Share

5. KESEPAKATAN

“Mas Aldi?” tanya Juna berhati-hati.

Laki-laki itu pun langsung mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Juna. “Iya. Dengan Mas Stefan?” tanya Aldi dengan senyum.

Juna pun mengangguk. Benar, malam ini dia sedang berpura-pura menjadi Stefan demi bertemu dengan Aldi.

“Oh, silakan duduk, Mas,” ucap Aldi yang langsung berdiri dan mempersilakan Juna untuk duduk.

Ada keheningan sejenak karena tak ada yang mau memulai duluan topik pembicaraan. Sampai pada akhirnya, Juna pun membuka mulutnya.

“Sebenarnya saya ke sini ingin menanyakan perihal Bella,” kata Juna to the point.

Mendengar nama Bella disebut, alis Aldi berkerut. “Bella? Bella mana, ya? Bukannya Mas Stefan bertemu saya karena ingin menanyakan perihal agensi saya?” tanya Aldi.

Juna hanya mengangguk kecil. “Bella, mantan talent-mu. Dan, sebenarnya saya itu teman Jun. Saya ke sini, karena ada hal yang harus saya bicarakan dengan kamu, perihal Bella dan Juna.”

“Maaf, Mas, tapi saya sudah tidak ada hubungannya dengan Be—”

“Berapa pun yang kamu butuhkan, Jun akan berikan. Asalkan, dia bisa berhubungan kembali dengan Bella,” sela Juna. Dia tidak bisa berlama-lama, jangan sampai Juna kehilangan momennya.

“Tapi, Mas … Bella sudah tidak bekerja lagi dengan saya,” kekeuh Aldi.

I know. Tapi … bisakah Bella bekerja untuk Jun? Dia akan memenuhi semua permintaan Bella, jika perempuan itu mau.”

Aldi menghela napas. “Memangnya apa spesialnya Bella, Mas Stefan? Sampai Mas Jun enggan untuk melepaskan perempuan itu?”

“Dia spesial untuk sahabat saya. Jujur, sahabat saya itu pria kesepian. Dia juga bukan tipikal orang yang terbuka dengan sembarang orang. Dengan dia berteman dengan Bella, dia merasa tidak terlalu kesepian.”

Dalam hati, Juna ingin menjerit kesal. Dibilang Juna lelaki kesepian juga tidak bisa. Pasalnya, hampir setiap hari dia selalu dikelilingi perempuan-perempuan yang masih mengharapkannya. Hanya saja, mereka semua tidak tahu permasalahan yang sedang dialami Juna.

Aldi terlihat ragu.

Melihat itu, Juna mencoba mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Ini sepuluh juta, untuk kamu. Kalau kamu bisa meyakinkan Bella, saya tambah sepuluh juta lagi.”

Jika dengan perkataan tidak mampu membeli apa yang Juna inginkan, maka saatnya uang berbicara!

Mustahil jika Aldi tidak tergoda dengan gepokan uang berwarna merah itu. Mendadak, hati Aldi bimbang. Haruskah dia menjual sahabatnya pada lelaki ini?

“Gimana? Masih kurang untuk DP?” tantang Juna tersenyum miring. Dia sudah bisa membaca peluang sekarang.

“Hah?” Aldi melihat ke arah Juna. “Mmm … sebelumnya saya mau bertanya. Nanti, Mas Jun tidak akan melakukan hal yang macam-macam pada Bella, kan? Tidak akan mengajak Bella bertemu, seperti komitmennya dulu pada saya? Hanya sekedar chat dan telepon,” ungkapnya.

“Iya. Jun akan tetap memegang komitmen itu. Dia hanya butuh teman dan itu hanya Bella yang dapat menemaninya.”

Sebenarnya, Juna agak sedikit merasa kurang nyaman karena harus berkata demikian. Biasanya, Juna yang jual mahal. Sedangkan sekarang—demi Bella, Juna rela memohon dan menyogok seperti ini.

Terlihat Aldi masih terdiam. Sepertinya, dia sedang mencoba untuk mempertimbangkan tawarannya.

Juna pun bersabar, tidak memaksa lagi seperti tadi. Karena kalau dia terus memaksa yang ada Aldi akan kembali pada pendiriannya yang pertama.

“Jadi, bagaimana Mas Aldi? Apakah negosiasi saya ini bisa dipertimbangkan dengan baik?”

Aldi sontak melirik ke arah Juna dan langsung menatap kedua netra hitam milik lelaki tampan itu.

*****

[Selamat pagi, Irene. Semangat hari pertama kerja, ya.]

Wajah Irene merona tatkala mendapatkan ucapan selamat pagi dan semangat dari orang yang ia sukai. Pasca makan malam kemarin, entah kenapa Reno jadi sedikit lebih perhatian pada Irene.

Tanpa sadar, ia pun tersenyum sendirian dan menggelengkan kepalanya, seperti orang gila.

“Ren, kamu kenapa senyum-senyum gitu?” tanya Erlina–kepala departemen dan juga atasannya– dengan mimik wajah yang aneh.

