Share

Bab 4

"Oh, ya. Kamu tadi baru pulang kok kayaknya mau pergi lagi? Mau ke mana, Mas? Dan sepertinya aku tadi melihat ada seseorang yang duduk di jok mobil yang biasanya kududuki saat pergi bersama kamu?"

Seketika wajah itu terlihat pias. Mas Yoga mengubah posisinya yang semula berhadapan denganku. Mungkin ia tak ingin jika aku melihat kegugupannya. Baru pertanyaan begitu saja kamu sudah takut, gitu kok sok-sokan berselingkuh. Ingin menikah lagi pula. 

Aku tersenyum samar.

"Mas?" 

"Eh, iya, Sayang? Ada apa?" ucap Mas Yoga yang sepertinya sedang menyembunyikan kegugupannya. Akan tetapi, aku sudah mengetahui bangkai yang selama ini dia pendam. 

"Kamu tadi di mobil sama siapa? Kayaknya ada perempuan deh," ucapku dengan nada setenang mungkin, akan tetapi pastinya mampu membuat dada Mas Yoga berdebar-debar. 

"Maksud kamu?" Mas Yoga bertanya balik. 

"Aku tadi lihat seperti ada seseorang di dalam mobil," ucapku berbohong. Padahal sewaktu perempuan itu masuk ke dalam mobil, ia langsung mem bungkukkan tubuhnya lebih dalam yang sepertinya sudah menyadari kehadiranku saat baru saja aku membuka pintu. Andai kata aku tak mengetahui saat perempuan itu sempat keluar, mungkin aku juga tak tahu saat di mobil yang dikendarai suamiku ada perempuan yang merupakan selingkuhannya itu. 

"Nggak ada siapapun di mobil. Tadi hanya ada Mas loh. Kamu kayaknya lelah sekali hingga salah lihat seperti itu," ucap Mas Yoga sembari terkekeh. Aku tahu, ia hanya pura-pura tertawa untuk menyembunyikan ketakutannya. 

"Masa sih, Mas? Kayaknya enggak deh. Aku tadi lihat ada perempuan di dalam mobil. Aku masih ingat dia kayaknya pakai dress tanpa lengan berwarna merah maroon dengan rambut yang tergerai deh." 

Seketika wajah itu semakin terlihat memucat saat aku mengatakan pakaian yang dikenakan oleh perempuan itu. 

"Kamu ini ada-ada saja, Ren. Mana mungkin ada perempuan di dalam mobil. Apalagi bagian dalam mobil lampunya mati. Mana mungkin terlihat kalau pun ada, Ren," ucap Mas Yoga lagi. 

"Aku mau memastikan dulu, Mas. Kok firasatku nggak enak. Jangan-jangan kamu tadi bawa orang mau ke rumah ini ya, Mas." Aku menatap wajah itu dengan sorot mata yang menyelidik. 

Iris hitam itu terus bergerak, menandakan jika saat ini dia sedang tidak baik-baik saja.

"Aku mau cek dulu, Mas." Cepat aku bangkit dari bibir ranjang, setelahnya aku langsung berjalan meninggalkan Mas Yoga. 

"Ren, kamu mau ke mana, sayang?" 

Mas Yoga mengikuti langkahku hingga akhirnya ia mensejajari langkahku. 

"Kamu mau ke mana, Sayang? Mas lapar sekali. Yuk kita makan," ucap Mas Yoga yang sepertinya tengah berusaha menghentikan langkah kakiku. 

Mas Yoga mencekal lenganku, hingga membuat langkah kaki ini terhenti. 

"Mas lapar, yuk kita makan," ucap Mas Yoga masih dengan raut wajahnya yang memucat. 

"Aku cek mobil dulu, setelah itu aku bikinkan makanan. Bentar, ya. Bentar doang." 

Aku melepaskan cekalan tangan Mas Yoga dengan pelan. Setelahnya bergegas aku melangkah ke luar rumah. Tak kupedulikan Mas Yoga yang terus mengikutiku, tak kupedulikan usaha Mas Yoga yang terus berusaha menghentikan langkahku. 

Aku tahu, kali ini dia sangat ketakutan sekali. 

Aku terus melangkah hingga akhirnya kedua kaki telah menapak di teras rumah. 

Mas Yoga semakin dibuat kalang kabut. Aku berhenti di samping pintu mobil, setelahnya aku menolehkan kepala ke arahnya. Wajah itu semakin terlihat memucat. Seperti sudah tak ada aliran darah di sana. 

