Share

Part 3

Pintu kamar Dewi sudah di betulkan oleh tukang. Pun dengan jendela yang sudah aku paku rapat. Namun, aku belum puas dengan semua itu. Ingin rasanya diri ini memberi pelajaran lebih kepada orang yang telah menghancurkan adikku itu.

Aku masuk ke dalam gudang, mengambil gelas-gelas yang sudah tidak terpakai lalu menyuruh tukang untuk menghancurkannya menjadi serpihan-serpihan.

“Memangnya mau buat apaan, Mbak Efita?” tanya si tukang penasaran.

“Buat nangkep kucing garong, Kang!” jawabku, memiringkan senyuman.

“Waduh, memangnya suka ada kucing garong di rumah Mbak Efita?”

“Ada, Kang. Datengnya kalau malam-malam!”

“Ini sudah jadi, mau ditaruh di mana, Mbak?”

“Masukan ember saja, Kang. Nanti biar saya yang nyebar. Kalau Akang yang nyebar malah nanti saya yang kena, lagi!”

Aku menyodorkan tiga lembar uang lima puluh ribuan kemudian segera mengambil sarung tangan dan menuang serpihan beling itu di bawah jendela.

‘Pasti gurih-gurih enyoy, kalau dia nginjek pecahan beling ini. Siapa pune kamu, maaf kalau nanti kakinya harus di jahit!’ aku bergumam sendiri dalam hati.

Setelah itu, bergegas diri ini mencuci tangan, Pergi ke dapur kemudian memasak untuk makan siang serta malam nanti.

Drrrttt.... Drrrrtttt....

Ponselku terus saja berdering. Emak memanggil. Segera kugeser tombol hijau, menyapa wanita paruh baya yang sudah membesarkan diri ini dengan penuh cinta selama dua puluh tiga tahun itu.

“Halo, assalamualaikum, Kak?” sapa Emak dari ujung sambungan telepon sana.

“Waalaikumussalam, Mak. Emak sehat?” jawabku, mencoba menata perasaan yang sedang berkecamuk di dada. Ingin rasanya segera mengadu kepada Emak, tetapi takut kalau hipertensinya kambuh dan membahayakan nyawanya.

“Alhamdulillah Emak sehat, Kak. Kakak sekeluarga sehat. Dewi gimana? Dia baik-baik saja kan? Dia nggak bandel? Emak khawatir, perasaan Emak juga dari kemarin gelisah terus!” berondong Emak.

Aku menghela nafas yang terasa sakit serta menyesakkan dada. Ingin aku jawab kalau aku dan Dewi sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Namun, aku menahannya. Aku akan menjelaskan semua yang terjadi nanti jika waktunya sudah tepat. Lagian, semuanya juga belum terbukti.

“Kak, kok diem?” tanya Emak membuyarkan lamunanku.

“Oh, enggak, Mak. Efita lagi liatin sinetron, jadi nggak konsen ngobrol sama Emak!” Aku pura-pura tertawa.

“Ya sudah, Kak. Emak mau ke pengajian dulu. Kamu hati-hati di sana, ya. Titip Dewi, soalnya anak abege jaman sekarang ini tingkahnya aneh-aneh.”

“Iya, Mak.”

Emak menutup sambungan telepon.

Aku bangkit dari tempat dudukku dan kembali menggeledah isi kamar adikku. Aku masih penasaran dengan CD yang aku temukan di kamarnya. Apa iya dia melakukan itu dengan Mas Akmal kakak iparnya sendiri. Kalau iya, awas saja nanti kamu Dewi. Kamu akan menerima balasan dariku. Sudah di sekolahkan di tempat favorit dan mahal, mau nikung kakaknya lagi.

Astagfirullah, aku tidak boleh berprasangka buruk. Bukannya fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.

Tapi, kalau dia benar-benar melakukan hal keji itu. Aku juga tidak segan-segan ‘membunuh’ cacing Mas Akmal yang ukurannya tidak seberapa itu.

Laci, tas yang menggantung, saku jaket Dewi, semuanya sudah aku geledah. Akan tetapi aku tidak menemukan apa-apa di sana. Namun, ketika aku menengok di kolong dipan, aku kembali menemukan bungkus kontrasepsi dengan merek yang berbeda.

