Share

Part 9

Anita mengajakku makan di sebuah restoran khas Jawa Timur, duduk di pojokkan memilih tempat paling sepi dari pengunjung lainnya.

“Makan yang banyak, biar gemuk,” mas Akmal mencubit hidungku.

“Nanti kalau aku gendut kamu malah berpaling dari aku lagi!” Mengerucutkan bibir manja.

“Aku akan setia mendampingi kamu sampai ke jannah, Fit. Kamu juga jangan tinggalkan aku, ya. Walaupun aku tidak bisa memberikan kamu keturunan.” Dua bulir air bening mengalir dari sudut mata Mas Akmal. Aku menghapus buliran-buliran kristal itu dengan ibu jari dan Mas Akmal meraih tangan ini, meletakkan telapak tanganku di pipinya sambil menatap manikku dengan penuh cinta.

“Fit, nglamun terus, deh!” Anita menepuk bahuku, menyentakku dari lamunan.

Memang tidak bisa dipungkiri, bayang-bayang kenangan bersama Mas Akmal terus saja menari-nari di ingatan. Aku tidak bisa melupakan kenangan indah yang telah kami lewati bersama selama hampir lima tahun itu.

“Maaf, Nit. Aku....”

“Aku faham kok, Fit!” potong Anita seraya menggengam jemariku.

“Kamu yang sabar. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan cerita sama aku. Aku ini kan sahabat kamu. Jangan di pendam sendiri, biar nggak sakit sendiran!”

Aku mengulas senyum tipis.

Tidak lama kemudian, pramusaji mengantarkan makanan yang dipesan oleh Anita, akan tetapi aku benar-benar tidak bernafsu melihat makanan yang terhidang di atas meja.

“Kamu nggak makan, Fit?” tanya wanita berjilbab ungu yang ada di depanku sembari meletakkan sendok di piring.

“Belum laper, Nit!” jawabku.

“Kalau kamu nggak mau makan, aku juga nggak mau makan deh!” rajuk perempuan yang sudah menjadi temanku sejak kecil itu.

“Ambekan, deh. Yasudah aku makan.”

Anita tersenyum puas melihatnya.

“Kamu nggak usah berlarut-larut dalam kesedihan, Fit. Kamu harus bangkit. Aku yakin kamu pasti bisa.”

“Doain saja ya, Nit. Tapi jujur, rasanya sakit banget dikhianati oleh orang-orang yang dicinta. Aku juga mau jual rumah itu dan membeli rumah baru yang lebih kecil. Sisanya mau aku pake buat modal usaha. Aku pengen buka usaha catering kecil-kecilan, Nit!”

“Sebagai sahabat, aku Cuma bisa bantu doa dan dukungan.”

“Itu sudah lebih dari cukup, Nit.”

Tiba-tiba ponsel Anita berdering. Mas Haris suaminya menelepon dan menyuruhnya segera pulang karena ada tamu di rumah mereka. Kami pun berpisah di mal lalu pulang ke rumah masing-masing.

Taksi online yang aku tumpangi berhenti tepat di depan rumah. Dahiku mengernyit melihat banyak sekali warga juga pak RT berkumpul di rumah Papa. Apa yang sedang terjadi di dalam?

Aku turun dari taksi tersebut dan berdiri mematung menatap halaman rumah Papa. Bu RT menghampiriku lalu membimbingku masuk ke dalam rumah Papa, dimana ada Mas Akmal serta Dewi sedang disidang di dalam sana.

Gontai aku berjalan menghampiri dua insan tidak bermoral itu. Dadaku bergemuruh, jantungku berdegup tidak karuan menyaksikan pemandangan tersebut, dan lihat mata Mas Akmal sudah dipenuhi kaca-kaca, begitu pula dengan Dewi.

“Sebelumnya saya minta maaf, Mbak Fita. Mereka berdua kan sudah berzina dan si Dewi ini adik kandung Mbak Efita. Kami bingung mau ambil tindakan apa selaku tetangga sebab menurut hukum Islam, menikahi perempuan kakak beradik itu hukumnya haram secara ijmak’, terus, ini bagaimana menurut Mbak Efita?” tanya pak RT membuat bertambah nyeri rasanya dada ini.

