Share

Part 4

Pukul empat sore Dewi keluar dan meminta izin untuk pergi ke tempat lesnya. Aku melarangnya pergi sebelum dia memberitahuku, siapa laki-laki yang semalam bersamanya di kamar.

Lagi-lagi dia hanya menangis tergugu di hadapanku. Apa sih, sebenarnya maunya anak ini. Asal ditanya selalu saja menjawab dengan air mata.

“Kakak kenapa sih, tega banget nuduh aku begitu. Aku nggak ngapa-ngapain semalam. Kakak kan liat sendiri aku tidur!” tampiknya kesal.

Dia lalu masuk ke dalam kamar dan membanting pintu hingga aku berjingkat kaget.

Samar-samar terdengar suara azan magrib berkumandang. Aku duduk di ruang tengah menunggu kepulangan Mas Akmal dari toko, walaupun sebenarnya aku yakin dia pasti pulang tengah malam.

Tiga puluh menit kemudian terdengar suara deru mesin kendaraan masuk ke pekarangan rumah. Bergegas diri ini mengenakan kerudung lalu keluar menyambut kepulangan suamiku.

“Sudah pulang, Mas?” tanyaku seraya meraih tangan kanannya, serta mencium punggung tangan laki-laki itu dengan takzim.

“Iya, kangen sama kamu!” jawabnya membuat hati ini berbunga-bunga.

“Kangen sama aku, apa...?” Aku menggantung kalimat, tidak mau memancing amarah Mas Akmal. Sebab dia baru saja datang dari luar dan pasti dikawal oleh syaitan.

“Kangen sama kamulah!” Dia mengecup pucuk kepalaku.

Setelah Mas Akmal selesai mandi dan perutnya sudah diisi. Aku mengajaknya duduk berdua dan menunjukkan dalaman yang aku temukan di kamar Dewi. Mas Akmal menautkan alis. Riak wajahnya tiba-tiba berubah.

“Apa ini, Fit. Kenapa nunjukin onderdil aku?” tanya Mas Akmal pura-pura tidak tahu.

“Aku menemukannya di kamar Dewi, kenapa barang ini ada di kamar dia?” Aku balik bertanya.

Mas Akmal tertawa, menunjukkan deretan giginya yang tertata rapi.

“Sepertinya kamu butuh piknik, Fit. Otaknya terkontaminasi hal-hal aneh terus. Semalam kamu dua kali ndobrak pintu Dewi. Nuduh adik kamu sendiri melakukan perbuatan tidak bermoral. Sekarang, kamu malah nunjukin kandang burung aku dan bilang nemu di kamar Dewi!” Dia kembali tertawa.

Ya Tuhan, apa semua penemuanku dianggap lucu olehnya?

Aku benar-benar dibuat penasaran dan hidup dipenuhi prasangka oleh mereka berdua.

“Mas, apa Mas punya hubungan spesial sama Dewi?” Menatap lekat mata suamiku.

“Ya Allah, Efita Adriani. Kamu itu ngomong apa sih. Jangan ngawur ah!” elaknya.

“Terus, kenapa barang ini ada di kamar Dewi?”

“Itu, lagi. Ya Mas mana tahu. Udah, ah, nggak usah bahas yang aneh-aneh. Kita tidur saja, sudah malam.”

Dia merangkul pundakku dan membimbingku untuk segera tidur.

Malam ini, aku sengaja minum segelas kopi supaya tetap terjaga dan memergoki Mas Akmal saat masuk ke kamar Dewi.

Jarum jam sudah menunjuk ke angka dua belas malam. Aku menoleh ke arah Mas Akmal dan dia masih terlelap di sampingku. Aku juga tidak mendengarkan suara-suara aneh seperti malam sebelumnya.

Lamat-lamat terdengar suara azan subuh berkumandang. Aku masih saja terjaga karena pengaruh kopi yang aku minum sebelum tidur.

Segera kubangunkan Mas Akmal kemudian menyuruh laki-laki beralis tebal itu melaksanakan ibadah dua rakaat.

Entah berapa lama dan kapan aku tertidur, tiba-tiba saat bangun jarum jam sudah menunjuk ke angka 12:30. Aku segera turun dari tempat tidur, membasuh tubuh di kamar mandi lalu segera keluar dari kamar karena perutku sudah keroncongan.

Aku membuka kitchen set kemudian mengambil sebungkus mie instan rasa ayam bawang. Setelah itu memotong cabai serta sayuran dan merebusnya secara bersamaan.

Bau harum mie rebus menguar membuat perut ini bertambah lapar. Dewi melintas di depanku tanpa menyapa atau sekedar menoleh ke arahku. Dasar adik tidak ada akhlak. Sudah mulai berani rupanya dia sama kakaknya.

“Mau ke mana, Wi?” tanyaku seraya menggulung mie di garpu.

Hening. Dewi tetap diam dan langsung menyelonong pergi entah ke mana.

Aku mengambil gawai yang berada di atas nakas dan menyalakannya. Ada beberapa puluh pesan dari grup alumni SMA, juga pesan dari Mas Akmal suamiku.

[Fit, malam ini aku pulang telat lagi, ya. Kamu kalau mau tidur dulu nggak apa-apa. Mungkin Mas pulang jam sepuluh atau jam sebelas malam] aku menyentak nafas kasar.

Karena curiga, selepas isya aku mendatangi toko elektronik milik Mas Akmal. Aku lihat mobil laki-laki berusia tiga puluh tahun itu masih berada di parkiran. Berarti dia memang tidak pergi kemana-mana. Tapi, kenapa harus pulang larut malam kalau toko sudah tutup. Apa dia tidak rindu dengan aku. Atau, posisiku di hatinya benar-benar sudah digantikan oleh Dewi?

Ya Tuhan. Tiba-tiba dada ini terasa sakit dan sesak sekali. Aku tidak akan sanggup jika ternyata Mas Akmal benar-benar main belakang dengan adik kandungku.

Aku melirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan. Aku lekas memesan taksi online dan pulang ke rumah sebelum Mas Akmal sampai di kediaman kami.

Saat hendak membuka kunci, aku dikejutkan oleh siluet hitam di samping rumahku. Penasaran, aku mengendap masuk dan melihat siapa yang berada di samping rumahku malam-malam seperti ini.

Tidak ada orang. Aku benar-benar merasa aneh dengan apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Apa jangan-jangan benar apa kata Mas Akmal, kalau aku itu hanya kurang piknik saja.

Aku menghela nafas dalam-dalam sambil memijat-mijat kepalaku yang terasa sedikit pusing dan berputar. Setelah semuanya terasa rileks, aku masuk ke dalam rumah, mengambil sebotol air mineral lalu meneguknya hingga tandas.

Tidak lama kemudian terdengar suara deru mesin kendaraan memasuki parkiran rumahku. Aku segera mengganti pakaianku dengan baju kebangsaan, lalu segera keluar membukakan pintu.

“Kamu kok belum tidur, Fit?” tanya Mas Akmal sembari mencium puncak kepalaku.

“Belum, nungguin kamu!” jawabku jutek.

Mas Akmal mencubit hidungku dengan gemas. Andai saja moodku sedang bagus, sudah barang tentu diri ini langsung melingkarkan kedua tangan di pinggang suamiku dan bermanja-manja ria.

Ah, Mas, Dewi, kenapa kalian membuat diriku selalu menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status