit itu pun ia berikan pada pria yang tidak ia kenal.

Ah, Irene hanya berharap semoga pria ini bertanggung jawab–tidak menyalahgunakan identitasnya sembarangan.

Juna pun menerima kartu identitas milik Irene. Kemudian dia membaca nama yang tertera pada identitas yang sah itu.

“Irene Isabella Harismaya,” ucapnya sambil menganggukkan kepalanya. Sedetik kemudian Juna mengeluarkan dompetnya dan menyimpan kartu identitas milik Irene. Setelah itu ia pun mengeluarkan sebuah kartu dari kertas, lalu ia berikan pada Irene.

“Ini nomor kontak saya.”

Irene pun langsung menerima kartu berwarna cokelat itu. Di sana tertera nama lengkap Juna, nomor ponsel dan juga e-mail.

“Saya tunggu telepon dari kamu dalam satu minggu. Alias, kamu harus mengganti kerugian yang saya alami minggu depan. Kalau tidak, KTP-mu saya gadai ke pinjol!” ancamnya lalu segera masuk ke dalam mobilnya.

Mendengar Juna berkata demikian, sontak mata Irene membulat maksimal. “Pak, tunggu!” seru Irene mencegah Juna untuk pergi.

Juna yang sudah ada di dalam mobil, dia membuka setengah kaca mobilnya.

“Pak, jangan seminggu dong. Saya baru bekerja dua hari lagi. Itu pun saya belum punya penghasilan.” Irene sudah nampak gelisah. Bibirnya kini terasa kering. “Gimana kalau bulan de—ah, nggak. Tiga bulan. Bagaimana?” Ia mencoba membuat penawaran.

“Tiga Bulan?” tanya Juna dengan nada meremehkan.

“I-iya. Bukannya tadi Bapak bilang, kalau saya kasih KTP, Bapak kasih saya keringanan untuk mencicil? Nah, saya minta waktu tiga bulan. Ya, Pak, saya mohon. Saya cuman orang kecil, nggak bisa dapat uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Bahkan buat ngepet juga rasanya mustahil.” Lagi-lagi Irene memohon dengan menempelkan kedua telapak tangannya.

Juna hanya mendengus sembari menarik sebelah sudut bibirnya. “It’s your business. Not me,” tandasnya. Lalu dia menutup pintu kaca mobilnya. Dan ia pun parkir dan meninggalkan tempat tersebut.

“Pak!” teriak Irene sembari berlari kecil mengejar mobil SUV berwarna hitam itu.

Namun, langkahnya tak bisa membawa Irene menyusul mobil tersebut. Pasalnya sendi lututnya kini mulai melemas. Matanya pun terasa panas.

“Ah, dari mana aku dapat uang lima belas juta dalam satu minggu?”

BERSAMBUNG…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status