Share

Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten
Layanan Telepon Panas untuk Dosen Impoten
Author: mayuunice

1. BERHENTI

“Bella, thank you,” ucap seorang laki-laki dengan napas tersengal-sengal di ujung panggilan sana, “aku selalu puas dengan service yang kamu berikan.”

Irene Isabella mengangguk mendengar ucapan client-nya itu. Sudah satu tahun Irene menjadi talent dari penyedia jasa kencan online di ApproMatch–sebuah aplikasi kencan milik Aldi, temannya.

Menggunakan nama samaran “Bella”, Irene menemani para lelaki yang sedang kesepian, baik itu dalam bentuk berkirim pesan singkat secara onlen atau bahkan dalam panggilan telepon. Namun, tak jarang para lelaki itu meminta pelayanan yang agak ekstrem. Misalkan, berkirim pesan atau telponan dengan topik yang 'dewasa' dan 'panas'.

Seperti yang baru saja dilakukan Irene dengan Jun tadi. Pria yang sebenarnya bernama Juna itu, merupakan client tetap Bella dan salah satu yang ter-loyal. Setiap melakukan phone sex dengan Juna, pasti pria itu akan memberi tip yang banyak dan menambah uang untuk membiayai kehidupan perkuliahan Irene. Mereka berdua sama-sama menggunakan nama samaran, agar identitasnya tidak terbongkar. Irene dengan Bella, dan Juna dengan Jun.

Sayangnya, Irene harus berhenti dari pekerjaan ini. Dia sebentar lagi lulus dan telah diajak bergabung oleh Ketua Departemen Jurusannya untuk mengabdi kembali di kampusnya. Selain itu, Gita–sahabat baik Irene–juga sudah mengancam akan menjauhi Irene jika masih bekerja sebagai Bella. Apalagi sekarang ada seorang pria yang sedang dekat dengan Irene.

Faktor-faktor tersebut membuat Irene terus saja berpikir keras. Dia tak mau identitasnya–sebagai Bella–terbongkar nanti dan mempermalukan dirinya.

“Bella?”

“Hmm,” dehem Irene terkejut, “You’re welcome, Jun–”

“--Kalau gitu, aku matiin sambungan telepon kita, ya,” potong Juna mendadak membuat Irene panik.

“Wait, Jun!” Irene mencoba menahan Juna dengan cepat.

“Ya?” Dari suaranya, Juna terdengar bingung dan menunggu kelanjutan ucapan Irene.

Namun, Irene  tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya embusan nafasnya saja yang bisa terdengar di ujung telepon. Entah kenapa, dia mendadak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

“Bella?” panggil Juna, memastikan kalau perempuan itu masih dalam panggilan.

“Mmm … anu …” Irene masih merasa bingung harus memulai dari mana. Padahal, kemarin dia sudah latihan dan menyusun kata-kata untuk membicarakan hal ini pada Juna.

“Maaf, aku nggak bisa menepati janjiku, Jun. Aku nggak bisa kasih service sama kamu lagi. Kontrakku habis.”

Akhirnya kalimat itu pun keluar dari mulut Irene.

“Memangnya, kalau kontrakmu habis kenapa?”

Irene mengigit bibir bawahnya, sebelum berkata dengan tegas, “Aku sudah tidak bekerja untuk Aldi lagi.”

“Kalau begitu, kamu hanya harus bekerja untukku!” tegas Juna.

Irene memejamkan matanya dan menghela nafas. Dia sudah sangat menduga kalau Juna akan berkata demikian.

“Nggak bisa, Jun. Ke depannya, aku nggak akan punya waktu untuk hal seperti ini. Sekali lagi, maaf aku tidak bisa menepati janjiku. Jika kamu merasa rugi karena sudah membayarku dengan nominal yang besar, aku siap mengganti sepuluh persennya. Kamu tinggal hubungi saja Aldi, ya. Maaf, aku harus pamit.”

“Aku ti—”

Tut!

Tak ingin mendengar kalimat sanggah dari Juna, Irene pun segera menutup panggilannya. Dengan tergesa-gesa dia segera mematikan ponsel berwarna putih itu. Khawatir jika nanti Juna menghubunginya.

“Huft … oke, tenang, Ren. Sekarang tinggal balikin handphone ini ke Aldi dan selesai! Sisanya nanti tinggal Aldi yang urus,” gumamnya.

