Share

Bab 5

"Andai dia memintaku untuk memilih, tentu aku akan memilih kamu, Sayang. Tapi semua butuh waktu, jangan sampai dia menikmati hasil jerih payahku." 

Aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat hingga terciptalah rasa nyeri di kedua telapak tanganku akibat kuku-kuku yang tertancap di sana. 

Mata yang semula terasa mengantuk, kini terbuka dengan sepenuhnya. 

Satu fakta lagi terkuak. Sekarang aku tahu, saat ini Mas Yoga masih bertahan untuk tidak menceraikan aku karena ingin menguasai harta yang kami dapatkan setelah menikah. 

Ya, Mas Yoga dan aku berasal dari keluarga yang sama-sama sederhana. Setelah kami menikah, kami memutuskan merantau ke kota yang kami tempati saat ini. Kami bekerja sama dalam memulai menjalankan usaha. 

Semula, kami hanya berjualan keliling dengan gerobak. Dan itu berjalan hampir satu tahun lamanya. Hingga pada akhirnya kami pun memiliki pelanggan yang bisa terbilang banyak. Dan di tahun kedua, kami memberanikan diri untuk mengontrak ruko berukuran kecil yang kami gunakan untuk berjualan makanan. Dan di ruko itu pula lah kami tinggal. Hitung-hitung menekan biaya pengeluaran kontrakan rumah. 

Tahun demi tahun terus berjalan, rasanya Tuhan seperti benar-benar melancarkan usaha kami. Omset setiap harinya meningkat hingga kami pun merasa kuwalahan untuk melayani konsumen. Dan dari situ lah semua berawal. Kami mulai mencari pelayan, hingga seorang juru masak. 

Dan seperti ini lah keadaan kami sekarang, memiliki rumah dua lantai, memiliki satu rumah makan yang merupakan bangunan sendiri meskipun tak terlalu luas, dan juga kendaraan roda empat yang biasanya dipakai oleh Mas Yoga berangkat dan pulang bekerja.  

Selain usaha rumah makan, Mas Yoga juga menjalankan bisnis sampingan. Yaitu, jual beli motor bekas. Akan tetapi, kata Mas Yoga, usahanya yang satu itu masih belum berkembang. Setiap minggu, hanya terjual satu atau dua sepeda motor saja. 

"Tenang saja, Sayang. Sampai kapan pun tak ada yang bisa memisahkan kita," ucap Mas Yoga dengan begitu entengnya. 

Sebenarnya ingin sekali kutendang tubuhnya saat ini juga. Akan tetapi, aku tak boleh bertindak dengan gegabah. Aku harus membalas pengkhianatan Mas Yoga dengan elegan. Tentu demi harta yang kami dapatkan selama ini. 

Terdengar Mas Yoga tergelak tawa, mungkin selingkuhannya itu sedang membuat lelucon untuknya. 

"Mana mungkin. Nggak bisa lah kalau dia minta harta gono-gini. Kalau pun pada akhirnya bercerai, dia yang harus keluar dari rumah ini tanpa membawa satu peser pun dari sini," ucap Mas Yoga dengan pongahnya. 

"Dan satu lagi ... tak akan kubiarkan dia membawa sehelai baju sekalipun. Lebih baik kubakar baju-baju miliknya itu daripada dia bawa pergi." 

Lagi, Mas Yoga kembali tergelak tawa setelah mengucapkan kalimat terakhirnya. 

Aku tersenyum miris di dalam hati. Tak menyangka, ternyata lelaki yang sempat bertahta di dalam sini memiliki watak yang begitu kejam. 

Akan tetapi, mendengar kalimat demi kalimat yang ia lontarkan dengan kedua telingaku sendiri membuatku yakin untuk menjalankan rencanaku itu. Biarlah orang menyebutku perempuan licik. Aku benar-benar tak peduli. 

"Ok, baiklah. Semua akan di mulai dari hari ini, Mas. Kita lihat, aku atau kamu yang akan terjatuh dan pada akhirnya bakal terpuruk." Aku bermonolog di dalam hati. 

Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha meredamkan gejolak di dalam dada yang terasa tak karuan. 

Besok, aku akan mulai menjalankan rencanaku. Yaitu menyelamatkan sebagian harta yang memang seharusnya untukku. Bukan hanya setengah harta, melainkan sepenuhnya. 

"Sudah ya, aku tidur dulu. Besok pagi-pagi aku jemput kamu." 

Hening. 

"Emuah ...."

Dada ini kembali berdenyut. 

