Aku memegang sebuah lembaran foto. Di mana di foto tersebut terpampang dengan jelas wajah suamiku dengan seorang perempuan. Perempuan yang bernama Mutia itu.
Kali ini pandanganku langsung tertuju pada sebuah tulisan yang ada di sudut foto. Tulisan yang menampilkan tanggal berapa foto ini diambil.
Aku kembali dibuat terkejut, ternyata foto itu diambil sepuluh tahun yang lalu.
Ya, memang, dalam foto tersebut wajah suamiku terlihat lebih muda. Untuk foto perempuan yang sedang bersama suamiku ini, aku masih bisa mengenalinya. Dia adalah perempuan yang tadi kulihat. Meskipun wajah dan warna kulit sudah berbeda, akan tetapi aku masih sangat bisa mengenali.
Aku membalik lembaran foto tersebut, aku tersentak kaget saat bagian belakang ada tulisan 'Bersama selamanya, selamanya akan bersama'.
Tanpa sadar aku meremas foto tersebut dengan perasaan kesal dan geram.
Aku yakin, ada hubungan spesial di masa lalu. Mungkinkah perempuan ini adalah cinta Mas Yoga di masa lalu?
Ya, Tuhan ... sering sekali aku mendengar berita yang sedang viral, bahawasanya banyak sekali suami yang meninggalkan istrinya hanya untuk cintanya di masa lalu, dan sekarang, aku mengalaminya sendiri.
Rasa sesak terasa begitu menyeruak. Ternyata selama ini Mas Yoga mempermainkan aku, ternyata lelaki itu tengah berkhianat.
Satu pertanyaan yang saat ini timbul di dalam benakku, apakah Mas Yoga baru memulai kembali hubungannya itu, atau saat ia menjabat tangan ayahku, Mas Yoga masih menjalin hubungan dengan perempuan itu sampai saat ini.
Jika memang begitu adanya, kenapa Mas Yoga menikahiku? Kenapa dia tidak menikahi perempuan yang dicintainya itu? Tak ada perjodohan di antara kami. Bahkan, dia lah yang menginginkan pernikahan ini. Dia sendiri yang datang padaku, dan meminta untuk menjadi pendampingnya.
Ya, Allah ... betapa sakit dan patahnya diri ini saat mendapati kenyataan yang begitu menyakitkan.
Aku menghembuskan napas kasar.
Aku bertekad, akan kucari kebenarannya seperti apa. Tak ada kata maaf yang namanya perselingkuhan.
Andai kata kau berani meninggalkannya dan memilih hidup denganku, maaf-maaf saja, aku tak sudi menerima dirimu kembali.
Aku bangkit lalu menghenyakkan tubuhku di ranjang dengan sebuah foto yang masih ada di dalam genggamanku. Berkali-kali kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan.
Rasa sesak terasa begitu menyeruak.
Andai kata bermain halus tak diharamkan, sudah kusantet sepasang manusia durjana itu.
Aku beristigfar berkali-kali, berharap mampu meredamkan gejolak di dalam dada. Sejenak aku memejamkan kedua netraku sembari menghela napas dalam-dalam.
Aku tak boleh bertindak gegabah. Aku harus berhati-hati. Di segala penjuru dunia, seorang pelakor pasti lebih licik dan juga pintar.
Ya, aku harus berhati-hati dan menyusun strategi untuk membalaskan rasa sakit ini. Kalau aku gegabah, aku akan kehilangan semuanya. Ya, semuanya. Harta yang kami dapatkan bersama. Tak rela aku jika g*ndik itu menikmati harta yang seharusnya aku lah yang merasakan.
Aku membenarkan kembali bentuk foto yang sudah berbentuk bulatan itu, setelahnya aku menyimpan foto tersebut. Menyimpan di tempat yang tak bisa dijangkau oleh Mas Yoga.
Ponsel yang ada di dalam tas milikku berdering. Pertanda ada panggilan masuk.
Aku meraih tas yang kuletakkan di atas nakas lalu merogoh ponsel yang ada di dalamnya.
Mataku memicing saat melihat nomor Rida terpampang sebagai pemanggilnya. Rida adalah temanku semenjak sekolah SMA.
Cepat kuusap layar itu ke atas lalu kutempelkan benda pipih itu ke telingaku.
"Halo, kamu di mana, Ren?" tanya Rida setelah panggilan itu tersambung.
"Di rumah, ada apa? Kamu mau ke sini?"
"Enggak. Ada sesuatu yang ingin aku katakan sama kamu."
"Apa, Rid?"
"Aku lihat suami kamu di hotel."