Aku meraih gagang pintu mobil, saat ingin menariknya, tiba-tiba ....

"Sayang ...."

Cepat kutarik gagang pintu mobil itu. Akan tetapi tak kudapati seorang pun ada di sana. 

Aku menolehkan kepala ke segala penjuru, ingin mencari keberadaan perempuan itu tentunya. 

Mungkinkah dia sudah keluar dari halaman rumahku?

Bergegas aku melangkah ke luar halaman. Menolehkan kepala ke arah kiri dan kanan, namun hasilnya tetap nihil. Tak ada siapapun. 

Aku menghembuskan napas berat. 

Aku kembali memutar tubuh lalu melangkah lebih masuk ke halaman rumah. Saat kedua netra ini, terlihat dengan jelas seraut wajah itu tak lagi memucat. Gurat kelegaan terlihat dengan jelas di wajah itu. 

Bahkan, saat baru saja kubuka pintu mobil tapi tak kutemukan siapapun di sana, gendang telingaku nenangkap Mas Yoga sedang menghembuskan napas panjang. Seperti mengisyaratkan kelegaan luar biasa. 

"Nggak ada siapa pun kan?!" ucap Mas Yoga setelah aku menghentikan langkahku di sampingnya. 

"Kamu kenapa sih kok mencurigaiku tanpa alasan seperti itu?!" ucap Mas Yoga dengan nada tak suka. 

Ya begitulah lelaki, dia akan marah ketika posisinya sudah terhimpit. Seperti saat ini, misalnya. 

"Mas, sekarang itu sedang marak kasus perselingkuhan. Apalagi kamu pemilik rumah makan. Siapa tahu kan ada seorang perempuan yang berusaha menggoda kamu," ucapku. 

Mendengar penuturanku, kedua tangan Mas Yoga terangkat lalu berhenti di atas kedua pundakku. Sejenak, kedua telapak tangan itu meremas kedua pundakku hingga aku bisa merasakan nyeri di bagian sana. 

"Ren! Denger, ya. Aku nggak suka kalau dicurigai seperti itu! Kamu tahu, itu sama saja kalau kamu tidak percaya denganku! Aku nggak suka kamu seperti ini!" ucap Mas Yoga sembari menatapku dengan lekat. 

"Mas, sekarang banyak perempuan murahan yang berusaha mendekati suami orang, Mas! Apa salah jika aku takut akan hal itu?!"

Mas Yoga melepaskan tangannya dengan kasar. Terdengar dengan jelas lelaki itu menghembuskan napas berat sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah-olah sedang menganggap jika yang kukatakan ini hanyalah sebuah lelucon belaka.

"Tapi nyatanya, kecurigaan kamu nggak terbukti, kan?! Ren, jika kamu terus menganggap dan berpikir kalau aku seperti itu, maka jangan salahkan aku jika aku benar-benar selingkuh!" ucap Mas Yoga. Kali ini nada suaranya terdengar tak lebih dari sebuah ancaman. 

Mas Yoga melenggang pergi meninggalkanku yang hanya bisa tersenyum kecut. Lelaki itu marah karena ingin menutupi kebenaran yang sesungguhnya. 

"Apa yang kamu pikirkan, itu lah yang akan terjadi, Ren. Jangan pernah berpikir buruk kalau kamu tak mau keburukanlah yang terjadi! Jika kau menganggapku berselingkuh, percuma selama ini aku menjaga kesetiaanku!"

Rasanya ingin sekali aku tertawa lebar saat mendengarkan ucapan lelaki itu. Dengan tak tahu malunya dia mengatakan soal kesetiaan. 

Mas yoga kembali melanjutkan langkahnya. Sebenarnya ingin sekali kucaci maki lelaki itu, membenturkan kepalanya ke tembok, supaya otak yang mungkin bergeser itu kembali ke tempatnya. 

Lagi-lagi aku tak boleh gegabah dalam bertindak. Sebab aku memiliki rencana untuk menyelamatkan harta yang telah kami cari berdua. Tentu saja dengan cara yang bisa dibilang licik. Biar saja kali ini aku berpura-pura tidak mengetahui perselingkuhannya, padahal di belakang dirinya aku sudah menggencarkan segenap rencana. 

Sebelum aku melangkah dan masuk ke dalam rumah, kembali aku mengedarkan pandang ke segala penjuru. Memastikan jika perempuan sund*l itu sudah tidak ada di sini. 

