Share

Bab 3

Aku memegang sebuah lembaran foto. Di mana di foto tersebut terpampang dengan jelas wajah suamiku dengan seorang perempuan. Perempuan yang bernama Mutia itu. 

Kali ini pandanganku langsung tertuju pada sebuah tulisan yang ada di sudut foto. Tulisan yang menampilkan tanggal berapa foto ini diambil. 

Aku kembali dibuat terkejut, ternyata foto itu diambil sepuluh tahun yang lalu. 

Ya, memang, dalam foto tersebut wajah suamiku terlihat lebih muda. Untuk foto perempuan yang sedang bersama suamiku ini, aku masih bisa mengenalinya. Dia adalah perempuan yang tadi kulihat. Meskipun wajah dan warna kulit sudah berbeda, akan tetapi aku masih sangat bisa mengenali. 

Aku membalik lembaran foto tersebut, aku tersentak kaget saat bagian belakang ada tulisan 'Bersama selamanya, selamanya akan bersama'.

Tanpa sadar aku meremas foto tersebut dengan perasaan kesal dan geram. 

Aku yakin, ada hubungan spesial di masa lalu. Mungkinkah perempuan ini adalah cinta Mas Yoga di masa lalu? 

Ya, Tuhan ... sering sekali aku mendengar berita yang sedang viral, bahawasanya banyak sekali suami yang meninggalkan istrinya hanya untuk cintanya di masa lalu, dan sekarang, aku mengalaminya sendiri. 

Rasa sesak terasa begitu menyeruak. Ternyata selama ini Mas Yoga mempermainkan aku, ternyata lelaki itu tengah berkhianat. 

Satu pertanyaan yang saat ini timbul di dalam benakku, apakah Mas Yoga baru memulai kembali hubungannya itu, atau saat ia menjabat tangan ayahku, Mas Yoga masih menjalin hubungan dengan perempuan itu sampai saat ini.

Jika memang begitu adanya, kenapa Mas Yoga menikahiku? Kenapa dia tidak menikahi perempuan yang dicintainya itu? Tak ada perjodohan di antara kami. Bahkan, dia lah yang menginginkan pernikahan ini. Dia sendiri yang datang padaku, dan meminta untuk menjadi pendampingnya.

Ya, Allah ... betapa sakit dan patahnya diri ini saat mendapati kenyataan yang begitu menyakitkan.

Aku menghembuskan napas kasar. 

Aku bertekad, akan kucari kebenarannya seperti apa. Tak ada kata maaf yang namanya perselingkuhan. 

Andai kata kau berani meninggalkannya dan memilih hidup denganku, maaf-maaf saja, aku tak sudi menerima dirimu kembali. 

Aku bangkit lalu menghenyakkan tubuhku di ranjang dengan sebuah foto yang masih ada di dalam genggamanku. Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan.

Rasa sesak terasa begitu menyeruak. 

Andai kata bermain halus tak diharamkan, sudah kusantet sepasang manusia durjana itu. 

Aku beristigfar berkali-kali, berharap mampu meredamkan gejolak di dalam dada. Sejenak aku memejamkan kedua netraku sembari menghela napas dalam-dalam. 

Aku tak boleh bertindak gegabah. Aku harus berhati-hati. Di segala penjuru dunia, seorang pelakor pasti lebih licik dan juga pintar.

Ya, aku harus berhati-hati dan menyusun strategi untuk membalaskan rasa sakit ini. Kalau aku gegabah, aku akan kehilangan semuanya. Ya, semuanya. Harta yang kami dapatkan bersama. Tak rela aku jika g*ndik itu menikmati harta yang seharusnya aku lah yang merasakan. 

Aku membenarkan kembali bentuk foto yang sudah berbentuk bulatan itu, setelahnya aku menyimpan foto tersebut. Menyimpan di tempat yang tak bisa dijangkau oleh Mas Yoga. 

Ponsel yang ada di dalam tas milikku berdering. Pertanda ada panggilan masuk. 

Aku meraih tas yang kuletakkan di atas nakas lalu merogoh ponsel yang ada di dalamnya.

Mataku memicing saat melihat nomor Rida terpampang sebagai pemanggilnya. Rida adalah temanku semenjak sekolah SMA. 

Cepat kuusap layar itu ke atas lalu kutempelkan benda pipih itu ke telingaku. 

"Halo, kamu di mana, Ren?" tanya Rida setelah panggilan itu tersambung. 

"Di rumah, ada apa? Kamu mau ke sini?" 

