Seketika suasana warung menjadi lebih ramai dan kacau akibat perkelahian Yoga dan Tono. Tapi jujur saja, walaupun keduanya sama-sama mabuk, tetap saja Yoga tampak jauh lebih unggul untuk memberikan hantaman demi hantaman kepada Tono. Tono semakin kehilangan kesadaran.Walaupun sudah mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Yoga, tidak lantas membuat Tono menyerah dari Yoga. Tono justru semakin berniat untuk menghabisi Yoga. Dilihatnya oleh Tono sebuah pisau tergeletak bebas di atas meja, entah habis digunakan untuk apa, tapi ada pisau di sana. Tanpa ragu Tono segera meraih pisau tersebut.Dengan gelap mata, semuanya pun terjadi dengan cepat.JLEB!Pisau tersebut berpindah posisi. Tono berhasil menusukkan pisau tersebut menembus tubuh Yoga.Tidak puas dengan satu kali tusukan, Tono menusuk beberapa kali tubuh Yoga hingga Yoga akhirnya tak sadarkan diri.Suara teriakan para wanita yang melihat kejadian tersebut sontak membuat para warga sekitar yang berada di sana langsung berdatangan mel
Setelah melakukan serangkaian keagamaan, akhirnya Yoga pun dibawa ke liang kuburnya.Melihat Yoga dikubur, membuat perasaan Mutia sedikit tidak karuan. Tidak ada air mata, tapi tidak ada juga rasa bahagia suka cita.Mutia merasa mungkin ini pembalasan dari Tuhan, untuk semua kesakitan dan penderitaan yang telah ia terima dari suaminya yang selalu menyakiti dirinya. Tapi di satu sisi, Mutia juga kembali teringat akan masa lalunya, yang sempat bahagia bersama Yoga. Bagaimanapun juga Yoga pernah menjadi hal yang paling membuat Mutia bahagia dalam hidupnya.***Kabar Yoga sudah tidak ada akhirnya sampai ke telinga sang mantan istri, Rena. “Apa, Mas Yoga? … Innalilahi wa innalilahi rojiun,” ucap Rena yang masih tak percaya dengan kabar yang baru ia dengar.Ternyata seorang kerabat yang ikut hadir dalam pemakaman Yoga, mengetahui keberadaan Rena, dan memberitahukan kepada Rena tentang kondisi Yoga.“Terima kasih sudah memberitahu.” Rena menutup telepon nya.“Ada apa Ren,?” tanya Ibunya Re
Rasanya masih seperti mimpi melihat makam Yoga. Rasanya suara hinaan, cacian, dan bentakan itu masih terdengar nyata di telinga Mutia. Tapi kini seseorang yang sudah menghina, menzolimi dirinya sudah tidak ada lagi. Entah Mutia harus merasa lega atau tidak. Mutia tidak tau. Sekarang yang terasa hanya ruang hampa.***Tak terasa 1 Minggu telah berlalu. Setiap harinya kesehatan ibu mertua Mutia berangsur membaik. Bahkan kata dokter, Ia sudah bisa pulang besok siang.…Keesokan harinya,Mutia tengah melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam tas, ketika Ibu mertuanya membuka mata setelah tertidur cukup lama. Mutia yang menyadari ibu mertuanya telah sadar langsung menghampiri ibu mertuanya tersebut.“Bu, ibu sudah sadar?” tanya Mutia lembut.Sang ibu mertua hanya bisa menatap Mutia nanar, mulutnya yang setenga miring itu, hanya bisa terbuka tertutup tanpa mengeluarkan kata. Hanya sebuah suara samar yang menunjukkan penyakitnya.“Bu, makan dulu, ya, Mutia suapi Ibu,” ucap Mutia lembah lemb
[Sayang, aku sudah di butik tempat kita fitting baju pengantin. Jangan lupa kalau kamu udah janji untuk datang ke sini. Jangan lama-lama, aku merindukanmu setelah satu minggu tak bertemu. Ini nama butiknya.]Satu pesan yang telah kubaca itu mampu membuat jantungku seperti berhenti berdetak. Apalagi pesan tersebut diakhiri oleh rentetan emoticon bergambar love setelah mencantumkan sebuah nama butik yang terdengar asing di ingatanku.Pesan tersebut dikirim oleh nama kontak yang diberi nama Mutia di ponsel suamiku. Siapakah Mutia? Apakah dia rekan suamiku lalu salah kirim pesan?Ya, pesan mesra ini kubaca di ponsel suamiku dan sepertinya baru dikirim beberapa menit yang lalu, sebab Mas Yoga– suamiku– belum sempat membuka pesan tersebut. Aku bisa membaca pesan mesra itu karena terpampang di beranda ponsel suamiku. Aku terus menerka-nerka, berusaha mengingat siapakah sosok yang memiliki nama Mutia. Namun semakin aku berusaha keras mengingatnya, aku tak kunjung menemukannya juga. Aku hapal
