Share

Part 7

"Fit, apa kamu menyesal menikah denganku?" Dia menatap netraku.

"Tadinya enggak, sekarang iya!"

Mas Akmal menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Aku lihat sudut matanya sudah menganak sungai.

"Mas, Kak Fita ngusir aku, masa?" Tiba-tiba Dewi menghampiri kami dan duduk di samping Mas Akmal.

"Apa bener, Efita?"

"Iya, memangnya kenapa, kamu marah?!"

"Kenapa harus usir Dewi? Enggak, aku nggak setuju Dewi keluar dari rumah ini!"

Aku melirik ke arah Dewi yang terlihat tersenyum puas. Dasar adik laknat.

"Kenapa kamu keberatan, Mas. Berarti bener kan dugaanku selama ini, kamu laki-laki yang selama ini sudah tidur dengan Dewi?!"

"Iya, memangnya kenapa?" Dia menegakkan kepalanya. "Bukannya laki-laki boleh menikahi lebih dari satu wanita? aku mencintai Dewi juga. Kami melakukannya suka sama suka, bukan karena paksaan!" imbuhnya lagi, bagai belati menusuk tepat di hati.

"Tapi kenapa harus berzina, Mas?!" Aku menelan ludah yang terasa getir serta mengganjal di kerongkongan.

"Karena kamu tidak mungkin memberiku izin, untuk menikah dengan Dewi!"

Aku menggeleng tidak percaya. Air mata kian merebak di pelupukku, tidak mau berhenti mengalir meski sudah aku tahan. Aku tidak mau menangisi laki-laki Penghianat seperti dia. Aku juga tidak mau berbagi suami dengan Dewi.

"Oke, kalau begitu aku yang mundur, Mas. Silakan kalian menikah dan hidup bahagia di atas penderitaanku. Insya Allah aku ikhlas, Mas."

"Tidak, aku tidak akan menceraikan kamu, Efita. Aku sangat mencintai kamu dan kamu tahu itu!"

"Tidak, Mas. Aku nggak mau berbagi suami. Aku juga tidak mau memakai barang bekas orang. Mulai hari ini kamu angkat kaki dari rumah ini, Mas. Rumah ini kamu buat atas nama aku, Kan. Kamu jadikan hadiah ulang tahun pernikahan kita yang pertama dulu. Jadi, rumah ini adalah hakku. Silakan kamu bawa gundik kamu pergi dari tempat ini. Aku tidak sudi melihat kalian berdua!"

Aku segera masuk ke dalam kamar. Memasukkan barang-barang Mas Akmal ke dalam koper tanpa tersisa selembar baju pun. Air mataku kembali berduyun-duyun luruh membasahi pipi, ketika melihat kemeja putih serta tuxedo yang Mas Akmal pakai saat pernikahan kami dulu.

"Apa kamu tidak ingat perjuangan kita mendapatkan restu dari ibu kamu dulu, Mas!" pekikku sembari memeluk jas serta kemeja itu.

Hati ini seperti teremas-remas membayangkan suamiku membelai mesra adikku, mengatakan kata cinta seperti yang selalu ia bisikkan kepadaku, juga menyatukan tubuhnya dengan cara tidak bermoral seperti itu.

Ya Tuhan, kenapa Engkau memberi cobaan seberat ini kepadaku. Bukankah selama ini aku selalu bertakwa, menjalankan semua perintah-Mu dan menjauhi semua larangan-Mu.

Kuseret koper berisi pakaian laki-laki yang telah meluluh lantakkan perasaanku kemudian kusuruh dia bersama gundiknya pergi dari rumah ini. Papa mengernyitkan dahi ketika melihat aku mengusir suamiku.

"Ada apa ini, Efita. Kenapa kamu usir anak saya dari rumahnya sendiri?" kata Papa seraya menatapku dengan tatapan tidak suka.

"Rumah ini sudah menjadi hak saya, Pap. Untuk masalah saya mengusir Mas Akmal dari rumah ini, silakan Papa tanya sama putra Papa dan calon menantu baru Papa?" berangku.

Mas Akmal Beranjak dari tempat duduknya lalu meminta Dewi membantunya membawakan koper miliknya. Sekuat tenaga diri ini menahan agar tidak lagi ada air mata yang menetes di depan mereka.

"Kamu silakan bawa baju-baju kamu, Dewi. Ingat, jangan bawa barang-barang berharga yang saya berikan. Kamu sudah mencuri suami saya, jadi, haram buat kamu memakai barang-barang pemberian dari saya juga!"

