Share

Bab 2

Belasan menit kendaraan roda duaku melesat membelah jalan raya. Seketika kupelankan laju kendaraanku lalu kuhentikan di pinggir jalan saat aku mengingat sesuatu. Aku baru kepikiran, tak mungkin aku membuntuti kemana perginya Mas Yoga dengan memakai kendaraan dan juga baju yang saat ini melekat di tubuhku. Tentu saja ia akan mengenaliku. 

Akhirnya aku melajukan kendaraan roda duaku ke arah rumah temanku yang bernama Indah. Kebetulan rumahnya tak jauh dari sini. Hanya membutuhkan waktu lima menit untuk sampai di rumah Indah, apalagi satu arah juga arahnya.  

Kini aku sudah masuk ke dalam halaman yang rumahnya terlihat begitu sederhana tersebut. Saat baru saja aku mematikan mesin motorku, tiba-tiba terlihat Indah berjalan ke luar rumah. 

Aku melepas helm yang kukenakan, menentengnya sembari berjalan mendekat ke arah di mana Indah berdiri. 

"Mau ke sini kok nggak kabarin dulu?" ucap Indah saat kami berpelukan. 

"Iya, Maaf. Kedatanganku ke sini ada sesuatu yang sangat penting."

Indah mengerutkan dahinya sembari menatapku dengan lekat. 

"Ndah, aku mau pinjam sepeda motor kamu boleh?"

"Boleh. Pakai saja, tidak masalah," ucap Indah. 

"Yuk ke dalam dulu. Aku buatin minum. Ibu dan Bapak masih di toko," lanjut Indah. 

"Maaf, Ndah. Mungkin lain kali. Aku sedang buru-buru. Ada sesuatu hal yang sangat penting," ucapku menolak ajakan Indah. 

"Kenapa? Ada masalah apa? Apa ada yang bisa aku bantu?" Rentetan pertanyaan dilontarkan oleh Indah. 

"Kali ini aku nggak bisa menceritakannya dulu, Ndah. Soalnya aku masih menyelidiki. Takutnya hanya dugaanku saja, lalu menimbulkan fitnah."

"Soal rumah tangga kamu?" 

Aku mengangguk ragu. 

"Ya sudah. Aku ambilkan dulu kuncinya. Duduklah dulu," ucap Indah. 

Aku hanya berdiri di tempat, tidak mengikuti apa yang Indah perintahkan. Bagaimana bisa aku duduk jika pikiran ini sedang terasa kacau? 

"Ini kuncinya," ucap Indah sembari menyerahkan kunci motornya. 

"Ndah ...."

"Ya? Ada yang kamu butuhkan lagi? Katakanlah," ucap Indah sembari tersenyum. 

"Aku pinjam jaket kamu, ya. Takutnya nanti Mas Yoga mengenali keberadaanku."

Betapa tak tahu dirinya aku, sudah meminjam motor, eh, tambah lagi pinjam jaket. 

"Ok, aku ambilkan dulu."

Setelah Indah menyerahkan jaketnya, bergegas aku mengendarai motor matic milik Indah. 

Sebelum aku benar-benar pergi dari sana, Indah berpesan jangan sampai aku gegabah dalam bertindak. Mungkin sahabatku itu mengerti permasalahan apa yang sedang mengukung diriku. 

Aku melajukan kecepatan roda duaku menuju ke arah butik itu. 

Aku menghentikan kendaraan tepat di depan bangunan sebuah butik yang terbilang besar dan mewah. Tentu tak sembarang orang bisa membeli pakaian di sini. 

Aku mengedarkan pandang, memastikan kalau nama butik itu sama dengan nama butik yang disebutkan oleh Mutia tadi. 

"Benar, tidak salah lagi," ucapku kemudian. 

Bergegas aku melajukan kendaraan masuk ke dalam area parkir. Saat baru saja aku ingin melepaskan helm yang aku kenakan, tiba-tiba sebuah mobil yang sangat aku kenali berhenti tepat di sebelah kendaraanku. 

Jantungku terasa berdebar lebih kencang. Aku memperhatikan penampilanku melalui spion motor. Membenarkan letak masker dan juga hijabku dengan benar. 

Ya, tadi aku memang sengaja mengenakan hijab. Sengaja berpenampilan berbeda dari hari-hari biasanya. Tentu agar tak dikenali oleh Mas Yoga. 

Cepat kugantung helm di spion motor, bergegas aku berjalan menuju ke arah butik. Aku terus melangkah, hingga akhirnya aku sudah berada di dalam butik. 

Aku memindai ke segala penjuru, langkahku tertuju pada sebuah manekin yang berbalut gaun berwarna putih. Tentu terlihat begitu cantik sekali. 

Saat aku pura-pura mengamati gaun tersebut, tiba-tiba ada seorang perempuan menggeser tubuhku dengan kasar. 

"Ini gaun pesanan saya. Jangan pegang!" ketus perempuan berambut hitam dan lurus sebatas bahu. 

