"Fit, apa kamu menyesal menikah denganku?" Dia menatap netraku.
"Tadinya enggak, sekarang iya!"Mas Akmal menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Aku lihat sudut matanya sudah menganak sungai."Mas, Kak Fita ngusir aku, masa?" Tiba-tiba Dewi menghampiri kami dan duduk di samping Mas Akmal."Apa bener, Efita?""Iya, memangnya kenapa, kamu marah?!""Kenapa harus usir Dewi? Enggak, aku nggak setuju Dewi keluar dari rumah ini!"Aku melirik ke arah Dewi yang terlihat tersenyum puas. Dasar adik laknat."Kenapa kamu keberatan, Mas. Berarti bener kan dugaanku selama ini, kamu laki-laki yang selama ini sudah tidur dengan Dewi?!""Iya, memangnya kenapa?" Dia menegakkan kepalanya. "Bukannya laki-laki boleh menikahi lebih dari satu wanita? aku mencintai Dewi juga. Kami melakukannya suka sama suka, bukan karena paksaan!" imbuhnya lagi, bagai belati menusuk tepat di hati."Tapi kenapa harus berzina, Mas?!" Aku menelan ludah yang terasa getir serta mengganjal di kerongkongan."Karena kamu tidak mungkin memberiku izin, untuk menikah dengan Dewi!"Aku menggeleng tidak percaya. Air mata kian merebak di pelupukku, tidak mau berhenti mengalir meski sudah aku tahan. Aku tidak mau menangisi laki-laki Penghianat seperti dia. Aku juga tidak mau berbagi suami dengan Dewi."Oke, kalau begitu aku yang mundur, Mas. Silakan kalian menikah dan hidup bahagia di atas penderitaanku. Insya Allah aku ikhlas, Mas.""Tidak, aku tidak akan menceraikan kamu, Efita. Aku sangat mencintai kamu dan kamu tahu itu!""Tidak, Mas. Aku nggak mau berbagi suami. Aku juga tidak mau memakai barang bekas orang. Mulai hari ini kamu angkat kaki dari rumah ini, Mas. Rumah ini kamu buat atas nama aku, Kan. Kamu jadikan hadiah ulang tahun pernikahan kita yang pertama dulu. Jadi, rumah ini adalah hakku. Silakan kamu bawa gundik kamu pergi dari tempat ini. Aku tidak sudi melihat kalian berdua!"Aku segera masuk ke dalam kamar. Memasukkan barang-barang Mas Akmal ke dalam koper tanpa tersisa selembar baju pun. Air mataku kembali berduyun-duyun luruh membasahi pipi, ketika melihat kemeja putih serta tuxedo yang Mas Akmal pakai saat pernikahan kami dulu."Apa kamu tidak ingat perjuangan kita mendapatkan restu dari ibu kamu dulu, Mas!" pekikku sembari memeluk jas serta kemeja itu.Hati ini seperti teremas-remas membayangkan suamiku membelai mesra adikku, mengatakan kata cinta seperti yang selalu ia bisikkan kepadaku, juga menyatukan tubuhnya dengan cara tidak bermoral seperti itu.Ya Tuhan, kenapa Engkau memberi cobaan seberat ini kepadaku. Bukankah selama ini aku selalu bertakwa, menjalankan semua perintah-Mu dan menjauhi semua larangan-Mu.Kuseret koper berisi pakaian laki-laki yang telah meluluh lantakkan perasaanku kemudian kusuruh dia bersama gundiknya pergi dari rumah ini. Papa mengernyitkan dahi ketika melihat aku mengusir suamiku."Ada apa ini, Efita. Kenapa kamu usir anak saya dari rumahnya sendiri?" kata Papa seraya menatapku dengan tatapan tidak suka."Rumah ini sudah menjadi hak saya, Pap. Untuk masalah saya mengusir Mas Akmal dari rumah ini, silakan Papa tanya sama putra Papa dan calon menantu baru Papa?" berangku.Mas Akmal Beranjak dari tempat duduknya lalu meminta Dewi membantunya membawakan koper miliknya. Sekuat tenaga diri ini menahan agar tidak lagi ada air mata yang menetes di depan mereka."Kamu silakan bawa baju-baju kamu, Dewi. Ingat, jangan bawa barang-barang berharga yang saya berikan. Kamu sudah mencuri suami saya, jadi, haram buat kamu memakai barang-barang pemberian dari saya juga!""Tenang saja, Kak. Saya tidak akan membawa apa pun dari rumah ini. Saya hanya akan membawa bajuku, itu pun nanti setelah aku mengantarkan Mas Akmal ke rumah Om Surya!" jawab Dewi, mencebik bibir.Aku menghela nafas yang terasa sesak serta menyakitkan. Tidak kusangka orang-orang yang aku sayangi ternyata tega mengkhianati diri ini.Apa salah dan dosaku kepadamu, Mas. Kenapa kamu tega mengkhianati pernikahan kita yang sudah memasuki tahun ke lima ini. Bukankah kamu berjanji akan selalu setia dan menyayangiku selamanya?