[Sayang, aku sudah di butik tempat kita fitting baju pengantin. Jangan lupa kalau kamu udah janji untuk datang ke sini. Jangan lama-lama, aku merindukanmu setelah satu minggu tak bertemu. Ini nama butiknya.]
Satu pesan yang telah kubaca itu mampu membuat jantungku seperti berhenti berdetak. Apalagi pesan tersebut diakhiri oleh rentetan emoticon bergambar love setelah mencantumkan sebuah nama butik yang terdengar asing di ingatanku.
Pesan tersebut dikirim oleh nama kontak yang diberi nama Mutia di ponsel suamiku. Siapakah Mutia? Apakah dia rekan suamiku lalu salah kirim pesan?
Ya, pesan mesra ini kubaca di ponsel suamiku dan sepertinya baru dikirim beberapa menit yang lalu, sebab Mas Yoga– suamiku– belum sempat membuka pesan tersebut. Aku bisa membaca pesan mesra itu karena terpampang di beranda ponsel suamiku.
Aku terus menerka-nerka, berusaha mengingat siapakah sosok yang memiliki nama Mutia. Namun semakin aku berusaha keras mengingatnya, aku tak kunjung menemukannya juga. Aku hapal betul siapa saja nama kerabat suamiku. Dan sejauh ini, aku sama sekali tak mendengar nama Mutia.
Lantas siapa dia?
Kenapa dia mengirimkan pesan mesra ini pada suamiku?
Berbagai pikiran buruk mulai memenuhi isi kepalaku. Entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang besar dan disembunyikan oleh Mas Yoga dariku.
Aku tersentak kaget saat ponsel yang ada di genggamanku itu tiba-tiba bergetar. Ada panggilan masuk dari pemilik nomor bernama Mutia.
Seketika jantung berdegup lebih kencang. Aku menghela napas panjang, sejenak aku melirik ke arah pintu kamar mandi, memastikan kalau Mas Yoga masih berada di dalam sana.
Karena aku masih mendengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi, yang artinya Mas Yoga belum selesai melakukan ritual mandinya. Dengan cepat aku mengangkat panggilan itu, lalu kudekatkan benda pipih itu ke telinga kananku.
"Halo, Sayang. Cepetan dong ke sini. Aku sangat merindukanmu setelah dua minggu tak bertemu." Terdengar dengan jelas suara perempuan dari seberang sana. Nada suaranya terdengar begitu dibuat manja, yang tentu saja ciptakan gemuruh di dalam sini hingga terasa begitu membuncah.
Aku sengaja diam. Aku tak menjawab ucapan perempuan itu.
"Kamu kok diam saja? Ada istri kamu ya? Ok, deh, kalau begitu. Aku tutup. Pokok kamu segeralah datang ke sini. Aku nggak mau menunggu terlalu lama. Oh, ya ... karena satu minggu lagi ulang tahun kamu, dan kebetulan saat itu aku sudah kembali ke kotaku, maka malam ini aku akan memberikan kejutan untuk kamu, Sayang."
Jantungku semakin dibuat berdegup lebih kencang. Ingin sekali kumaki perempuan itu. Aku yakin, dia tak salah nomor. Sebab, memang satu minggu lagi adalah hari ulang tahun suamiku.
Lantas kenapa ia membuat janji di butik, dan dia pun juga mengatakan jika butik itu ia gunakan untuk fitting baju pengantin.
Apa-apaan ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa sosok perempuan yang menelpon suamiku saat ini?
Oh ya, Tuhan ....
"Aku tutup ya, muach ...."
Seketika panggilan itu dimatikan oleh Mutia. Aku menurunkan ponsel itu dari telingaku, menatap layar ponsel yang baru saja kembali berdering karena ada satu pesan masuk dari nomor yang baru saja menghubungi ponsel suamiku.
[Jangan lama-lama, atau aku akan merajuk!]
Tanpa sadar aku meremas benda pipih itu, meluapkan rasa gemuruh dan sesak di dalam dada.
Tiba-tiba tak terdengar lagi suara gemericik air dari dalam kamar mandi, cepat kumasukkan ponsel itu ke dalam tas kerja suamiku. Setelahnya aku bergegas kembali duduk di tepi ranjang, melanjutkan aktifitasku melipat pakaian yang sempat terhenti.
Sebenarnya aku bukanlah sosok perempuan yang begitu over protektif pada pasangan. Bahkan selama ini aku masih bisa menjaga tanganku agar tak membuka ponsel suamiku.
