Share

Part 5

“Kamu kenapa, sih?” Laki-laki dengan garis wajah tegas tersebut menangkup wajahku dan mengunci mata ini dengan tatapannya.

Ada rasa rindu menelusup dalam kalbu, ketika pandangan kami saling berserobok. Aku merindukan Mas Akmal yang dulu. Senyumnya, tatapannya, pokoknya aku tidak rela jika harus berbagi suami dengan adikku. Mas Akmal harus segera memilih aku atau dia yang akan menemaninya sampai tua nanti.

“Efita, tolong percaya sama aku. Aku tidak pernah menghianati kamu!” Mas Akmal menarik tubuh ini ke dalam pelukannya, seperti mengetahui isi hatiku.

Aku terus memindai wajahku di depan cermin. Masih terlihat cantik, apalagi aku termasuk orang yang memiliki wajah baby face. Banyak yang mengira kalau aku masih berusia sembilan belas tahun karena aku imut dan juga menggemaskan.

Tetapi, kenapa Mas Akmal malah berpaling dariku. Sebenarnya salah aku ini apa?

Apa mungkin karena aku belum bisa memberikan keturunan? Tapi, bukannya Mas Akmal sendiri yang mempunyai masalah kesuburan, dan dia tahu akan hal itu.

‘Ya Allah!’ aku mengacak-acak rambutku, persis seperti orang stres. Lama-lama bisa gila beneran aku ini.

Aku tidak boleh terus-menerus meratapi kemalangan diri ini. Lagian, belum tentu juga Mas Akmal melakukannya. Kucoba melawan semua prasangka buruk yang selalu menggerogoti hati. Aku ingin berprasangka baik, agar nasib rumah tanggaku juga tetap baik.

Lekas diri ini beranjak ke kamar mandi dan membersihkan diri dari hadas besar, karena menstruasiku sudah selesai. Setelah itu mengambil wudu dan segera mengadukan semua masalahku kepada Sang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang.

Air mata kembali menetes tanpa bisa aku tahan. Rasa sakit yang mendera hati semakin menyiksa diri. Berkali-kali aku beristigfar, memohon supaya hati ini selalu dibersihkan dari segala pikiran kotor.

Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Aku terus mengucap haukalah sambil memejamkan mata yang terasa memanas.

“Fit?” Aku terkejut ketika tiba-tiba tangan kekar Mas Akmal melingkar di pundakku. Pria berhidung bangir itu tersenyum lalu mengusap pipiku dengan lembut.

Sejak pengantin baru hingga sekarang Mas Akmal memang selalu memanjakanku. Tapi, ah, aku mulai meragukan cintanya gara-gara benda menjijikkan yang aku temukan di kamar Dewi.

“Kamu sudah sholat, Fit. Berarti kita bisa ....” Dia mengerling nakal ke arahku, menggosokkan hidung kami lalu menggendongku.

Aku menatap lekat manik coklat milik Mas Akmal. Memejamkan mata berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi, dan ketika aku terjaga, semuanya ternyata baik-baik saja.

Pelan-pelan aku membuka mata, mengerjap lalu mengucek mataku yang terasa masih mengantuk. Azan subuh sudah menggema, menyerukan semua umat muslim untuk bangun dan melaksanakan ibadah wajibnya.

Bergegas diri ini masuk ke dalam kamar mandi, mengambil wudu, membaca doa mandi wajib kemudian segera membasuh badan yang terasa lengket semua.

Setelah selesai menjalankan ibadah wajib dua rakaat, aku segera keluar dari kamar untuk menyiapkan teh buat Mas Akmal sepulang dari musala. Pasti saat ini dia sedang pergi ke surau untuk menjalankan ibadah salat subuh berjamaah. Sebab, suamiku tercinta sudah tidak ada di atas peraduan ketika aku bangun tadi.

“Allahu akbar! Allahu akbar!” Baru saja menyalakan kompor dan meletakkan panci, terdengar suara teriakan di samping kamar Dewi. Sepertinya jebakanku sudah mengenai sasaran. Aku segera berlari ke samping rumah dan melihat siapa gerangan dirinya.

Mataku membeliak tidak percaya ketika melihat Mas Akmal berdiri meringis kesakitan di atas serpihan-serpihan kaca.