***#FlasbackAku berdiri di depan terminal bus sambil menunggu Anita menjemput. Dia menawariku pekerjaan menjaga toko elektronik di sebuah pasar di Jakarta.Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya Anita muncul dan mengajakku ke rumah kontrakannya menggunakan angkutan umum. Dia menyuruhku istirahat karena aku baru akan mulai bekerja esok hari.Dan, pagi-pagi sekali, Anita sudah membawaku ke sebuah toko elektronik milik Mas Akmal. Dadaku berdegup kencang ketika melihat calon bosku yang ternyata masih berusia dua puluh tiga tahun dan memiliki wajah yang begitu memesona."Kamu namanya siapa, sudah punya pengalaman kerja apa belum?" tanya Mas Akmal kala itu."E–Efita. belum, Pak!" sahutku tergagap."Emang saya terlihat seperti bapak-bapak?" Dia tersenyum, membuat diri ini tidak mampu menatap wajahnya."E–enggak, Pak!""Panggil saja saya Mas Akmal. Jangan panggil Bapak. Lawong saya bukan Bapak kamu kok!""Iya, Mas."Anita mengajakku ke depan dan memulai pekerjaanku. Dia mengajariku tentang kode harga, melayani pengunjung dan memberi beberapa wejangan kepadaku.Saat itu Ibunya Mas Akmal masih hidup tetapi Mas Akmal yang di percaya untuk mengelola toko tersebut, karena Papa kurang bisa dipercaya mengelola keuangan. Papa mertuaku mempunyai hobi bermain perempuan dan suka foya-foya tidak jelas. Begitulah penjelasan Mas Akmal ketika kami sudah mulai dekat."Kayanya Mas Akmal ada rasa sama kamu, Fit," ucap Anita seraya menoel bahuku."Nggaklah, Nit. Moso dia naksir sama perempuan kampungan kaya aku. Nggak mungkin lah!" jawabku, tersipu, gede rasa serta mengaminkan dalam hati."Tatapannya dia ke kamu itu beda, Fit. Kaya ada sesuatu gitu!" Dia terkekeh."Nggak usah ngawur, ah!" Aku kembali bekerja karena kebetulan hari itu toko sedang ramai pengunjung.Mas Akmal menghampiriku kemudian menyodorkan sebotol air mineral. Dia tersenyum saat aku menoleh, dan aku langsung menunduk karena kata guru ngajiku, kita harus menundukkan pandangan kepada laki-laki yang bukan mahram kita."Terima kasih, Mas," ucapanku seraya mengambil air mineral tersebut dan meneguknya sedikit."Kenapa kamu selalu menunduk kalau ketemu sama saya. Apa kamu takut sama saya?""Bukan begitu, Mas. Kita kan bukan mahram. Jadi saya harus menundukkan pandangan saya kepada laki-laki yang bukan mahram saya.""Kalau kamu saya jadikan mahram, mau nggak?" imbuhnya lagi, yang aku pikir hanya candaan belaka.Aku hanya menanggapinya dengan senyuman."Efita, saya menggaji kamu di sini bukan buat ngobrol. Tapi buat kerja!" sembur Ibunya Mas Akmal sembari berkacak pinggang dan menatap bengis ke arahku."Saya minta maaf, Bu." Pelan diri ini berucap, seperti angin yang berbisik.***"Kak Fita, ini kalungnya. Terima kasih karena kakak sudah mengikhlaskan Mas Akmal buat aku!" ucap Dewi menarikku dari lamunan.“Kak Fita, ini kalungnya. Terima kasih karena kakak sudah mengikhlaskan Mas Akmal buat aku!” ucap Dewi menarikku dari lamunan.Dia lalu keluar menenteng tas besar yang aku tidak tahu apa isinya. Mungkin semua baju-bajunya atau, jangan-jangan dia pergi membawa barang-barang berharga yang ada di rumah ini.Ah, aku tidak peduli. Aku tidak menginginkan harta. Aku hanya ingin keutuhan rumah tanggaku kembali walaupun tidak akan mungkin terjadi. Segera mengunci pintu garasi serta pintu rumah, tidak akan kubiarkan kedua makhluk tidak bermoral itu kembali masuk.Setelah semuanya terkunci rapat aku memutuskan untuk masuk ke kamar Dewi dan memeriksa isi lemari wanita tersebut, mengeluarkan barang-barang milik Dewi lalu membakarnya tanpa sisa. Mataku membeliak kaget ketika melihat galeri foto di ponsel wanita yang sudah aku beri tumpangan itu, dan ternyata banyak sekali foto-foto Mas Akmal yang ia simpan di dalam album di ponselnya.Apa dia sengaja tidak menghapus foto tersebut supaya aku tahu k