"Enggak. Ada sesuatu yang ingin aku katakan sama kamu." 

"Apa, Rid?" 

"Aku lihat suami kamu di hotel."

Deg. 

Seketika jantungku berdegup lebih kencang. Benar saja dugaanku. Mereka pasti pergi ke hotel. 

Bagiku, lelaki yang berselingkuh, hanya lubang kenikmatan itulah yang dia cari. Apa lagi selain itu? 

Bagaimana tidak, anak yang baru umur belasan tahun yang sudah memiliki pacar saja, ia akan merasa memiliki dan berhak akan semua yang ada pada diri kekasih. Apalagi Mas Yoga dan perempuan yang sudah sama-sama dewasa?

Sejenak aku memejamkan kedua mataku. Meskipun dugaan itu sebelumnya sempat terlintas dalam benakku, akan tetapi mendengar hal ini masih saja membuat hati ini serasa berdenyut nyeri. 

Aku menghela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan, berharap mampu sedikit meredam gemuruh di dalam dada. 

"Mungkin kamu salah orang, Rid? Kamu hanya bertemu suamiku sekali saja, sewaktu menghadiri acara pernikahan kami," ucapku berusaha mengelak. Tak mungkin juga aku membenarkan apa yang dikatakan oleh Rida, mengingat aku tahu betul bagaimana karakter Rida. 

"Hm ... bisa juga sih. Iya mungkin, ya. Barangkali aku yang salah."

"Iya," jawabku dengan lirih. 

"Apa kamu punya fotonya?" Aku berkata dengan cepat. 

"Ada sih. Tadi sewaktu mereka duduk di lobi hotel dan sewaktu berjalan masuk ke dalam hotel," ucap Rida kemudian. 

"Bisa kirim ke nomorku?" 

"Ok."

Panggilan dimatikan oleh Rida. Hingga beberapa menit kemudian, ponsel yang ada di tanganku bergetar. Ada pesan masuk. Nama Rida terpampang dengan jelas di layar ponsel. 

Aku membuka pesan tersebut. Ada empat buah file gambar yang dikirimkan oleh Rida. Dengan perasaan yang tak bisa kusebutkan, aku menekan menu unduh. Masih berharap kalau dugaanku itu salah. Masih mencoba berpikir positif kalau Rida hanya salah orang saja. 

Akan tetapi, di saat aku mencoba berpikir positif. Gambar yang ada di depan mata terpampang dengan begitu jelasnya. Harapan itu terpatahkan dengan kiriman foto Mas Yoga bersama selingkuhannya.

Darah ini terasa berdesir seiring rasa panas menjalar ke seluruh tubuhku. 

Kedua netra ini menatap dengan nanar pada gambar yang ada di ponsel itu. 

Mereka duduk berdampingan, bahkan tak ada jarak yang memisahkan tubuh keduanya. Perempuan itu menyandarkan kepalanya pada dada lelaki yang masih memiliki gelar sebagai suamiku itu. Sedangkan Mas Yoga terlihat merangkul mesra pundak perempuan itu. 

Dua pasang netra itu saling bertatapan sembari melempar senyum. Senyum yang mengisyaratkan kebahagiaan yang luar biasa. Entah bagaimana bisa Rida mendapatkan foto mereka dengan sempurna ini. 

Lambat laun pandanganku semakin mengabur saat melihat foto berikutnya, di mana Mas Yoga sedang berjalan melewati lorong dengan tangannya yang melingkar di pinggang milik perempuan itu. Mereka terlihat begitu mesra. Siapa saja yang melihat keduanya, pasti bisa menilai sedekat apa hubungan mereka. Tak mungkin hanay sebatas teman. 

[Gimana, Ren? Apa aku salah orang?]

Pesan itu masuk beberapa menit setelah foto-foto itu aku terima. 

Aku mengusap dengan cepat sudut mataku sebelum buliran bening itu tergelincir dari sudut mataku. 

Berkali-kali aku menghembuskan napas berat. Berharap mampu menghilangkan bongkahan batu yang menghimpit dadaku hingga menimbulkan rasa sesak. 

[Kamu salah orang, Rida.] 

Aku mengirimkan balasan pada pesan yang dikirim oleh Rida. Kububuhkan emoticon tersenyum di akhir tulisan tersebut. 

[Ya, Tuhan ... maafkan aku ya, Ren.]

[Nggak apa-apa kok. Santai saja.]