Cepat aku berjalan kembali menuju ke arah ranjang, merebahkan tubuh di tempat yang semula. 

Aku pura-pura memejamkan kedua netraku hingga beberapa menit kemudian terasa seseorang sedang naik ke atas ranjang. 

****

Aku menghidangkan sarapan untuk Mas Yoga seperti biasanya. Membuatkan secangkir kopi pahit kesukaannya. Sebenarnya ingin sekali kutaburkan racun ke dalam minumannya, akan tetapi aku tak mau masa tuaku akan kuhabiskan di dalam penjara. Bukankah lebih baik bertindak secara elegan dan halus tetapi mampu menghancurkan lawan?

Kami menikmati sarapan kali ini dengan saling diam. Tak ada pembicaraan, hanya suara denting sendok yang memecahkan keheningan. 

Sempat aku berusaha mencairkan suasana, akan tetapi Mas Yoga tak menanggapi celotehanku hingga akhirnya suasana kembali menjadi hening. 

"Nanti aku pulang malam." Tiba-tiba mulut yang sebelumnya tertutup rapat itu mengeluarkan satu kalimat. 

Aku mengangkat pandanganku, mengedarkan pandang ke arah Mas Yoga yang sedang nenyelesaikan sarapannya. Akan tetapi, Mas Yoga terus menunduk, mengamati denting sendok yang beradu dengan piring. 

"Memang ada acara apa lagi, Mas?" tanyaku masih berusaha bersikap tenang. 

"Ada urusan! Kenapa? Kau mau mencurigaiku pergi dengan perempuan lain?!" Nada suara Mas Yoga langsung meninggi. 

Aku tersenyum kecut. 

Ternyata seperti ini cara Mas Yoga menutupi kesalahannya. Pagi ini dia bersikap ketus agar tak mendapatkan pertanyaan beruntun saat ia berpamitan dan mengatakan jika ia ingin pulang malam. Pandai sekali bukan?

Aku menghembuskan napas kasar, bergegas kuselesaikan sarapanku. Hingga tak berselang lama terdengar Mas Yoga meletakkan sendok ke piringnya. Setelahnya ia meraih tas kerjanya yang ia letakkan di belakang punggung lalu bangkit dari tempat duduknya dan melenggang pergi begitu saja.

Lagi-lagi aku tersenyum kecut. Aku membersihkan meja makan dan langsung mencuci piring-piring kotor bekas kami makan. 

Setelah memastikan rumah rapi dan bersih, aku kembali ke kamar. Mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas lalu menghempaskan tubuhku di ranjang.

Sebenarnya aku sendiri sudah merindukan sosok bayi kecil untuk melengkapi keluarga kecilku. Aku merindukan suara tangis dan gelak tawa yang keluar dari mulut mungil itu. Akan tetapi, hingga usia pernikahan kami sudah berjalan lima tahun, Tuhan tak kunjung menitipkan keturunan pada kami. 

Sebenarnya aku pernah mengandung. Bahkan selama usia pernikahan ini, aku sudah pernah hamil tiga kali. Akan tetapi, di saat usia kandungan sudah menginjak tiga bulan, janin itu selalu gugur. 

Aku mulai membuka aplikasi sosial media yang berlogo F dan berwarna biru itu setelahnya aku mengeluarkan akun f******k asliku.

Bergegas aku mendaftarkan akun email beserta aku f******k fake pada ponselku.

Aku membuat akun dengan nama Bunga Mentari. Nama yang cantik bukan?

Bergegas aku meng-upload salah satu foto suamiku beserta selingkuhannya itu ke akun f******k, guna menjadikan foto profil di akun fake milikku. Kalian tahu, aku memilih foto yang paling jelas pada wajah keduanya, dan pilihanku jatuh pada foto saat Mas Yoga sedang duduk di lobby hotel bersama perempuan jalang itu yang kemarin dikirimkan oleh temanku.

Langkah awal yang kulakukan adalah mengirimkan permintaan pertemanan pada akun f******k Mas Yoga.

Sembari aku menunggu Mas Yoga menerima permintaan pertemananku, aku mengirimkan permintaan pertemanan pula ke akun beberapa kerabat dekat Mas Yoga yang masih terbilang muda. Tak lupa pula aku mengetik satu akun milik tetangga Ibu mertua di kampung yang terkenal paling julid. Aku tahu, sebab aku pun juga berteman dengan beberapa tetangga kampung Mas Yoga. 

Setelah semua selesai, satu per satu permintaan pertemananku sudah mulai dikonfirmasi. Bahkan, tak lama setelah itu ada dua pesan yang dikirimkan oleh nama akun yang berbeda masuk ke aplikasi inbox milikku. 