Ya, selama enam tahun menikah, aku tak pernah membuka barang yang termasuk privasi milik suamiku itu. Aku hanya memberikan kepercayaan penuh pada lelaki yang bergelar suamiku.
Hanya saja, entah kenapa kali ini aku tak bisa menahan rasa penasaranku. Awalnya tak ada niat sama sekali untuk mengambil ponsel itu, hanya saja, ponsel milik Mas Yoga terus berdering. Saat aku abaikan hingga panggilan itu terputus dengan sendirinya, sedetik kemudian ponsel itu kembali berdering. Hal itu terjadi hingga beberapa kali.
Karena itu lah rasa penasaranku menjadi menggebu-gebu. Memang, insting seorang istri tak pernah salah.
Berawal dari chat mesra yang baru saja kubaca, hingga panggilan dari seorang perempuan dengan nada yang begitu manja. Entah kenapa, pikiran buruk melintas di pikiranku.
Aku harus mencari tahu kebenarannya. Aku haru mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, meskipun pada akhirnya akulah yang akan terluka.
"Ren, kamu kok melamun?" Ucapan itu seketika membuat tubuhku tersentak kaget. Aku mengerjapkan mata beberapa kali lalu menghela napas panjang. Aku terlalu terhanyut dalam pikiranku, hingga tak sadar jika saat ini Mas Yoga sudah berdiri di depanku dengan pakaian yang sudah melekat di tubuhnya.
"Kenapa, Mas?" tanyaku setelah berhasil menguasai diriku dan sedikit meredamkan gemuruh di dalam dada.
Terlihat Mas Yoga mendaratkan tubuhnya di bibir ranjang– di sampingku.
"Kamu kenapa? Kamu sakit?" tanya Mas Yoga sembari menempelkan punggung tangannya ke keningku.
Aku tersenyum dengan paksa sembari menurunkan tangan Mas Yoga, lalu berucap, "enggak, Mas. Aku baik-baik saja." Aku menatap lekat ke arah lelaki itu.
"Kok melamun? Bahkan Mas dari tadi berdiri di depan kamu, kamu tidak menyadarinya," ucap Mas Hendra.
"Aku kangen sama Ibu dan Bapak. Rena pengen sekali menjenguk mereka, Mas," ucapku sembari menundukkan kepala.
"Semalam, Rena mimpi buruk. Takut mereka sakit atau kenapa-napa," lanjutku dengan memasang raut sesedih mungkin.
Kedua telapak tangan itu membingkai wajahku, lalu mengangkatnya hingga pada akhirnya pandangan kami saling bertemu.
"Kamu mau ke sana? Besok pagi-pagi Mas antarkan ke sana ya."
Aku menghembuskan napas berat. Saat aku ingin menjawab ucapan suamiku, tiba-tiba ponsel milik Mas Yoga kembali berdering. Secepat kilat lelaki itu langsung melepaskan bingkaian tangannya lalu bangkit dari tempat duduknya, setelahnya ia pun berjalan menuju ke arah di mana tas kerja milik Mas Yoga tergeletak.
Mas Yoga merogoh ponselnya dari dalam tas kerjanya. Cepat aku membuang pandang ke arah lain saat lelaki itu sepertinya akan menolehkan kepalanya ke arahku.
Aku melirik dengan ekor mataku, terlihat lelaki itu telah menatap layar ponsel. kembali aku menatap seraut wajah yang saat ini tiba-tiba terlihat berbinar itu. Kedua netraku menangkap dengan jelas saat bibir lelaki itu sedang tersenyum samar.
Aku yakin, Mas Yoga sedang membaca rentetan pesan yang dikirimkan oleh Mutia itu. Sepersekian detik kemudian, jemari Mas Yoga menari-nari di atas layar datar.
Terlihat Mas Yoga meletakkan kembali ponsel itu ke tempat semula. Lelaki itu kembali berjalan mendekat ke arahku dengan raut wajah yang ... entah.
"Ren ...."
"Kenapa, Mas?"
"Mas ada urusan di luar. Ada rekan yang mau ajak kerja sama dan mumpung dia ada di sini, sekarang teman Mas meminta untuk bertemu."
"Siapa, Mas?"
"Redo. Ya, Redo," ucap Mas Yoga dengan cepat.
"Redo mengajak Mas kerja sama, jual beli motor bekas. Kamu ingat kan siapa Redo?"
Aku menganggukkan kepala. Aku ingat betul siapa Redo. Dia adalah sahabat Mas Yoga yang katanya bertemu saat kelas satu smp, hingga persahabatan mereka berjalan sampai saat ini. Akan tetapi, aku tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Mas Yoga. Tentu itu hanya suatu alasan belaka.