Deg.
Seketika jantungku berdegup lebih kencang. Benar saja dugaanku. Mereka pasti pergi ke hotel.
Bagiku, lelaki yang berselingkuh, hanya lubang kenikmatan itulah yang dia cari. Apa lagi selain itu?
Bagaimana tidak, anak yang baru umur belasan tahun yang sudah memiliki pacar saja, ia akan merasa memiliki dan berhak akan semua yang ada pada diri kekasih. Apalagi Mas Yoga dan perempuan yang sudah sama-sama dewasa?
Sejenak aku memejamkan kedua mataku. Meskipun dugaan itu sebelumnya sempat terlintas dalam benakku, akan tetapi mendengar hal ini masih saja membuat hati ini serasa berdenyut nyeri.
Aku menghela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan, berharap mampu sedikit meredam gemuruh di dalam dada.
"Mungkin kamu salah orang, Rid? Kamu hanya bertemu suamiku sekali saja, sewaktu menghadiri acara pernikahan kami," ucapku berusaha mengelak. Tak mungkin juga aku membenarkan apa yang dikatakan oleh Rida, mengingat aku tahu betul bagaimana karakter Rida.
"Hm ... bisa juga sih. Iya mungkin, ya. Barangkali aku yang salah."
"Iya," jawabku dengan lirih.
"Apa kamu punya fotonya?" Aku berkata dengan cepat.
"Ada sih. Tadi sewaktu mereka duduk di lobi hotel dan sewaktu berjalan masuk ke dalam hotel," ucap Rida kemudian.
"Bisa kirim ke nomorku?"
"Ok."
Panggilan dimatikan oleh Rida. Hingga beberapa menit kemudian, ponsel yang ada di tanganku bergetar. Ada pesan masuk. Nama Rida terpampang dengan jelas di layar ponsel.
Aku membuka pesan tersebut. Ada empat buah file gambar yang dikirimkan oleh Rida. Dengan perasaan yang tak bisa kusebutkan, aku menekan menu unduh. Masih berharap kalau dugaanku itu salah. Masih mencoba berpikir positif kalau Rida hanya salah orang saja.
Akan tetapi, di saat aku mencoba berpikir positif. Gambar yang ada di depan mata terpampang dengan begitu jelasnya. Harapan itu terpatahkan dengan kiriman foto Mas Yoga bersama selingkuhannya.
Darah ini terasa berdesir seiring rasa panas menjalar ke seluruh tubuhku.
Kedua netra ini menatap dengan nanar pada gambar yang ada di ponsel itu.
Mereka duduk berdampingan, bahkan tak ada jarak yang memisahkan tubuh keduanya. Perempuan itu menyandarkan kepalanya pada dada lelaki yang masih memiliki gelar sebagai suamiku itu. Sedangkan Mas Yoga terlihat merangkul mesra pundak perempuan itu.
Dua pasang netra itu saling bertatapan sembari melempar senyum. Senyum yang mengisyaratkan kebahagiaan yang luar biasa. Entah bagaimana bisa Rida mendapatkan foto mereka dengan sempurna ini.
Lambat laun pandanganku semakin mengabur saat melihat foto berikutnya, di mana Mas Yoga sedang berjalan melewati lorong dengan tangannya yang melingkar di pinggang milik perempuan itu. Mereka terlihat begitu mesra. Siapa saja yang melihat keduanya, pasti bisa menilai sedekat apa hubungan mereka. Tak mungkin hanay sebatas teman.
[Gimana, Ren? Apa aku salah orang?]
Pesan itu masuk beberapa menit setelah foto-foto itu aku terima.
Aku mengusap dengan cepat sudut mataku sebelum buliran bening itu tergelincir dari sudut mataku.
Berkali-kali aku menghembuskan napas berat. Berharap mampu menghilangkan bongkahan batu yang menghimpit dadaku hingga menimbulkan rasa sesak.
[Kamu salah orang, Rida.]
Aku mengirimkan balasan pada pesan yang dikirim oleh Rida. Kububuhkan emoticon tersenyum di akhir tulisan tersebut.
[Ya, Tuhan ... maafkan aku ya, Ren.]
[Nggak apa-apa kok. Santai saja.]
Pesan terakhir itu hanya dibaca oleh Rida. Tak ada balasan lagi.
****
Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam. Sejauh ini, Mas Yoga tak kunjung pulang. Pun juga tak memberikanku kabar. Jangankan berbasa-basi memberikan kabar, menanyakan keberadaanku yang sudah sampai di kediaman kedua orangtuaku pun tidak ia lakukan. Memang, perempuan itu berhasil mengalihkan dan mencuri Mas Yoga sepenuhnya.