"Tenang saja, Kak. Saya tidak akan membawa apa pun dari rumah ini. Saya hanya akan membawa bajuku, itu pun nanti setelah aku mengantarkan Mas Akmal ke rumah Om Surya!" jawab Dewi, mencebik bibir.

Aku menghela nafas yang terasa sesak serta menyakitkan. Tidak kusangka orang-orang yang aku sayangi ternyata tega mengkhianati diri ini.

Apa salah dan dosaku kepadamu, Mas. Kenapa kamu tega mengkhianati pernikahan kita yang sudah memasuki tahun ke lima ini. Bukankah kamu berjanji akan selalu setia dan menyayangiku selamanya?

***

#Flasback

Aku berdiri di depan terminal bus sambil menunggu Anita menjemput. Dia menawariku pekerjaan menjaga toko elektronik di sebuah pasar di Jakarta.

Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya Anita muncul dan mengajakku ke rumah kontrakannya menggunakan angkutan umum. Dia menyuruhku istirahat karena aku baru akan mulai bekerja esok hari.

Dan, pagi-pagi sekali, Anita sudah membawaku ke sebuah toko elektronik milik Mas Akmal. Dadaku berdegup kencang ketika melihat calon bosku yang ternyata masih berusia dua puluh tiga tahun dan memiliki wajah yang begitu memesona.

"Kamu namanya siapa, sudah punya pengalaman kerja apa belum?" tanya Mas Akmal kala itu.

"E–Efita. belum, Pak!" sahutku tergagap.

"Emang saya terlihat seperti bapak-bapak?" Dia tersenyum, membuat diri ini tidak mampu menatap wajahnya.

"E–enggak, Pak!"

"Panggil saja saya Mas Akmal. Jangan panggil Bapak. Lawong saya bukan Bapak kamu kok!"

"Iya, Mas."

Anita mengajakku ke depan dan memulai pekerjaanku. Dia mengajariku tentang kode harga, melayani pengunjung dan memberi beberapa wejangan kepadaku.

Saat itu Ibunya Mas Akmal masih hidup tetapi Mas Akmal yang di percaya untuk mengelola toko tersebut, karena Papa kurang bisa dipercaya mengelola keuangan. Papa mertuaku mempunyai hobi bermain perempuan dan suka foya-foya tidak jelas. Begitulah penjelasan Mas Akmal ketika kami sudah mulai dekat.

"Kayanya Mas Akmal ada rasa sama kamu, Fit," ucap Anita seraya menoel bahuku.

"Nggaklah, Nit. Moso dia naksir sama perempuan kampungan kaya aku. Nggak mungkin lah!" jawabku, tersipu, gede rasa serta mengaminkan dalam hati.

"Tatapannya dia ke kamu itu beda, Fit. Kaya ada sesuatu gitu!" Dia terkekeh.

"Nggak usah ngawur, ah!" Aku kembali bekerja karena kebetulan hari itu toko sedang ramai pengunjung.

Mas Akmal menghampiriku kemudian menyodorkan sebotol air mineral. Dia tersenyum saat aku menoleh, dan aku langsung menunduk karena kata guru ngajiku, kita harus menundukkan pandangan kepada laki-laki yang bukan mahram kita.

"Terima kasih, Mas," ucapanku seraya mengambil air mineral tersebut dan meneguknya sedikit.

"Kenapa kamu selalu menunduk kalau ketemu sama saya. Apa kamu takut sama saya?"

"Bukan begitu, Mas. Kita kan bukan mahram. Jadi saya harus menundukkan pandangan saya kepada laki-laki yang bukan mahram saya."

"Kalau kamu saya jadikan mahram, mau nggak?" imbuhnya lagi, yang aku pikir hanya candaan belaka.

Aku hanya menanggapinya dengan senyuman.

"Efita, saya menggaji kamu di sini bukan buat ngobrol. Tapi buat kerja!" sembur Ibunya Mas Akmal sembari berkacak pinggang dan menatap bengis ke arahku.

"Saya minta maaf, Bu." Pelan diri ini berucap, seperti angin yang berbisik.

***

"Kak Fita, ini kalungnya. Terima kasih karena kakak sudah mengikhlaskan Mas Akmal buat aku!" ucap Dewi menarikku dari lamunan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
rustianti farid
kenapa harus menggunakan koin. saya sudah baca bebera cerita dari Goo novel ini. tapi kurang seru disaat kita masuk ke episode yg menegangkan tiba2 koin kita habis. kasi banyak bonus dong, supaya kita tetap setia di go novel. salam damai
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status