Keluarga besar Efita sudah bersiap-siap pergi ke kota Tegal untuk melangsungkan pernikahan Salman dengan putri sulung Gus Fauzan. Pernikahan yang rencananya akan diselenggarakan awal tahun, akan tetapi harus ditunda beberapa bulan karena Salman belum bisa mengambil cuti dan Nabila mendapat tugas dari kampusnya untuk melakukan kuliah kerja nyata di luar kota. Hal itulah yang membuat acara harus ditunda sementara, dan hari ini, dua insan manusia yang saling mencintai itu akan mengucap janji suci di depan Allah, menjadikan hubungan mereka menjadi halal serta diridhai Tuhan.
"Santai saja, nggak usah gemetar!" bisik Salim kepada sang adik ketika mereka sudah berada di masjid pesantren menunggu ijab qobul dimulai.Salman menerbitkan senyuman. Rasa grogi terlihat jelas di wajah pria berusia sudah genap dua puluh empat tahun itu, apalagi ketika pembawa acara memulai susunan acara.Keringat dingin terus saja membanjiri tubuhnya walaupun ruangan tempat dia akan mengPukul tujuh malam, selepas melaksanakan shalat isya, Ridwan kembali datang dan meminta Dewi untuk menjadi pendamping hidupnya. Kali ini dia meminta wanita tersebut kepada sang kakak, dan Efita tetap saja menyerahkan semuanya kepada Dewi. "Sudah aku bilang kan, Mas. Aku ini bukan wanita sempurna. Kamu akan menyesal jika menikah denganku nanti. Apa kamu tidak berpikir sampai kesitu, Mas?" Dewi membuang muka menghindari tatapan Ridwan yang begitu menghanyutkan."Saya akan menerima segala kekurangan serta kelebihan kamu, Wi. Lillahi taala. Menikah itu ibadah. Kebahagiaan sepasang suami istri itu bukan hanya karena adanya anak. Tapi dengan saling percaya serta melengkapi, kita akan merasa hidup bahagia selamanya. Apalagi sudah ada Arjuna. Dia juga butuh figur seorang ayah, Wi. Kamu jangan egois!" desak Ridwan memberi keyakinan kepada wanita yang dia kagumi."Justru karena aku tidak mau dianggap egois, makanya menolak kamu, Mas." "Wi, tolong pertimban
Krieeet ....Pelan-pelan membuka pintu kamar adikku karena jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka delapan pagi dan dia belum terlihat batang hidungnya.“Wi, Dewi!” panggilku seraya melongok ke dalam kamar bernuansa violet itu.Tidak ada jawaban. Aku menggeleng melihat kamar Dewi yang begitu berantakan serta acak-acakan. “Kamar anak gadis, kok, berantakan banget!” gumamku dalam hati.Aku meraba tembok, mencari sakelar dan menyalakan lampu hingga kamar tersebut menjadi terang benderang. Kupunguti baju-baju Dewi yang berserakan di lantai lalu merapikan tempat tidurnya yang begitu berantakan. Seprai tidak terpasang, pun dengan sarung bantal yang sudah lepas semua.Mataku membeliak ketika melihat bungkus kontrasepsi tergeletak di lantai. Kenapa ada benda seperti ini di kamar Dewi? Dia kan masih gadis, masih kelas dua SMA. Sedang aku saja tidak pernah menggunakan benda seperti itu.Aku memasukkan bungkus kontrasepsi tersebut ke dalam tong sampah. Mataku kembali membulat ketika melihat be
Penasaran, aku turun dari tempat tidur lalu mendekati kamar adikku. Terdengar suara desahan saling bersahut-sahutan di dalam sana. Aku semakin penasaran dan ingin mencari tahu siapa yang bersama Dewi sekarang.“Wi, Dewi!” teriakku sambil mengetuk pintu.Suara aneh itu tiba-tiba berhenti. Aku mengetuk kamar Dewi berkali-kali, tetapi gadis berkulit putih itu tidak kunjung membukakan pintu.“Ada apa, Fit?” tanya Mas Akmal yang baru saja datang entah dari mana.“Kamu dari mana saja, Mas. Sudah jam dua belas malam baru pulang?” cecarku, menatap lelakiku curiga.“Tadi ketiduran di toko, Fit!” jawabnya seraya mengusap rambut.“Mas, tadi aku denger suara aneh di kamar Dewi. Tolong kamu dobrak kamar dia, Mas!” titahku.Belum sempat Mas Akmal mendobrak pintu kamarnya, Dewi keluar menggunakan piama sambil menggaruk kepala. Aku lihat kamar Dewi begitu berantakan, persis seperti hari kemarin.Aku menyelonong masuk dan memeriksa kamar adikku. Tidak ada siapa-siapa. Segera kusibak hordeng kamarnya d
Pintu kamar Dewi sudah di betulkan oleh tukang. Pun dengan jendela yang sudah aku paku rapat. Namun, aku belum puas dengan semua itu. Ingin rasanya diri ini memberi pelajaran lebih kepada orang yang telah menghancurkan adikku itu.Aku masuk ke dalam gudang, mengambil gelas-gelas yang sudah tidak terpakai lalu menyuruh tukang untuk menghancurkannya menjadi serpihan-serpihan.“Memangnya mau buat apaan, Mbak Efita?” tanya si tukang penasaran.“Buat nangkep kucing garong, Kang!” jawabku, memiringkan senyuman.“Waduh, memangnya suka ada kucing garong di rumah Mbak Efita?” “Ada, Kang. Datengnya kalau malam-malam!”“Ini sudah jadi, mau ditaruh di mana, Mbak?”“Masukan ember saja, Kang. Nanti biar saya yang nyebar. Kalau Akang yang nyebar malah nanti saya yang kena, lagi!” Aku menyodorkan tiga lembar uang lima puluh ribuan kemudian segera mengambil sarung tangan dan menuang serpihan beling itu di bawah jendela.‘Pasti gurih-gurih enyoy, kalau dia nginjek pecahan beling ini. Siapa pune kamu,