Bukan hanya tubuhnya, tapi juga hatinya.
Belasan menit aku duduk di sofa sembari memainkan ponsel. Tak berselang lama suara deru mesin mobil memasuki halaman rumah kami yang tak seberapa luasnya. Aku mengedarkan pandang ke arah luar melalui jendela kaca yang tak sepenuhnya tertutupi oleh tirai.
Terlihat dengan jelas mobil Mas Yoga berhenti di halaman rumah. Aku melangkah, berniat untuk segera membuka kunci pintu.
Akan tetapi, kuurungkan niatku saat terlihat dari kaca jendela, Mas Yoga melangkah ke arah pintu mobil yang ada di sebelah kiri.
Aku menyibak tirai jendela, ingin menatap dengan lekat apa yang akan dilakukan oleh Mas Yoga.
Jantung ini berdegup lebih kencang saat sepersekian detik setelah Mas Yoga membuka pintu, menyembulah sosok perempuan gatal itu dari dalam mobil.
Kedua tanganku terkepal dengan begitu kuatnya, hingga timbulah rasa nyeri akibat kuku-kuku yang menancap di kulit telapak tanganku.
Ternyata Mas Yoga membawa pulang gund!knya, mungkin ia mengira kalau aku benar-benar menginap di kediaman orang tuaku. Entah ini pertama kalinya atau ke sekian kalinya Mas Yoga membawa selingkuhannya itu pulang.
Sepasang durjana itu melenggang dengan begitu mesranya naik ke atas teras. Tangan perempuan itu bergelayut manja di lengan suamiku.
Akan tetapi, tiba-tiba pandangan Mas Yoga tertuju pada kendaraan roda duaku yang terparkir di garasi rumah. Terlihat raut wajah itu terkejut. Langkah Mas Yoga seketika terhenti.
"Ada Rena di rumah," ucap Mas Yoga dengan lirih namun masih tertangkap di kedua telingaku.
Saat perempuan itu ingin menjawab, Mas Yoga memberikannya isyarat agar tak mengeluarkan suara.
Cepat Mas Yoga menarik kembali tubuh perempuan itu kembali mendekat ke mobil. Dibukanya pintu mobil, lalu Mas Yoga memaksa perempuan itu untuk masuk ke dalam.
Aku tersenyum kecut.
Ternyata lelaki itu masih memiliki rasa takut jika aku mengetahui perselingkuhan yang dilakukan olehnya. Sempat kedua netraku menangkap saat di antara mereka terjadi perdebatan, hingga pada akhirnya Mas Yoga menutup pintu mobil.
Cepat kuraih anak kunci yang tertancap pada lubangnya, kuputar lalu kuraih gagang pintu, menekannya ke bawah lalu kutarik gagang itu hingga akhirnya daun pintu itu terbuka.
Seketika gerakan tangan Mas Yoga yang akan membuka pintu mobil yang tadi ia tempati terhenti saat melihat kehadiranku.
Terlihat dengan jelas wajah Mas Yoga yang ketakutan.
"Kamu baru pulang, mau pergi lagi, Mas?"
Aku berjalan mendekat ke arah Mas Yoga yang berdiri terpaku.
Saat kaki ini menuruni teras, tiba-tiba Mas Yoga langsung melangkah ke arahku, memegang kedua pundakku lalu ditariknya lenganku untuk masuk ke dalam rumah.
"Kamu katanya ke rumah Ibu dan Bapak? Kok sudah pulang? Nggak jadi menginap?" tanya Mas Yoga setelah kami sudah berada di dalam kamar. Kami sama-sama duduk di tepi ranjang.
"Tadi di jalan ban motor kempes, Mas. Akhirnya nggak jadi ke sana," jelasku.
"Oh, ya. Kamu tadi baru pulang kok kayaknya mau pergi lagi? Mau ke mana, Mas? Dan sepertinya aku tadi melihat ada seseorang yang duduk di jok mobil yang biasanya kududuki saat pergi bersama kamu?"
