Belasan menit kendaraan roda duaku melesat membelah jalan raya. Seketika kupelankan laju kendaraanku lalu kuhentikan di pinggir jalan saat aku mengingat sesuatu. Aku baru kepikiran, tak mungkin aku membuntuti kemana perginya Mas Yoga dengan memakai kendaraan dan juga baju yang saat ini melekat di tubuhku. Tentu saja ia akan mengenaliku.
Akhirnya aku melajukan kendaraan roda duaku ke arah rumah temanku yang bernama Indah. Kebetulan rumahnya tak jauh dari sini. Hanya membutuhkan waktu lima menit untuk sampai di rumah Indah, apalagi satu arah juga arahnya.
Kini aku sudah masuk ke dalam halaman yang rumahnya terlihat begitu sederhana tersebut. Saat baru saja aku mematikan mesin motorku, tiba-tiba terlihat Indah berjalan ke luar rumah.
Aku melepas helm yang kukenakan, menentengnya sembari berjalan mendekat ke arah di mana Indah berdiri.
"Mau ke sini kok nggak kabarin dulu?" ucap Indah saat kami berpelukan.
"Iya, Maaf. Kedatanganku ke sini ada sesuatu yang sangat penting."
Indah mengerutkan dahinya sembari menatapku dengan lekat.
"Ndah, aku mau pinjam sepeda motor kamu boleh?"
"Boleh. Pakai saja, tidak masalah," ucap Indah.
"Yuk ke dalam dulu. Aku buatin minum. Ibu dan Bapak masih di toko," lanjut Indah.
"Maaf, Ndah. Mungkin lain kali. Aku sedang buru-buru. Ada sesuatu hal yang sangat penting," ucapku menolak ajakan Indah.
"Kenapa? Ada masalah apa? Apa ada yang bisa aku bantu?" Rentetan pertanyaan dilontarkan oleh Indah.
"Kali ini aku nggak bisa menceritakannya dulu, Ndah. Soalnya aku masih menyelidiki. Takutnya hanya dugaanku saja, lalu menimbulkan fitnah."
"Soal rumah tangga kamu?"
Aku mengangguk ragu.
"Ya sudah. Aku ambilkan dulu kuncinya. Duduklah dulu," ucap Indah.
Aku hanya berdiri di tempat, tidak mengikuti apa yang Indah perintahkan. Bagaimana bisa aku duduk jika pikiran ini sedang terasa kacau?
"Ini kuncinya," ucap Indah sembari menyerahkan kunci motornya.
"Ndah ...."
"Ya? Ada yang kamu butuhkan lagi? Katakanlah," ucap Indah sembari tersenyum.
"Aku pinjam jaket kamu, ya. Takutnya nanti Mas Yoga mengenali keberadaanku."
Betapa tak tahu dirinya aku, sudah meminjam motor, eh, tambah lagi pinjam jaket.
"Ok, aku ambilkan dulu."
Setelah Indah menyerahkan jaketnya, bergegas aku mengendarai motor matic milik Indah.
Sebelum aku benar-benar pergi dari sana, Indah berpesan jangan sampai aku gegabah dalam bertindak. Mungkin sahabatku itu mengerti permasalahan apa yang sedang mengukung diriku.
Aku melajukan kecepatan roda duaku menuju ke arah butik itu.
Aku menghentikan kendaraan tepat di depan bangunan sebuah butik yang terbilang besar dan mewah. Tentu tak sembarang orang bisa membeli pakaian di sini.
Aku mengedarkan pandang, memastikan kalau nama butik itu sama dengan nama butik yang disebutkan oleh Mutia tadi.
"Benar, tidak salah lagi," ucapku kemudian.
Bergegas aku melajukan kendaraan masuk ke dalam area parkir. Saat baru saja aku ingin melepaskan helm yang aku kenakan, tiba-tiba sebuah mobil yang sangat aku kenali berhenti tepat di sebelah kendaraanku.
Jantungku terasa berdebar lebih kencang. Aku memperhatikan penampilanku melalui spion motor. Membenarkan letak masker dan juga hijabku dengan benar.