Saat kedua netra ini tak mendapati sosoknya, aku melangkah masuk ke dalam rumah. Tujuan utamaku adalah kamar. Aku yakin, Mas Yoga sudah berada di sana.

Saat aku baru saja membuka pintu, terlihat Mas Yoga sedang duduk di tepi ranjang sembari memainkan ponselnya. Mungkin ia menghubungi sang kekasih pujaan hatinya. Mungkin ia khawatir di mana keberadaan perempuan yang saat ini telah berhasil memenuhi isi kepalanya itu. 

Melihat kedatanganku, Mas Yoga langsung melirikkan matanya ke arahku. Cepat ia naik ke ranjang, meletakkan ponsel yang tadi ia genggam ke bawah bantal. Setelahnya ia pun merebahkan tubuhnya di sana dengan posisi memunggungi keberadaanku. 

Aku mencebikkan bibirku. 

Aku melangkah mendekat ke arah ranjang. Ingin sekali rasanya aku naik ke atas ranjang lalu menjejakkan kaki ini ke tubuh lelaki tak tahu diri itu. Ingin sekali kubekap wajahnya dengan bantal lalu kutendang tubuhnya dan kupotong benda pentingnya itu. 

Aku menghembuskan napas berat, berharap mampu kembali menormalkan jalan pikiranku ini. 

Aku menghenyakkan tubuhku di bibir ranjang, di tempat Mas Yoga berbaring. 

"Mas, maafkan aku."

Aku pura-pura memasang raut wajah penuh dengan rasa bersalah.

Mas Yoga menghembuskan napas berat sembari mengubah posisinya. Memunggungiku. 

Aku meraih punggung itu. 

"Maafkan aku yang menuduhmu tanpa alasan. Mungkin karena aku sering sekali menonton film perselingkuhan hingga akhirnya pikiran buruk itu terlintas dalam otakku, Mas. Aku jadi mencurigai kamu." Aku berbicara dengan nada lembut. Tak mungkin kan kalau aku ngegas sedangkan aku ini berpura-pura percaya dengannya. 

"Aku mau tidur!" ketus Mas Yoga sembari menyingkirkan tanganku dari punggungnya. 

"Katanya lapar. Aku masakin dulu ya."

"Nggak perlu! Aku sudah kenyang dengan tuduhan dan pikiran burukmu itu!" Mas Yoga berucap dengan begitu ketusnya. 

Andai aku belum mengetahui kebusukannya itu, pasti saat ini aku sedang menghiba untuk mendapatkan permintaan maafnya. 

Akhirnya aku naik ke atas ranjang. Merebahkan tubuhku di tempatku. Melihatku yang ingin tidur, Mas Yoga kembali mengubah posisinya. Memunggungiku. Aku tersenyum samar. Untung saja dia memunggungiku, andai dia menghadapkan wajahnya ke arahku, pasti sudah kutonjok wajahnya itu  

Aku meraih posisi ternyamanku. Sebenarnya ada rasa sesak yang menyeruak saat memikirkan nasib rumah tanggaku yang sebentar lagi dipastikan akan hancur. 

Aku menolehkan kapala ke arah jam yang menggantung di dinding. Hari sudah larut malam. Hingga akhirnya aku benar-benar terlelap dalam tidurku. 

****

Sayup-sayup aku mendengar seseorang tengah bersuara. Beberapa kali aku mengerjapkan kedua mataku. Berharap mampu segera mengumpulkan kesadaranku. Keningku berkerut tajam saat mendengar suara yang begitu amat kukenali tengah bercakap-cakap dengan seseorang. 

Aku bangkit dari pembaringan. Sejenak aku melirik ke arah jarum jam. Ternyata baru sekitar satu jam aku tertidur. 

Aku melangkah mendekat ke arah sumber suara itu. Dari pintu yang sedikit terbuka, aku bisa melihat tubuh Mas Yoga sedang berdiri di balik pintu dengan tangan kanan memegang ponsel dan ditempelkan di telinga kanannya. 

Aku berdiri di balik pintu, hingga dengan jelas aku bisa mendengar ucapan demi ucapan yang dilontarkan oleh lelaki yang bergelar suamiku itu. 

"Andai dia memintaku untuk memilih, tentu aku akan memilih kamu, Sayang. Tapi semua butuh waktu, jangan sampai dia menikmati hasil jerih payahku." 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Bagasinya ndak dicek apa?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status