"Oh, ya. Kamu tadi baru pulang kok kayaknya mau pergi lagi? Mau ke mana, Mas? Dan sepertinya aku tadi melihat ada seseorang yang duduk di jok mobil yang biasanya kududuki saat pergi bersama kamu?"Seketika wajah itu terlihat pias. Mas Yoga mengubah posisinya yang semula berhadapan denganku. Mungkin ia tak ingin jika aku melihat kegugupannya. Baru pertanyaan begitu saja kamu sudah takut, gitu kok sok-sokan berselingkuh. Ingin menikah lagi pula. Aku tersenyum samar."Mas?" "Eh, iya, Sayang? Ada apa?" ucap Mas Yoga yang sepertinya sedang menyembunyikan kegugupannya. Akan tetapi, aku sudah mengetahui bangkai yang selama ini dia pendam. "Kamu tadi di mobil sama siapa? Kayaknya ada perempuan deh," ucapku dengan nada setenang mungkin, akan tetapi pastinya mampu membuat dada Mas Yoga berdebar-debar. "Maksud kamu?" Mas Yoga bertanya balik. "Aku tadi lihat seperti ada seseorang di dalam mobil," ucapku berbohong. Padahal sewaktu perempuan itu masuk ke dalam mobil, ia langsung mem bungkukkan
"Andai dia memintaku untuk memilih, tentu aku akan memilih kamu, Sayang. Tapi semua butuh waktu, jangan sampai dia menikmati hasil jerih payahku." Aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat hingga terciptalah rasa nyeri di kedua telapak tanganku akibat kuku-kuku yang tertancap di sana. Mata yang semula terasa mengantuk, kini terbuka dengan sepenuhnya. Satu fakta lagi terkuak. Sekarang aku tahu, saat ini Mas Yoga masih bertahan untuk tidak menceraikan aku karena ingin menguasai harta yang kami dapatkan setelah menikah. Ya, Mas Yoga dan aku berasal dari keluarga yang sama-sama sederhana. Setelah kami menikah, kami memutuskan merantau ke kota yang kami tempati saat ini. Kami bekerja sama dalam memulai menjalankan usaha. Semula, kami hanya berjualan keliling dengan gerobak. Dan itu berjalan hampir satu tahun lamanya. Hingga pada akhirnya kami pun memiliki pelanggan yang bisa terbilang banyak. Dan di tahun kedua, kami memberanikan diri untuk mengontrak ruko berukuran kecil yang kami g
Kendaraan roda empat yang aku tumpangi membelah jalan raya dengan kecepatan sedang, hingga puluhan menit kemudian mobil milik Maya berhenti di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Maya menekan klakson mobil beberapa kali hingga tak berselang lama pintu gerbang itu terbuka.Sepersekian detik kemudian terlihatlah sosok lelaki berkumis tebal berperawakan tinggi besar dan berpakaian khas orang satpam menyembul dari balik pintu gerbang. Maya menurunkan kaca mobil hingga akhirnya satpam itu bisa melihat wajah Maya. Maya meminta orang itu untuk membuka pintu gerbang. Mungkin karena satpam tersebut sudah mengenal Maya sehingga ia itu membuka pintu gerbang setelah menganggukkan kepalanya ke arah Maya. Beberapa detik mobil melaju masuk ke dalam halaman rumah hingga pada akhirnya kendaraan roda empat kami berhenti tepat di depan rumah yang terlihat begitu megah. Rumah yang bergaya modern, berlantai tiga dan berwarna putih. Ada banyak bunga-bunga yang berjajar dengan rapi dan terlihat begi
"Ada surat-suratnya?" "Ada, Om," ucap Maya lalu menolehkan kepalanya ke arahku yang duduk di sampingnya. "Tunjukkan surat-suratnya," ucap Maya dengan nada setengah berbisik. Bergegas aku membuka tas yang kubawa, lalu mengeluarkan surat-surat penting dari dalam sana. Ya, aku memang berniat menggadaikan rumah, restoran dan juga mobil. Jika kalian bertanya kenapa aku melakukan ini, salah satunya karena aku ingin mengambil semua harta-harta itu. Kedua, karena aku ingin memberikan pelajaran pada mereka berdua. Sebenarnya ada pilihan lain, yaitu menjual aset-aset ini. Akan tetapi, terlalu lama tentunya untuk mencari pembeli dengan cepat. Apalagi semua aset itu atas nama Mas Yoga. Tentu aku yang akan kesulitan jika menjual tanpa sepengetahuan Mas Yoga. Dan aku memilih jalan yang paling mudah, yaitu menggadaikan. Meskipun uang yang kuterima tak sebanyak dari hasil penjualan. Ya, biarlah mereka nanti terkejut saat mengetahui jika semua aset telah kugadaikan dan uang telah kubawa semuanya
