“Kak Fita, ini kalungnya. Terima kasih karena kakak sudah mengikhlaskan Mas Akmal buat aku!” ucap Dewi menarikku dari lamunan.
Dia lalu keluar menenteng tas besar yang aku tidak tahu apa isinya. Mungkin semua baju-bajunya atau, jangan-jangan dia pergi membawa barang-barang berharga yang ada di rumah ini.Ah, aku tidak peduli. Aku tidak menginginkan harta. Aku hanya ingin keutuhan rumah tanggaku kembali walaupun tidak akan mungkin terjadi.Segera mengunci pintu garasi serta pintu rumah, tidak akan kubiarkan kedua makhluk tidak bermoral itu kembali masuk.Setelah semuanya terkunci rapat aku memutuskan untuk masuk ke kamar Dewi dan memeriksa isi lemari wanita tersebut, mengeluarkan barang-barang milik Dewi lalu membakarnya tanpa sisa. Mataku membeliak kaget ketika melihat galeri foto di ponsel wanita yang sudah aku beri tumpangan itu, dan ternyata banyak sekali foto-foto Mas Akmal yang ia simpan di dalam album di ponselnya.Apa dia sengaja tidak menghapus foto tersebut supaya aku tahu kalau dia begitu mencintai suamiku?Segera kureset pabrik ponsel itu, aku berniat menghibahkannya kepada orang yang kurang mampu serta membutuhkan. Pun dengan laptop milik Dewi yang biasa ia pakai untuk belajar.Setelah itu aku berjalan ke arah jendela, ingin melihat apakah masih tertutup rapat ataukah sudah terbuka, dan benar dugaanku, jendela itu sudah dicongkel serta tidak bisa lagi dikunci. Rasanya semakin teremas-remas jantung ini kala mengingat ternyata orang yang selalu menghabiskan malam bersama Dewi adalah suamiku sendiri. Sakit, perih seperti disayat-sayat pisau lalu disiram menggunakan air cuka.Mungkin kemarin pagi Mas Akmal hendak keluar melalui pintu Dewi, terus dia melihat aku sudah berada di dapur. Hingga akhirnya dia nekat mencungkil jendela dan kakinya terluka menginjak pecahan kaca yang sengaja aku sebar di bawah jendela kamar adikku.Dua bungkus kontrasepsi kembali aku temukan di kamar membuat diri ini merasa sedih, kecewa karena tidak mampu mendidik adik semata wayangku itu.Apa yang harus aku katakan kepada Emak nanti jika dia bertanya?Aku keluar dari rumah hendak pergi ke kontrakan Anita. Saat menutup pintu pagar, aku melihat Mas Akmal sedang berjalan menuju teras dipapah oleh Dewi. Sepertinya aku harus segera menjual rumah Mas Akmal supaya tidak melihat kemesraan mereka setiap hari, apalagi rumah Mas Akmal dan Papa hanya bersebrangan jalan saja.Jujur, hatiku teramat sakit melihat pemandangan itu. Mataku juga terasa panas. Kenapa dua makhluk tidak punya malu itu masih berada di tempat Papa? Benar-benar tidak memiliki nurani mereka.“Fit, Efita!” teriak Mas Akmal memanggil namaku.Aku tetap berjalan tanpa menghiraukan panggilan dari laki-laki yang telah menghancurkan perasaanku itu, sebab sudah tidak mau lagi berurusan dengannya.“Fita, dengarkan penjelasanku dulu. Aku mau bicara empat mata sama kamu, sayang!” teriaknya lagi.‘Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Karena semuanya sudah jelas. Semua bukti juga mengerucut ke kamu!’ batinku.Kuusap air mata yang mengalir dari pelupuk menggunakan ujung jari-jari. Aku harus kuat, harus bisa berdiri di atas kakiku sendiri dan akan membuktikan kepada Mas Akmal kalau aku juga bisa hidup tanpa dia.Bruk!Seorang laki-laki yang sedang berjalan terburu-buru tiba-tiba menabrakku.“Afwan, Ukhti. Saya tidak sengaja,” ucapnya sembari menangkupkan tangan.“Saya yang seharusnya meminta maaf, Mas. Soalnya saya jalannya meleng,” sahutku seraya mengulas senyum tipis lalu menunduk.