Ya, tadi aku memang sengaja mengenakan hijab. Sengaja berpenampilan berbeda dari hari-hari biasanya. Tentu agar tak dikenali oleh Mas Yoga.
Cepat kugantung helm di spion motor, bergegas aku berjalan menuju ke arah butik. Aku terus melangkah, hingga akhirnya aku sudah berada di dalam butik.
Aku memindai ke segala penjuru, langkahku tertuju pada sebuah manekin yang berbalut gaun berwarna putih. Tentu terlihat begitu cantik sekali.
Saat aku pura-pura mengamati gaun tersebut, tiba-tiba ada seorang perempuan menggeser tubuhku dengan kasar.
"Ini gaun pesanan saya. Jangan pegang!" ketus perempuan berambut hitam dan lurus sebatas bahu.
Tak mau berbuat ribut, akhirnya aku meninggalkan perempuan itu. Bukan karena aku takut, aku hanya tak mau membuat keributan di dalam sini, apalagi saat aku sedang mengintai pergerakan Mas Yoga.
Akhirnya aku memilih duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan oleh butik. Aku memainkan ponselku dengan wajah yang masih tertutup masker dengan sempurna dan juga kaca mata hitam yang menyamarkan manik hitamku.
Tak berselang lama, aku seperti mencium aroma parfum yang sangat kuhapal siapa pemiliknya. Jantungku berdebar saat menolehkan kepala, ternyata benar, Mas Yoga tengah melintas di sampingku.
Alangkah terkejutnya diriku saat tiba-tiba Mas Yoga langsung memeluk tubuh perempuan yang tadi sempat bersikap ketus itu padaku dari arah belakang. Semakin terkejutlah aku saat melihat dengan kedua bola mataku Mas Yoga mencium mesra pipi perempuan itu.
Benar-benar tak tahu malu sama sekali. Padahal di sampingnya jelas-jelas ada seorang pegawai butik yang menemani perempuan yang sekarang kutebak adalah selingkuhan Mas Yoga itu sedari tadi.
Memang mereka sama-sama tak tahu malu. Mendapatkan perlakuan seperti itu, sang wanita membalas ciuman suamiku dengan begitu mesra.
Sayang sekali, aku tak sempat mengabadikan peristiwa bertemunya sepasang sampah itu.
Aku menyandarkan tubuhku di sofa dengan ponsel pura-pura kumainkan di tanganku. Padahal tanpa sepengetahuan mereka, aku sedang memfoto lalu merekam aktifitas mereka di sini.
Tak bisa dipungkiri, rasa gemuruh terasa begitu membuncah. Ada rasa cemburu, sakit hati yang menyeruak di dalam sini saat melihat suamiku bersikap mesra dengan perempuan itu.
Sempat sejenak tadi kami saling bersitatap. Jika kecantikannya djbandingkan denganku, tentu jauh lebih cantik aku. Hanya saja dia lebih terlihat montok saja.
"Bagus nggak, Sayang? Aku mau pakai gaun ini di acara pernikahan kita."
Deg.
Seketika jantungku seperti berhenti berdetak saat mendengarkan kalimat itu.
Jujur, saat aku membaca pesan wanita itu di ponsel suamiku, sedikit pun tak terbersit dalam benakku jika akan terjadi pernikahan di antara mereka. Aku hanya menduga dan menerka jika hanya ada perselingkuhan diantara mereka dan tak berpikir sejauh itu.
"Bagus, Sayang. Kalau pakai baju ini, pasti kamu terlihat semakin cantik."
Emosi seketika naik ke ubun-ubun. Rasanya ingin kucekik, kutendang, dan kuhajar lelaki itu saat ini juga.
Sepasang durjana dan durjanawati itu saling tatap lalu melempar senyum. Tangan kiri Mas Yoga melingkar mesra pada pinggang perempuan itu.
Sabar, Rena ... sabar ....
Aku meredamkan gejolak emosi dengan berkali-kali menghela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Jangan sampai karena emosi, aku akan bertindak dengan gegabah lalu rencana yang telah kususun menjadi berantakan.