Anita mengajakku makan di sebuah restoran khas Jawa Timur, duduk di pojokkan memilih tempat paling sepi dari pengunjung lainnya.“Makan yang banyak, biar gemuk,” mas Akmal mencubit hidungku.“Nanti kalau aku gendut kamu malah berpaling dari aku lagi!” Mengerucutkan bibir manja.“Aku akan setia mendampingi kamu sampai ke jannah, Fit. Kamu juga jangan tinggalkan aku, ya. Walaupun aku tidak bisa memberikan kamu keturunan.” Dua bulir air bening mengalir dari sudut mata Mas Akmal. Aku menghapus buliran-buliran kristal itu dengan ibu jari dan Mas Akmal meraih tangan ini, meletakkan telapak tanganku di pipinya sambil menatap manikku dengan penuh cinta.“Fit, nglamun terus, deh!” Anita menepuk bahuku, menyentakku dari lamunan.Memang tidak bisa dipungkiri, bayang-bayang kenangan bersama Mas Akmal terus saja menari-nari di ingatan. Aku tidak bisa melupakan kenangan indah yang telah kami lewati bersama selama hampir lima tahun itu.“Maaf, Nit. Aku....”“Aku faham kok, Fit!” potong Anita seraya
‘Kamu harus bangkit Efita, kamu nggak boleh terpuruk seperti ini.’Aku beranjak dari dudukku, menekan sakelar lampu karena rumah sudah seperti gua. Gelap gulita. Menyalakan keran air, mengguyur tubuh ini lalu mengambil wudu dan lekas melaksanakan ibadah salat magrib dilanjut dengan bermuroja’ah untuk menghibur hati yang sedang lara.Aku harus berprasangka baik terhadap Tuhan. Mungkin Sang Maha Rahim sedang menyiapkan rencana indah untuk diriku nanti, jika tidak di dunia mungkin di alam keabadian kelak.Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam. Aku mengambil gawai, melihat aplikasi berwarna hijau yang sudah dipenuhi ratusan notifikasi pesan masuk. Ternyata dari grup RT yang sedang ramai membahas masalah perzinaan yang dilakukan Dewi dan Mas Akmal. Bahkan, ada yang sengaja menjadikan kasus ini sebagai candaan.Kenapa harus itu yang di bahas? Apa mereka tidak tahu kalau di sini ada hati yang sedang tersakiti saat membaca cuitan mereka yang seolah menertawakan diriku yang s
“Emak, apa kabar?” sapaku seraya meraih tangan wanita yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun yang lalu itu lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat.Emak menangis dan langsung menghambur memelukku. “Maafin Emak karena telah gagal mendidik Dewi!” ujar Emak di sela isak tangisnya.“Enggak, Mak. Emak nggak salah apa-apa. Efita yang salah karena belum bisa menjadi istri yang baik, sehingga suami Efita berpaling, Mak!” sanggahku, mempererat pelukan kami.Entah dari mana Emak tahu kabar ini, sebab aku selalu menutup rapat rahasia tentang keretakan rumah tanggaku dengan Mas Akmal karena kehadiran Dewi sebagai orang ketiga.Aku menggandeng tangan Emak masuk lalu mempersilakan perempuan berusia empat puluh lima tahun itu duduk. Bahagia rasanya ketika hati ini sedang gundah gulana dan didatangi oleh orang yang paling aku cinta.Membukakan lemari es, mengambil sirop coco pandan kemudian menuangnya ke dalam gelas berisi air putih serta es batu. Setelah itu kubawa minuman itu ke depan