“Ya sudah saya permisi dulu, Ukhti. Sekali lagi saya minta maaf, assalamualaikum!” Dia lalu menyeberang jalan dan menaiki sebuah angkutan umum.Lekas kupanggil tukang bajaj untuk mengantar ke rumah kontrakan Anita. Sepanjang perjalanan, aku terus saja menangis mengingat pengkhianatan yang telah dilakukan oleh Mas Akmal juga Dewi. Hatiku seperti dicacah-cacah. Andai saja yang menikamku dari belakang bukan adikku sendiri, mungkin rasanya tidak sesakit ini.“Mbak, sudah sampai,” kata tukang bajaj sambil menatap iba diri ini.“Iya, Pak!” jawabku sembari menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan.Kusapu jejak air mata supaya Anita tidak tahu kalau aku sedang dirundung nestapa. Aku tidak mau membuka aib suami serta adikku di depan perempuan itu supaya Allah menutup aibku di akhirat nanti.“Assalamualaikum!” Tok! Tok! Tok!“Waalaikumussalam!” sahut Anita dari dalam rumah.Pintu terbuka dan seraut wajah cantik tersenyum manis di hadapanku. Dia lalu menangis dan memelukku dengan erat.Ya Allah, ada apa dengan Anita. Apa dia juga sedang mengalami masalah yang berat sama sepertiku.“Apa bener gosip yang sedang beredar, Fit. Kalau suami kamu selingkuh sama Dewi?”Deg!Dari mana dia tahu? Apa ada yang cerita sama Anita?“Gosip apa sih, Nit?” tanyaku pura-pura tidak paham.“Itu yang lagi rame di sosmed. Aku lihat video kamu lagi ngelabrak si Dewi karena dia udah selingkuh sama Mas Akmal. Ya Allah, Efita. Aku nggak nyangka banget, ternyata adik yang selama ini kamu bangga-banggakan, yang selalu kamu nomer satukan bisa menusuk kamu dari belakang seperti itu. Aku sedih banget liatnya, Fit. Kamu yang sabar ya, Sayang. Pasti ada hikmah di balik semua musibah. Aku yakin kamu bisa mendapatkan suami yang lebih baik daripada si Akmal itu. Kamu masih muda dan cantik, belum punya anak lagi,” ucap Anita tanpa melepas pelukan.Aku benar-benar penasaran, siapa sebenarnya orang yang tega menyebabkan video itu dan apa maksud dari perbuatannya tersebut.Apa jangan-jangan di kompleks tempat tinggalku ada orang yang kurang suka kepadaku dan sengaja menyebarkan video tersebut?Ah, lagi-lagi aku harus berburuk sangka gara-gara masalah ini.“Nit, kita jalan-jalan, yuk. Biar nggak bete di rumah terus,” ajakku dan langsung diiyakan oleh ibu beranak dua itu.Kuajak Anita beserta dua orang putranya jalan-jalan ke sebuah mal supaya otakku tidak terus memikirkan Mas Akmal dan Dewi. Aku butuh piknik, sebab jika memikirkan masalah itu terus bisa-bisa tubuhku yang sudah kurus tambah kering. Lagian, untuk apa diri ini memikirkan orang yang tidak pernah memedulikan perasaanku.Dewa dan Damian berlari kegirangan ketika kami mengajaknya ke tempat permainan anak. Hatiku mencelos melihat dua bocah berusia lima serta tiga tahun tersebut.Andai saja aku memiliki seorang anak, tentu hidupku sekarang tidak akan hampa seperti ini karena ada buah hati yang menjadi pengobat duka juga lara. Namun, ah, sudahlah. Memang garis takdirku harus seperti ini. Aku harus menerima dengan lapang dada apa yang sudah disuratkan oleh Tuhan.Anita mengajakku makan di sebuah restoran khas Jawa Timur, duduk di pojokkan memilih tempat paling sepi dari pengunjung lainnya.“Makan yang banyak, biar gemuk,” mas Akmal mencubit hidungku.“Nanti kalau aku gendut kamu malah berpaling dari aku lagi!” Mengerucutkan bibir manja.“Aku akan setia mendampingi kamu sampai ke jannah, Fit. Kamu juga jangan tinggalkan aku, ya. Walaupun aku tidak bisa memberikan kamu keturunan.” Dua bulir air bening mengalir dari sudut mata Mas Akmal. Aku menghapus buliran-buliran kristal itu dengan ibu jari dan Mas Akmal meraih tangan ini, meletakkan telapak tanganku di pipinya sambil menatap manikku dengan penuh cinta.“Fit, nglamun terus, deh!” Anita menepuk bahuku, menyentakku dari lamunan.Memang tidak bisa dipungkiri, bayang-bayang kenangan bersama Mas Akmal terus saja menari-nari di ingatan. Aku tidak bisa melupakan kenangan indah yang telah kami lewati bersama selama hampir lima tahun itu.“Maaf, Nit. Aku....”“Aku faham kok, Fit!” potong Anita seraya