Untuk sementara waktu, aku harus bisa menahan diri kuat-kuat. Aku akan mengabadikan momen mereka berdua, tentu untuk menyerang mereka pada akhirnya.
"Tunggu permainanku, Mas ...," geramku di dalam hati.
Terlihat perempuan itu mengitari gaun yang terpasang pada manekin tersebut.
"Kamu suka yang ini?"
Perempuan itu mengangguk cepat.
"Pokoknya, di acara pernikahan kita nanti, aku harus lebih tampil cantik daripada istri kamu itu, Mas!"
Untuk ke sekian kalinya aku dibuat terkejut. Betapa tak ada harga dirinya perempuan itu. Dia sudah tau kalau Mas Yoga adalah seorang lelaki beristri, dan dia memilih menjadi yang kedua?
Benar-benar keterlaluan.
Kok ada perempuan yang rela menjadi yang kedua. Entah apa yang dia incar dari suamiku. Soal wajah, biasa saja. Soal harta pun suamiku juga tidak terbilang kaya. Hanya memiliki satu rumah makan yang selama ini kami rintis bersama.
"Jangan bandingkan kamu dengan dia. Kamu dan Rena tentu jauh berbeda, Sayang."
Ya, Tuhan ... seperti ini kah sosok lelaki yang Engkau pilihkan sebagai jodohku?
Aku benar-benar tak menyangka kalau Mas Yoga berbuat sedemikian rupa.
Baru saja merasakan hidup enak sedikit, kau sudah berani berulah, Mas.
Aku menyaksikan kejadian di depan mata. Melihat kemesraan yang dilakukan oleh suamiku beserta perempuan murahan itu. Mereka sangat serasi. Sama-sama tak lebih dari seonggok sampah.
Tak berselang lama, pegawai itu melepaskan gaun dengan full payet itu dari manekin. Setelahnya, aku bergegas keluar menuju ke arah parkir. Menuju ke arah di mana motorku terparkir.
Aku melajukan kendaraan roda duaku keluar dari halaman butik lalu berhenti di seberang jalan sembari menunggu keluarnya Mas Yoga dari dalam sana.
Entah kenapa kali ini firasatku merasa begitu tak enak. Apalagi saat teringat perempuan itu mengatakan ingin memberikan kejutan untuk suamiku karena sebentar lagi ulang tahun.
Wajah perempuan itu terus memenuhi isi kepalaku. Entah apa yang dilihat dari perempuan itu oleh suamiku. Kalau soal kecantikan, masih jauh lebih cantik aku. Menurutku, dia hanya lebih montok saja.
Belasan menit menunggu, akhirnya mobil yang ditumpangi oleh suamiku keluar dari halaman butik. Cepat kunyalakan mesin motor lalu mengikuti ke mana arahnya kepergian mereka.
Kulajukan kendaraan yang kutumpangi dengan kecepatan sedang. Sesuai dengan laju kendaraan Mas Yoga. Jangan sampai kehilangan jejak.
Akan tetapi, seketika keningku berkerut saat motor melaju dengan berbeda. Ada sesuatu yang salah. Cepat kutepikan roda duaku lalu berhenti di bahu jalan.
Aku turun dari kendaraan lalu dengan sedikit membungkuk melihat roda kendaraan bagian belakang.
"Astaga ...." Aku menangkup wajahku dengan kedua telapak tanganku saat mendapati roda bagian belakang telah kempes.
Aku memukul jok motor dengan perasaan yang begitu kesal. Berkali-kali aku menghembuskan napas kasar.
Aku menolehkan kepala ke arah ke mana tadi lajunya kendaraan Mas Yoga, akan tetapi kendaraan itu sudah tak terlihat.
Berkali-kali aku merutuki diriku sendiri. Padahal aku masih bersemangat untuk mengikuti ke mana perginya suamiku, akan tetapi sepertinya nasib baik masih berpihak pada Mas Yoga.