“Sudah ketemu, Bang. Abang ke taman depan pengadilan Agama saja!” Aku dengar perempuan berpakaian serba hitam itu berbicara dengan seseorang di ujung sambungan telepon.Tidak lama kemudian, muncul seorang laki-laki berkemeja merah hati menghampiri kami, dan aku seperti mengenal pria tersebut. Tetapi di mana?“Terima kasih, Ukhti!” ucapnya sambil membungkuk.Ya, sekarang aku ingat. Dia laki-laki yang tidak sengaja menabrakku di depan gapura komplek.“Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih sama Mbak. Kalau Quina tidak bertemu dengan Mbak, saya nggak tahu deh, apa yang bakal terjadi kepada Quina!” ucap Ummi Saquina.“Sama-sama, Mbak. Ya sudah, saya permisi dulu. Sudah siang, assalamualaikum!” Aku memutar badan meninggalkan mereka.“Bunda!” Tiba-tiba Saquina kembali memanggilku dengan sebutan itu. Dia menangis tersedu serta meronta-ronta ingin ikut denganku.“Bunda, ikut!” rengeknya pilu.Aku menoleh, menitikkan air mata dan menghampiri gadis kecil itu kembali.“Apa saya boleh meng
Hampir semua terapi yang disarankan oleh orang-orang terdekat kami jalani, namun, kami belum juga dikaruniai momongan seperti yang selalu aku panjatkan dalam doa. Sepertinya Sang Maha Rahim belum mengabulkan doa-doa kami.Aku juga tidak mau memaksa Mas Akmal untuk menjalani terapi setiap minggunya, sebab aku tahu semua itu pasti akan menyakiti hatinya. Kuterima suratan takdir jika memang kami tidak jua dikaruniai buah hati. Toh, banyak anak yatim yang bisa kami angkat atau sekedar kami santuni.Dan ternyata, inilah balasan dari semua kesabaran serta keikhlasanku menerima semua kekurangan Mas Akmal. Dia menghianatiku, membagi cinta dengan Dewi yang notabene adalah adik iparnya sendiri. Perih, sakit hingga meresap ke dalam pori-pori.Sudahlah, mungkin jodohku dengan Mas Akmal hanya sampai di sini. Aku juga bersyukur karena Allah segera menunjukkan siapa Mas Akmal sebenarnya.Hari semakin beranjak sore. Kesunyian membungkus rapat rumah yang sudah aku tempati selama hampir lima tahun ini
"Papa?!" Aku bangkit dari pembaringan, mengambil kerudung dan segera mengenakannya."Efita, maaf Papa masuk tanpa permisi. Papa sudah tidak bisa menahan perasaan ini, Fita. Apa kamu tahu, Papa sudah mencintai kamu sejak pertama kali melihat kamu!" ucap Papa seperti sedang terpengaruh minuman keras. Laki-laki bertubuh tegap itu mendekat ke arahku dengan langkah terhuyung.'Ya Allah, lindungi hambamu ini'."Tolong jangan tolak Papa, Fit!" Dia berjalan semakin mendekat, mengusap pipi ini dan mendekatkan wajahnya hendak menciumku.Aku mundur beberapa langkah menjauh dari pria yang selalu aku hormati itu. "Ya Allah, Pap. Istigfar, Pap. Saya itu menantu Papa!" ucapku gemetar.Namun, sepertinya pikiran Papa sudah dikuasai oleh hawa nafsu. Dia menarik kerudung yang menutup kepalaku dan hendak membuka bajuku.Aku melirik ke arah pintu, melihat sebuah linggis kecil yang tergeletak di sana, segera merangkak meraih benda tersebut, namun dengan sigap Papa mencekal kakiku, merangkul tubuh ini dan
"Anaknya sudah besar-besar ya, Mas?" "Iya, Alhamdulillah!" Dia kembali tersenyum.Mbak Kenza keluar sambil membawa tiga gelas sirop melon dan menyuguhkannya kepadaku. Karena kebetulan aku juga sedang haus, aku segera meneguk setengah gelas minuman tersebut, setelah itu ia dan Saquina mengantarku untuk melihat-lihat rumah ibunya yang hendak disewakan."Ini, Mbak Fita rumahnya. Kalau buat keluarga kecilmah cukuplah. Mbak Fita tinggal sama siapa saja nanti?" tanya Mbak Kenza seraya membuka pintu rumah tersebut."Sendirian, Mbak!" jawabku."Emang Mbak Efita belum menikah?"Aku kembali menghela nafas."Lagi proses perceraian, Mbak!" sahutku dengan nada serak."Maaf, Mbak. Saya tidak tahu. Mbak Fita yang sabar ya...." Wanita berhijab tosca itu mengusap bahuku.Aku mengulas senyum, mencoba untuk tidak menunjukkan sakit yang sedang aku rasa karena tidak mau semua orang tahu tentang luka masa