Share

Part 8

“Kak Fita, ini kalungnya. Terima kasih karena kakak sudah mengikhlaskan Mas Akmal buat aku!” ucap Dewi menarikku dari lamunan.

Dia lalu keluar menenteng tas besar yang aku tidak tahu apa isinya. Mungkin semua baju-bajunya atau, jangan-jangan dia pergi membawa barang-barang berharga yang ada di rumah ini.

Ah, aku tidak peduli. Aku tidak menginginkan harta. Aku hanya ingin keutuhan rumah tanggaku kembali walaupun tidak akan mungkin terjadi.

Segera mengunci pintu garasi serta pintu rumah, tidak akan kubiarkan kedua makhluk tidak bermoral itu kembali masuk.

Setelah semuanya terkunci rapat aku memutuskan untuk masuk ke kamar Dewi dan memeriksa isi lemari wanita tersebut, mengeluarkan barang-barang milik Dewi lalu membakarnya tanpa sisa. Mataku membeliak kaget ketika melihat galeri foto di ponsel wanita yang sudah aku beri tumpangan itu, dan ternyata banyak sekali foto-foto Mas Akmal yang ia simpan di dalam album di ponselnya.

Apa dia sengaja tidak menghapus foto tersebut supaya aku tahu kalau dia begitu mencintai suamiku?

Segera kureset pabrik ponsel itu, aku berniat menghibahkannya kepada orang yang kurang mampu serta membutuhkan. Pun dengan laptop milik Dewi yang biasa ia pakai untuk belajar.

Setelah itu aku berjalan ke arah jendela, ingin melihat apakah masih tertutup rapat ataukah sudah terbuka, dan benar dugaanku, jendela itu sudah dicongkel serta tidak bisa lagi dikunci. Rasanya semakin teremas-remas jantung ini kala mengingat ternyata orang yang selalu menghabiskan malam bersama Dewi adalah suamiku sendiri. Sakit, perih seperti disayat-sayat pisau lalu disiram menggunakan air cuka.

Mungkin kemarin pagi Mas Akmal hendak keluar melalui pintu Dewi, terus dia melihat aku sudah berada di dapur. Hingga akhirnya dia nekat mencungkil jendela dan kakinya terluka menginjak pecahan kaca yang sengaja aku sebar di bawah jendela kamar adikku.

Dua bungkus kontrasepsi kembali aku temukan di kamar membuat diri ini merasa sedih, kecewa karena tidak mampu mendidik adik semata wayangku itu.

Apa yang harus aku katakan kepada Emak nanti jika dia bertanya?

Aku keluar dari rumah hendak pergi ke kontrakan Anita. Saat menutup pintu pagar, aku melihat Mas Akmal sedang berjalan menuju teras dipapah oleh Dewi. Sepertinya aku harus segera menjual rumah Mas Akmal supaya tidak melihat kemesraan mereka setiap hari, apalagi rumah Mas Akmal dan Papa hanya bersebrangan jalan saja.

Jujur, hatiku teramat sakit melihat pemandangan itu. Mataku juga terasa panas. Kenapa dua makhluk tidak punya malu itu masih berada di tempat Papa? Benar-benar tidak memiliki nurani mereka.

“Fit, Efita!” teriak Mas Akmal memanggil namaku.

Aku tetap berjalan tanpa menghiraukan panggilan dari laki-laki yang telah menghancurkan perasaanku itu, sebab sudah tidak mau lagi berurusan dengannya.

“Fita, dengarkan penjelasanku dulu. Aku mau bicara empat mata sama kamu, sayang!” teriaknya lagi.

‘Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Mas. Karena semuanya sudah jelas. Semua bukti juga mengerucut ke kamu!’ batinku.

Kuusap air mata yang mengalir dari pelupuk menggunakan ujung jari-jari. Aku harus kuat, harus bisa berdiri di atas kakiku sendiri dan akan membuktikan kepada Mas Akmal kalau aku juga bisa hidup tanpa dia.

Bruk!

Seorang laki-laki yang sedang berjalan terburu-buru tiba-tiba menabrakku.