Tanpa membuka terlebih dahulu, bergegas aku meletakkan ponselku dengan asal. Bangkit dari ranjang lalu mulai mengganti pakaianku. Sebab aku akan keluar menemui seseorang. 

Setelah penampilanku sudah terlihat pantas, aku menghubungi nomor milik Mas Yoga melalui sambungan telepon. 

"Halo, Mas," sapaku setelah panggilan itu diangkat setelah terdengar dering ke tiga.

"Hm ...."

"Mas, aku mau pergi sebentar." 

"Ke mana? Menemui lelaki lain di luar sana?" ucap Mas Yoga dari seberang sana dengan nada yang begitu ketus. 

Aku mengusap dadaku, menenangkan diriku sendiri yang hampir saja tersulut oleh emosi. 

"Aku ingin bertemu dengan ...."

"Lelaki kan?" pekik Mas Yoga memotong ucapanku. 

"Astaga ... bukan, Mas. Aku hanya ingin pergi dengan Maya, Mas." 

Aku berusaha bersikap setenang mungkin, meskipun aslinya ingin kutendang dan kuhajar lelaki kep*rat itu. 

"Gimana? Enak?" tanya Mas Yoga yang membuatku melipat kening. 

"Apanya, Mas?"

"Gimana rasanya dicurigai? Nggak enak kan?!" 

Aku menghembuskan napas berat. 

"Sudahlah, Mas. Aku hanya meminta izin dari kamu, jangan memperpanjang masalah sepele begitu, dong," protesku tak terima. 

Padahal kemarin bukanlah kecurigaan belaka. Padahal aku melihat dengan kedua bola mataku sendiri saat Mas Yoga berjalan dengan mesra saat akan masuk ke dalam rumah. 

Sedikit menyesal sebenarnya saat aku tidak langsung menyerang perempuan itu. Padahal aku bisa saja langsung menyerangnya saat itu juga. Tapi, aku tak boleh bersikap seperti itu untuk menjalankan beberapa rencanaku. 

Mas Yoga mematikan teleponnya secara sepihak. Kumasukkan ponselku ke dalam tas yang akan kubawa, bergegas aku keluar kamar lalu berjalan menuju ke arah depan rumah. Menghenyakkan tubuh di kursi yang ada di teras rumah. Menunggu seseorang datang menjemputku untuk mengantarkanku ke suatu alamat yang ingin kutuju. 

Belasan menit aku menunggu kedatangan Maya, akhirnya terdengar suara klakson dari depan rumah. Cepat aku bangkit dari tempat dudukku, bergegas aku melangkah ke arah sana setelah memastikan pintu rumah sudah terkunci. Sebab aku yakin, mobil yang berhenti dan membunyikan klakson adalah Maya. 

Aku langsung membuka pintu mobil bagian depan, menghenyakkan tubuhku di jok tepat di samping Maya yang duduk di balik kemudi. 

"Sudah bawa berkas-berkasnya?" tanya Maya saat aku sedang mengenakan sabuk pengaman. 

"Sudah," jawabku dengan singkat. 

"Kamu yakin bakalan melakukan ini?"

Cepat aku menolehkan kepala ke arah Maya. Sepertinya ia tengah meragukan langkah yang kuambil saat ini. 

"Yakin! Sedikit pun tak ada keraguan di dalam sini. Lebih baik aku melakukan semua ini, peduli setan jika semua orang menganggapku seorang perempuan licik."

Aku menghela napas dalam-dalam. 

"Aku sama sekali tak rela, May, jika perempuan itu bisa menikmati harta yang telah kami kumpulkan bersama. Kamu tahu sendiri kan seperti apa kerja keras kami dulu?" tanyaku dan Maya mengangguk cepat. 

"Cukup sudah dia menikmati harta yang seharusnya menjadi hakku. Sebab aku yakin kalau Mas Yoga pasti menggelontorkan uang ke rekening perempuan itu," lanjutku kemudian. 

"Iya, aku mengerti perasaan kamu. Kita berangkat sekarang ya," ucap Maya yang kubalas dengan anggukan kepala. 

Setelah beberapa saat kemudian, suara mesin mobil mulai terdengar hingga sepersekian detik setelahnya mobil mulai melesat membelah jalan raya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Egi Latto Egi
sebenarnya klu langsung di labtak, kaka langsung win tapi cerita ini menjadi pendek dan sakit hati itu tidak terasa dalam. (ada bukti ajukan cerai/selesai)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status