“Kalau Mas Akmal menikah dengan Dewi, berarti Mas Akmal harus menceraikan Mbak Efita terlebih dahulu dan boleh menikah dengan Dewi setelah masa Idah Mbak Efita selesai. Jadi, saya minta keikhlasan hati kalian berdua. Apa Mas Akmal mau meneruskan pernikahannya dengan Mbak Efita, atau mau menikah dengan Dewi. Mas Akmal harus memilih salah satu di antara mereka!” imbuhnya lagi.

“Saya yang akan mundur, Pak!” jawabku tegas.

“Fit!” Mas Akmal menatapku tidak percaya. Bulir-bulir air bening mulai meluncur membuat jejak lurus di pipinya.

“Aku tidak mau menikah dengan Dewi, Fit. Aku sangat mencintai kamu,” ucapnya sambil tergugu.

Ya Allah, hatiku teremas-remas melihat laki-laki yang telah menanamkan cinta begitu besar di sanubari menangis tersedu di depan semua orang.

“Tapi aku sudah tidak mencintai kamu lagi, Mas. Cinta di hatiku telah hilang sejak tahu kalau kamu sudah menghianati pernikahan kita!” dustaku seraya menahan air mata yang mulai menggelayut di pelupuk.

“Aku tidak melakukannya, Efita. Apa kamu tidak mempercayaiku?” Dia menatap manikku lekat.

“Mana ada maling ngaku, kalau ada, penjara penuh woy!” teriak seorang warga.

“Sekarang tolong kamu talak aku, Mas. Jangan gantung statusku seperti ini supaya nanti jika ada yang mau menikahiku, aku sudah terbebas dari ikatan pernikahan ini.” Pelan aku berucap, karena rasa sesak yang kian mendera hati.

“Ya sudah kalau itu yang kamu mau. Untuk yang terakhir kalinya, bolehkan aku mencium puncak kepalamu, Efita. Setelah itu aku akan membebaskan kamu!”

Aku menelan saliva yang terasa getir serta mengganjal di kerongkongan. Kubiarkan Mas Akmal mencium puncak kepalaku, memeluk tubuh ini walaupun sebenarnya aku tidak mau. Dia merengkuhku dengan erat sambil membisikkan kata kalau dia sangat mencintaiku.

“Mulai hari ini, aku akan membebaskan kamu dari ikatan suci pernikahan kita, Efita. Aku harap kamu bahagia setelah berpisah denganku. Maaf kalau selama ini aku belum bisa menjadi suami dan imam yang baik. Maaf juga kalau aku belum bisa membahagiakan kamu, Efita.

Terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang telah kamu curahkan kepadaku selama ini. Kalau nanti kamu tidak bahagia dengan kehidupan yang baru, tolong kembalilah kepadaku,” ujarnya dengan linanangan air mata.

“Aku permisi dulu, assalamualaikum!” jawabku sembari memutar badan lalu meninggalkan pria yang sekarang sudah menjadi mantan suamiku.

“Maaf Mbak Efita, ini Dewi mau diarak keliling kampung atau mau diapakan. Dia sudah bikin malu dan dosa warga sekomplek loh! Apa perlu kita telanjangi dan dibotakin juga?” kata Pak Dirman, salah satu tetanggaku penuh amarah.

“Terserah kalian saja karena sekarang dia bukan lagi menjadi urusanku. Saya hanya mau hidup tenang dan tidak lagi melihat wajah manusia tak beradab itu!” sahutku seraya melenggang pergi.

Beberapa ibu-ibu yang berada di rumah papa menatapku dengan tatapan iba, ada juga yang sepertinya sengaja mengambil gambarku dan mungkin akan menyebarkannya di sosial media demi like dan komen. Aku terus berjalan lurus kemudian masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dari dalam.

Aku menyender di daun pintu, meremas dada sambil menangis sejadi-jadinya. Air mata ini tidak henti-hentinya mengalir hingga kepalaku terasa sakit dan nafasku tersengal. Hingga sang muazin mengumandangkan azan magrib, aku masih duduk terpaku meratapi nasib diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status