Gadis itu pun bergegas merapikan perlengkapannya. Dia segera menuju kampus, karena harus mengambil toga. Pasalnya, dua hari lagi dia akan melaksanakan prosesi kelulusannya.

Tak hanya itu, Irene juga harus ke bagian akademik, mengingat ada data yang harus dia lengkapi sebelum bekerja di sana.

***

Setelah selesai dengan segala urusannya, Irene bergegas untuk turun ke lobi fakultas. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya. Akhirnya, semua berjalan dengan lancar, Irene bisa lulus dan langsung mendapatkan pekerjaan.

Di ujung  sana, terlihat sahabatnya—Gita dan Zee—yang melambaikan tangan pada Irene. Mereka memang memiliki janji untuk bertemu dan menyantap mie ayam terenak yang ada di samping fakultasnya.

“Asik! Lulus juga kalian berdua, ya,” ucap Zee heboh begitu Irene tiba.

“Makanya kamu jangan kebanyakan manggung terus. Jadi, kita tinggalin, kan?” timpal Gita.

Irene hanya tersenyum. Mereka pun segera menuju samping fakultas dan memesan mie ayam yang sudah menjadi langganan mereka sejak berkuliah di sini.

Ketiganya sudah berteman dari awal perkuliahan. Namun, sejak semester tiga,  Zee memang fokus dengan pekerjaan sampingannya–back dancer untuk salah satu penyanyi terkenal ibu kota. Hal itu membuat Zee harus sering bolos, hingga alhasil ada beberapa mata kuliah yang harus mengulang.

“Iya. Ini aku udah cuti, nggak akan ikut tour tahun ini. Jadi, aku bisa sidang semester depan.”

Gita mengangguk sambil mengunyah makanan di mulutnya. “Good! Zee aja udah dengerin kata aku. Kamu gimana, Ren?” sindirnya sembari melirik pada sahabatnya yang hendak menyuap.

Mendengar pertanyaan Gita yang dilontarkan padanya. Sontak Irene membeku beberapa detik. Mie ayam yang hendak ia masukkan ke dalam mulut, diurungkan olehnya.

Irene menghela napas. “Aku juga udah. Udah aku selesaikan dengan Aldi dan Juna,” jawabnya.

Gita pun tersenyum. “Nah, ini baru bestie-ku!”

Zee dan Irene pun ikut tersenyum, lalu mereka menghabiskan satu porsi mie ayam yang tadi mereka pesan.

****

“Ah, bakal kangen sama Mie ayam di Kampus. Kamu sih enak bakal makan ini tiap hari,” keluh Gita.

Kini mereka sedang berjalan keluar dari lingkungan fakultas FIB setelah puas menghabiskan mie ayam mereka.

Mendengar itu, Irene menggelengkan kepalanya. “Ya nggak akan tiap hari juga. Gumoh kali.”

Sambil meneguk minuman rasa lemon yang belum dihabiskan, Irene kembeali bertanya, “Berarti minggu depan kamu udah balik ke Yogya?”

Gita seketika mengangguk. “Di sini juga mau ngapain? Yowis, aku balik Yogya dulu, siapa tahu dapat kerjaan di sana. Atau mungkin nanti di kota lain.”

“Ah, bakal kangen Gita,” ucap Zee kemudian memeluk sahabatnya itu.

“Kapan-kapan nanti kalian main ke Yogya lagi. Pintu rumahku akan terbuka lebar untuk kalian.”

Suasana yang penuh canda tawa tadi tiba-tiba menjadi haru biru. Mereka tidak bisa mengelak akan fakta, bahwa mereka akan berpisah dalam beberapa hari ke depan.

Melihat kedua temannya itu sedang melow, Irene pun menghentikan langkahnya. “Guys! Mau lihat shooting dari sang juara permainan basket di GameMister, nggak?”

Baik Gita dan Zee sama-sama mengerutkan keningnya. Mereka melihat pada tangan kanan Irene yang sedang memegang botol kaca, bekas minuman lemonnya.

“Ren, jangan ngadi-ngadi, de—”

“Shoot!” Irene pun langsung melemparkan botol yang tadi dipegangnya ke arah tong sampah yang mungkin berjarak lima meter.

Namun, bukannya botol itu masuk ke dalam tong sampah berwarna hijau. Benda yang terbuat dari kaca itu malah melayang melewati batasnya. Dan sedetik kemudian terdengar suara yang akan membuat Irene menyesal.

Prang!

“Hey! Siapa  yang melemparkan botol kaca ke sini?!”

BERSAMBUNG ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status