Aku bangkit dari persimpuhanku, bergegas aku berjalan menuju ke arah tempat dudukku yang semula. Aku menghapus jejak-jejak air mata yang masih tersisa dengan punggung tanganku. Entah setan apa yang merasukiku kali ini, begitu mudahnya aku mengeluarkan air mata. Padahal selama ini aku bukanlah tipe perempuan yang cengeng. Bahkan, mendapati suamiku berselingkuh pun aku tak bisa menangis. Lantas, kenapa hari ini begitu mudahnya aku mengeluarkan air mata? Oho ... sepertinya itu karena aku takut jika aku tak mendapatkan harta itu. Bukankah jika semua aset jatuh ke tangan Mas Yoga beserta selingkuhannya itu jauh lebih menyakitkan dibandingkan dengan sebuah pengkhianatan?"Akting kamu bagus sekali, Ren." Maya mengacungkan jempolnya tepat di depan wajahku. Segera aku menepis tangan itu, sebab tinggal satu centi saja jempol maya sudah menyentuh pucuk hidungku. "Aku nggak nyangka kamu pintar sekali mengeluarkan air mata palsu." Maya tergelak tawa setelah menyelesaikan satu kalimatnya. "Apa
Aku mengalihkan pandangan ke arah Pak Chandra yang sedang menatapku lalu aku berkata, "Saya setuju, Pak.""Silahkan ditandatangani."Aku mengangguk yakin. Bergegas aku membubuhkan tandatangan lalu kuselipkan nama di bawah tandatangan yang sudah tertempel oleh materai. Aku menerima jangka waktu selama enam bulan sebab aku yakin, di bulan itu aku sudah resmi bercerai dengan Mas Yoga. Seyakin itu kah diriku?Tentu!Tak lama lagi aku akan melayangkan gugatan ceraiku ke pengadilan. Proses perceraian pun pasti tak akan berlangsung lama. Sebab, tak akan ada penyelesaian soal harta gono-gini maupun hak asuh anak di persidangan nanti. Toh Mas Yoga pun juga sudah berniat menceriakan aku. Tentu ia senang hati kalau aku telah menggugat cerai dirinya, apalagi tanpa membawa secuil harta miliknya. Aku benar-benar bernapas lega.Kuletakkan lembaran kertas yang sudah kububuhi tandatanganku. Pak Chandra menyerahkan dua amplop tersebut. Dengan senang hati tentunya aku menerima amplop itu. "Hitunglah
Setelah membayar tagihan makanan, kami pun bergegas keluar, hingga saat kami hampir sampai di ambang pintu, gendang telingaku menangkap suara yang sangat aku kenali mengucapkan kalimat yang seketika menciptakan gemuruh di dalam dada. Seketika aku menghentikan langkahku saat mendengar suara dari seseorang yang begitu aku kenali. Maya yang menyadari langkahku yang terhenti, seketika ikut menghentikan langkahnya lalu menolehkan kepalanya ke arahku. "Rena sudah lima tahun nikah dengan Yoga, tepi belum juga mendapatkan keturunan. Ibu yakin, setelah menikah dengan kamu. Kamu akan cepat memberikan cucu pada Ibu. Dia itu perempuan mandul. Bukan perempuan sempurna."Deg. Seketika jantungku terasa berdegup dengan kencang saat mendengar penuturan yang keluar dari mulut ibu mertua. Entah sejak kapan ibu mertua datang ke kota ini. Di sana, di meja makan itu ada ibu mertua yang duduk memunggungi keberadaanku, sedangkan perempuan itu menghadap ke arahku. Mungkin ia belum mengenali aku yang merup
Akhirnya aku pun mengenakan sabuk pengaman, pun juga yang dilakukan oleh Maya. Hingga beberapa menit kemudian, mobil mulai keluar dari halaman cafe dan melesat membelah jalan raya. "Kamu tahu kalau mertua kamu ada di sini?" tanya Maya yang saat aku menolehkan kepala ke arahnya, pandangannya lurus ke depan menatap jalan raya. "Aku nggak tahu. Entah sejak kapan Ibu ada di sini. Bisa jadi hari ini dia baru datang.""Kok bisa sama selingkuhan suami kamu ya? Apa mereka sudah saling mengenal dan Ibu mertua kamu pun tahu soal hubungan gelap mereka? Dan ya, apalagi mertua kamu bilang soal cucu. Bukankah itu artinya ....""Ya, itulah yang juga aku pikirkan saat ini. Mungkin Ibu mertua sudah mengetahui dan mendukung perselingkuhan yang dilakukan oleh putranya, bahkan sampai mendukung ke jenjang pernikahan," jawabku dengan cepat saat kurasa Maya sengaja menggantung ucapannya. Mungkin ia tak enak jika ingin melanjutkan apa yang ingin ia katakan itu. "Kebangetan itu kalau sampai-sampai emaknya