Share

7. KEPUTUSAN

“Kamu serius, kan?” tanya Aldi yang mencoba memastikan dengan keputusan sahabatnya.

Mereka kini bahkan bertemu di sebuah cafe dekat kampus Irene. Pria itu begitu terkejut begitu Irene menghubunginya.

“Iya. Lagi-lagi aku kepepet masalah uang. Uangnya harus ada besok,” jawab Irene.

“Banget?”

Irene mengangguk. “Banget. Makanya aku udah hopeless banget, Di. Tapi itu serius, Jun nggak papa? Maksudnya aku minta bayar di muka.”

“Katanya gapapa. Dia bakal bayar lebih dari yang kamu minta.”

“Ah, nggak usah lebih gitu. Nanti malah aku semakin terbebani.” Irene mendesah.

“Ya … mungkin itu tujuan dia, Ren.”

Aldi terpaksa memberikan tawaran pekerjaan kotor ini pada sahabatnya. Setelah bertemu dengan Stefan—yang sebenarnya adalah Juna—Aldi merasa terlena. Pasalnya, Stefan mau untuk menjadi investor di projek terbarunya. Kebetulan projek ini pun untuk menunjang skripsinya.

Jujur, Aldi hanya manusia biasa yang mampu tergoda oleh uang. Niat awalnya ingin melindungi Irene dan menjauhkan sahabatnya dari maksiat. Malahan yang dia lakukan sekarang itu sangat kontradiksi.

“Sorry, Ren. Harusnya aku nggak nawarin ini sama kamu—”

“Udah nggak usah say sorry. Toh aku pun emang lagi kepepet, Di. Kalau bukan ke kamu, ke siapa lagi? Tapi please rahasiakan ini dari siapa pun, termasuk Gita dan Zee.”

Setelah merenungi nasibnya, Irene benar-benar dibuat frustrasi dengan uang sebanyak 15 juta rupiah. Dan, lagi-lagi orang yang bisa membuat dirinya terlepas dari jerat kemiskinan adalah Aldi. Ah, tidak, bukan sahabatnya, tetapi Juna.

Aldi mengangguk. “Yeah, I know.

Tak ingin berlama-lama, Aldi pun mengeluarkan fasilitas yang akan ia berikan untuk Irene.

“Ini pakai. Di dalemnya udah aku masukin simcard, dan di handphone itu cuman ada nomor aku dan Jun. Dia minta kamu menghubunginya malam ini. Sekalian aja obrolin tentang uang yang kamu maksud.”

Laki-laki itu memberikan ponsel berwarna putih pada Irene. Sang gadis nampak tak asing dengan benda pipih tersebut. Ia langsung mengambil dan menyalakannya.

“Ren, tapi ini aku mau nanya serius,” ucap Aldi dengan nada yang sedikit pelan dari sebelumnya.

“Hmm?” Irene hanya membalas dengan dehaman. Mata dan jarinya masih fokus dengan si ponsel.

“Kenapa Jun ngebet banget sama kamu, sih? Sampe berani bayar mahal. Apa kamu menyimpan rahasia tentangnya? Atau gimana? Jujurly, aku tuh masih nggak habis pikir aja. Sampe sahabatnya dateng nemui aku, cuman buat nge-loby kamu.”

Irene melirik pada Aldi, lalu ia menggeleng. “Aku juga sama, nggak habis pikir. Kalau dipikir-pikir, buat apa coba ngeluarin duit gede hanya untuk ….” Irene menengok ke kanan dan ke kiri. Kemudian dia mencondongkan tubuhnya, mendekat kepada Aldi. “… phone sex,” imbuhnya.

“Kenapa dia nggak sewa aja langsung gitu. Coba, deh, dari sudut pandang cowok. Kamu lebih milih mana? Live action atau sekedar komunikasi di telepon?” tanya Irene.

“Ya, live action, lah!” jawab Aldi cepat.

“Nah, kan? Kalau masalah rahasia, aku nggak tahu apa-apa tentang dia.”

“Selama setahun kenal, kamu literally cuman chat dan phone sex?”

Jujur, Aldi tidak pernah sekepo ini pada talent-nya. Cuman, yang ini agak janggal saja.

“Mmm … nggak juga, sih. Awal-awal, sih, ngobrol ringan. Pernah sharing tentang cewek, sih. Intinya dia emang deket sama cewek, tapi nggak ada yang dia seriusin.”

“Alasannya?”

“Bilangnya, nggak mau bikin komitmen. Dia males, karena ada beberapa perempuan yang memang mengincar harta dia, atau sekedar mencari validitas karena bisa memiliki hubungan spesial dengan Jun. Nggak ada yang pure mencintai dia, sampai bisa nerima kekurangan dia,” papar Irene.

Aldi hanya bisa mengangguk mendengar penjelasan dari Irene. Dari kacamata lelaki, memang paling malas bertemu dengan perempuan yang hanya melihat laki-laki dari harta atau tampang.

“Btw, kamu nggak pernah penasaran seganteng dan setajir apa si Jun ini?” tanya Aldi lagi.

“Pernah, sih … tapi, aku lebih baik denial aja. Aku juga nggak mau peduli dengan kehidupan real life dia. Pun sebaliknya. Ya, kita pure cuman curhat dan ingin didenger doang. Walau ujung-ujungnya main kotor juga. Toh, kita pun sama-sama menyembunyikan identitas sebenarnya. Dia tahunya aku Bella, bukan Irene. ”

“Ya sudah kalau gitu. Main aman aja, ya. Seperti biasa, jangan mau buat diajak VC atau ketemuan. Bagaimana pun tawaran duitnya, jangan mau. Dan, kalau dia macem-macem, langsung kontak aku. Kamu emang bukan talent aku secara resmi. Tapi, kamu masih jadi tanggung jawabku,” tegas Aldi, dia tidak mungkin lepas tangan begitu saja.

Ibu jari kanan milik Irene pun teracung. “Siap, Bos Aldi!”

“Nah.” Aldi menepuk kedua tangannya. “Kalau gitu, aku akhiri sampai di sini. Udah siang dan aku harus ketemu sama Pak Davin, untuk bahas skripsi aku,” tandas Aldi, lalu dia bangkit dari kursi.

“Thanks, ya, Di.”

My pleasure,” tandasnya. Lalu Aldi pergi meninggalkan Irene sendiran.

Gadis itu tak langsung beranjak. Dia melihat pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih ada dua puluh menit untuknya bersantai. Dia pun menghabiskan makanan yang tadi dipesannya, sambil sesekali mengecek akun sosial media miliknya.

Sampai setelah kurang lebih sepuluh menit Irene duduk sendirian di café tersebut. Ponsel yang sedang dipeganginya itu pun berdering.

“Halo, Bu Mia. Ada apa?” tanya Irene bingung.

BERSAMBUNG …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status