‘Kamu harus bangkit Efita, kamu nggak boleh terpuruk seperti ini.’Aku beranjak dari dudukku, menekan sakelar lampu karena rumah sudah seperti gua. Gelap gulita. Menyalakan keran air, mengguyur tubuh ini lalu mengambil wudu dan lekas melaksanakan ibadah salat magrib dilanjut dengan bermuroja’ah untuk menghibur hati yang sedang lara.Aku harus berprasangka baik terhadap Tuhan. Mungkin Sang Maha Rahim sedang menyiapkan rencana indah untuk diriku nanti, jika tidak di dunia mungkin di alam keabadian kelak.Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam. Aku mengambil gawai, melihat aplikasi berwarna hijau yang sudah dipenuhi ratusan notifikasi pesan masuk. Ternyata dari grup RT yang sedang ramai membahas masalah perzinaan yang dilakukan Dewi dan Mas Akmal. Bahkan, ada yang sengaja menjadikan kasus ini sebagai candaan.Kenapa harus itu yang di bahas? Apa mereka tidak tahu kalau di sini ada hati yang sedang tersakiti saat membaca cuitan mereka yang seolah menertawakan diriku yang s
“Emak, apa kabar?” sapaku seraya meraih tangan wanita yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun yang lalu itu lalu mencium bagian punggungnya dengan khidmat.Emak menangis dan langsung menghambur memelukku. “Maafin Emak karena telah gagal mendidik Dewi!” ujar Emak di sela isak tangisnya.“Enggak, Mak. Emak nggak salah apa-apa. Efita yang salah karena belum bisa menjadi istri yang baik, sehingga suami Efita berpaling, Mak!” sanggahku, mempererat pelukan kami.Entah dari mana Emak tahu kabar ini, sebab aku selalu menutup rapat rahasia tentang keretakan rumah tanggaku dengan Mas Akmal karena kehadiran Dewi sebagai orang ketiga.Aku menggandeng tangan Emak masuk lalu mempersilakan perempuan berusia empat puluh lima tahun itu duduk. Bahagia rasanya ketika hati ini sedang gundah gulana dan didatangi oleh orang yang paling aku cinta.Membukakan lemari es, mengambil sirop coco pandan kemudian menuangnya ke dalam gelas berisi air putih serta es batu. Setelah itu kubawa minuman itu ke depan
“Sudah ketemu, Bang. Abang ke taman depan pengadilan Agama saja!” Aku dengar perempuan berpakaian serba hitam itu berbicara dengan seseorang di ujung sambungan telepon.Tidak lama kemudian, muncul seorang laki-laki berkemeja merah hati menghampiri kami, dan aku seperti mengenal pria tersebut. Tetapi di mana?“Terima kasih, Ukhti!” ucapnya sambil membungkuk.Ya, sekarang aku ingat. Dia laki-laki yang tidak sengaja menabrakku di depan gapura komplek.“Sekali lagi, saya ucapkan banyak terima kasih sama Mbak. Kalau Quina tidak bertemu dengan Mbak, saya nggak tahu deh, apa yang bakal terjadi kepada Quina!” ucap Ummi Saquina.“Sama-sama, Mbak. Ya sudah, saya permisi dulu. Sudah siang, assalamualaikum!” Aku memutar badan meninggalkan mereka.“Bunda!” Tiba-tiba Saquina kembali memanggilku dengan sebutan itu. Dia menangis tersedu serta meronta-ronta ingin ikut denganku.“Bunda, ikut!” rengeknya pilu.Aku menoleh, menitikkan air mata dan menghampiri gadis kecil itu kembali.“Apa saya boleh meng