Aku menatap wajah yang saat ini terlihat memohon.
"Sampai malam, Mas?"
Aku menolehkan kepala ke arah jam yang menggantung di dinding. Jarum jam menunjukkan pukul satu siang.
Ya, setiap siang, Mas Yoga selalu menyempatkan dirinya untuk makan siang di rumah sembari membersihkan tubuhnya. Nanti kalau jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang, Mas Yoga akan kembali ke tempat kerjanya.
Sudah dua tahun ini Mas Yoga merintis usahanya di bidang kuliner. Memang kami hanya memiliki satu rumah makan dan bersyukurnya, kami sudah memiliki tiga orang karyawan. Mas Yoga hanya memantau perkembangan rumah makan yang telah kami rintis bersama.
"Sepertinya begitu, Ren. Maklumlah kami sudah begitu lama tidak bertemu," ucap Mas Yoga.
Aku mengulas senyum.
"Ya sudah, pergi saja, Mas. Tapi siang ini bolehkah aku pergi ke rumah kedua orangtuaku?"
Seketika raut penuh kelegaan tergambar dengan jelas di wajah yang berkumis tipis itu. Kedua sudut bibir Mas Yoga tertarik ke atas. Dia tersenyum.
Tentu ia akan bahagia karena telah mendapatkan izin dariku. Apalagi aku mengatakan jika aku akan pergi ke rumah kedua orangtuaku yang letaknya jauh dari sini.
Butuh waktu tiga jam untuk sampai di sana. Tentu aku akan menginap yang pastinya membuat Mas Yoga merasa bebas malam ini.
"Malam ini? Tapi Mas sudah ada janji. Gimana mau ngantarnya, Ren?"
Aku tersenyum.
"Nggak usah kamu antar, Mas. Aku akan pulang sendiri. Aku kan perempuan pemberani," ucapku sembari tergelak tawa.
"Tapi ...."
"Nggak apa-apa, Mas. Aku akan ke rumah ibu dan bapak naik sepeda motor. Tapi maaf ya, Rena harus menginap di sana. Kan capek Mas kalau harus langsung balik ke sini."
Cepat lelaki itu mengangguk-anggukkan kepalanya sembari senyum merekah di bibirnya.
"Tapi nggak apa-apa kan, Ren?"
"Nggak apa-apa, Mas. Kamu tenang saja."
"Salam buat Bapak dan Ibu ya, Ren."
"Iya, Mas. Aku siap-siap dulu ya," ucapku kemudian.
Mas Yoga kembali menganggukkan kepalanya. Bergegas aku mengganti pakaianku.
"Aku berangkat dulu, ya, Mas. Mungkin besok Rena baru bisa balik lagi."
Aku meraih tangan Mas Yoga lalu menciumnya punggung tangan itu dengan takdzim.
"Hati-hati, ya. Kalau sudah sampai di sana, jangan lupa kasih kabar," ucap Mas Yoga sembari mengelus pucuk kepalaku.
Aku mengangguk. Bergegas aku melangkah menuju ke arah garansi. Mengeluarkan motor maticku. Aku melambaikan tanganku ke arah Mas Yoga yang saat ini berdiri di teras rumah melepas kepergianku dengan senyum yang terlihat begitu merekah.
Aku melajukan kendaraan roda duaku, hingga setelah menempuh jarak beberapa meter, aku mengeluarkan ponsel yang kumasukkan ke dalam kantong celanaku.
Aku membuka aplikasi g**gle map. Bergegas kuketik nama butik yang tadi dikirimkan oleh Mutia. Setelah beberapa detik menunggu, ponsel itu berhasil menemukan alamat yang kucari. Setelahnya kulajukan kendaraan roda duaku mengikuti arahan g**le map itu.