"Tolong, Efita, sakit!" ujarnya pelan, terlihat sekali dia sedang menahan sakit yang teramat sangat.

Aku bergeming. Kaki ini rasanya sulit sekali di gerakkan. Tidak lama kemudian muncul Papa yang entah sudah sejak kapan dan dari mana dia muncul. Laki-laki satu ini memang misterius, tiba-tiba datang lalu menghilang.

Papa mengangkat tubuh Mas Akmal dan membawanya masuk ke dalam rumah. Air mata berduyun-duyun keluar dari pelupuk mataku. Kini pipiku telah basah di aliri sungai air mata.

"Tolong panggil ambulans, Fit!" titah papa terlihat khawatir.

Aku masih berdiri mematung di depan dua orang yang amat aku hormati itu. Ingin rasanya aku memaki suamiku, namun melihat luka yang menganga di kakinya membuat diri ini tidak tega.

"Papa kan bisa nyetir, kenapa nggak langsung di bawa pake mobil Mas Akmal saja, Pap!" ujarku dengan suara bergetar, antara tidak tega dan sakit hati.

Kupandangi darah yang menggenang di lantai marmer rumahku. Mungkin jika luka di hatiku bisa terlihat dan mengeluarkan darah, mungkin lebih banyak dari darah yang keluar dari tubuhnya Mas Akmal.

"Ada apa, Mas Akmal kenapa?" pekik Dewi ketika melihat suamiku yang sudah terlihat pucat pasi.

Hening. Hanya erangan Mas Akmal yang terdengar.

"Ayo buruan, Om. Bawa Mas Akmal ke rumah sakit!" titah Dewi dan langsung di iyakan oleh mertuaku.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam membisu tanpa bisa berucap sepatah kata pun. Teramat sakit rasanya hati ini menerima kenyataan kalau ternyata misteri laki-laki yang keluar melalui jendela Dewi itu terkuak, dan pelakunya adalah suamiku sendiri.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari tiga puluh menit, akhirnya mobil yang membawa kami sampai juga di rumah sakit terdekat. Aku mengusap kepala Mas Akmal yang sejak tadi berada di pangkuanku. Memanggil namanya walaupun terasa menyesakkan dada. Sepertinya laki-laki yang telah memorak-porandakan hatiku ini sudah tidak sadarkan diri.

"Buruan, Sus, bantu anak saya keluar dari mobil!" Terdengar suara panik Papa mulai mendekat ke arah kami.

Dua orang perawat dan satpam menghampiri kami kemudian menggotong tubuh Mas Akmal lalu merebahkannya di atas brankar. Dengan sigap para perempuan berseragam hijau batik itu mendorong brankar tersebut masuk ke ruang unit gawat darurat kemudian menutup pintu dan menyuruh kami menunggu di depan ruangan.

"Pasien butuh transfusi darah, kami butuh golongan darah AB!" teriak seorang dokter berkacamata yang menangani Mas Akmal.

"Fit, golongan darah kamu AB juga, bukan?" tanya Papa sembari menatapku.

Aku hanya mengangguk pelan. Rasanya enggan sekali diri ini memberikan walau hanya setetes darahku. Namun, untuk saat ini ada nyawa manusia yang harus aku selamatkan. Aku tidak boleh mementingkan egoku. Diriku harus menolong Mas Akmal, meskipun dia telah menorehkan luka di sanubari.

Setelah dua jam tidak sadarkan diri, akhirnya Mas Akmal membuka mata dan langsung menatapku.

"Fit," panggilnya pelan. Aku membuang muka menyembunyikan air mataku.

"Efita." Kini dia berusaha bangkit dan meraih tangan ini.

"Kamu sudah sadar, Mas? Kalau begitu aku pamit pulang. Biar nanti Dewi yang menemani kamu di sini!" Aku beranjak dari tempat kursi dan keluar dari ruangan tempat dimana suamiku sedang dirawat akibat perbuatan terhinanya.

Kusapu air mata yang terus berlomba-lomba tumpah dari pelupuknya dengan ujung jari-jariku sambil berjalan menunduk menyusuri koridor rumah sakit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status