Hampir semua terapi yang disarankan oleh orang-orang terdekat kami jalani, namun, kami belum juga dikaruniai momongan seperti yang selalu aku panjatkan dalam doa. Sepertinya Sang Maha Rahim belum mengabulkan doa-doa kami.Aku juga tidak mau memaksa Mas Akmal untuk menjalani terapi setiap minggunya, sebab aku tahu semua itu pasti akan menyakiti hatinya. Kuterima suratan takdir jika memang kami tidak jua dikaruniai buah hati. Toh, banyak anak yatim yang bisa kami angkat atau sekedar kami santuni.Dan ternyata, inilah balasan dari semua kesabaran serta keikhlasanku menerima semua kekurangan Mas Akmal. Dia menghianatiku, membagi cinta dengan Dewi yang notabene adalah adik iparnya sendiri. Perih, sakit hingga meresap ke dalam pori-pori.Sudahlah, mungkin jodohku dengan Mas Akmal hanya sampai di sini. Aku juga bersyukur karena Allah segera menunjukkan siapa Mas Akmal sebenarnya.Hari semakin beranjak sore. Kesunyian membungkus rapat rumah yang sudah aku tempati selama hampir lima tahun ini
"Papa?!" Aku bangkit dari pembaringan, mengambil kerudung dan segera mengenakannya."Efita, maaf Papa masuk tanpa permisi. Papa sudah tidak bisa menahan perasaan ini, Fita. Apa kamu tahu, Papa sudah mencintai kamu sejak pertama kali melihat kamu!" ucap Papa seperti sedang terpengaruh minuman keras. Laki-laki bertubuh tegap itu mendekat ke arahku dengan langkah terhuyung.'Ya Allah, lindungi hambamu ini'."Tolong jangan tolak Papa, Fit!" Dia berjalan semakin mendekat, mengusap pipi ini dan mendekatkan wajahnya hendak menciumku.Aku mundur beberapa langkah menjauh dari pria yang selalu aku hormati itu. "Ya Allah, Pap. Istigfar, Pap. Saya itu menantu Papa!" ucapku gemetar.Namun, sepertinya pikiran Papa sudah dikuasai oleh hawa nafsu. Dia menarik kerudung yang menutup kepalaku dan hendak membuka bajuku.Aku melirik ke arah pintu, melihat sebuah linggis kecil yang tergeletak di sana, segera merangkak meraih benda tersebut, namun dengan sigap Papa mencekal kakiku, merangkul tubuh ini dan
"Anaknya sudah besar-besar ya, Mas?" "Iya, Alhamdulillah!" Dia kembali tersenyum.Mbak Kenza keluar sambil membawa tiga gelas sirop melon dan menyuguhkannya kepadaku. Karena kebetulan aku juga sedang haus, aku segera meneguk setengah gelas minuman tersebut, setelah itu ia dan Saquina mengantarku untuk melihat-lihat rumah ibunya yang hendak disewakan."Ini, Mbak Fita rumahnya. Kalau buat keluarga kecilmah cukuplah. Mbak Fita tinggal sama siapa saja nanti?" tanya Mbak Kenza seraya membuka pintu rumah tersebut."Sendirian, Mbak!" jawabku."Emang Mbak Efita belum menikah?"Aku kembali menghela nafas."Lagi proses perceraian, Mbak!" sahutku dengan nada serak."Maaf, Mbak. Saya tidak tahu. Mbak Fita yang sabar ya...." Wanita berhijab tosca itu mengusap bahuku.Aku mengulas senyum, mencoba untuk tidak menunjukkan sakit yang sedang aku rasa karena tidak mau semua orang tahu tentang luka masa
Bagaimana bisa Mas Akmal mengatakan ke orang-orang kalau aku ini mandul, sedangkan dia tahu sendiri bahwa tes di rumah sakit menunjukkan bahwa dialah yang tidak subur. Sekuat tenaga diri ini menutupi segala kekurangannya tapi dia malah memutar balikkan fakta. “Asal kamu tahu, Dewi. Bukan saya yang mandul. Tetapi pasangan mesum kamu itulah yang mandul. Dia menderita varikokel. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa tanyakan kepada pacar kamu itu!” Aku keluar dari kamar emak kemudian masuk ke dalam kamar pribadiku, menumpahkan air mata meredam segala lara yang mendera. ‘Tega sekali kamu memfitnahku, Mas!” Fajar mulai menyingsing. Aku membuka jendela kamar. Cahaya kemerah-merahan di langit sebelah timur, menyapa pagiku yang terasa hampa. Aku berdiri di teras kamar yang berhadapan langsung dengan taman. ‘Kuhirup dalam-dalam segarnya udara pagi, menikmati semerbak harumnya bunga mawar sambil memandangi kuntum-kuntum bunga yang mulai mekar. Indah sekali. Ting!