Belasan menit kendaraan roda duaku melesat membelah jalan raya. Seketika kupelankan laju kendaraanku lalu kuhentikan di pinggir jalan saat aku mengingat sesuatu. Aku baru kepikiran, tak mungkin aku membuntuti kemana perginya Mas Yoga dengan memakai kendaraan dan juga baju yang saat ini melekat di tubuhku. Tentu saja ia akan mengenaliku. Akhirnya aku melajukan kendaraan roda duaku ke arah rumah temanku yang bernama Indah. Kebetulan rumahnya tak jauh dari sini. Hanya membutuhkan waktu lima menit untuk sampai di rumah Indah, apalagi satu arah juga arahnya. Kini aku sudah masuk ke dalam halaman yang rumahnya terlihat begitu sederhana tersebut. Saat baru saja aku mematikan mesin motorku, tiba-tiba terlihat Indah berjalan ke luar rumah. Aku melepas helm yang kukenakan, menentengnya sembari berjalan mendekat ke arah di mana Indah berdiri. "Mau ke sini kok nggak kabarin dulu?" ucap Indah saat kami berpelukan. "Iya, Maaf. Kedatanganku ke sini ada sesuatu yang sangat penting."Indah menge
Aku memegang sebuah lembaran foto. Di mana di foto tersebut terpampang dengan jelas wajah suamiku dengan seorang perempuan. Perempuan yang bernama Mutia itu. Kali ini pandanganku langsung tertuju pada sebuah tulisan yang ada di sudut foto. Tulisan yang menampilkan tanggal berapa foto ini diambil. Aku kembali dibuat terkejut, ternyata foto itu diambil sepuluh tahun yang lalu. Ya, memang, dalam foto tersebut wajah suamiku terlihat lebih muda. Untuk foto perempuan yang sedang bersama suamiku ini, aku masih bisa mengenalinya. Dia adalah perempuan yang tadi kulihat. Meskipun wajah dan warna kulit sudah berbeda, akan tetapi aku masih sangat bisa mengenali. Aku membalik lembaran foto tersebut, aku tersentak kaget saat bagian belakang ada tulisan 'Bersama selamanya, selamanya akan bersama'.Tanpa sadar aku meremas foto tersebut dengan perasaan kesal dan geram. Aku yakin, ada hubungan spesial di masa lalu. Mungkinkah perempuan ini adalah cinta Mas Yoga di masa lalu? Ya, Tuhan ... sering
"Oh, ya. Kamu tadi baru pulang kok kayaknya mau pergi lagi? Mau ke mana, Mas? Dan sepertinya aku tadi melihat ada seseorang yang duduk di jok mobil yang biasanya kududuki saat pergi bersama kamu?"Seketika wajah itu terlihat pias. Mas Yoga mengubah posisinya yang semula berhadapan denganku. Mungkin ia tak ingin jika aku melihat kegugupannya. Baru pertanyaan begitu saja kamu sudah takut, gitu kok sok-sokan berselingkuh. Ingin menikah lagi pula. Aku tersenyum samar."Mas?" "Eh, iya, Sayang? Ada apa?" ucap Mas Yoga yang sepertinya sedang menyembunyikan kegugupannya. Akan tetapi, aku sudah mengetahui bangkai yang selama ini dia pendam. "Kamu tadi di mobil sama siapa? Kayaknya ada perempuan deh," ucapku dengan nada setenang mungkin, akan tetapi pastinya mampu membuat dada Mas Yoga berdebar-debar. "Maksud kamu?" Mas Yoga bertanya balik. "Aku tadi lihat seperti ada seseorang di dalam mobil," ucapku berbohong. Padahal sewaktu perempuan itu masuk ke dalam mobil, ia langsung mem bungkukkan
"Andai dia memintaku untuk memilih, tentu aku akan memilih kamu, Sayang. Tapi semua butuh waktu, jangan sampai dia menikmati hasil jerih payahku." Aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat hingga terciptalah rasa nyeri di kedua telapak tanganku akibat kuku-kuku yang tertancap di sana. Mata yang semula terasa mengantuk, kini terbuka dengan sepenuhnya. Satu fakta lagi terkuak. Sekarang aku tahu, saat ini Mas Yoga masih bertahan untuk tidak menceraikan aku karena ingin menguasai harta yang kami dapatkan setelah menikah. Ya, Mas Yoga dan aku berasal dari keluarga yang sama-sama sederhana. Setelah kami menikah, kami memutuskan merantau ke kota yang kami tempati saat ini. Kami bekerja sama dalam memulai menjalankan usaha. Semula, kami hanya berjualan keliling dengan gerobak. Dan itu berjalan hampir satu tahun lamanya. Hingga pada akhirnya kami pun memiliki pelanggan yang bisa terbilang banyak. Dan di tahun kedua, kami memberanikan diri untuk mengontrak ruko berukuran kecil yang kami g