Pukul empat sore Dewi keluar dan meminta izin untuk pergi ke tempat lesnya. Aku melarangnya pergi sebelum dia memberitahuku, siapa laki-laki yang semalam bersamanya di kamar.Lagi-lagi dia hanya menangis tergugu di hadapanku. Apa sih, sebenarnya maunya anak ini. Asal ditanya selalu saja menjawab dengan air mata.“Kakak kenapa sih, tega banget nuduh aku begitu. Aku nggak ngapa-ngapain semalam. Kakak kan liat sendiri aku tidur!” tampiknya kesal.Dia lalu masuk ke dalam kamar dan membanting pintu hingga aku berjingkat kaget.Samar-samar terdengar suara azan magrib berkumandang. Aku duduk di ruang tengah menunggu kepulangan Mas Akmal dari toko, walaupun sebenarnya aku yakin dia pasti pulang tengah malam.Tiga puluh menit kemudian terdengar suara deru mesin kendaraan masuk ke pekarangan rumah. Bergegas diri ini mengenakan kerudung lalu keluar menyambut kepulangan suamiku.“Sudah pulang, Mas?” tanyaku seraya meraih tangan kanannya, serta mencium punggung tangan laki-laki itu dengan takzim.
“Kamu kenapa, sih?” Laki-laki dengan garis wajah tegas tersebut menangkup wajahku dan mengunci mata ini dengan tatapannya.Ada rasa rindu menelusup dalam kalbu, ketika pandangan kami saling berserobok. Aku merindukan Mas Akmal yang dulu. Senyumnya, tatapannya, pokoknya aku tidak rela jika harus berbagi suami dengan adikku. Mas Akmal harus segera memilih aku atau dia yang akan menemaninya sampai tua nanti.“Efita, tolong percaya sama aku. Aku tidak pernah menghianati kamu!” Mas Akmal menarik tubuh ini ke dalam pelukannya, seperti mengetahui isi hatiku.Aku terus memindai wajahku di depan cermin. Masih terlihat cantik, apalagi aku termasuk orang yang memiliki wajah baby face. Banyak yang mengira kalau aku masih berusia sembilan belas tahun karena aku imut dan juga menggemaskan.Tetapi, kenapa Mas Akmal malah berpaling dariku. Sebenarnya salah aku ini apa?Apa mungkin karena aku belum bisa memberikan keturunan? Tapi, bukannya Mas Akmal sendiri yang mempunyai masalah kesuburan, dan dia ta
“Dewi, Dewi!” teriakku sambil mengetuk kasar pintu kamarnya.“Ada apa, kak?” Seraut wajah menjijikkan muncul dari balik pintu.“Buruan ke rumah sakit. Temani Masmu di rumah sakit. Jangan mau enaknya saja kamu. Giliran sakit, kakak yang harus ngurusin dia!” ucapku dengan suara meninggi.Dewi memutar badan hendak masuk ke dalam kamar.Ya Allah, bertambah sesak dada ini melihat beberapa tanda merah di tengkuk wanita berusia tujuh belas tahun itu. Seperti ada yang teremas-remas dalam dada ini. Andai saja melenyapkan manusia tidak berdosa, sudah barang tentu akan aku habisi dia saat ini juga. “Dasar adik tidak tahu di untung, kamu benar-benar menjijikkan, Dewi. Saya tidak menyangka kamu bisa berbuat curang kepada kakak kandungmu sendiri!” Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba aku kalap dan menarik rambut Dewi, menariknya keluar dari rumah hingga sela-sela jariku dipenuhi rambut yang terbawa.“Ampun, Kak. Sakit!” pekiknya sambil menangis.“Sakitan mana sama hati kakak, Dewi. Kamu kakak uru
"Fit, apa kamu menyesal menikah denganku?" Dia menatap netraku."Tadinya enggak, sekarang iya!"Mas Akmal menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Aku lihat sudut matanya sudah menganak sungai."Mas, Kak Fita ngusir aku, masa?" Tiba-tiba Dewi menghampiri kami dan duduk di samping Mas Akmal. "Apa bener, Efita?" "Iya, memangnya kenapa, kamu marah?!" "Kenapa harus usir Dewi? Enggak, aku nggak setuju Dewi keluar dari rumah ini!" Aku melirik ke arah Dewi yang terlihat tersenyum puas. Dasar adik laknat."Kenapa kamu keberatan, Mas. Berarti bener kan dugaanku selama ini, kamu laki-laki yang selama ini sudah tidur dengan Dewi?!""Iya, memangnya kenapa?" Dia menegakkan kepalanya. "Bukannya laki-laki boleh menikahi lebih dari satu wanita? aku mencintai Dewi juga. Kami melakukannya suka sama suka, bukan karena paksaan!" imbuhnya lagi, bagai belati menusuk tepat di hati."Tapi kenapa harus berzina, Mas?!" Aku menelan ludah yang terasa getir serta mengganjal di kerongkongan.