Entah kenapa firasatku merasa begitu tak enak mengingat sepasang orang dewasa yang pergi berduaan.
Lagi-lagi aku hanya bisa menghembuskan napas kasar.
Pandanganku menatap ke segala penjuru, melihat apakah ada tukang tambal ban atau tidak.
"Syukurlah ...."
Aku bernapas lega saat tak jauh dari tempatku, aku bisa melihat adanya tukang tambal ban yang saat ini kubutuhkan.
Cepat kutuntun roda duaku ke sana.
Puluhan menit menunggu, akhirnya selesai sudah. Bergegas kulajukan kendaraanku menuju ke arah rumah Indah.
Mungkin lain kali aku bisa mendapatkan bukti sebagai alat untuk menyerang suamiku.
Kukembalikan motor yang tadi kusewa. Setelah sedikit berbasa-basi, bergegas aku berpamitan untuk pulang. Kali ini aku pulang dengan perasaan kesal, dan kecewa.
Aku memarkirkan roda duaku di garasi, setelahnya aku berjalan masuk ke dalam rumah. Kuletakkan kembali tas ransel yang tadi sempat kubawa untuk pura-pura pulang ke rumah orangtuaku.
Aku mendaratkan tubuhku di tepi ranjang dengan sedikit menghentak. Rasanya masih begitu kesal sekali saat rencanaku untuk membuntuti Mas Yoga telah gagal.
Mataku memindai ke segala sudut ruangan, hingga pada akhirnya pandanganku berhenti pada sebuah meja kerja yang berada di sudut ruangan.
Aku bangkit dari tempat dudukku lalu berjalan menuju ke arah sana. Entah kenapa aku akan menemukan sesuatu dari sini. Bukankah insting seorang istri tak pernah salah?
Aku membuka laci demi laci yang ada di meja kerja suamiku. Kukeluarkan apapun dari dalam sana. Hingga pada akhirnya laci yang paling bawah yang menjadi incaranku.
Saat laci paling bawah berhasil kubuka, tak kutemukan apapun di sana. Hanya ada sebuah kain yang memang kugunakan sebagai alasnya.
Kutarik lebih dalam laci tersebut. Akan tetapi, tiba-tiba mataku menangkap sesuatu yang menyembul dari sudut laci paling dalam dan terletak di bawah kain tersebut.
Keningku berkerut, akhirnya cepat kuambil barang yang kutemukan itu. Aku menatap benda yang ada di tanganku hingga membuat jantung ini berdegup lebih kencang.
Aku memegang sebuah lembaran foto. Di mana di foto tersebut terpampang dengan jelas wajah suamiku dengan seorang perempuan. Perempuan yang bernama Mutia itu. Kali ini pandanganku langsung tertuju pada sebuah tulisan yang ada di sudut foto. Tulisan yang menampilkan tanggal berapa foto ini diambil. Aku kembali dibuat terkejut, ternyata foto itu diambil sepuluh tahun yang lalu. Ya, memang, dalam foto tersebut wajah suamiku terlihat lebih muda. Untuk foto perempuan yang sedang bersama suamiku ini, aku masih bisa mengenalinya. Dia adalah perempuan yang tadi kulihat. Meskipun wajah dan warna kulit sudah berbeda, akan tetapi aku masih sangat bisa mengenali. Aku membalik lembaran foto tersebut, aku tersentak kaget saat bagian belakang ada tulisan 'Bersama selamanya, selamanya akan bersama'.Tanpa sadar aku meremas foto tersebut dengan perasaan kesal dan geram. Aku yakin, ada hubungan spesial di masa lalu. Mungkinkah perempuan ini adalah cinta Mas Yoga di masa lalu? Ya, Tuhan ... sering