“Afwan, Ukhti. Saya tidak sengaja,” ucapnya sembari menangkupkan tangan.

“Saya yang seharusnya meminta maaf, Mas. Soalnya saya jalannya meleng,” sahutku seraya mengulas senyum tipis lalu menunduk.

“Ya sudah saya permisi dulu, Ukhti. Sekali lagi saya minta maaf, assalamualaikum!” Dia lalu menyeberang jalan dan menaiki sebuah angkutan umum.

Lekas kupanggil tukang bajaj untuk mengantar ke rumah kontrakan Anita. Sepanjang perjalanan, aku terus saja menangis mengingat pengkhianatan yang telah dilakukan oleh Mas Akmal juga Dewi. Hatiku seperti dicacah-cacah. Andai saja yang menikamku dari belakang bukan adikku sendiri, mungkin rasanya tidak sesakit ini.

“Mbak, sudah sampai,” kata tukang bajaj sambil menatap iba diri ini.

“Iya, Pak!” jawabku sembari menyodorkan selembar uang lima puluh ribuan.

Kusapu jejak air mata supaya Anita tidak tahu kalau aku sedang dirundung nestapa. Aku tidak mau membuka aib suami serta adikku di depan perempuan itu supaya Allah menutup aibku di akhirat nanti.

“Assalamualaikum!” Tok! Tok! Tok!

“Waalaikumussalam!” sahut Anita dari dalam rumah.

Pintu terbuka dan seraut wajah cantik tersenyum manis di hadapanku. Dia lalu menangis dan memelukku dengan erat.

Ya Allah, ada apa dengan Anita. Apa dia juga sedang mengalami masalah yang berat sama sepertiku.

“Apa bener gosip yang sedang beredar, Fit. Kalau suami kamu selingkuh sama Dewi?”

Deg!

Dari mana dia tahu? Apa ada yang cerita sama Anita?

“Gosip apa sih, Nit?” tanyaku pura-pura tidak paham.

“Itu yang lagi rame di sosmed. Aku lihat video kamu lagi ngelabrak si Dewi karena dia udah selingkuh sama Mas Akmal. Ya Allah, Efita. Aku nggak nyangka banget, ternyata adik yang selama ini kamu bangga-banggakan, yang selalu kamu nomer satukan bisa menusuk kamu dari belakang seperti itu. Aku sedih banget liatnya, Fit. Kamu yang sabar ya, Sayang. Pasti ada hikmah di balik semua musibah. Aku yakin kamu bisa mendapatkan suami yang lebih baik daripada si Akmal itu. Kamu masih muda dan cantik, belum punya anak lagi,” ucap Anita tanpa melepas pelukan.

Aku benar-benar penasaran, siapa sebenarnya orang yang tega menyebabkan video itu dan apa maksud dari perbuatannya tersebut.

Apa jangan-jangan di kompleks tempat tinggalku ada orang yang kurang suka kepadaku dan sengaja menyebarkan video tersebut?

Ah, lagi-lagi aku harus berburuk sangka gara-gara masalah ini.

“Nit, kita jalan-jalan, yuk. Biar nggak bete di rumah terus,” ajakku dan langsung diiyakan oleh ibu beranak dua itu.

Kuajak Anita beserta dua orang putranya jalan-jalan ke sebuah mal supaya otakku tidak terus memikirkan Mas Akmal dan Dewi. Aku butuh piknik, sebab jika memikirkan masalah itu terus bisa-bisa tubuhku yang sudah kurus tambah kering. Lagian, untuk apa diri ini memikirkan orang yang tidak pernah memedulikan perasaanku.

Dewa dan Damian berlari kegirangan ketika kami mengajaknya ke tempat permainan anak. Hatiku mencelos melihat dua bocah berusia lima serta tiga tahun tersebut.

Andai saja aku memiliki seorang anak, tentu hidupku sekarang tidak akan hampa seperti ini karena ada buah hati yang menjadi pengobat duka juga lara. Namun, ah, sudahlah. Memang garis takdirku harus seperti ini. Aku harus menerima dengan lapang dada apa yang sudah disuratkan oleh Tuhan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status