Share

Part 10

‘Kamu harus bangkit Efita, kamu nggak boleh terpuruk seperti ini.’

Aku beranjak dari dudukku, menekan sakelar lampu karena rumah sudah seperti gua. Gelap gulita.

Menyalakan keran air, mengguyur tubuh ini lalu mengambil wudu dan lekas melaksanakan ibadah salat magrib dilanjut dengan bermuroja’ah untuk menghibur hati yang sedang lara.

Aku harus berprasangka baik terhadap Tuhan. Mungkin Sang Maha Rahim sedang menyiapkan rencana indah untuk diriku nanti, jika tidak di dunia mungkin di alam keabadian kelak.

Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam. Aku mengambil gawai, melihat aplikasi berwarna hijau yang sudah dipenuhi ratusan notifikasi pesan masuk. Ternyata dari grup RT yang sedang ramai membahas masalah perzinaan yang dilakukan Dewi dan Mas Akmal. Bahkan, ada yang sengaja menjadikan kasus ini sebagai candaan.

Kenapa harus itu yang di bahas? Apa mereka tidak tahu kalau di sini ada hati yang sedang tersakiti saat membaca cuitan mereka yang seolah menertawakan diriku yang sedang dirundung duka?

Segera kuletakkan kembali gawai di atas nakas, merebahkan bobot menjemput lelap supaya besok tidak kesiangan. Kubenamkan tubuh ini ke dalam selimut dan lekas berlayar ke samudera mimpi.

***

[Mang, besok pagi tolong bawakan saya sayur sawi, bakso, ayam, udang sama wortel ya, Mang. Totalnya berapa nanti uangnya saya transfer. Sayurannya nanti tolong digantung di pagar saja ya] kukirim pesan kepada tukang sayur langganan, karena belum siap diberondong pertanyaan para tetangga yang terlihat begitu haus akan informasi perselingkuhan antara Mas Akmal dan Dewi.

[Siap, Mbak Fita] jawab Mamang sayur.

Setelah dia menotal semua belanjaanku, segera kutransfer uang pembayarannya.

Aku membuka kulkas, mengambil dua butir telur dan mendadarnya dengan kornet, sebab stok bahan makanan di dalam lemari esku sudah habis semua.

“Kalau makan sama kamu, pake beginian doang juga enak, Fit!” kata Mas Akmal sembari menekan dagunya di bahuku sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggang.

“Jangan peluk-peluk, aku lagi masak, gerah. Lagian nggak enak diliatin Dewi,” ucapku sambil mengurai pelukan laki-laki berhidung bangir tersebut.

“Dewi di kamar dan nggak bakalan liat. Lagian kita kan pasangan halal!” Dia memutar tubuhku dan mencium pipiku dengan lembut.

Aku mengendus saat bau sangit menguar di udara.

Ya Allah, gara-gara melamunkan Mas Akmal telur dadarku menjadi gosong.

‘Bangun, Fit. Sadar. Kamu harus move on dari laki-laki seperti dia!’ rutukku dalam hati.

Membanting bokong di kursi karena selera makanku hilang sudah. Bahan-bahan makanan juga sudah tidak ada. Aku mendengus kesal, merasa sebal dengan diriku sendiri yang masih memikirkan laki-laki yang telah merobek hati.

Kuambil gawai yang sudah sejak tadi didiamkan di atas meja, membuka aplikasi pesan makanan online karena tidak mungkin ke warung makan di depan kompleks. Di tempat itu kan markasnya orang ngerumpi, sudah pasti banyak ibu-ibu sedang menggosipkan masalah perselingkuhan mantan suami serta adikku.

‘Astagfirullah, kenapa aku jadi mudah suuzan begini!’ keluhku dalam hati.

Aku menegakkan kepala, menyambar dompet yang ada di atas kulkas lalu keluar membeli makan di warung. Aku harus bisa menghadapi semua ini. Untuk apa diri ini harus merasa malu. Toh, yang berzina itu mereka, bukan aku.

“Eh, Mba Efita. Baru kelihatan. Ngerem mulu, emang nggak gerah apa di dalam rumah terus?” sapa Bu Hilma yang kebetulan sedang berbelanja di tempat itu juga.

“Kalau gerah tinggal nyalain AC, Bu!” selorohku membuat Bu Hilma dan pemilik warung tertawa.

Lekas kupesan dua potong rendang dan oseng pare kesukaanku. Pare itu sayur kehidupan, biar pun pahit, tetapi tetap dinikmati.

“Eh, Mbak Fita. Si Dewi sama Mas Akmal sekarang tinggal di mana? Kasian ya mereka diusir sama warga dari sini!” kata Bu Hilma memancing obrolan mengenai makhluk tak berperasaan itu.

“Saya kurang tahu, Bu. Dan sudah bukan urusan saya lagi,” jawabku sembari mengulas senyum.

Jadi, Dewi sama Mas Akmal diusir dari kompleks ini? Baguslah!

“Kalau butuh teman curhat, hubungi saya saja ya, Mbak Fit. Saya siap menjadi pendengar setia Mbak Efita!”

“Iya, Bu. Terima kasih. Saya masuk dulu ya, Bu. Assalamualaikum!” Bergegas diri ini menutup pintu sebelum wanita berparas cantik paripurna tersebut mewawancaraiku.

Kuletakkan sayur serta rendang yang aku beli tadi kemudian pergi ke samping rumah untuk membersihkan serpihan kaca yang aku sebar di bawah jendela kamar Dewi, menghela napas salam ketika melihat bercak darah yang sudah mengering dan masih terlihat jelas di lantai rumah. Pasti rasanya sakit sekali menginjak pecahan-pecahan kaca yang begitu tajam. Walaupun aku tahu rasanya tidak melebihi apa yang hati ini rasakan.

Sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Aku harus menata hidup kembali, karena hidupku lebih berarti dari pada harus meratapi yang sudah menghianati.

Setelah selesai membersihkan pecahan-pecahan gelas tersebut, bergegas diri ini membuangnya ke tong sampah, dibuang seperti mantan. Apalagi kalau mantannya meninggalkan jejak perih di sanubari.

“Assalamualaikum!” Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara parau seorang wanita mengucap salam. Aku sangat mengenali suara itu. Lekas diriku mengenakan kerudung, berjalan perlahan menuruni undakan teras ingin melihat siapa yang datang.

Seorang wanita paruh baya dengan gamis hitam berdiri mematung dengan mata sudah berkaca-kaca. Emak. Ternyata ibuku datang menjengukku.

Apa yang harus aku katakan jika Emak menanyakan keberadaan Dewi juga mantan suamiku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status