"Oh, ya. Kamu tadi baru pulang kok kayaknya mau pergi lagi? Mau ke mana, Mas? Dan sepertinya aku tadi melihat ada seseorang yang duduk di jok mobil yang biasanya kududuki saat pergi bersama kamu?"Seketika wajah itu terlihat pias. Mas Yoga mengubah posisinya yang semula berhadapan denganku. Mungkin ia tak ingin jika aku melihat kegugupannya. Baru pertanyaan begitu saja kamu sudah takut, gitu kok sok-sokan berselingkuh. Ingin menikah lagi pula. Aku tersenyum samar."Mas?" "Eh, iya, Sayang? Ada apa?" ucap Mas Yoga yang sepertinya sedang menyembunyikan kegugupannya. Akan tetapi, aku sudah mengetahui bangkai yang selama ini dia pendam. "Kamu tadi di mobil sama siapa? Kayaknya ada perempuan deh," ucapku dengan nada setenang mungkin, akan tetapi pastinya mampu membuat dada Mas Yoga berdebar-debar. "Maksud kamu?" Mas Yoga bertanya balik. "Aku tadi lihat seperti ada seseorang di dalam mobil," ucapku berbohong. Padahal sewaktu perempuan itu masuk ke dalam mobil, ia langsung mem bungkukkan
"Andai dia memintaku untuk memilih, tentu aku akan memilih kamu, Sayang. Tapi semua butuh waktu, jangan sampai dia menikmati hasil jerih payahku." Aku mengepalkan kedua tanganku dengan erat hingga terciptalah rasa nyeri di kedua telapak tanganku akibat kuku-kuku yang tertancap di sana. Mata yang semula terasa mengantuk, kini terbuka dengan sepenuhnya. Satu fakta lagi terkuak. Sekarang aku tahu, saat ini Mas Yoga masih bertahan untuk tidak menceraikan aku karena ingin menguasai harta yang kami dapatkan setelah menikah. Ya, Mas Yoga dan aku berasal dari keluarga yang sama-sama sederhana. Setelah kami menikah, kami memutuskan merantau ke kota yang kami tempati saat ini. Kami bekerja sama dalam memulai menjalankan usaha. Semula, kami hanya berjualan keliling dengan gerobak. Dan itu berjalan hampir satu tahun lamanya. Hingga pada akhirnya kami pun memiliki pelanggan yang bisa terbilang banyak. Dan di tahun kedua, kami memberanikan diri untuk mengontrak ruko berukuran kecil yang kami g
Kendaraan roda empat yang aku tumpangi membelah jalan raya dengan kecepatan sedang, hingga puluhan menit kemudian mobil milik Maya berhenti di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi. Maya menekan klakson mobil beberapa kali hingga tak berselang lama pintu gerbang itu terbuka.Sepersekian detik kemudian terlihatlah sosok lelaki berkumis tebal berperawakan tinggi besar dan berpakaian khas orang satpam menyembul dari balik pintu gerbang. Maya menurunkan kaca mobil hingga akhirnya satpam itu bisa melihat wajah Maya. Maya meminta orang itu untuk membuka pintu gerbang. Mungkin karena satpam tersebut sudah mengenal Maya sehingga ia itu membuka pintu gerbang setelah menganggukkan kepalanya ke arah Maya. Beberapa detik mobil melaju masuk ke dalam halaman rumah hingga pada akhirnya kendaraan roda empat kami berhenti tepat di depan rumah yang terlihat begitu megah. Rumah yang bergaya modern, berlantai tiga dan berwarna putih. Ada banyak bunga-bunga yang berjajar dengan rapi dan terlihat begi
"Ada surat-suratnya?" "Ada, Om," ucap Maya lalu menolehkan kepalanya ke arahku yang duduk di sampingnya. "Tunjukkan surat-suratnya," ucap Maya dengan nada setengah berbisik. Bergegas aku membuka tas yang kubawa, lalu mengeluarkan surat-surat penting dari dalam sana. Ya, aku memang berniat menggadaikan rumah, restoran dan juga mobil. Jika kalian bertanya kenapa aku melakukan ini, salah satunya karena aku ingin mengambil semua harta-harta itu. Kedua, karena aku ingin memberikan pelajaran pada mereka berdua. Sebenarnya ada pilihan lain, yaitu menjual aset-aset ini. Akan tetapi, terlalu lama tentunya untuk mencari pembeli dengan cepat. Apalagi semua aset itu atas nama Mas Yoga. Tentu aku yang akan kesulitan jika menjual tanpa sepengetahuan Mas Yoga. Dan aku memilih jalan yang paling mudah, yaitu menggadaikan. Meskipun uang yang kuterima tak sebanyak dari hasil penjualan. Ya, biarlah mereka nanti terkejut saat mengetahui jika semua aset telah kugadaikan dan uang telah kubawa semuanya