Kendaraan roda empat yang aku tumpangi membelah jalan raya dengan kecepatan sedang, hingga puluhan menit kemudian mobil milik Maya berhenti di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Maya menekan klakson mobil beberapa kali hingga tak berselang lama pintu gerbang itu terbuka.Sepersekian detik kemudian terlihatlah sosok lelaki berkumis tebal berperawakan tinggi besar dan berpakaian khas orang satpam menyembul dari balik pintu gerbang. Maya menurunkan kaca mobil hingga akhirnya satpam itu bisa melihat wajah Maya. Maya meminta orang itu untuk membuka pintu gerbang. Mungkin karena satpam tersebut sudah mengenal Maya sehingga ia itu membuka pintu gerbang setelah menganggukkan kepalanya ke arah Maya. Beberapa detik mobil melaju masuk ke dalam halaman rumah hingga pada akhirnya kendaraan roda empat kami berhenti tepat di depan rumah yang terlihat begitu megah. Rumah yang bergaya modern, berlantai tiga dan berwarna putih. Ada banyak bunga-bunga yang berjajar dengan rapi dan terlihat begi
"Ada surat-suratnya?" "Ada, Om," ucap Maya lalu menolehkan kepalanya ke arahku yang duduk di sampingnya. "Tunjukkan surat-suratnya," ucap Maya dengan nada setengah berbisik. Bergegas aku membuka tas yang kubawa, lalu mengeluarkan surat-surat penting dari dalam sana. Ya, aku memang berniat menggadaikan rumah, restoran dan juga mobil. Jika kalian bertanya kenapa aku melakukan ini, salah satunya karena aku ingin mengambil semua harta-harta itu. Kedua, karena aku ingin memberikan pelajaran pada mereka berdua. Sebenarnya ada pilihan lain, yaitu menjual aset-aset ini. Akan tetapi, terlalu lama tentunya untuk mencari pembeli dengan cepat. Apalagi semua aset itu atas nama Mas Yoga. Tentu aku yang akan kesulitan jika menjual tanpa sepengetahuan Mas Yoga. Dan aku memilih jalan yang paling mudah, yaitu menggadaikan. Meskipun uang yang kuterima tak sebanyak dari hasil penjualan. Ya, biarlah mereka nanti terkejut saat mengetahui jika semua aset telah kugadaikan dan uang telah kubawa semuanya
Aku bangkit dari persimpuhanku, bergegas aku berjalan menuju ke arah tempat dudukku yang semula. Aku menghapus jejak-jejak air mata yang masih tersisa dengan punggung tanganku. Entah setan apa yang merasukiku kali ini, begitu mudahnya aku mengeluarkan air mata. Padahal selama ini aku bukanlah tipe perempuan yang cengeng. Bahkan, mendapati suamiku berselingkuh pun aku tak bisa menangis. Lantas, kenapa hari ini begitu mudahnya aku mengeluarkan air mata? Oho ... sepertinya itu karena aku takut jika aku tak mendapatkan harta itu. Bukankah jika semua aset jatuh ke tangan Mas Yoga beserta selingkuhannya itu jauh lebih menyakitkan dibandingkan dengan sebuah pengkhianatan?"Akting kamu bagus sekali, Ren." Maya mengacungkan jempolnya tepat di depan wajahku. Segera aku menepis tangan itu, sebab tinggal satu centi saja jempol maya sudah menyentuh pucuk hidungku. "Aku nggak nyangka kamu pintar sekali mengeluarkan air mata palsu." Maya tergelak tawa setelah menyelesaikan satu kalimatnya. "Apa
Aku mengalihkan pandangan ke arah Pak Chandra yang sedang menatapku lalu aku berkata, "Saya setuju, Pak.""Silahkan ditandatangani."Aku mengangguk yakin. Bergegas aku membubuhkan tandatangan lalu kuselipkan nama di bawah tandatangan yang sudah tertempel oleh materai. Aku menerima jangka waktu selama enam bulan sebab aku yakin, di bulan itu aku sudah resmi bercerai dengan Mas Yoga. Seyakin itu kah diriku?Tentu!Tak lama lagi aku akan melayangkan gugatan ceraiku ke pengadilan. Proses perceraian pun pasti tak akan berlangsung lama. Sebab, tak akan ada penyelesaian soal harta gono-gini maupun hak asuh anak di persidangan nanti. Toh Mas Yoga pun juga sudah berniat menceriakan aku. Tentu ia senang hati kalau aku telah menggugat cerai dirinya, apalagi tanpa membawa secuil harta miliknya. Aku benar-benar bernapas lega.Kuletakkan lembaran kertas yang sudah kububuhi tandatanganku. Pak Chandra menyerahkan dua amplop tersebut. Dengan senang hati tentunya aku menerima amplop itu. "Hitunglah