Tak mau berbuat ribut, akhirnya aku meninggalkan perempuan itu. Bukan karena aku takut, aku hanya tak mau membuat keributan di dalam sini, apalagi saat aku sedang mengintai pergerakan Mas Yoga. 

Akhirnya aku memilih duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan oleh butik. Aku memainkan ponselku dengan wajah yang masih tertutup masker dengan sempurna dan juga kaca mata hitam yang menyamarkan manik hitamku. 

Tak berselang lama, aku seperti mencium aroma parfum yang sangat kuhapal siapa pemiliknya. Jantungku berdebar saat menolehkan kepala, ternyata benar, Mas Yoga tengah melintas di sampingku. 

Alangkah terkejutnya diriku saat tiba-tiba Mas Yoga langsung memeluk tubuh perempuan yang tadi sempat bersikap ketus itu padaku dari arah belakang. Semakin terkejutlah aku saat melihat dengan kedua bola mataku Mas Yoga mencium mesra pipi perempuan itu. 

Benar-benar tak tahu malu sama sekali. Padahal di sampingnya jelas-jelas ada seorang pegawai butik yang menemani perempuan yang sekarang kutebak adalah selingkuhan Mas Yoga itu sedari tadi. 

Memang mereka sama-sama tak tahu malu. Mendapatkan perlakuan seperti itu, sang wanita membalas ciuman suamiku dengan begitu mesra. 

Sayang sekali, aku tak sempat mengabadikan peristiwa bertemunya sepasang sampah itu. 

Aku menyandarkan tubuhku di sofa dengan ponsel pura-pura kumainkan di tanganku. Padahal tanpa sepengetahuan mereka, aku sedang memfoto lalu merekam aktifitas mereka di sini. 

Tak bisa dipungkiri, rasa gemuruh terasa begitu membuncah. Ada rasa cemburu, sakit hati yang menyeruak di dalam sini saat melihat suamiku bersikap mesra dengan perempuan itu. 

Sempat sejenak tadi kami saling bersitatap. Jika kecantikannya djbandingkan denganku, tentu jauh lebih cantik aku. Hanya saja dia lebih terlihat montok saja. 

"Bagus nggak, Sayang? Aku mau pakai gaun ini di acara pernikahan kita." 

Deg. 

Seketika jantungku seperti berhenti berdetak saat mendengarkan kalimat itu. 

Jujur, saat aku membaca pesan wanita itu di ponsel suamiku, sedikit pun tak terbersit dalam benakku jika akan terjadi pernikahan di antara mereka. Aku hanya menduga dan menerka jika hanya ada perselingkuhan diantara mereka dan tak berpikir sejauh itu. 

"Bagus, Sayang. Kalau pakai baju ini, pasti kamu terlihat semakin cantik."

Emosi seketika naik ke ubun-ubun. Rasanya ingin kucekik, kutendang, dan kuhajar lelaki itu saat ini juga. 

Sepasang durjana dan durjanawati itu saling tatap lalu melempar senyum. Tangan kiri Mas Yoga melingkar mesra pada pinggang perempuan itu. 

Sabar, Rena ... sabar ....

Aku meredamkan gejolak emosi dengan berkali-kali menghela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Jangan sampai karena emosi, aku akan bertindak dengan gegabah lalu rencana yang telah kususun menjadi berantakan. 

Untuk sementara waktu, aku harus bisa menahan diri kuat-kuat. Aku akan mengabadikan momen mereka berdua, tentu untuk menyerang mereka pada akhirnya. 

"Tunggu permainanku, Mas ...," geramku di dalam hati. 

Terlihat perempuan itu mengitari gaun yang terpasang pada manekin tersebut. 

"Kamu suka yang ini?"

Perempuan itu mengangguk cepat. 

"Pokoknya, di acara pernikahan kita nanti, aku harus lebih tampil cantik daripada istri kamu itu, Mas!"

Untuk ke sekian kalinya aku dibuat terkejut. Betapa tak ada harga dirinya perempuan itu. Dia sudah tau kalau Mas Yoga adalah seorang lelaki beristri, dan dia memilih menjadi yang kedua? 

Benar-benar keterlaluan. 

Kok ada perempuan yang rela menjadi yang kedua. Entah apa yang dia incar dari suamiku. Soal wajah, biasa saja. Soal harta pun suamiku juga tidak terbilang kaya. Hanya memiliki satu rumah makan yang selama ini kami rintis bersama. 

"Jangan bandingkan kamu dengan dia. Kamu dan Rena tentu jauh berbeda, Sayang."

Ya, Tuhan ... seperti ini kah sosok lelaki yang Engkau pilihkan sebagai jodohku? 

Aku benar-benar tak menyangka kalau Mas Yoga berbuat sedemikian rupa.

Baru saja merasakan hidup enak sedikit, kau sudah berani berulah, Mas. 