Pesan terakhir itu hanya dibaca oleh Rida. Tak ada balasan lagi. 

****

Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam. Sejauh ini, Mas Yoga tak kunjung pulang. Pun juga tak memberikanku kabar. Jangankan berbasa-basi memberikan kabar, menanyakan keberadaanku yang sudah sampai di kediaman kedua orangtuaku pun tidak ia lakukan. Memang, perempuan itu berhasil mengalihkan dan mencuri Mas Yoga sepenuhnya. 

Bukan hanya tubuhnya, tapi juga hatinya. 

Belasan menit aku duduk di sofa sembari memainkan ponsel. Tak berselang lama suara deru mesin mobil memasuki halaman rumah kami yang tak seberapa luasnya. Aku mengedarkan pandang ke arah luar melalui jendela kaca yang tak sepenuhnya tertutupi oleh tirai. 

Terlihat dengan jelas mobil Mas Yoga berhenti di halaman rumah. Aku melangkah, berniat untuk segera membuka kunci pintu. 

Akan tetapi, kuurungkan niatku saat terlihat dari kaca jendela, Mas Yoga melangkah ke arah pintu mobil yang ada di sebelah kiri. 

Aku menyibak tirai jendela, ingin menatap dengan lekat apa yang akan dilakukan oleh Mas Yoga. 

Jantung ini berdegup lebih kencang saat sepersekian detik setelah Mas Yoga membuka pintu, menyembulah sosok perempuan gatal itu dari dalam mobil. 

Kedua tanganku terkepal dengan begitu kuatnya, hingga timbulah rasa nyeri akibat kuku-kuku yang menancap di kulit telapak tanganku. 

Ternyata Mas Yoga membawa pulang gund!knya, mungkin ia mengira kalau aku benar-benar menginap di kediaman orang tuaku. Entah ini pertama kalinya atau ke sekian kalinya Mas Yoga membawa selingkuhannya itu pulang. 

Sepasang durjana itu melenggang dengan begitu mesranya naik ke atas teras. Tangan perempuan itu bergelayut manja di lengan suamiku. 

Akan tetapi, tiba-tiba pandangan Mas Yoga tertuju pada kendaraan roda duaku yang terparkir di garasi rumah. Terlihat raut wajah itu terkejut. Langkah Mas Yoga seketika terhenti. 

"Ada Rena di rumah," ucap Mas Yoga dengan lirih namun masih tertangkap di kedua telingaku. 

Saat perempuan itu ingin menjawab, Mas Yoga memberikannya isyarat agar tak mengeluarkan suara. 

Cepat Mas Yoga menarik kembali tubuh perempuan itu kembali mendekat ke mobil. Dibukanya pintu mobil, lalu Mas Yoga memaksa perempuan itu untuk masuk ke dalam. 

Aku tersenyum kecut. 

Ternyata lelaki itu masih memiliki rasa takut jika aku mengetahui perselingkuhan yang dilakukan olehnya. Sempat kedua netraku menangkap saat di antara mereka terjadi perdebatan, hingga pada akhirnya Mas Yoga menutup pintu mobil. 

Cepat kuraih anak kunci yang tertancap pada lubangnya, kuputar lalu kuraih gagang pintu, menekannya ke bawah lalu kutarik gagang itu hingga akhirnya daun pintu itu terbuka. 

Seketika gerakan tangan Mas Yoga yang akan membuka pintu mobil yang tadi ia tempati terhenti saat melihat kehadiranku. 

Terlihat dengan jelas wajah Mas Yoga yang ketakutan. 

"Kamu baru pulang, mau pergi lagi, Mas?" 

Aku berjalan mendekat ke arah Mas Yoga yang berdiri terpaku. 

Saat kaki ini menuruni teras, tiba-tiba Mas Yoga langsung melangkah ke arahku, memegang kedua pundakku lalu ditariknya lenganku untuk masuk ke dalam rumah. 

"Kamu katanya ke rumah Ibu dan Bapak? Kok sudah pulang? Nggak jadi menginap?" tanya Mas Yoga setelah kami sudah berada di dalam kamar. Kami sama-sama duduk di tepi ranjang. 

"Tadi di jalan ban motor kempes, Mas. Akhirnya nggak jadi ke sana," jelasku. 

"Oh, ya. Kamu tadi baru pulang kok kayaknya mau pergi lagi? Mau ke mana, Mas? Dan sepertinya aku tadi melihat ada seseorang yang duduk di jok mobil yang biasanya kududuki saat pergi bersama kamu?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status