Aku bangkit dari persimpuhanku, bergegas aku berjalan menuju ke arah tempat dudukku yang semula. Aku menghapus jejak-jejak air mata yang masih tersisa dengan punggung tanganku. Entah setan apa yang merasukiku kali ini, begitu mudahnya aku mengeluarkan air mata. Padahal selama ini aku bukanlah tipe perempuan yang cengeng. Bahkan, mendapati suamiku berselingkuh pun aku tak bisa menangis. Lantas, kenapa hari ini begitu mudahnya aku mengeluarkan air mata? Oho ... sepertinya itu karena aku takut jika aku tak mendapatkan harta itu. Bukankah jika semua aset jatuh ke tangan Mas Yoga beserta selingkuhannya itu jauh lebih menyakitkan dibandingkan dengan sebuah pengkhianatan?"Akting kamu bagus sekali, Ren." Maya mengacungkan jempolnya tepat di depan wajahku. Segera aku menepis tangan itu, sebab tinggal satu centi saja jempol maya sudah menyentuh pucuk hidungku. "Aku nggak nyangka kamu pintar sekali mengeluarkan air mata palsu." Maya tergelak tawa setelah menyelesaikan satu kalimatnya. "Apa
Aku mengalihkan pandangan ke arah Pak Chandra yang sedang menatapku lalu aku berkata, "Saya setuju, Pak.""Silahkan ditandatangani."Aku mengangguk yakin. Bergegas aku membubuhkan tandatangan lalu kuselipkan nama di bawah tandatangan yang sudah tertempel oleh materai. Aku menerima jangka waktu selama enam bulan sebab aku yakin, di bulan itu aku sudah resmi bercerai dengan Mas Yoga. Seyakin itu kah diriku?Tentu!Tak lama lagi aku akan melayangkan gugatan ceraiku ke pengadilan. Proses perceraian pun pasti tak akan berlangsung lama. Sebab, tak akan ada penyelesaian soal harta gono-gini maupun hak asuh anak di persidangan nanti. Toh Mas Yoga pun juga sudah berniat menceriakan aku. Tentu ia senang hati kalau aku telah menggugat cerai dirinya, apalagi tanpa membawa secuil harta miliknya. Aku benar-benar bernapas lega.Kuletakkan lembaran kertas yang sudah kububuhi tandatanganku. Pak Chandra menyerahkan dua amplop tersebut. Dengan senang hati tentunya aku menerima amplop itu. "Hitunglah
Setelah membayar tagihan makanan, kami pun bergegas keluar, hingga saat kami hampir sampai di ambang pintu, gendang telingaku menangkap suara yang sangat aku kenali mengucapkan kalimat yang seketika menciptakan gemuruh di dalam dada. Seketika aku menghentikan langkahku saat mendengar suara dari seseorang yang begitu aku kenali. Maya yang menyadari langkahku yang terhenti, seketika ikut menghentikan langkahnya lalu menolehkan kepalanya ke arahku. "Rena sudah lima tahun nikah dengan Yoga, tepi belum juga mendapatkan keturunan. Ibu yakin, setelah menikah dengan kamu. Kamu akan cepat memberikan cucu pada Ibu. Dia itu perempuan mandul. Bukan perempuan sempurna."Deg. Seketika jantungku terasa berdegup dengan kencang saat mendengar penuturan yang keluar dari mulut ibu mertua. Entah sejak kapan ibu mertua datang ke kota ini. Di sana, di meja makan itu ada ibu mertua yang duduk memunggungi keberadaanku, sedangkan perempuan itu menghadap ke arahku. Mungkin ia belum mengenali aku yang merup