Aku menyaksikan kejadian di depan mata. Melihat kemesraan yang dilakukan oleh suamiku beserta perempuan murahan itu. Mereka sangat serasi. Sama-sama tak lebih dari seonggok sampah. 

Tak berselang lama, pegawai itu melepaskan gaun dengan full payet itu dari manekin. Setelahnya, aku bergegas keluar menuju ke arah parkir. Menuju ke arah di mana motorku terparkir. 

Aku melajukan kendaraan roda duaku keluar dari halaman butik lalu berhenti di seberang jalan sembari menunggu keluarnya Mas Yoga dari dalam sana. 

Entah kenapa kali ini firasatku merasa begitu tak enak. Apalagi saat teringat perempuan itu mengatakan ingin memberikan kejutan untuk suamiku karena sebentar lagi ulang tahun. 

Wajah perempuan itu terus memenuhi isi kepalaku. Entah apa yang dilihat dari perempuan itu oleh suamiku. Kalau soal kecantikan, masih jauh lebih cantik aku. Menurutku, dia hanya lebih montok saja. 

Belasan menit menunggu, akhirnya mobil yang ditumpangi oleh suamiku keluar dari halaman butik. Cepat kunyalakan mesin motor lalu mengikuti ke mana arahnya kepergian mereka.  

Kulajukan kendaraan yang kutumpangi dengan kecepatan sedang. Sesuai dengan laju kendaraan Mas Yoga. Jangan sampai kehilangan jejak. 

Akan tetapi, seketika keningku berkerut saat motor melaju dengan berbeda. Ada sesuatu yang salah. Cepat kutepikan roda duaku lalu berhenti di bahu jalan. 

Aku turun dari kendaraan lalu dengan sedikit membungkuk melihat roda kendaraan bagian belakang. 

"Astaga ...." Aku menangkup wajahku dengan kedua telapak tanganku saat mendapati roda bagian belakang telah kempes. 

Aku memukul jok motor dengan perasaan yang begitu kesal. Berkali-kali aku menghembuskan napas kasar. 

Aku menolehkan kepala ke arah ke mana tadi lajunya kendaraan Mas Yoga, akan tetapi kendaraan itu sudah tak terlihat. 

Berkali-kali aku merutuki diriku sendiri. Padahal aku masih bersemangat untuk mengikuti ke mana perginya suamiku, akan tetapi sepertinya nasib baik masih berpihak pada Mas Yoga. 

Entah kenapa firasatku merasa begitu tak enak mengingat sepasang orang dewasa yang pergi berduaan. 

Lagi-lagi aku hanya bisa menghembuskan napas kasar. 

Pandanganku menatap ke segala penjuru, melihat apakah ada tukang tambal ban atau tidak. 

"Syukurlah ...."

Aku bernapas lega saat tak jauh dari tempatku, aku bisa melihat adanya tukang tambal ban yang saat ini kubutuhkan. 

Cepat kutuntun roda duaku ke sana. 

Puluhan menit menunggu, akhirnya selesai sudah. Bergegas kulajukan kendaraanku menuju ke arah rumah Indah. 

Mungkin lain kali aku bisa mendapatkan bukti sebagai alat untuk menyerang suamiku. 

Kukembalikan motor yang tadi kusewa. Setelah sedikit berbasa-basi, bergegas aku berpamitan untuk pulang. Kali ini aku pulang dengan perasaan kesal, dan kecewa. 

Aku memarkirkan roda duaku di garasi, setelahnya aku berjalan masuk ke dalam rumah. Kuletakkan kembali tas ransel yang tadi sempat kubawa untuk pura-pura pulang ke rumah orangtuaku. 

Aku mendaratkan tubuhku di tepi ranjang dengan sedikit menghentak. Rasanya masih begitu kesal sekali saat rencanaku untuk membuntuti Mas Yoga telah gagal. 

Mataku memindai ke segala sudut ruangan, hingga pada akhirnya pandanganku berhenti pada sebuah meja kerja yang berada di sudut ruangan. 

Aku bangkit dari tempat dudukku lalu berjalan menuju ke arah sana. Entah kenapa aku akan menemukan sesuatu dari sini. Bukankah insting seorang istri tak pernah salah?

Aku membuka laci demi laci yang ada di meja kerja suamiku. Kukeluarkan apapun dari dalam sana. Hingga pada akhirnya laci yang paling bawah yang menjadi incaranku. 

Saat laci paling bawah berhasil kubuka, tak kutemukan apapun di sana. Hanya ada sebuah kain yang memang kugunakan sebagai alasnya. 

Kutarik lebih dalam laci tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang menyembul dari sudut laci paling dalam dan terletak di bawah kain tersebut.

Keningku berkerut, akhirnya cepat kuambil barang yang kutemukan itu. Aku menatap benda yang ada di tanganku hingga membuat jantung ini berdegup lebih kencang.  

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Widodo Ratno Prasetyo
Awalnya motor pinjam dr teman, tapi ada kalimat mengembalikan motor yg kusewa...aneh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status