“Ah?” Buru-buru Irene meletakan ponsel di atas meja, lalu menoleh ke arah sumber suara. “Eh, Bu Erlina, maaf.”

Erlina hanya menggelengkan kepala. “Kamu sudah dikasih tahu Mia, kan, tentang jobdesc kamu?”

“Sudah, Bu. Saya bagian mempersiapkan surat menyurat, menangani jurnal dan sarana prasarana,” jawab Irene sambil mengangguk.

“Bagus. Secara garis besar memang itu, tapi tetap harus saling backup sama Bu Mia, ya. Jangan saling mengandalkan,” ingat Erlina. “Oh, ya. Nanti jam sepuluh akan ada rapat dengan dosen jurusan sejarah. Sekaligus kita mau memperkenalkan kamu dan satu dosen baru.”

“Ah, Ibu. Padahal, saya mah nggak usah diperkenalkan, bukan orang baru, hehe,” timpal Irene sambil nyengir kuda.

“Ya, tidak, kamu tetap orang baru, Ren. Kemarin, status kamu mahasiswi, sekarang status kamu karyawan di sini. Hubungan kita bukan lagi antara dosen dengan mahasiswi, tapi dengan rekan kerja,” papar Erlina yang segera masuk ke dalam ruanganya.

Irene pun tersenyum. Entah kenapa dia merasa sangat gugup sekarang. Status Irene mulai hari ini satu tingkat lebih baik dari kemarin.

Mengingat pekerjaannya, gadis itu kembali ke aktivitasnya. Tadi, sebelum ponselnya mendapatkan notifikasi pesan dari Reno, dia sedang merapikan meja kerjanya.

Jam sepuluh pun tiba–semua dosen dan 2 orang staff akademik pun datang di ruang pertemuan, yang berada di lantai 4 gedung fakultas.

Erlina memimpin rapat yang sedang membahas mengenai kemahasiswaan dan akademik. Karena saat ini sedang dalam masa penjaringan mahasiswa baru, maka ada sedikit pengarahan yang harus disosialisasikan dengan para dosen.

Saat rapat, Irene memperhatikan setiap pemaparan dari dosen yang sekarang sudah menjadi atasannya itu. Sesekali, dia mencatat hal-hal penting walau sebenarnya dia tidak bertugas sebagai notulen.

Dia pun memperhatikan seisi ruang yang berisi orang-orang yang sudah dia kenal sebelumnya. Namun, Irene tiba-tiba menyadari sesuatu. Bukannya tadi Erlina bilang kalau ada dosen baru? Tapi, kok, Irene tidak melihat satu orang pun yang tidak ia kenali.

“Baiklah, sampai sini ada yang masih kurang paham?” tanya Erlina dengan suaranya yang bulat dan tegas.

“Sudah cukup, Bu,” jawab semua orang yang ada di ruangan tersebut.

“Baik, kalau dirasa sudah cukup. Sebelum saya tutup rapat kali ini. Izinkan saya memperkenalkan rekan kerja kita yang baru saja bergabung. Bapak, Ibu pasti sudah tidak asing dengannya. Silakan Irene, berdiri,” perintah Erlina.

“Ah.” Irene pun menganggukkan kepalanya, lalu dia pun berdiri. “Selamat siang, Bapak, Ibu. Perkenalkan saya Irene Isabella Harismaya, selaku staff bidang administrasi dan akademik yang baru,” ucapnya dengan sangat sopan.

Ya, memang selain rajin dan pintar. Irene pun dikenal sebagai mahasiswi yang sopan dan santun. Makanya, saat berembus berita mengenai Irene yang akan menjadi staff di departemen sejarah, tak ada dosen yang meragukannya.

Irene bahkan sudah dipercaya oleh Pak Wawan untuk menangani jurnal mahasiswa yang akan diterbitkan untuk keperluan skripsi mereka.

“Sebenarnya, ada satu lagi yang ingin saya perkenalkan, tapi—”

Tok. Tok. Tok.

Tiba-tiba saja terdengar pintu ruang pertemuan diketuk.

“Silakan masuk,” ucap Erlina.

Tak lama, muncullah sosok laki-laki tinggi dan berparas tampan memasuki ruangan tersebut. Semua mata tertuju padanya. Bak memiliki kekuatan sihir–baik laki-laki maupun perempuan–tidak ada satu pun yang bisa berkedip ketika sosok laki-laki berkemeja hitam itu mulai berdiri di depan ruangan.

Auranya jelas sangat berbeda dari kebanyakan dosen biasanya–terasa dingin dan mendominasi.

Tak hanya itu, Irene yakin semua orang juga dapat mencium parfum dengan perpaduan wangi bunga teratai, bergamot, pir dan kayu-kayuan yang dikenakan pria itu. 

“Maaf, Bapak, Ibu saya terlambat,” ucapnya merasa bersalah.

Irene, ketika melihat sosok laki-laki itu masuk ke dalam ruangan dia sempat terpana. Namun, sedetik kemudian dia disadarkan akan sesuatu hal. Orang tersebut adalah orang yang Irene temui empat hari lalu.

“Ju–juna?” lirih Irene pelan.

BERSAMBUNG ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status