Belasan menit kendaraan roda duaku melesat membelah jalan raya. Seketika kupelankan laju kendaraanku lalu kuhentikan di pinggir jalan saat aku mengingat sesuatu. Aku baru kepikiran, tak mungkin aku membuntuti kemana perginya Mas Yoga dengan memakai kendaraan dan juga baju yang saat ini melekat di tubuhku. Tentu saja ia akan mengenaliku. Akhirnya aku melajukan kendaraan roda duaku ke arah rumah temanku yang bernama Indah. Kebetulan rumahnya tak jauh dari sini. Hanya membutuhkan waktu lima menit untuk sampai di rumah Indah, apalagi satu arah juga arahnya. Kini aku sudah masuk ke dalam halaman yang rumahnya terlihat begitu sederhana tersebut. Saat baru saja aku mematikan mesin motorku, tiba-tiba terlihat Indah berjalan ke luar rumah. Aku melepas helm yang kukenakan, menentengnya sembari berjalan mendekat ke arah di mana Indah berdiri. "Mau ke sini kok nggak kabarin dulu?" ucap Indah saat kami berpelukan. "Iya, Maaf. Kedatanganku ke sini ada sesuatu yang sangat penting."Indah menge
Aku memegang sebuah lembaran foto. Di mana di foto tersebut terpampang dengan jelas wajah suamiku dengan seorang perempuan. Perempuan yang bernama Mutia itu. Kali ini pandanganku langsung tertuju pada sebuah tulisan yang ada di sudut foto. Tulisan yang menampilkan tanggal berapa foto ini diambil. Aku kembali dibuat terkejut, ternyata foto itu diambil sepuluh tahun yang lalu. Ya, memang, dalam foto tersebut wajah suamiku terlihat lebih muda. Untuk foto perempuan yang sedang bersama suamiku ini, aku masih bisa mengenalinya. Dia adalah perempuan yang tadi kulihat. Meskipun wajah dan warna kulit sudah berbeda, akan tetapi aku masih sangat bisa mengenali. Aku membalik lembaran foto tersebut, aku tersentak kaget saat bagian belakang ada tulisan 'Bersama selamanya, selamanya akan bersama'.Tanpa sadar aku meremas foto tersebut dengan perasaan kesal dan geram. Aku yakin, ada hubungan spesial di masa lalu. Mungkinkah perempuan ini adalah cinta Mas Yoga di masa lalu? Ya, Tuhan ... sering
"Oh, ya. Kamu tadi baru pulang kok kayaknya mau pergi lagi? Mau ke mana, Mas? Dan sepertinya aku tadi melihat ada seseorang yang duduk di jok mobil yang biasanya kududuki saat pergi bersama kamu?"Seketika wajah itu terlihat pias. Mas Yoga mengubah posisinya yang semula berhadapan denganku. Mungkin ia tak ingin jika aku melihat kegugupannya. Baru pertanyaan begitu saja kamu sudah takut, gitu kok sok-sokan berselingkuh. Ingin menikah lagi pula. Aku tersenyum samar."Mas?" "Eh, iya, Sayang? Ada apa?" ucap Mas Yoga yang sepertinya sedang menyembunyikan kegugupannya. Akan tetapi, aku sudah mengetahui bangkai yang selama ini dia pendam. "Kamu tadi di mobil sama siapa? Kayaknya ada perempuan deh," ucapku dengan nada setenang mungkin, akan tetapi pastinya mampu membuat dada Mas Yoga berdebar-debar. "Maksud kamu?" Mas Yoga bertanya balik. "Aku tadi lihat seperti ada seseorang di dalam mobil," ucapku berbohong. Padahal sewaktu perempuan itu masuk ke dalam mobil, ia langsung mem bungkukkan
"Andai dia memintaku untuk memilih, tentu aku akan memilih kamu, Sayang. Tapi semua butuh waktu, jangan sampai dia menikmati hasil jerih payahku." Aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat hingga terciptalah rasa nyeri di kedua telapak tanganku akibat kuku-kuku yang tertancap di sana. Mata yang semula terasa mengantuk, kini terbuka dengan sepenuhnya. Satu fakta lagi terkuak. Sekarang aku tahu, saat ini Mas Yoga masih bertahan untuk tidak menceraikan aku karena ingin menguasai harta yang kami dapatkan setelah menikah. Ya, Mas Yoga dan aku berasal dari keluarga yang sama-sama sederhana. Setelah kami menikah, kami memutuskan merantau ke kota yang kami tempati saat ini. Kami bekerja sama dalam memulai menjalankan usaha. Semula, kami hanya berjualan keliling dengan gerobak. Dan itu berjalan hampir satu tahun lamanya. Hingga pada akhirnya kami pun memiliki pelanggan yang bisa terbilang banyak. Dan di tahun kedua, kami memberanikan diri untuk mengontrak ruko berukuran kecil yang kami g