Ya Allah, remuk redam hatiku menerima kenyataan bahwa adikku yang pendiam, terlihat alim, tidak neko-neko, ternyata bisa melakukan hal semenjijikkan ini. Apa sih yang ada di otaknya dia. Apa dia tidak memikirkan masa depannya?

Kalau begini, aku juga yang repot.

Aku mendesah kasar. Kepalaku tiba-tiba terasa nyut-nyutan.

Aku keluar dari kamar gadis itu dan menguncinya kembali.

“Assalamualaikum!” Terdengar suara Dewi mengucap salam.

Aku enggan membukakan pintu untuknya. Malas, capek hati, juga kecewa kepadanya.

“Assalamualaikum, Kak!” teriaknya lagi.

“Ish, kan bisa lewat pintu belakang!” dengusku kesal.

Aku tetap berbaring sambil memainkan gawaiku. Takku hiraukan panggilan adik semata wayangku itu. Biarlah. Capek rasanya berbuat baik kepada dirinya.

“Assalamualaikum!” tok! Tok! Tok!

“Ya Allah, bener-bener tu bocah. Emang apa susahnya sih jalan sedikit ke belakang!”

Aku mendengkus kesal sambil berjalan ke arah pintu.

“Lama banget, Kak!” protesnya.

“Kan bisa lewat belakang. Lagian emang saya pembantu kamu!” rutukku kesal.

“Kakak kenapa, sih. Akhir-akhir ini sentimen banget sama aku. Mana suka nuduh aku yang enggak-enggak lagi!” Dia memonyongkan bibir sambil membanting bokongnya di sofa.

“Makanya kamu jujur sama kakak, siapa yang sudah tidur sama kamu!” Aku melipat tangan di depan dada.

“Ya Allah, kak. Itu lagi yang dibahas!” Dewi terlihat tidak suka.

“Ini apa?!” Kulemparkan bungkus kontrasepsi yang aku temukan di kamarnya ke wajah adikku.

Dewi terlihat gelagapan. Matanya kini dipenuhi kaca-kaca.

“Siapa yang melakukannya, Dewi. Pacar kamu, Mas Akmal, atau ...?” Belum selesai aku bicara, bocah itu malah ngeloyor pergi.

Dasar tidak sopan!

Aku mengenyakkan badan di atas sofa depan televisi. Pusing kepalaku seperti mau pecah memikirkannya. Andai saja ada teman untuk berbagi, sudah pasti akan menceritakan semua ini.

Tetapi, banyak teman yang sok mendengarkan curhatan orang, ternyata dia justru sedang menggali informasi. Biarlah, aku akan menyimpannya sendiri walaupun terasa sesak di sanubari.

“Fit, Efita!” terdengar seseorang memanggil namaku.

Aku mengerjapkan mata kemudian duduk mengumpulkan nyawa. Ayah mertuaku yang tinggal di seberang jalan tiba-tiba sudah ada di hadapanku.

“Ada apa, Pap?” tanyaku sambil mengikat rambut.

“Papa mau minjem linggis. Kata Akmal di gudang ada. Mana kuncinya!” kata laki-laki berusia empat puluh sembilan tahun itu sembari menyodorkan tangan.

“Fita ambil dulu di kamar, Pap!” Aku bangkit dari tempat dudukku lalu mengambil kunci gudang.

Aku masih bingung kenapa ayah mertuaku bisa masuk ke dalam rumah. Padahal seingatku, tadi pintu depan sudah kembali aku kunci.

“Ini, Pap.” Aku memberikan kunci tersebut kepada Papa.

Lelaki bertubuh tegap walaupun sudah berumur itu menoleh ke kamar Dewi ketika melewatinya. Gelagatnya begitu mencurigakan. Duh, jangan-jangan ....

Astagfirullah, lagi-lagi aku hanya bisa mengelus dada karena hatiku selalu didera curiga kepada orang-orang yang ada di dekatku. Nggak mungkin papa yang melakukannya. Andai saja Dewi mau jujur dengan siapa ia melakukan hubungan terlarang itu, mungkin aku tidak perlu pusing-pusing serta menerka-nerka.

Tok! Tok! Tok!

Kuketuk pintu kamar Dewi, mencoba membujuk wanita belia itu supaya mau bercerita kepadaku. Siapa tahu dia dipaksa dan mendapat tekanan dari laki-laki tersebut, sehingga dia selalu bungkam dan merahasiakan kejadian itu.

Nihil, Dewi tetap bergeming, tidak mau membukakan pintu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status